1. Liang Lahad Yang Menghimpit Diganjal Dengan Papan
Ramadhan adalah bulan kemuliaan bagi kaum muslim. Bulan yang penuh dengan maghfirah dan rahmat. Segala aktivitas yang ditujukan kepada Yang Esa, dijanjikan mendapat pahala yang berlipat ganda, dan dosa-dosa yang diperbuatnya mendapat ampunan. Sementara syetan dibelenggu , tidak dibiarkan bergerilya untuk merontokkan keyakinan seseorang. Sabda Rasulullah saw : Apabila Ramadhan datang, maka pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan syetan-syetan dibelenggu ” (HR.Bukhari dan Muslim). Kemuliaan Ramadhan pun terasa pada kisah nyata yang akan kami nukilkan di bawah ini.Tanpa disadari oleh mereka, tanah kuburan yang usai digali itu bergetar dan terus bergetar. Semula mereka membiarkan begitu saja, tapi ketika getaran tak kunjung berhenti, mereka yang berada di lokasi mulai panik. Sorot mata mereka bertatapan, penuh tanda tanya. Kedua penggali kubur saat itu masih berada di dalam, belum keluar dari liang yang sebenarnya sudah jadi.
“Kang, apakah kau merasakan getaran-getaran tanah ini? ” tanya Parto ( bukan nama sebenarnya).
Yang ditanya cuma mendelik, tak segera menjawab. Bahkan di wajahnya terlukis ketakutan yang amat sangat.
“Kang, apakah kau merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan ? Getaran tanah, ” lelaki berkulit sawo matang itu mengulangi pertanyaannya sambil menggoyang-goyangkan badan temannya.
Barulah Karto (bukan nama sebenarnya) tersadar dari keheranannya setelah Parto berucap dengan intonasi lebih keras.
“Aahh…… ehm………” Hanya suara desah yang meluncur dari mulut Karto.
“Apa ini yang namanya gempa ya, Kang? “
“Gempa? Benarkah? ” Karto balik bertanya.
“Hati-hati, Kang ! “
“Aneh. “
Sejurus kemudian Karto memperhatikan sekitar tanah pekuburan. Dilihatnya pohon beringin, satu-satunya pohon yang paling besar dan rindang, yang akarnya melambai-lambai bila tersapu angin. Tiang penyangga lampu neon yang berada di depan pintu masuk pekuburan, tembok gapura yang senantiasa menyapa tatkala para penziarah hendak berdoa serta rerumputan yang hidup di sela -sela kuburan. Semuanya diam dan bisu. Kalau pun bergerak, adalah gerakan alami seperti biasanya, tanpa ada yang berubah. Setelah mengamati dengan seksama, ternyata hanya bibir-bibir liang yang bergerak. Gerakan yang tidak bisa dimengerti darimana sumbernya.
Keduanya bingung, bagaimana ini bisa terjadi. Beberapa orang yang turut membantu penggalian cuma bengong.
“Mud, tolong ambilkan papan seukuran panjang kuburan ini! Cepat ! ” perintah Karto usai memeras otaknya.rt
“Untuk apa, Kang? “
“Pakai nanya lagi. Tanahnya mulai menyempit kalau tidak diganjal, kuburan ini akan menciut. Dan kau Parto, tolong sebisamu tahan tanah ini ! “
“Iya……iya, ” ucap Mudi terbata-bata karena gugup.
Tanpa banyak bicara, mereka segera melakukan apa yang dikatakan Kang Karto. Wajah mereka tampak tegang diselimuti kekhawatiran dengan menyimpan segudang pertanyaan di batok kepala mereka. Namun mereka tak sempat berdebat. Yang harus mereka kerjakan adalah mencegah tanah itu semakin sempit secepatnya.
Tanah masih bergerak. Bibir-bibir lubang itu seakan hendak menghimpit bahkan bisa menutup kembali jika dibiarkan begitu saja. Salah seorang berusaha menahan sekuat tenaga laju tanah itu. Otot-ototnya menonjol bak seorang binaragawan yang pamer otot di depan penonton. Takut-takut kalau tanah itu menyempit kembali. Tetesan keringat meleleh dari badannya. Sementara kedua kakinya menjejakkan kuat-kuat pada tanah.
Ramai-ramai mereka bahu-membahu memasang papan kayu untuk menahan tanah kuburan yang terus-terusan bergerak. Mereka meletakkan di antara pojok ke pojok. Dengan kerja sama yang kompak, prosesi pemasangan papan pun selesai. Tanah-tanah itu masih mengcengkeram kuat-kuat papan yang dipakai untuk menahan. Kini, getaran-getarannya sudah berhenti. Para penggali kubur yang sempat panik untuk beberapa saat sudah bisa bernafas lega lagi. Kekhawatiran menyempitnya tanah kuburan yang belum terjadi, terasati sudah.
“Alhamdulillah, apa yang kita takutkan sudah tidak terjadi lagi, ” kata Karto sembari menghela nafas dalam-dalam.
“Iya Kang. Papan-papan yang kita pasang berhasil menahan laju gerakan tanah, ” Parto menimpali.
Situasi di lokasi itu kembali normal seperti sediakala. Mereka yang bertugas membereskan penggalian kubur meski dengan kerja extra-keras, bisa tersenyum kembali. Mereka tampak plong setelah berhasil menjinakkan kekuatan alam yang mendadak muncul sendiri. Semilir angin berhembus perlahan. Hawa sejuk menghinggapi tubuh hinga menembus pori-pori mereka. Di antara rerimbunan daun pohon beringin, cahaya matahari itu tetap mampu menerobos masuk ke dalam lokasi pekuburan. Di bawah pohon itu, mereka duduk -duduk melepaskan kelelahannya sambil menyedot rokok yang mereka keluarkan dari sakunya. Kepulan-kepulan asap pun tak terelakkan. Seketika suasana berubah tenang. Ketegangan telah sirna. Tak ada kegaduhan dan tak ada lagi ketakutan. Mereka tinggal menunggu iring-iringan jenazah datang.
Tak berselang lama, dari kejauhan terdengar derap langkah kaki orang-orang. Lamat-lamat alunan koor kematian merayap pasti. Semakin dekat semakin keras bunyinya. Hingga sampailah rombongan itu didepan bibir liang. Jenazah Akrom (60 th, bukan nama sebenarnya) mulai dikeluarkan dari kerandanya. Tapi aneh, tatkala jenazah diturunkan dari keranda dan siap dimasukkan terjadi keanehan lagi. Keanehan ke dua kali yang disaksikan oleh banyak orang. Tanah kuburan yang tadinya menciut dan masih mencengkeram papan tiba-tiba bergerak pelan melepasakan pegangannya. Melebar. Seolah mempersilakan penghuninya masuk dengan leluasa. Sampai seukuran liang kembali normal seperti semula, sebelum diganjal oleh papan.Rombongan itu terperanjat oleh kejadian yang sungguh di lauar jangkauan akal, terlebih para penggali kubur yang menyaksikan keanehan kedua kalinya.
Usai penguburan, ada perasaan yang mengganjal pada diri Karto dan teman-temannya. Dalam benak mereka bertanya, kenapa tanah kuburan itu bisa menyempit lalu longgar begitu saja melepaskan cengkremannya dari papan tatkala jenazah datang di lokasi penguburan. Ustadz Basyir (bukan nama sebenarnya) sendiri yang juga hadir di tempat itu memaknai tanda itu sebagai kemurahan dari Allah.
“Allah swt, itu Maha Adil. Melebarnya liang kubur itu sebagai isyarat bahwa kematian seseorang di bulan Ramadhan merupakan kemurahan Allah. Mudahp-mudahan Allah memuliakannya di alam kubur. Karena Ramadhan merupakan bulan pembebasan manusia. Apalagi ia sudah taubat cukup lama dari perbuatan masap-masa mudanya, ” jelas Ustadz Basyir.
MENAPAK JEJAK HITAM
Siapapun orangnya yang hidup di permukaan bumi, tentu mendambakan kehidupan yang layak.Semua orang memang tidak ingin hidup melarat, tidak ingin miskin hingga melata di jalan-jalan, tidak ingin pula hidupd dari ludah dan sampah serta hinaan orang. Bisa mencukupi diri sendiri juga keluarga, baik sandang, pangan maupun papan. Hanya saja, keinginan untuk hidup hidup berkecukupan mesti diimbangi dengan pengetahuan akan hakekat dunia. Artinya , orang harus bekerja dengan benar dan tetap mengingat Allah, tidak menjadikannya dunia sebagai segala-galanya, melainkan memandang sebagai titipan belaka. Sebab, daya pikat dunia begitu luar biasa menyihir orang. Dunia tak ubahnya bayangan yang berpindah-pindah, mimpi di malam hari, awan di musim kemarau dan mimpi-mimpi buruk. Jika tidak, orang akan terseret ke dalam gelombang syahwatnya, orang akan menjadi tawanan oleh segala kenikmatannnya.
Adalah Akrom, seorang pemuda tanggung yang sudah berkeluarga dan telah mempunyai anak. Perawakannya tegap. Sorot matanya tajam. Derap langkah kakinya mantap, tiada keraguan sedikitpun. Tutur katanya manis dan meyakinkan, sehingga jika ia berucap, orang akan terpesona dibuatnya.
Sayang dibalik penampilan fisiknya yang memadai, tidak ditunjang dengan batin yang bersih. Pikiran Akrom justru kerdil. Ia bagai terpenjara demi menggapai keinginan untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya meski dengan carap-cara licik. Ada banyak impian yang hendak ia ingin wujudkan setelah memulai hidup baru bersama istrinya. Di antaranya : memiliki rumah yang bagus lengkap dengan segala perabotannya, memiliki lahan yang luas untuk persiapan hari depan, serta kendaraan yang cukup.
Untuk mewujudkan semua itu, ia mengeluti usaha jual beli hewan, sapi dan kerbau. Mendatangkan dari satu tempat ke tempat yang lain secara bergantian. Mulai dari Magelang, Kutoarjo, hingga Bandung. Tidak tanggung-tanggung dalam jumlah yang cukup besar. Hampir semua penduduk desa tahu usaha yang digeluti Akrom, tapi tidak tahu di balik usaha itu penuh dengan tipu muslihat.
Alih-alih menerapkan prinsip ekonomi yang jitu yakni meminimalisir biaya produksi untuk meraih keuntungan yang berlipat, lelaki itu mendatangkan satu truk kerbau. Namun tidak saat itu juga ia membayar kepada pemilik modal. Paling-paling hanya satu ekor saja yang ia bayar dari sepuluh ekor yang ia datangkan.Sisanya, menyusul setelah semua dagangan tersebut laku di pasaran. Pemilik modal pun mengiyakan apa yang dijanjikan Akrom. Tak tahu bahwa sebenarnya janji itu hanyalah akal-akalan belaka untuk mengelabui lawan bicaranya. Saling percaya itulah senjata pamungkas yang diucapkan hingga tanpa perlu ada perjanjian tertulis kapan pembayaran akan dilakukan dan bagaimana resiko yang bakal ditanggung jika dalam limit perjanjian, Akrom tidak menyanggupi perjanjian. Anehnya, pemodal tak menaruh curiga apa-apa. Bahkan percaya begitu saja kalau kesepakatan lisan itu akan ditepati oleh pemesannya. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Jika perjanjian sudah disepakati , maka jalan awal untuk meraih keuntungan besar sudah tampak di depan mata.
Demikianlah niat buruk Akrom. Pepatah yang mengatakan bahwa ” janji adalah hutang, yang mesti ditepati ” tak membuat lelaki itu bergeming. Sebenarnya ia faham, tetapi membiarkan saja. Janji tinggal janji , toh ada alasan untuk mengelak dari tagihan lawan. Dalam kesempatan lain, ia mencoba melobi para pemodal lain untuk melakukan transaksi bersama. Transaksi yang sesungguhnya hanya menguntungkan sepihak. Barang diantar dulu dan pembayaran seluruhnya menyusul setelah barang laku habis di pasaran. Artinya, pengusaha mesti menunggu pembayaran untuk beberapa lama. Sebagai tanda jadi, Akrom meyerahkan uang sebesar harga satu ekor kerbau.
Jika tempo yang dijanjikan tiba, lagi-lagi ia berkilah bahwa barang dagangan yang ia ambil masih utuh, ” Itu lihat saja, Kang ! Barangnya msih utuh. Jalan depan deh, Kang, ” ucapnya sambil menunjukkan telunjuknya ke arah kandang.
Padahal sejatinya, hewan dalam kandang itu adalah barang baru yang ia kulak dari pemodal yang berbeda. Sementara dagangan sebelumnya, sebenarnya telah habis terjual namun pembayarannya diulur-ulur. Kemudian, ia mencari mangsa baru ke daerah lain yang mau tunduk atas kesepakatan yang ia buat. Setelah mendapatkan dagangan, barulah mencicil bayaran hasil penjualan dari pemodal yang pertama. Demikian pula seterusnya. Yang mengherankan, setiap orang yang diajak “kerjasama” itu seperti tersihir oleh kata-katanya. Mereka seolah-olah mau saja dan termakan bualan-bualan Akrom.
Dagangan-dagangan itu lantas ia jual kembali ke pasar-pasar tradisional dengan mengambil laba yang besar. Sekitar tigapuluh samapai limapuluh persen dari harga yang ia kulak. Bisnis kotor yang benar-benar menggiurkan. Dorongan untuk memiliki rumah yang megah terus memenuhi otaknya.Sedikit demi sedikit , renovasi mulai dilakukan. Bangunan rumah yang sebelumnya biasa-biasa saja, menjadi lebih mentereng di lingkungan masyarakat setempat.
Sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga. Pemodal menuntut balik Akrom, agar barang dagangan yang sudah dipinjamkan padanya dikembalikan jika tidak bisa melunasi hutangnya. Mereka merasa dirugikan dan ditipu oleh Akrom.Bagaimana tidak. Akrom sudah diberi kemudahan, tapi tidak menepati janji. Kesepakatan selama ini ternyata omong kosong belaka. Hanya hiasan bibir terasa manis didengar, sulit dipraktekan dalam tindakan nyata. Konflik demi konflik terjadi, baik antara dirinya dengan pemodal maupun dengan istrinya sendiri.
“Kang, aku tidak ingin hidup rumah tangga kita terus terusik oleh hal-hal seperti itu. Berhentilah dari pekerjaan itu, Kang ! Kita tidak akan tenang jika terus dikejar oleh para penagih. Kembalikan saja uang mereka, ” istrinya menasehati.
SADAR DARI PERILAKU BURUKNYA
Lelaki itu butuh waktu untuk berpikir dengan kebeningan hatinya. Ia bermaksud meninggalkan jejak-jejak hitamnya. Dan Allah sepertinya menentukan hal lain terhadap jalan hidup Akrom sebelumnya. Ditunjukkan kepadanya nyala-nyala api kebenaran. Lambat laun, Akrom menyadari kekeliruannya meski memerlukan waktu yang cukup lama. Memang, sudah sewajarnya. Sebab bagaimana pun panasnya matahari, toh nanti juga akan berganti dengan dinginya malam, kenapa warna hidup seseorang tidak berubah. Terasa betul, sesuatu telah berubah pada diri Akrom. Kehidupan, suasana, semangat baru. Ia merasa menemukan pegangan bahwa untuk menggapai kejayaan yang hakiki bukanlah dengan menumpuk kekayaan duniawi tetapi kekayaan rohanialah yang lebih penting. Baginya, rezeki adalah dari Allah dan tak perlu ngoyo dengan cara tidak halal untuk mendapatkannya. Walaupun, tidak terlalu besar, asal halal dan bisa mencukupi kebutruhan sehari-hari bagi dirinya dan keluarga, itu sudah cukup .
Sepuluh tahun, Akrom menjalani masa tuanya dengan tenang. Serasa menyadari ajal sewaktu-waktu bisa menjemput manusia, termasuk dirinya. Karena itu , seperti anjuran ulama, ia mempersiapkan semuanya. Saat Ramadhan tiba, waktunya ia habiskan untuk berpuasa, berdzikir, tilawatil qur’an dan qiyam al-lail. Ia tidak ingin menyia-nyiakan momentum ini. Inilah ajang yang paling tepat untuk meraih keutamaan dan mohon pengampunan. Sebagaimana Rasulullah saw bersabda : ” Barang siapa yang puasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, maka diampuni semua dosanya yang terlebih dahulu ” (HR. Bukhari).
Belum usai penebusan dosa yang dilakukan, ruh akrom telah dipanggil Allah Swt, bertepatan dengan tanggal 20 Ramadhan 1423 H malam. Barulah siangnya, jenazah almarhum dikebumikan ditempat kelahirannya di Purworwjo dan sempat terjadi keanehan-keanehan menjelang penguburannya. Semoga amal-amal baiknya diterima disisi Allah. Amin.
Sumber Majalah Hidayah Edisi 40 Bulan November 2004.
2. Jenazah Di Belit Rantai Besi
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah dan jauhilah sisa-sisa riba, jika kamu orang-orang yang beriman. ” (Qs. Al-Baqarah : 278)“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda. Dan bertaqwalah kepada Allah, agar kamu beruntung. ” (Qs. Ali Imran : 130 )
Ayat-ayat diatas merupakan salah satu dari ayat-ayat dalam al-Qur’an yang melarang umat Islam melakukan praktek-praktek ekonomi yang mengandung riba. Oleh karena itu , riba’ diharamkan dalam hukum Islam. Bahkan riba’ dianggap sebagai salah satu dari dosa-dosa besar. Diharamkannya riba ‘ tentu sangat beralasan , karena pada hakekatnya orang-orang yang memakan riba itu seperti orang yang berbuat zholim kepada saudaranya atau orang lain, ibarat mencekik atau membelenggu saudaranya sendiri. Cerita berikut ini merupakan kisah nyata yang terjadi di sebuah kota di Jawa Tengah. Saya mendapat cerita ini dari seorang da’i di Yogyakarta , yaitu Ustadz Drs. H. Muhammad Fathul Hilal. Untuk menjaga nama baik (muru’ah) keluarga tokoh dalam cerita tersebut, penulis terpaksa mengganti namanya dan tidak menyebutkan nama daerahnya.
Sejak lama Suripto dikenal sebagai seorang juragan atau pengusaha batik di kotanya di propinsi Jawa Tengah. Perusahaan batiknya tergolong sebagai perusahaan yang sukses.Buktinya kain batik yang dihasilkan perusahaan miliknya itu tidak hanya dijualnya di kotanya saja, tetapi juga dijualnya ke kota-kota lain, seperti Yogyakarta, Surabaya, Bandung dan Jakarta. Hampir setiap minggu ia menerima banyak pesanan (order) dari kota-kota besar itu yang memintanya mengirimkan kain batik hasil perusahaannya.
Sebagai seorang juragann batik, ia memiliki banyak buruh. Para buruh itu diberikan gaji setiap bulannya dengan gaji yang hanya pas-pasan itu, banyak buruh yang kekurangan. Apalagi untuk buruh yang memiliki banyak anak. Setiap bulannya, ada saja buruh yang kekurangan, karena memiliki banyak keperluan lain diluar kebutuhan pokok mereka seperti biaya kesehatan atau berobat anak-anaknya. Suripto sendiri tahu kalau banyak buruhnya yang hidup kekurangan dari gajinya. Oleh karena itu, ia sendiri menyediakan anggaran khusus yang dipinjam oleh para buruhnya.
Tetapi sayangnya, kebaikan Suripto untuk meminjamkan uang kepada para buruhnya itu, bukanlah sekedar untuk membantu mereka yang membutuhkan pinjaman uang, tetapi justru ia manfaatkan untuk mencari keuntungan dengan cara membungakan uang pinjaman itu. Kepada setiap buruh yang meminjam uangnya, ia meminta bunga sebesar 10 % .Ketentuan adanya bunga yang sebesar itu tidak boleh ditolak jika buruhnya hendak mendapatkan uang pinjaman. Sebenarnya, bunga uang sebesar itu tergolong besar bagi para buruh. Oleh karena itu , banyak para pekerja yang tidak berani meminjam uang dari majikannya jika tidak karena terpaksa.
Mereka lebih memilih mencari pinjaman dari teman-temanya atau saudaranya sendiri yang bisa memberikan pinjaman kepada mereka. Akan tetapi banyak pula buruh yang dengan terpaksa meminjam uang dari Suripto setelah tidak memperoleh pinjaman dari teman-teman atau saudaranya. Para Buruh yang terpaksa meminjam uang dari Suripto. Gaji mereka yang hanya pas-pasan itu tentu membuat mereka kesulitan dalam mengembalikan hutang beserta bunganya yang sebesar itu. Akan tetapi, karena semua itu sudah keputusan dari Suripto, sementara mereka benar-benar membutuhkan uang pinjaman itu, maka mau atau tidak , para buruh terpaksa menyetujuinya.
Sebagai seorang juragan batik, sesungguhnya penghasilan Suripto cukup besar. Ia termasuk orang kaya di kotanya. Rumahnya yang besar juga tergolong rumah yang mewah. Anak-anaknya dapat bersekolah dengan layak. Akan tetapi, kekayaannya itu ternyata tidak membuat Suripto bersyukur. Ia malah semakin bernafsu kepada gelimangnya harta benda. Para pekerja yang selama ini sudah bekerja untuk kemajuan perusahannya, bukannya diberikan kesejahteraan yang layak, malah dibebani dengan bunga, jika mereka berhutang atau meminjam uang.
Tampaknya, Suripto memang sudah gila kepada harta. Harta telah menutup mata hatinya, sehingga di mana pun ia melihat peluang untuk mengambil keuntungan, maka ia akan mengambil kesempatan itu tanpa memandang apakah hal tersebut merugikan orang lain atau tidak. Ia juga seolah tidak perduli halal atau haram, sepanjang mendatangkan keuntungan dan menambah banyak harta kekayaan yang dimilikinya.
Harta kekayaan yang dikumpulkan manusia memang pada akhirnya tidak bisa memberikan kebahagiaan yang abadi, karena pada akhirnya semua manusia akan meninggalkan dunia yang fana ini. Pada saat itu, tidak ada lagi yang dibanggakan manusia dari hartanya. Semuanya tidak ada nilainya dimata Allah swt. Demikian pula yang terjadi pada Suripto. Lelaki itu akhirnya meninggal dunia setelah beberapa hari menderita sakit. Harta yang dikumpulkannya ternyata tidak dapat memperpanjang usianya atau menunda kematiannya. Sebab, usia semua manusia memang sudah ditentukan Allah Swt.
Ketika Suripto meninggal dunia, semua keluarganya, mulai dari anak-anaknya, adik dan kakaknya serta paman dan bibinya, berkumpul dirumahnya. Tidak ketinggalan pula seorang pamanya yang kaya raya, yaitu Santoso. Demikian pula dengan para tetangganya. Mereka berkumpul hendak membantu keluarga Suripto untuk mengurusi jasad Suripto dan mengantarkan penguburannya. Setelah selesai dimandikan, dikafani dan dishalatkan, jenazah Suripto dibawa ketanah pemakaman yang cukup jauh dari rumahnya. Jenazah suripto dibawa dengan iringan kendaraan. Para pengantarnya pun menggunakan dua buah mobil menuju ke tempat pemakaman.
Setelah sampai di tanah pekuburan, jenazah Suripto pun dikeluarkan dari mobil. Santoso, pamannya yang kaya itu ikut menggotong jenazah Suripto bersama dua orang anggota keluarganya yang lain. Mereka membawa jasad Suripto ke lubang kubur yang sudah disiapkan oleh para penggali kubur. Tiga orang penggali kubur sudah berada di dalam lubang kubur. Mereka menyambut jenazah Suripto yang diberikan oleh tiga orang yang membawanya di atas lubang. Orang-orang yang ada di atas kubur memberikan jasad itu kepada para penggali kubur.
Tanpa disadari oleh Santoso, ketika ia memberikan jenazah Suripto kepada para penggali kubur yang berada di dalam lubang kubur, sebuah jam saku terbuat dari emas yang ia letakkan dalam saku bajunya terjatuh kedalam lubang kubur itu. Sebenarnya ia merasakan sesuatu yang bergerak dikantongnya, tetapi ia tidak sadar kalau sesuatu yang bergerak itu adalah jam sakunya yang jatuh ke lubang kubur. Sayangnya, jam saku itu jatuh di belakang kaki para penggali kubur, sehingga penggali kubur itu pun tidak tahu kalau jam saku milik Santoso jatih di belakang kaki mereka.
Setelah jenazah Suripto diletakkan di lubang kuburnya dan ditutupi dengan papan kayu, maka orang-orang yang berada di atas lubang kubur segera menimbun lubang itu dengan pasir.Penggali kubur pun terus melanjutkan kerjanya meimbun lubang kubur itu dengan pasir sampai kubur itu sempurna berbentuk gundukan yang sedikit menjulang ke atas. Seorang ustadz yang memimpin penguburan itu, segera membacakan doa untuk arwah Suripto, dan para pengantar mengamininya.
Setelah semua proses pemakaman itu selesai, para pengantar pun segera bergegas masuk kedalam mobil untuk pulang. Belum sempat mesin mobil dihidupkan , tiba-tiba Santoso merasakan ada sesuatu yang ganjil pada dirinya. Ia berpikir-pikir mencari sesuatu yang kurang. Dilihatnya saku bajunya, ternyata jam saku miliknya sudah tidak ada. Ia mencoba mengingat-ingatnya. Akhirnya ia pun teringat tentang sesuatu yang bergerak di sekitar bajunya ketika sedang memberikan jenazah Suripto kepada para penggali kubur tadi. Ia yakin sesuatu yang bergerak tadi pastilah jam sakunya yang terjatuh. Dengan segera, ia meminta para pengantar untuk turun dari mobil.
“Tolong turun dulu, turun dulu ! ” pinta Santoso.
“Ada apa? ” tanya para pengantar.
“Jam saku saya hilang. Tampaknya tadi terjatuh di dalam kubur, ” jawab Santoso.
Orang-orang di dalam mobil keheranan. Bagaimana mungkin sebuah jam saku terjatuh kedalam lubang kubur tanpa diketahui oleh pemiliknya?
“Bagaimana jam itu bisa jatuh ke dalam lubang kubur? ” tanya seseorang.
“Ketika memasukkan jenazah Suripto tadi, ada sesuatu yang bergerak dari dalam sakuku. Tampaknya itu jam sakuku, ” jawab Santoso.
“Bagaimana mungkin saya tidak tahu , padahal saya ada di dalam lubang kubur tadi? ” tanya seorang penggali kubur .
“Entahlah. Aku sendiri heran, mengapa aku sampai tidak tahu kalau jam sakuku jatuh. Tapi aku yakin, pasti jam itu jatuh di dalam lubang kubur tadi, ” jawab Santoso.
Beberapa orang pengantar segera turun diikuti para pengantar lain. Santoso mendekati Pak Ustadz dan meminta pendapat orang alim itu.
“Bagaimana, Pak Ustadz. Apakah kita boleh menggali kembali kubur itu? tanya Santoso.
“Coba kamu ingat dulu. Barangkali jam itu tidak kamu bawa, ” jawab Pak Ustadz.
“Saya ingat sekali, Pak. Tadi saya masih memegangnya di dalam mobil sebelum menggotong jenazah Suripto, ” jawab Santoso.
“Kalau begitu, coba kita cari di sekitar kubur dulu. Siapa tahu ada di sekitar kubur, bukan di dalam lubang, ” saran Pak Ustadz.
“Iya, Pak ” jawab Santoso sambil bergegas ke arah kubur mencari jam sakunya. Para pengantar yang lain ikut membantu mencari jam saku Santoso. Mereka mencari secara berpencar di sekitar lokasi antara mobil dan kubur Suripto yang baru itu. Sedtelah beberapa lamatidak ada seorang pun yang menemukan jam itu, maka dengan terpaksa mereka menggali kembali kubur Suripto. Tiga orang penggali kubur menggali kubur itu dengan pacul. Sementara yang lainnya melihat dari pinggir kubur.
Belum sampai galian itu mencapai potongan bambu, para penggali kubur itu dikejutkan oleh jenazah Suripto yang sudah berada di luar lubang yang ditutupi batang bambu. Anehnya lagi, jenazah itu tidak lagi terbujur atau terbaring melainkan duduk bersandar di dinding kubur. Batang-batang bambu yangt mestinya menutupi jasad, sudah berserakan dan tidak lagi berada ditempatnya. Dari semua keanehan itu, yang paling aneh adalah seluruh bagian dari jenazah Suripto yang terbalut kain kafan itu dililit atau dibelit rantai besi. rantai-rantai besi yang membelit jenazah Suripto itu cukup besar ukurannya.Rantai itu membelit jenazah Suripto dengan kencangnya, sehingga jika seandainya jenazah itu hidup pun, pasti jenazah itu tidak bisa bergerak meskipun hanya sedikit.
Para pengantar merasa heran menyaksikan kejadian tersebut. Beberapa keluarga Sucipto tidak mampu menahan sedihnya melihat jenazah saudaranya mendapatkan kemalangan seperti itu. Tiga orang yang menggali kubur merasa takut. Bahkan beberapa pengantar sudah ada yang lari ke dalam mobil karena ketakutan.Suasana jadi gaduh.
Santoso menenangkan orang-orang yang ada di sekitar lokasi kubur. Ia meminta beberapa orang menemaninya mencari jam sakunya yang jatuh. Dua orang segera menemaninya turun ke lubang kubur. Seseorang diantara mereka menginjak jam saku yang mereka cari. Lelaki itu segera mengambilnya.
“Ini dia! ” ucapa lelaki itu menunjukkan jam saku yang baru ditemukannnya kepada Santoso.
“Terima kasih. ” jawab Santoso sambil melompat ke atas lubang kubur diikuti dua orang yang lain. Sesampainya di atas lubang, Santoso langsung mendekati Pak Ustadz. Mereka tampak berdiskusi beberapa saat. Lalu Pak ustadz segera mendatangi para pengantar yang lain.
“Sekarang, kita kubur lagi. Saya minta kita semua mendo’akan arwah saudara kita ini. Mudah-mudahan dengan do’a kita, segala dosa dan kesalahan yang pernah dibuatnya dapat diampuni , sehingga arwahnya terbebas dari azab Allah Swt, ” ujar Ustadz kepada para pengantar. Akhirnya, lubang kubur itu ditimbun kembali dan jazad Sucipto dibiarkan terduduk dan terbelit rantai besi. Stelah timbunan kubur sudah selesai dengan sempurna, maka Pak Ustadz kembali memimpin doa yang diamini dengan rasa haru dan sedih oleh saudara Sucipto dan para pengantarnya.
Demikianlah hukuman yang akhirnya harus diterima oleh Suripto karena suka memakan riba selama hidupnya.Semoga, dengan kisah nyata ini bisa memberikan iktibar atau pelajaran bagi kehidupan kita.
Sumber Majalah Hidayah Nomor 2 Edisi November 2002
3. Bila Kamu Sakit, Maka Dia-lah Yang Maha Menyembuhkan
Masih terlintas di benakku saat aku baru berusia empat belas tahun. Ketika itu, aku selalu mencari-cari kesempatan dan menjauh dari pandangan mata orang, kenapa? Yah, agar aku dapat menenggak khamar dan menikmatinya hingga teler.
Beberapa tahunpun aku lalui dalam kondisi yang mengenaskan itu. Kini aku sudah tua dan mencapai usia empat puluh tahun. Pada suatu hari, aku merasa sangat letih sekali dan sepertinya penyakit telah menggerogotiku dari seluruh tubuh akibat minuman yang laknat itu, dedengkotnya semua barang busuk.
Aku pergi mendatangi seorang dokter untuk memeriksakan kesehatan. Ketika itu, aku sudah tidak lagi minum-minum seperti dulu. Aku telah bertaubat sejak beberapa waktu yang lalu. Ketika sang dokter melihatku dan mengetahui apa yang terjadi terhadap diriku, dia berkata,
“Tidak ada obatnya, kecuali mengkonsumsi barang yang dulu pernah engkau konsumsi.!”
Aku memandanginya sementara letupan emosi mulai menggambar di wajahku. Namun aku ingat betapa kasih sayang Allah terhadap para hamba-Nya, karenanya aku berkata kepadanya,
“Tidak mungkin, pasti ada obatnya!!!.”
Dokter itu berdiri dari tempat duduknya karena tercengang dengan ucapanku. Kemudian dia meninggalkanku dan tidak memberikan sepatah jawaban pun.
Akhirnya aku keluar dari situ sementara di dalam diriku telah berjanji kepada Allah untuk bertaubat dengan sebenar-benarnya dan kembali kepada-Nya.
Aku tidak berfikir yang lain-lainnya selain harus pergi ke Masjid al-Haram, di Mekkah.
Aku mengenakan pakaian ihram dan ketika itu waktu zhuhur. Aku himpun semua kekuatan dengan tekad yang bulat menuju kota Mekkah –semoga Allah memuliakannya-. Beberapa rekanku mengkhawatirkan kondisiku dan lisan mereka menunjukkan keanehan.
Dengan mengendarai mobil, aku menuju ke tempat tujuanku. Perjalanan berlangsung selama tiga malam hingga akhirnya aku tiba di masjid al-Haram. Aku kemudian melakukan thawaf dan berdoa kepada Allah agar menyembuhkan penyakitku, kemudian aku meminum air Zam-Zam sembari berkata,
“Ya Allah, Engkau perkenankan aku sembuh atau Engkau panggil aku ke hadlirat-Mu!.”
Tatkala aku meminumnya hingga kenyang, aku merasa rongga mulutku bergetar dan seluruh tubuhku bergoncang-goncang. Setelah itu, aku merasa perlu untuk mengosongkan apa yang ada di dalam perutku. Lalu aku ke luar menuju pintu Masjid al-Haram. Ternyata, beberapa bongkah darah keluar dari rongga mulutku. Ketika sudah berhenti, aku merasakan seakan-akan aku baru dilahirkan kembali. Hal ini membuat imanku kepada rahmat Allah semakin bertambah. Aku kembali ke tempat sumur Zam-Zam dan meminumnya lagi hingga kenyang. Setelah itu, aku merasakan rongga mulutku bergetar kembali dan secepatnya aku keluar menuju pintu al-Haram. Ternyata beberapa bongkah darah keluar lagi, demikianlah hingga terjadi sebanyak tiga kali. Kemudian aku merasakan perlunya untuk mengendurkan otot, beristirahat dan tidur. Begitulah yang terjadi, aku menginap di Masjid al-Haram selama tiga hari, tidak minum selain air Zam-Zam. Kemudian setelah itu, aku pulang ke Madinah, tempat kediamanku.
Aku kembali menemui dokter itu untuk check up. Begitu dia memeriksaku, tiba-tiba tangannya bergetar lalu membelalakkan kedua matanya lebar-lebar kepadaku sembari berkata dengan terserak, “Wahai Fulan, sungguh Allah telah memberimu karunia-Nya.”
Yah, Allah berfirman, “Allah menentukan rahmat-Nya (kenabian) kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Q.s.,Âli’Imrân:74)
(SUMBER: Qashash Wa Mawâqif Dzât ‘Ibar, disusun oleh ‘Adil bin Muhammad Ali ‘Abdul ‘Aliy, h.47-49)
Beberapa tahunpun aku lalui dalam kondisi yang mengenaskan itu. Kini aku sudah tua dan mencapai usia empat puluh tahun. Pada suatu hari, aku merasa sangat letih sekali dan sepertinya penyakit telah menggerogotiku dari seluruh tubuh akibat minuman yang laknat itu, dedengkotnya semua barang busuk.
Aku pergi mendatangi seorang dokter untuk memeriksakan kesehatan. Ketika itu, aku sudah tidak lagi minum-minum seperti dulu. Aku telah bertaubat sejak beberapa waktu yang lalu. Ketika sang dokter melihatku dan mengetahui apa yang terjadi terhadap diriku, dia berkata,
“Tidak ada obatnya, kecuali mengkonsumsi barang yang dulu pernah engkau konsumsi.!”
Aku memandanginya sementara letupan emosi mulai menggambar di wajahku. Namun aku ingat betapa kasih sayang Allah terhadap para hamba-Nya, karenanya aku berkata kepadanya,
“Tidak mungkin, pasti ada obatnya!!!.”
Dokter itu berdiri dari tempat duduknya karena tercengang dengan ucapanku. Kemudian dia meninggalkanku dan tidak memberikan sepatah jawaban pun.
Akhirnya aku keluar dari situ sementara di dalam diriku telah berjanji kepada Allah untuk bertaubat dengan sebenar-benarnya dan kembali kepada-Nya.
Aku tidak berfikir yang lain-lainnya selain harus pergi ke Masjid al-Haram, di Mekkah.
Aku mengenakan pakaian ihram dan ketika itu waktu zhuhur. Aku himpun semua kekuatan dengan tekad yang bulat menuju kota Mekkah –semoga Allah memuliakannya-. Beberapa rekanku mengkhawatirkan kondisiku dan lisan mereka menunjukkan keanehan.
Dengan mengendarai mobil, aku menuju ke tempat tujuanku. Perjalanan berlangsung selama tiga malam hingga akhirnya aku tiba di masjid al-Haram. Aku kemudian melakukan thawaf dan berdoa kepada Allah agar menyembuhkan penyakitku, kemudian aku meminum air Zam-Zam sembari berkata,
“Ya Allah, Engkau perkenankan aku sembuh atau Engkau panggil aku ke hadlirat-Mu!.”
Tatkala aku meminumnya hingga kenyang, aku merasa rongga mulutku bergetar dan seluruh tubuhku bergoncang-goncang. Setelah itu, aku merasa perlu untuk mengosongkan apa yang ada di dalam perutku. Lalu aku ke luar menuju pintu Masjid al-Haram. Ternyata, beberapa bongkah darah keluar dari rongga mulutku. Ketika sudah berhenti, aku merasakan seakan-akan aku baru dilahirkan kembali. Hal ini membuat imanku kepada rahmat Allah semakin bertambah. Aku kembali ke tempat sumur Zam-Zam dan meminumnya lagi hingga kenyang. Setelah itu, aku merasakan rongga mulutku bergetar kembali dan secepatnya aku keluar menuju pintu al-Haram. Ternyata beberapa bongkah darah keluar lagi, demikianlah hingga terjadi sebanyak tiga kali. Kemudian aku merasakan perlunya untuk mengendurkan otot, beristirahat dan tidur. Begitulah yang terjadi, aku menginap di Masjid al-Haram selama tiga hari, tidak minum selain air Zam-Zam. Kemudian setelah itu, aku pulang ke Madinah, tempat kediamanku.
Aku kembali menemui dokter itu untuk check up. Begitu dia memeriksaku, tiba-tiba tangannya bergetar lalu membelalakkan kedua matanya lebar-lebar kepadaku sembari berkata dengan terserak, “Wahai Fulan, sungguh Allah telah memberimu karunia-Nya.”
Yah, Allah berfirman, “Allah menentukan rahmat-Nya (kenabian) kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Q.s.,Âli’Imrân:74)
(SUMBER: Qashash Wa Mawâqif Dzât ‘Ibar, disusun oleh ‘Adil bin Muhammad Ali ‘Abdul ‘Aliy, h.47-49)
4. Balasan Sesuai Dengan Perbuatan
Salah seorang pemuda mengisahkan cerita dirinya yang dapat dikata ‘aneh tapi nyata’. Cerita ini menyangkut setiap anak yang menyia-nyiakan hak orangtuanya dan setiap orangtua yang hanya mendapatkan kedurhakaan dari anak-anaknya.
Pemuda ini bertutur,
“Aku tidak tahu darimana harus memulai cerita yang mengenaskan dan sekarang aku alami ini sementara usiaku sekarang sudah mencapai 70 tahun. Apakah zaman kembali terulang bersamaku sehingga ibarat senjata makan tuan berbalik kepada diriku dan aku meneguk air dalam cangkir yang dulu pernah aku suguhkan kepada ibundaku saat aku masih muda?. Agar anda memahami kisahku ini, baiklah kiranya aku ajak anda kembali ke masa 50 tahunan yang lalu. Ketika itu, aku terpukul karena ayahandaku yang seorang Bisnisman kaya meninggal dunia. Karena aku merupakan anak tunggal, maka semua harta peninggalannya beralih ke tanganku; uang sekian banyak, emas dan tiga kios dagang yang menjual model furniture yang paling baik.
Ibundaku –rahimahallah- kala itu menyetujui peralihan kekayaan ayahku ke tanganku karena beliau seorang yang amat zuhud terhadap gemerlap dunia. Yang diperlukannya hanyalah sedikit makanan dan minuman yang dapat menyumbal perutnya. Aku hidup bersama ibundaku itu untuk beberapa masa hingga akhirnya beliau memilihkan seorang isteri untukku dari kalangan kerabatku sendiri. Pada awal mulanya, aku merasakan betapa baik dan mulia akhlaknya akan tetapi nampaknya ibundaku tersebut tidak menyadari bahwa di balik sikap baiknya yang berlebih-lebihan itu terdapat rencana jahat dan kebusukan di dalam hatinya. Maka, begitu anak pertamaku lahir, dia sudah menuntut agar dibelikan rumah tersendiri buat kami, jauh dari ibundaku. Alasannya, dia ingin bisa lebih bebas di dalam mengatur kehidupannya sehingga bisa menjadi ibu rumah tangga di rumahnya sendiri.
Pada mulanya, aku berusaha menentang keinginan itu namun dia tetap ngotot dengan klaim bahwa ibundaku selalu ikut campur dalam urusan pribadinya sehingga akhirnya aku setuju untuk membangun rumah baru buat kami, jauh beberapa mil dari rumah ibundaku. Ketika itu, aku tidak menggubris keberatan ibundaku yang sudah tua renta dan dengan memelas menyatakan bahwa dirinya butuh sekali orang yang bisa merawat dan melayani keperluannya serta secara kontinyu bersamanya di rumah. Aku malah menuruti saja keinginan isteriku agar bisa mandiri di rumahnya.
Pada awal-awal perpindahanku, aku rajin mengunjungi ibundaku itu tiap pekan guna membelikan keperluan makan dan minumnya namun di bawah tekanan isteriku dan kengototannya, aku akhirnya mengurangi frekuensi kunjunganku itu menjadi sebulan sekali saja mengingat jarak yang cukup jauh antara rumah baru kami dan rumah ibundaku, disamping waktu itu alat transportasi cepat belum ada, yang ada hanya onta dan tunggangan lainnya.
Rupanya ibundaku menderita sakit parah. Maka, waktu itu aku tawarkan kepada isteriku akan pentingnya kami kembali pulang dan hidup bersama ibunda lagi guna menyiapkan makanan untuknya dan mengontrol perawatan medisnya. Ternyata dia menolaknya dengan alasan bahwa dia bukan pembantu ibundaku ataupun alasan lainnya. Demikianlah, sehingga aku kembali tidak menggubris lagi keinginan dan keluhan ibundaku agar kami tetap tinggal bersamanya. Aku hanya cukup dengan menitip pesan kepada para tetangganya agar memperhatikan kondisinya. Dan pada beberapa hari berikutnya, telah sampai berita kepadaku dari salah seorang tentangga ibundaku bahwa ibundaku itu telah wafat.
Setelah itu, hari demi hari dan tahun demi tahun pun berlangsung tanpa terasa sehingga kejadian yang menimpa ibundaku itu seolah terlupakan dan aku meneruskan kehidupan keluargaku bersama isteriku dan anakku dengan bahagia. Namun setelah wafatnya isteriku dua tahun lalu, aku kembali merasakan kesendirian.
Aku kemudian berterus terang kepada kedua anakku agar mengizinkanku menikah lagi dengan wanita lain, namun keduanya menolak. Sekalipun penolakan mereka itu, aku tetap bertekad ingin menikah namun betapa kagetnya aku dengan perubahan sikap keduanya terhadapku. Perubahan sikap yang tidak pernah terbayang di benakku. Aku rupanya sudah lupa bahwa diriku telah menyerahkan pengurusan manajemen dan pengelolaan yayasan yang aku miliki dalam hidupku itu kepada keduanya. Begitu melihat perubahan sikap keduanya tersebut, aku mengancam akan mencabut perwakilan yang telah aku serahkan kepada mereka, namun lagi-lagi aku dikagetkan dengan sikap keduanya yang malah semakin tidak baik terhadapku bahkan sampai kepada batas memutus hubungan denganku dan tidak lagi mengirimkan sejumlah uang yang biasanya cukup untuk menghidupi kebutuhanku sehari-hari sebagaimana yang mereka lakukan sebelum itu.
Setiap kali aku mengingat apa yang dulu pernah aku lakukan terhadap ibundaku, berlinanglah air mataku. Kejadian yang mengenaskan di dalam kehidupanku yang dulu pernah aku lakukan terhadap ibundaku, kini terulang kembali dan menimpa diriku. Aku takut bila di saat kematianku sama dengan kondisi ibundaku dulu, tanpa kehadiran anak-anakku di sisiku. Yang aku harapkan sekarang hanyalah keluasan rahmat Allah padaku dan ampunan-Nya terhadap dosa-dosaku sehingga aku tidak mati dalam kesendirian sebagaimana yang terjadi terhadap ibundaku dulu…”
(SUMBER: Qashash Wa Mawâqif Dzât ‘Ibar, disusun oleh ‘Adil bin Muhammad ‘Ali ‘Abdil ‘Aly, h.37-40, sebagai dinukil dari Harian ‘Okâzh, Vol.31)
Pemuda ini bertutur,
“Aku tidak tahu darimana harus memulai cerita yang mengenaskan dan sekarang aku alami ini sementara usiaku sekarang sudah mencapai 70 tahun. Apakah zaman kembali terulang bersamaku sehingga ibarat senjata makan tuan berbalik kepada diriku dan aku meneguk air dalam cangkir yang dulu pernah aku suguhkan kepada ibundaku saat aku masih muda?. Agar anda memahami kisahku ini, baiklah kiranya aku ajak anda kembali ke masa 50 tahunan yang lalu. Ketika itu, aku terpukul karena ayahandaku yang seorang Bisnisman kaya meninggal dunia. Karena aku merupakan anak tunggal, maka semua harta peninggalannya beralih ke tanganku; uang sekian banyak, emas dan tiga kios dagang yang menjual model furniture yang paling baik.
Ibundaku –rahimahallah- kala itu menyetujui peralihan kekayaan ayahku ke tanganku karena beliau seorang yang amat zuhud terhadap gemerlap dunia. Yang diperlukannya hanyalah sedikit makanan dan minuman yang dapat menyumbal perutnya. Aku hidup bersama ibundaku itu untuk beberapa masa hingga akhirnya beliau memilihkan seorang isteri untukku dari kalangan kerabatku sendiri. Pada awal mulanya, aku merasakan betapa baik dan mulia akhlaknya akan tetapi nampaknya ibundaku tersebut tidak menyadari bahwa di balik sikap baiknya yang berlebih-lebihan itu terdapat rencana jahat dan kebusukan di dalam hatinya. Maka, begitu anak pertamaku lahir, dia sudah menuntut agar dibelikan rumah tersendiri buat kami, jauh dari ibundaku. Alasannya, dia ingin bisa lebih bebas di dalam mengatur kehidupannya sehingga bisa menjadi ibu rumah tangga di rumahnya sendiri.
Pada mulanya, aku berusaha menentang keinginan itu namun dia tetap ngotot dengan klaim bahwa ibundaku selalu ikut campur dalam urusan pribadinya sehingga akhirnya aku setuju untuk membangun rumah baru buat kami, jauh beberapa mil dari rumah ibundaku. Ketika itu, aku tidak menggubris keberatan ibundaku yang sudah tua renta dan dengan memelas menyatakan bahwa dirinya butuh sekali orang yang bisa merawat dan melayani keperluannya serta secara kontinyu bersamanya di rumah. Aku malah menuruti saja keinginan isteriku agar bisa mandiri di rumahnya.
Pada awal-awal perpindahanku, aku rajin mengunjungi ibundaku itu tiap pekan guna membelikan keperluan makan dan minumnya namun di bawah tekanan isteriku dan kengototannya, aku akhirnya mengurangi frekuensi kunjunganku itu menjadi sebulan sekali saja mengingat jarak yang cukup jauh antara rumah baru kami dan rumah ibundaku, disamping waktu itu alat transportasi cepat belum ada, yang ada hanya onta dan tunggangan lainnya.
Rupanya ibundaku menderita sakit parah. Maka, waktu itu aku tawarkan kepada isteriku akan pentingnya kami kembali pulang dan hidup bersama ibunda lagi guna menyiapkan makanan untuknya dan mengontrol perawatan medisnya. Ternyata dia menolaknya dengan alasan bahwa dia bukan pembantu ibundaku ataupun alasan lainnya. Demikianlah, sehingga aku kembali tidak menggubris lagi keinginan dan keluhan ibundaku agar kami tetap tinggal bersamanya. Aku hanya cukup dengan menitip pesan kepada para tetangganya agar memperhatikan kondisinya. Dan pada beberapa hari berikutnya, telah sampai berita kepadaku dari salah seorang tentangga ibundaku bahwa ibundaku itu telah wafat.
Setelah itu, hari demi hari dan tahun demi tahun pun berlangsung tanpa terasa sehingga kejadian yang menimpa ibundaku itu seolah terlupakan dan aku meneruskan kehidupan keluargaku bersama isteriku dan anakku dengan bahagia. Namun setelah wafatnya isteriku dua tahun lalu, aku kembali merasakan kesendirian.
Aku kemudian berterus terang kepada kedua anakku agar mengizinkanku menikah lagi dengan wanita lain, namun keduanya menolak. Sekalipun penolakan mereka itu, aku tetap bertekad ingin menikah namun betapa kagetnya aku dengan perubahan sikap keduanya terhadapku. Perubahan sikap yang tidak pernah terbayang di benakku. Aku rupanya sudah lupa bahwa diriku telah menyerahkan pengurusan manajemen dan pengelolaan yayasan yang aku miliki dalam hidupku itu kepada keduanya. Begitu melihat perubahan sikap keduanya tersebut, aku mengancam akan mencabut perwakilan yang telah aku serahkan kepada mereka, namun lagi-lagi aku dikagetkan dengan sikap keduanya yang malah semakin tidak baik terhadapku bahkan sampai kepada batas memutus hubungan denganku dan tidak lagi mengirimkan sejumlah uang yang biasanya cukup untuk menghidupi kebutuhanku sehari-hari sebagaimana yang mereka lakukan sebelum itu.
Setiap kali aku mengingat apa yang dulu pernah aku lakukan terhadap ibundaku, berlinanglah air mataku. Kejadian yang mengenaskan di dalam kehidupanku yang dulu pernah aku lakukan terhadap ibundaku, kini terulang kembali dan menimpa diriku. Aku takut bila di saat kematianku sama dengan kondisi ibundaku dulu, tanpa kehadiran anak-anakku di sisiku. Yang aku harapkan sekarang hanyalah keluasan rahmat Allah padaku dan ampunan-Nya terhadap dosa-dosaku sehingga aku tidak mati dalam kesendirian sebagaimana yang terjadi terhadap ibundaku dulu…”
(SUMBER: Qashash Wa Mawâqif Dzât ‘Ibar, disusun oleh ‘Adil bin Muhammad ‘Ali ‘Abdil ‘Aly, h.37-40, sebagai dinukil dari Harian ‘Okâzh, Vol.31)
5. Penyakit Terkutuk Menyingkap ‘Aibku
Aku tidak tahu harus memulai rincian musibah yang menimpaku ini dari mana; apakah dari sejak aku kecil ketika aku dimanja kedua orangtuaku yang membelikan apa saja yang aku maui tanpa menolaknya sama sekali atau dari sejak aku sia-siakan seorang wanita yang begitu ikhlash akibat kebodohanku dan anakku yang hingga sekarang belum pernah aku lihat?.Yah, musibah yang memiliki banyak aspek dan memerlukan rincian-rincian yang aku akan berusaha untuk meringkasnya dalam lembaran yang singkat sehingga orang lain dapat menjadikannya sebagai pelajaran dan tidak terjerumus ke dalam jebakan-jebakan yang telah merenggut kebahagiaanku dan mewariskan kesengsaraan dan kesialan serta menjadikan air mata tak henti-hentinya menetes ke pipiku…Cukuplah yang aku rasakan sekarang bahwa Rabbku tidak ridla terhadapku.
Aku hidup di bawah naungan keluarga yang demikian kaya. Sejak lulus dari SMP, kedua orangtuaku telah menghadiahkanku sebuah mobil baru. Dari sinilah aku belajar mengemudikan beberapa model mobil dan sering sekali melakukan balap dengan teman-temanku dan memenangkannya. Balapan itu kami lakukan di jalan-jalan raya dekat rencana pembangunan komplek baru. Setelah berhasil menyelesaikan kesarjanaan (S1), aku jadi sering menemani ayahku di dalam beberapa perjalanannya ke luar negeri untuk mengimpor suku cadang buat perusahaan yang dimilikinya. Ketika itu, aku selalu menghabiskan waktuku jauh dari pengamatan ayahku yang sibuk mengadakan beberapa kontrak dan meneken tender.
Pada suatu hari, ayahku memergokiku sedang menggandeng salah seorang wanita bule namun dia sama sekali tidak mengusikku akan tetapi setelah aku selesai melakukan affair dengan wanita itu, barulah dia menyampaikan keinginannya untuk menikahkanku dengan seorang wanita dari kalangan kerabat kami tanpa menyebutkan rincian sebab-sebab yang melatarbelakanginya karena tidak mau terganggu dengan tetek bengek lainnya. Aku pun menyetujui usulannya itu setelah mengetahui bahwa calon isteri yang dipilihkannya untukku itu memenuhi semua kriteria calon isteri yang aku idam-idamkan. Maka, dilaksanakanlah resepsi pernikahan secepatnya guna memenuhi keinginan ayahku itu. Selama masa berumahtangga dengan isiteriku itu, aku merasakan betapa dia seorang wanita yang cerdik sehingga menambah kecintaanku terhadapnya.
Selama setahun penuh, kehidupan di antara kami berlangsung dengan bahagia dan tenteram.
Kebahagiaanku semakin bertambah manakala isteriku menyampaikan berita gembira bahwa dia sudah hamil. Bersamaan dengan itu, ayahku mengalami sakit yang sangat serius sehingga harus terus terbujur di pembaringan. Akhirnya, aku harus bepergian ke luar negeri sendirian untuk mengadakan beberapa kontrak dan tender mewakilinya mengingat aku adalah anak tunggalnya.
Sekalipun kecintaanku begitu besar terhadap isteriku, namun kehidupan yang demikian bebas di sana (luar negeri) membuatku demikian tergoda sehingga menyebabkanku terjerumus kembali ke lubang maksiat dan melakukan affair dengan wanita-wanitanya. Dalam pada itu, aku tetap memberikan nafkah untuk isteriku dari jatah uang yang cukup besar yang telah dikhususkan oleh ayahku untukku dalam beberapa perjalanan tersebut.
Pada suatu hari, aku sangat kaget atas kemunculan bercak-bercak aneh di tubuhku. Ketika aku berkonsultasi dengan salah seorang dokter, dia memberitahukan bahwa aku mengidap penyakit ‘Hervest’. Dia menyebutkan beberapa obat untuk penyembuhannya disamping menyampaikan juga bahwa anggota badan yang terkena penyakit ini tidak akan segera hilang dalam beberapa hari tetapi perlu secara intensif berada dalam perawatan selama beberapa bulan.
Lalu aku pergi ke dokter-dokter lainnya di sana dengan maksud agar masalahku ini tidak terbongkar di tengah keluargaku dan di hadapan isteriku namun hasilnya tetap nihil. Menghadapi cobaan itu, tidak ada lagi jalan bagiku kecuali harus pulang ke negeriku dan berdusta kepada semua orang bahwa yang aku idap adalah penyakit kulit akibat sangat sensitif terhadap makanan-makanan Eropa.
Untuk beberapa waktu, isteriku tidak curiga terhadap kebohonganku itu karena dia begitu percaya dengan prilakuku akan tetapi dia memperhatikan diriku selalu menghindar bila bersentuhan dengannya atau tidur di sampingnya. Dan ketika dia berkonsultasi dengan salah seorang kerabatnya yang bekerja sebagai dokter, dia menginformasikan berita sebenarnya yang teramat menyakitkan. Dan begitu dia menghadapku guna mengklarifikasi apa yang telah didengarnya dari kerabatnya tersebut, aku tidak memiliki alasan lagi selain mengakui kesalahan yang telah aku perbuat. Di sinilah, isteriku menumpahkan kekesalannya dengan menangis dan bersumpah dengan sumpah yang keras akan meninggalkan rumahku tanpa menggubris permohonan dan permintaanku agar dia tidak menyingkap aib ini kepada anggota keluarga yang lain.
Demikianlah, prilaku menyimpangku itu akhirnya sampai juga ke keluargakku dan semakin bertambah lagi derita yang aku alami manakala aku harus menjadi tahanan di balik dinding salah satu kamar rumahku untuk masa lima bulan ke depan agar tidak ada seorangpun yang menyaksikan benjolan-benjolan yang menyebar di seluruh anggota tubuhku yang kemudian akan meniggalkan bekas di kulitku. Dan setelah Allah menyembuhkanku, ayahku meminta agar aku menceraikan isteriku itu karena dia menolak mentah-mentah untuk hidup kembali bersamaku sekalipun dia telah melahirkan keturunan dariku. Demikian pula, ayahku telah mencabut perwakilan yang telah diserahkannya kepadaku terkait dengan urusan kontrak dan tender bisnis dan menyampaikan kepadaku tekadnya untuk memutus hubungan denganku dan tidak lagi memberikan uang jajan untukku.
Begitulah, aku sekarang hidup sendirian dengan perasaan sedih, tidak seorangpun yang mau menyapaku, seorang tahanan empat dinding rumahku. Setiap kali aku teringat dengan anakku yang belum pernah aku lihat wajahnya, berlinanganlah air mataku karena menyesal dan menyayangkan kejahatan yang telah aku lakukan sendiri terhadap diriku sehingga terjerumus ke dalam jebakan-jebakan yang aku tidak tahu kapan akan berakhir. Semua apa yang aku harapkan sekarang hanyalah ampunan Allah atas segala dosa-dosaku sebab rahmat nya sangat luas dan diatas segala sesuatu.
(SUMBER: Qashash Wa Mawâqif Dzât ‘Ibar, disusun oleh ‘Adil bin Muhammad Ali ‘Abdul ‘Aliy, h.21-24, sebagai dinukil dari Harian ‘Okâzh, Vol.30)
6. Tujuh kali naik Haji tidak bisa melihat Ka’bah
Sebagai seorang anak yang berbakti kepada orang tuanya, Hasan (bukan nama sebenarnya), mengajak ibunya untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.
Sarah (juga bukan nama sebenarnya), sang Ibu, tentu senang dengan ajakan anaknya itu. Sebagai muslim yang mampu secara materi, mereka memang berkewajiban menunaikan ibadah Haji.
Segala perlengkapan sudah disiapkan. Singkatnya ibu anak-anak ini akhirnya berangkat ke tanah suci. Kondisi keduanya sehat wal afiat, tak kurang satu apapun. Tiba harinya mereka melakukan thawaf dengan hati dan niat ikhlas menyeru panggilan Allah, Tuhan Semesta Alam. “Labaik allahuma labaik, aku datang memenuhi seruanMu ya Allah”.
Hasan menggandeng ibunya dan berbisik, “Ummi undzur ila Ka’bah (Bu, lihatlah Ka’bah).” Hasan menunjuk kepada bangunan empat persegi berwarna hitam itu. Ibunya yang berjalan di sisi anaknya tak beraksi, ia terdiam. Perempuan itu sama sekali tidak melihat apa yang ditunjukkan oleh anaknya.
Hasan kembali membisiki ibunya. Ia tampak bingung melihat raut wajah ibunya. Di wajah ibunya tampak kebingungan. Ibunya sendiri tak mengerti mengapa ia tak bisa melihat apapun selain kegelapan. beberapakali ia mengusap-usap matanya, tetapi kembali yang tampak hanyalah kegelapan.
Padahal, tak ada masalah dengan kesehatan matanya. Beberapa menit yang lalu ia masih melihat segalanya dengan jelas, tapi mengapa memasuki Masjidil Haram segalanya menjadi gelap gulita. Tujuh kali Haji Anak yang sholeh itu bersimpuh di hadapan Allah. Ia shalat memohon ampunan-Nya. Hati Hasan begitu sedih. Siapapun yang datang ke Baitullah, mengharap rahmatNYA. Terasa hampa menjadi tamu Allah, tanpa menyaksikan segala kebesaran-Nya, tanpa merasakan kuasa-Nya dan juga rahmat-Nya.
Hasan tidak berkecil hati, mungkin dengan ibadah dan taubatnya yang sungguh-sungguh, Ibundanya akan dapat merasakan anugrah-Nya, dengan menatap Ka’bah, kelak. Anak yang saleh itu berniat akan kmebali membawa ibunya berhaji tahun depan. Ternyata nasib baik belum berpihak kepadanya.
Tahun berikutnya kejadian serupa terulang lagi. Ibunya kembali dibutakan di dekat Ka’bah, sehingga tak dapat menyaksikan bangunan yang merupakan symbol persatuan umat Islam itu. Wanita itu tidak bisa melihat Ka’bah.
Hasan tidak patah arang. Ia kembali membawa ibunya ke tanah suci tahun berikutnya.
Anehnya, ibunya tetap saja tak dapat melihat Ka’bah. Setiap berada di Masjidil Haram, yang tampak di matanya hanyalah gelap dan gelap. Begitulah keganjilan yang terjadi pada diri Sarah. hingga kejadian itu berulang sampai tujuh kali menunaikan ibadah haji.
Hasan tak habis pikir, ia tak mengerti, apa yang menyebabkan ibunya menjadi buta di depan Ka’bah. Padahal, setiap berada jauh dari Ka’bah, penglihatannya selalu normal. Ia bertanya-tanya, apakah ibunya punya kesalahan sehingga mendapat azab dari Allah SWT ?. Apa yang telah diperbuat ibunya, sehingga mendapat musibah seperti itu ? Segala pertanyaan berkecamuk dalam dirinya. Akhirnya diputuskannya untuk mencari seorang alim ulama, yang dapat membantu permasalahannya.
Beberapa saat kemudian ia mendengar ada seorang ulama yang terkenal karena kesholehannya dan kebaikannya di Abu Dhabi (Uni Emirat). Tanpa kesulitan berarti, Hasan dapat bertemu dengan ulama yang dimaksud.
Ia pun mengutarakan masalah kepada ulama yang saleh ini. Ulama itu mendengarkan dengan seksama, kemudian meminta agar Ibu dari hasan mau menelponnya. anak yang berbakti ini pun pulang. Setibanya di tanah kelahirannya, ia meminta ibunya untuk menghubungi ulama di Abu Dhabi tersebut. Beruntung, sang Ibu mau memenuhi permintaan anaknya. Ia pun mau menelpon ulama itu, dan menceritakan kembali peristiwa yang dialaminya di tanah suci. Ulama itu kemudian meminta Sarah introspeksi, mengingat kembali, mungkin ada perbuatan atau peristiwa yang terjadi padanya di masa lalu, sehingga ia tidak mendapat rahmat Allah. Sarah diminta untuk bersikap terbuka, mengatakan dengan jujur, apa yang telah dilakukannya.
“Anda harus berterus terang kepada saya, karena masalah Anda bukan masalah sepele,” kata ulama itu pada Sarah.
Sarah terdiam sejenak. Kemudian ia meminta waktu untuk memikirkannya. Tujuh hari berlalu, akan tetapi ulama itu tidak mendapat kabar dari Sarah. Pada minggu kedua setelah percakapan pertama mereka, akhirnya Sarah menelpon. “Ustad, waktu masih muda, saya bekerja sebagai perawat di rumah sakit,” cerita Sarah akhirnya. “Oh, bagus…..Pekerjaan perawat adalah pekerjaan mulia,” potong ulama itu. “Tapi saya mencari uang sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara, tidak peduli, apakah cara saya itu halal atau haram,” ungkapnya terus terang. Ulama itu terperangah. Ia tidak menyangka wanita itu akan berkata demikian.
“Disana….” sambung Sarah, “Saya sering kali menukar bayi, karena tidak semua ibu senang dengan bayi yang telah dilahirkan. Kalau ada yang menginginkan anak laki-laki, padahal bayi yang dilahirkannya perempuan, dengan imbalan uang, saya tukar bayi-bayi itu sesuai dengan keinginan mereka.”
Ulama tersebut amat terkejut mendengar penjelasan Sarah.
“Astagfirullah……” betapa tega wanita itu menyakiti hati para ibu yang diberi amanah Allah untuk melahirkan anak. bayangkan, betapa banyak keluarga yang telah dirusaknya, sehingga tidak jelas nasabnya.
Apakah Sarah tidak tahu, bahwa dalam Islam menjaga nasab atau keturunan sangat penting.
Jika seorang bayi ditukar, tentu nasabnya menjadi tidak jelas. Padahal, nasab ini sangat menentukan dala perkawinan, terutama dalam masalah mahram atau muhrim, yaitu orang-orang yang tidak boleh dinikahi.
“Cuma itu yang saya lakukan,” ucap Sarah.
“Cuma itu ? tanya ulama terperangah. “Tahukah anda bahwa perbuatan Anda itu dosa yang luar biasa, betapa banyak keluarga yang sudah Anda hancurkan !”. ucap ulama dengan nada tinggi.
“Lalu apa lagi yang Anda kerjakan ?” tanya ulama itu lagi sedikit kesal.
“Di rumah sakit, saya juga melakukan tugas memandikan orang mati.”
“Oh bagus, itu juga pekerjaan mulia,” kata ulama.
“Ya, tapi saya memandikan orang mati karena ada kerja sama dengan tukang sihir.”
“Maksudnya ?”. tanya ulama tidak mengerti.
“Setiap saya bermaksud menyengsarakan orang, baik membuatnya mati atau sakit, segala perkakas sihir itu sesuai dengan syaratnya, harus dipendam di dalam tanah. Akan tetapi saya tidak menguburnya di dalam tanah, melainkan saya masukkan benda-benda itu ke dalam mulut orang yang mati.”
“Suatu kali, pernah seorang alim meninggal dunia. Seperti biasa, saya memasukkan berbagai barang-barang tenung seperti jarum, benang dan lain-lain ke dalam mulutnya. Entah mengapa benda-benda itu seperti terpental, tidak mau masuk, walaupun saya sudah menekannya dalam-dalam. Benda-benda itu selalu kembali keluar. Saya coba lagi begitu seterusnya berulang-ulang. Akhirnya, emosi saya memuncak, saya masukkan benda itu dan saya jahit mulutnya. Cuma itu dosa yang saya lakukan.”
Mendengar penuturan Sarah yang datar dan tanpa rasa dosa, ulama itu berteriak marah.
“Cuma itu yang kamu lakukan ? Masya Allah….!!! Saya tidak bisa bantu anda. Saya angkat tangan”.
Ulama itu amat sangat terkejutnya mengetahui perbuatan Sarah. Tidak pernah terbayang dalam hidupnya ada seorang manusia, apalagi ia adalah wanita, yang memiliki nurani begitu tega, begitu keji. Tidak pernah terjadi dalam hidupnya, ada wanita yang melakukan perbuatan sekeji itu.
Akhirnya ulama itu berkata, “Anda harus memohon ampun kepada Allah, karena hanya Dialah yang bisa mengampuni dosa Anda.”
Bumi menolaknya. Setelah beberapa lama, sekitar tujuh hari kemudian ulama tidak mendengar kabar selanjutnya dari Sarah. Akhirnya ia mencari tahu dengan menghubunginya melalui telepon. Ia berharap Sarah t elah bertobat atas segala yang telah diperbuatnya. Ia berharap Allah akan mengampuni dosa Sarah, sehingga Rahmat Allah datang kepadanya. Karena tak juga memperoleh kabar, ulama itu menghubungi keluarga Hasan di mesir. Kebetulan yang menerima telepon adalah Hasan sendiri. Ulama menanyakan kabar Sarah, ternyata kabar duka yang diterima ulama itu.
“Ummi sudah meninggal dua hari setelah menelpon ustad,” ujar Hasan.
Ulama itu terkejut mendengar kabar tersebut.
“Bagaimana ibumu meninggal, Hasan ?”. tanya ulama itu.
Hasanpun akhirnya bercerita : Setelah menelpon sang ulama, dua hari kemudian ibunya jatuh sakit dan meninggal dunia. Yang mengejutkan adalah peristiwa penguburan Sarah. Ketika tanah sudah digali, untuk kemudian dimasukkan jenazah atas ijin Allah, tanah itu rapat kembali, tertutup dan mengeras. Para penggali mencari lokasi lain untuk digali. Peristiwa itu terulang kembali. Tanah yang sudah digali kembali menyempit dan tertutup rapat. Peristiwa itu berlangsung begitu cepat, sehingga tidak seorangpun pengantar jenazah yang menyadari bahwa tanah itu kembali rapat. Peristiwa itu terjadi berulang-ulang. Para pengantar yang menyaksikan peristiwa itu merasa ngeri dan merasakan sesuatu yang aneh terjadi. Mereka yakin, kejadian tersebut pastilah berkaitan dengan perbuatan si mayit.
Waktu terus berlalu, para penggali kubur putus asa dan kecapaian karena pekerjaan mereka tak juga usai. Siangpun berlalu, petang menjelang, bahkan sampai hampir maghrib, tidak ada satupun lubang yang berhasil digali. Mereka akhirnya pasrah, dan beranjak pulang. Jenazah itu dibiarkan saja tergeletak di hamparan tanah kering kerontang.
Sebagai anak yang begitu sayang dan hormat kepada ibunya, Hasan tidak tega meninggalkan jenazah orang tuanya ditempat itu tanpa dikubur. Kalaupun dibawa pulang, rasanya tidak mungkin. Hasan termenung di tanah perkuburan seorang diri.
Dengan ijin Allah, tiba-tiba berdiri seorang laki-laki yang berpakaian hitam panjang, seperti pakaian khusus orang Mesir. Lelaki itu tidak tampak wajahnya, karena terhalang tutup kepalanya yang menjorok ke depan. Laki-laki itu mendekati Hasan kemudian berkata padanya,” Biar aku tangani jenazah ibumu, pulanglah!”. kata orang itu.
Hasan lega mendengar bantuan orang tersebut, Ia berharap laki-laki itu akan menunggu jenazah ibunya. Syukur-syukur mau menggali lubang untuk kemudian mengebumikan ibunya.
“Aku minta supaya kau jangan menengok ke belekang, sampai tiba di rumahmu, “pesan lelaki itu.
Hasan mengangguk, kemudian ia meninggalkan pemakaman. Belum sempat ia di luar lokasi pemakaman, terbersit keinginannya untuk mengetahui apa yang terjadi dengan kenazah ibunya.
Sedetik kemudian ia menengok ke belakang. Betapa pucat wajah Hasan, melihat jenazah ibunya sudah dililit api, kemudian api itu menyelimuti seluruh tubuh ibunya. Belum habis rasa herannya, sedetik kemudian dari arah yang berlawanan, api menerpa wajah Hasan. Hasan ketakutan. Dengan langka h seribu, ia pun bergegas meninggalkan tempat itu.
Demikian yang diceritakan Hasan kepada ulama itu. Hasan juga mengaku, bahwa separuh wajahnya yang tertampar api itu kini berbekas kehitaman karena terbakar. Ulama itu mendengarkan dengan seksama semua cerita yang diungkapkan Hasan. Ia menyarankan, agar Hasan segera beribadah dengan khusyuk dan meminta ampun atas segala perbuatan atau dosa-dosa yang pernah dilakukan oleh ibunya. Akan tetapi, ulama itu tidak menceritakan kepada Hasan, apa yang telah diceritakan oleh ibunya kepada ulama itu.
Ulama itu meyakinkan Hasan, bahwa apabila anak yang soleh itu memohon ampun dengan sungguh-sungguh, maka bekas luka di pipinya dengan ijin Allah akan hilang. Benar saja, tak berapa lama kemudian Hasan kembali mengabari ulama itu, bahwa lukanya yang dulu amat terasa sakit dan panas luar biasa, semakin hari bekas kehitaman hilang. Tanpa tahu apa yang telah dilakukan ibunya selama hidup, Hasan tetap mendoakan ibunya. Ia berharap, apapun perbuatan dosa yang telah dilakukan oleh ibunya, akan diampuni oleh Allah SWT.
Diambil dari Blog Tausyiah275
Sarah (juga bukan nama sebenarnya), sang Ibu, tentu senang dengan ajakan anaknya itu. Sebagai muslim yang mampu secara materi, mereka memang berkewajiban menunaikan ibadah Haji.
Segala perlengkapan sudah disiapkan. Singkatnya ibu anak-anak ini akhirnya berangkat ke tanah suci. Kondisi keduanya sehat wal afiat, tak kurang satu apapun. Tiba harinya mereka melakukan thawaf dengan hati dan niat ikhlas menyeru panggilan Allah, Tuhan Semesta Alam. “Labaik allahuma labaik, aku datang memenuhi seruanMu ya Allah”.
Hasan menggandeng ibunya dan berbisik, “Ummi undzur ila Ka’bah (Bu, lihatlah Ka’bah).” Hasan menunjuk kepada bangunan empat persegi berwarna hitam itu. Ibunya yang berjalan di sisi anaknya tak beraksi, ia terdiam. Perempuan itu sama sekali tidak melihat apa yang ditunjukkan oleh anaknya.
Hasan kembali membisiki ibunya. Ia tampak bingung melihat raut wajah ibunya. Di wajah ibunya tampak kebingungan. Ibunya sendiri tak mengerti mengapa ia tak bisa melihat apapun selain kegelapan. beberapakali ia mengusap-usap matanya, tetapi kembali yang tampak hanyalah kegelapan.
Padahal, tak ada masalah dengan kesehatan matanya. Beberapa menit yang lalu ia masih melihat segalanya dengan jelas, tapi mengapa memasuki Masjidil Haram segalanya menjadi gelap gulita. Tujuh kali Haji Anak yang sholeh itu bersimpuh di hadapan Allah. Ia shalat memohon ampunan-Nya. Hati Hasan begitu sedih. Siapapun yang datang ke Baitullah, mengharap rahmatNYA. Terasa hampa menjadi tamu Allah, tanpa menyaksikan segala kebesaran-Nya, tanpa merasakan kuasa-Nya dan juga rahmat-Nya.
Hasan tidak berkecil hati, mungkin dengan ibadah dan taubatnya yang sungguh-sungguh, Ibundanya akan dapat merasakan anugrah-Nya, dengan menatap Ka’bah, kelak. Anak yang saleh itu berniat akan kmebali membawa ibunya berhaji tahun depan. Ternyata nasib baik belum berpihak kepadanya.
Tahun berikutnya kejadian serupa terulang lagi. Ibunya kembali dibutakan di dekat Ka’bah, sehingga tak dapat menyaksikan bangunan yang merupakan symbol persatuan umat Islam itu. Wanita itu tidak bisa melihat Ka’bah.
Hasan tidak patah arang. Ia kembali membawa ibunya ke tanah suci tahun berikutnya.
Anehnya, ibunya tetap saja tak dapat melihat Ka’bah. Setiap berada di Masjidil Haram, yang tampak di matanya hanyalah gelap dan gelap. Begitulah keganjilan yang terjadi pada diri Sarah. hingga kejadian itu berulang sampai tujuh kali menunaikan ibadah haji.
Hasan tak habis pikir, ia tak mengerti, apa yang menyebabkan ibunya menjadi buta di depan Ka’bah. Padahal, setiap berada jauh dari Ka’bah, penglihatannya selalu normal. Ia bertanya-tanya, apakah ibunya punya kesalahan sehingga mendapat azab dari Allah SWT ?. Apa yang telah diperbuat ibunya, sehingga mendapat musibah seperti itu ? Segala pertanyaan berkecamuk dalam dirinya. Akhirnya diputuskannya untuk mencari seorang alim ulama, yang dapat membantu permasalahannya.
Beberapa saat kemudian ia mendengar ada seorang ulama yang terkenal karena kesholehannya dan kebaikannya di Abu Dhabi (Uni Emirat). Tanpa kesulitan berarti, Hasan dapat bertemu dengan ulama yang dimaksud.
Ia pun mengutarakan masalah kepada ulama yang saleh ini. Ulama itu mendengarkan dengan seksama, kemudian meminta agar Ibu dari hasan mau menelponnya. anak yang berbakti ini pun pulang. Setibanya di tanah kelahirannya, ia meminta ibunya untuk menghubungi ulama di Abu Dhabi tersebut. Beruntung, sang Ibu mau memenuhi permintaan anaknya. Ia pun mau menelpon ulama itu, dan menceritakan kembali peristiwa yang dialaminya di tanah suci. Ulama itu kemudian meminta Sarah introspeksi, mengingat kembali, mungkin ada perbuatan atau peristiwa yang terjadi padanya di masa lalu, sehingga ia tidak mendapat rahmat Allah. Sarah diminta untuk bersikap terbuka, mengatakan dengan jujur, apa yang telah dilakukannya.
“Anda harus berterus terang kepada saya, karena masalah Anda bukan masalah sepele,” kata ulama itu pada Sarah.
Sarah terdiam sejenak. Kemudian ia meminta waktu untuk memikirkannya. Tujuh hari berlalu, akan tetapi ulama itu tidak mendapat kabar dari Sarah. Pada minggu kedua setelah percakapan pertama mereka, akhirnya Sarah menelpon. “Ustad, waktu masih muda, saya bekerja sebagai perawat di rumah sakit,” cerita Sarah akhirnya. “Oh, bagus…..Pekerjaan perawat adalah pekerjaan mulia,” potong ulama itu. “Tapi saya mencari uang sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara, tidak peduli, apakah cara saya itu halal atau haram,” ungkapnya terus terang. Ulama itu terperangah. Ia tidak menyangka wanita itu akan berkata demikian.
“Disana….” sambung Sarah, “Saya sering kali menukar bayi, karena tidak semua ibu senang dengan bayi yang telah dilahirkan. Kalau ada yang menginginkan anak laki-laki, padahal bayi yang dilahirkannya perempuan, dengan imbalan uang, saya tukar bayi-bayi itu sesuai dengan keinginan mereka.”
Ulama tersebut amat terkejut mendengar penjelasan Sarah.
“Astagfirullah……” betapa tega wanita itu menyakiti hati para ibu yang diberi amanah Allah untuk melahirkan anak. bayangkan, betapa banyak keluarga yang telah dirusaknya, sehingga tidak jelas nasabnya.
Apakah Sarah tidak tahu, bahwa dalam Islam menjaga nasab atau keturunan sangat penting.
Jika seorang bayi ditukar, tentu nasabnya menjadi tidak jelas. Padahal, nasab ini sangat menentukan dala perkawinan, terutama dalam masalah mahram atau muhrim, yaitu orang-orang yang tidak boleh dinikahi.
“Cuma itu yang saya lakukan,” ucap Sarah.
“Cuma itu ? tanya ulama terperangah. “Tahukah anda bahwa perbuatan Anda itu dosa yang luar biasa, betapa banyak keluarga yang sudah Anda hancurkan !”. ucap ulama dengan nada tinggi.
“Lalu apa lagi yang Anda kerjakan ?” tanya ulama itu lagi sedikit kesal.
“Di rumah sakit, saya juga melakukan tugas memandikan orang mati.”
“Oh bagus, itu juga pekerjaan mulia,” kata ulama.
“Ya, tapi saya memandikan orang mati karena ada kerja sama dengan tukang sihir.”
“Maksudnya ?”. tanya ulama tidak mengerti.
“Setiap saya bermaksud menyengsarakan orang, baik membuatnya mati atau sakit, segala perkakas sihir itu sesuai dengan syaratnya, harus dipendam di dalam tanah. Akan tetapi saya tidak menguburnya di dalam tanah, melainkan saya masukkan benda-benda itu ke dalam mulut orang yang mati.”
“Suatu kali, pernah seorang alim meninggal dunia. Seperti biasa, saya memasukkan berbagai barang-barang tenung seperti jarum, benang dan lain-lain ke dalam mulutnya. Entah mengapa benda-benda itu seperti terpental, tidak mau masuk, walaupun saya sudah menekannya dalam-dalam. Benda-benda itu selalu kembali keluar. Saya coba lagi begitu seterusnya berulang-ulang. Akhirnya, emosi saya memuncak, saya masukkan benda itu dan saya jahit mulutnya. Cuma itu dosa yang saya lakukan.”
Mendengar penuturan Sarah yang datar dan tanpa rasa dosa, ulama itu berteriak marah.
“Cuma itu yang kamu lakukan ? Masya Allah….!!! Saya tidak bisa bantu anda. Saya angkat tangan”.
Ulama itu amat sangat terkejutnya mengetahui perbuatan Sarah. Tidak pernah terbayang dalam hidupnya ada seorang manusia, apalagi ia adalah wanita, yang memiliki nurani begitu tega, begitu keji. Tidak pernah terjadi dalam hidupnya, ada wanita yang melakukan perbuatan sekeji itu.
Akhirnya ulama itu berkata, “Anda harus memohon ampun kepada Allah, karena hanya Dialah yang bisa mengampuni dosa Anda.”
Bumi menolaknya. Setelah beberapa lama, sekitar tujuh hari kemudian ulama tidak mendengar kabar selanjutnya dari Sarah. Akhirnya ia mencari tahu dengan menghubunginya melalui telepon. Ia berharap Sarah t elah bertobat atas segala yang telah diperbuatnya. Ia berharap Allah akan mengampuni dosa Sarah, sehingga Rahmat Allah datang kepadanya. Karena tak juga memperoleh kabar, ulama itu menghubungi keluarga Hasan di mesir. Kebetulan yang menerima telepon adalah Hasan sendiri. Ulama menanyakan kabar Sarah, ternyata kabar duka yang diterima ulama itu.
“Ummi sudah meninggal dua hari setelah menelpon ustad,” ujar Hasan.
Ulama itu terkejut mendengar kabar tersebut.
“Bagaimana ibumu meninggal, Hasan ?”. tanya ulama itu.
Hasanpun akhirnya bercerita : Setelah menelpon sang ulama, dua hari kemudian ibunya jatuh sakit dan meninggal dunia. Yang mengejutkan adalah peristiwa penguburan Sarah. Ketika tanah sudah digali, untuk kemudian dimasukkan jenazah atas ijin Allah, tanah itu rapat kembali, tertutup dan mengeras. Para penggali mencari lokasi lain untuk digali. Peristiwa itu terulang kembali. Tanah yang sudah digali kembali menyempit dan tertutup rapat. Peristiwa itu berlangsung begitu cepat, sehingga tidak seorangpun pengantar jenazah yang menyadari bahwa tanah itu kembali rapat. Peristiwa itu terjadi berulang-ulang. Para pengantar yang menyaksikan peristiwa itu merasa ngeri dan merasakan sesuatu yang aneh terjadi. Mereka yakin, kejadian tersebut pastilah berkaitan dengan perbuatan si mayit.
Waktu terus berlalu, para penggali kubur putus asa dan kecapaian karena pekerjaan mereka tak juga usai. Siangpun berlalu, petang menjelang, bahkan sampai hampir maghrib, tidak ada satupun lubang yang berhasil digali. Mereka akhirnya pasrah, dan beranjak pulang. Jenazah itu dibiarkan saja tergeletak di hamparan tanah kering kerontang.
Sebagai anak yang begitu sayang dan hormat kepada ibunya, Hasan tidak tega meninggalkan jenazah orang tuanya ditempat itu tanpa dikubur. Kalaupun dibawa pulang, rasanya tidak mungkin. Hasan termenung di tanah perkuburan seorang diri.
Dengan ijin Allah, tiba-tiba berdiri seorang laki-laki yang berpakaian hitam panjang, seperti pakaian khusus orang Mesir. Lelaki itu tidak tampak wajahnya, karena terhalang tutup kepalanya yang menjorok ke depan. Laki-laki itu mendekati Hasan kemudian berkata padanya,” Biar aku tangani jenazah ibumu, pulanglah!”. kata orang itu.
Hasan lega mendengar bantuan orang tersebut, Ia berharap laki-laki itu akan menunggu jenazah ibunya. Syukur-syukur mau menggali lubang untuk kemudian mengebumikan ibunya.
“Aku minta supaya kau jangan menengok ke belekang, sampai tiba di rumahmu, “pesan lelaki itu.
Hasan mengangguk, kemudian ia meninggalkan pemakaman. Belum sempat ia di luar lokasi pemakaman, terbersit keinginannya untuk mengetahui apa yang terjadi dengan kenazah ibunya.
Sedetik kemudian ia menengok ke belakang. Betapa pucat wajah Hasan, melihat jenazah ibunya sudah dililit api, kemudian api itu menyelimuti seluruh tubuh ibunya. Belum habis rasa herannya, sedetik kemudian dari arah yang berlawanan, api menerpa wajah Hasan. Hasan ketakutan. Dengan langka h seribu, ia pun bergegas meninggalkan tempat itu.
Demikian yang diceritakan Hasan kepada ulama itu. Hasan juga mengaku, bahwa separuh wajahnya yang tertampar api itu kini berbekas kehitaman karena terbakar. Ulama itu mendengarkan dengan seksama semua cerita yang diungkapkan Hasan. Ia menyarankan, agar Hasan segera beribadah dengan khusyuk dan meminta ampun atas segala perbuatan atau dosa-dosa yang pernah dilakukan oleh ibunya. Akan tetapi, ulama itu tidak menceritakan kepada Hasan, apa yang telah diceritakan oleh ibunya kepada ulama itu.
Ulama itu meyakinkan Hasan, bahwa apabila anak yang soleh itu memohon ampun dengan sungguh-sungguh, maka bekas luka di pipinya dengan ijin Allah akan hilang. Benar saja, tak berapa lama kemudian Hasan kembali mengabari ulama itu, bahwa lukanya yang dulu amat terasa sakit dan panas luar biasa, semakin hari bekas kehitaman hilang. Tanpa tahu apa yang telah dilakukan ibunya selama hidup, Hasan tetap mendoakan ibunya. Ia berharap, apapun perbuatan dosa yang telah dilakukan oleh ibunya, akan diampuni oleh Allah SWT.
Diambil dari Blog Tausyiah275
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل
BalasHapusKAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل