Minggu, 13 Februari 2011

[39] Kisah-kisah Islami

1. Kang Soleh Naik Becak Menuju Syurga


ADI NOVIANTO STEVENS
ilustrasi
Cerpen Rudi Setiawan
Pada hari penghisaban (penghitunngan atas amal perbuatan manusia) sedang mengantre empat orang manusia dengan berlainan profesi sewaktu masih hidup di dunia.
Manusia pertama bernama Alim, yang konon sewaktu masih hidup di dunia adalah seorang kyai yang sangat terkenal keluasan ilmunya dan kesalehan ibadahnya serta mempunyai ribuan santri.
Manusia kedua bernama Somad, yang mana sewaktu masih hidup di dunia berprofesi sebagai Kepala Desa yang sangat disayangi oleh warganya karena kejujuran dan keadilannya.
Manusia ketiga bernama Badri, dimana sewaktu hidupnya merupaka seorang juragan yang sangat kaya raya serta terkenal pula kedermawanannya dan kemurahan hatinya dalam menolong dan membantu orang-orang yang kesusahan.
Manusia keempat bernama Soleh, yaitu ketika hidupnya adalah merupakan seorang tukang becak yang biasa mangkal di terminal.
Keempatnya sewaktu didunia tinggal di desa yang sama, meskipun bukan tetangga yang saling berdekatan rumahnya.
Dan kebetulan pula kematian merekapun hampir bersamaan waktunya, meskipun dari sebab yang berbeda-beda.
Kyai Alim, meninggal dunia karena sakit sepuh (tua) karena beliau memang ditakdirkan Allah SWT berusia lanjut, hingga kira-kira 95 tahun.
Lurah Somad, meninggal karena terbunuh oleh seorang pesaing politiknya yang iri dengki melihat pengaruh Lurah Somad yang demikian kuat pada semua warganya. Pesaingnya ini merasa dendam akibat dikalahkan sewaktu PILKADES, padahal dia sudah mengelurakan uang demikian banyak untuk menyuap dan membayar penduduk supaya memilihnya.
Haji Badri (demikian biasanya orang menyebutnya), meninggal akibat sakit komplikasi yang membuatnya harus menginap selama sebulan di sebuah rumah sakit ternama di sebuah kota besar ibukota provinsi.
Kang Soleh, meninggal dunia disebabkan karena kecelakaan di jalan raya, dimana sewaktu kang Soleh pulang dari mangkalnya di terminal, ditengah perjalanan sebuah truk tronton dengan kecepatan tinggi menabraknya dari belakang yang mengakibatkan dia tewas seketika di jalan itu.
……………………………….
Ketika itu yang mengantri paling depan adalah Kyai Alim.
Maka berkatalah Malaikat penghitung kepadanya:
“ He fulan, melihat kitab catatan amalmu kamu harus masuk neraka !” demikian Malaikat berkata sambil membentak.
“ Perkenalkan, nama saya Alim, selama hidup saya adalah seorang kyai yang wara’, zuhud dan ‘alim serta selalu mengamalkan dan mengajarkan ilmu saya kepada banyak sekali murid di pesantren saya, seumur hidup saya selalu membaktikan diri saya untuk agama dan umat, kenapa saya mesti masuk neraka ?“ Kyai Alim berupaya memprotes.
“ Iya betul, tetapi dalam setiap amaliyahmu selalu terselip perasaan ujub, kau selalu merasa paling alim, paling wara’, paling zuhud, paling khusyuk, maka kau tak pantas masuk syurga, karena sifat ujub adalah bagian dari kesombongan, tempatmu adalah neraka, maka pergilah kau kesana!”, Malaikat membentak, lalu melemparkannya ke neraka.
Pengantri yang kedua adalah Lurah Somad, yang kemudian dipanggil pula untuk menghadap.
“ He fulan, melihat kitab catatan amalmu kamu harus masuk neraka !” Malaikat berkata kepada Lurah Somad.
“ Lho kok bisa begitu Malaikat ? “ protes Lurah Somad.
“ Padahal selama hidup saya tidak pernah maksiyat kepada Allah, saya selalu menjalankan perintah agama dengan sungguh-sungguh, dan juga sewaktu menjadi Kepala Desa saya selalu bersikap adil, jujur, amanah, mengayomi seluruh rakyat saya, mensejahterakan kehidupan mereka serta menjadikan desa saya adil, makmur dan sejahtera”, jelas Lurah Somad membela diri.
“ Benar Lurah Somad, tetapi perlu kau ketahui bahwa dibalik sikap adilmu dan pengayomanmu kepada rakyatmu karena engkau kepingin terkenal, kepingin masyhur, dan kepingin dipuja-puja oleh rakyatmu, agar melanggengkan kekuasaanmu, sifat seperti ini adalah bagian dari kesombongan, dan kau harus masuk neraka !”, dengan bengis Malaikat berkata, kemudian menyeretnya menuju neraka.
Berikutnya yang datang menghadap adalah Haji Badri.
“ He fulan, melihat kitab catatan amalmu kamu harus masuk neraka !” bentak Malaikat kepada Haji Badri.
“ Mohon maaf Malaikat yang terhormat, mengapa saya harus masuk neraka, dahulu sewaktu masih hidup didunia, saya seorang yang dermawan, hampir seluruh harta saya belanjakan di jalan Allah, untuk berzakat, infaq dan sedekah, pendeknya setiap orang yang membutuhkan uluran tangan saya selalu saya bantu, hutang piutang mereka saya lunaskan, kesulitan mereka saya mudahkan”, Haji Badri mencoba menerangkan.
“ Ketahuilah wahai Haji Badri, semua kedermawananmu itu sia-sia belaka, karena kau menyembunyikan perasaan riya’, pamer dan mengharapkan pujian dari manusia lain, dengan demikian kau telah berbuat kesombongan, maka dari itu tempatmu adalah neraka !”, sambil berkata demikian Malaikat membuang Haji Badri kedalam neraka.
Kemudian datanglah kang Soleh dengan mengendarai becaknya mengantri dihadapan Malaikat.
“ He fulan, melihat kitab catatan amalmu kamu pantas masuk syurga !” Malaikat berkata dengan lembut kepada kang Soleh.
“ Karena dibalik kemiskinannmu kamu tidak berputus asa dari rahmat Allah, kamu selalu bersyukur dan tidak pernah mengeluh, serta semua ibadah yang kamu lakukan dilandasi rasa ikhlas semata-mata kepada Allah, maka dari itu Allah mengganjarmu dengan syurga-Nya “, Malaikat melanjutkan penjelasannya.
“ Terima kasih wahai Malaikat, tetapi saya tidak mau masuk syurga kalau Kyai Alim juga tidak masuk syurga !”, kata kang Sholeh.
“ Lho kenapa ?”, tanya Malaikat.
“ Sebab, saya bisa tahu cara beribadah, saya belajar teori keikhlasan adalah karena saya berguru dan mengaji kepada Kyai Alim, maka saya tidak mau masuk syurga jika guru saya Kyai Alim tidak dimasukkkan ke syurga !”, harap kang Sholeh.
“ Baik, baik, atas kemurahanmu, Kyai Alim boleh masuk syurga bersamamu “, kata Malaikat.
“ Iya tetapi saya tetap tidak mau masuk syurga, jika Lurah Somad tidak masuk syurga “, kang Sholeh menyanggah lagi.
“ Lho ada apa ini ?”, heran Malaikat.
“ Karena berkat keadilan Lurah Somad serta perlindungannya kepada kaum miskin seperti saya, maka saya merasa hidup tentram dan nyaman di desa itu, maka saya mohon agar Lurah Somad bisa masuk syurga bersama saya “, kang Soleh memohon.
“ Boleh, boleh, berkat kemurahanmu pula, Lurah Somad bisa masuk syurga bersamamu “, kata Malaikat.
“ Malaikat boleh tidak aku minta satu permintaan lagi ?”, tanya kang Soleh.
“ Apa permintaanmu selanjutnya ?”, balik tanya Malaikat.
“ Aku minta Haji Badri, dimasukkan syurga pula bersamaku ,” jawab kang Soleh.
“ Apa alasan yang kamu ajukan, mengajak Haji Badri ke syurga bersamamu ?”, kembali Malaikat bertanya.
“ Karena Haji Badri sering kali membantuku jika aku kesulitan, dan harap diketahui wahai Malaikat, bahwa becak yang merupakan saranaku mencari rejeki dengan halal di jalan Allah ini merupakan pemberian dari Haji Badri, demikian harap kiranya Haji Badri dimasukkan syurga bersama saya ,” harap kang Soleh.
“ Baik, baik, sebab kemurahanmu kalian berempat boleh masuk syurga bersama-sama “, demikian Malaikat menutup persidangan empat orang tersebut.
Lalu mereka berempatpun bersama-sama naik syurga dengan membonceng becak kang Soleh, yang kecepatannya melebihi kecepatan cahaya. (Wallaahu A’lam Bishowab)
Doha, 5 October 2010
Rudi Setiawan: Lahir di Kertosono, Jawa Timur 02 Juni 1976, seorang TKI yang saat ini sedang bekerja di Doha, Qatar. Menulis cerpen dan puisi-puisi yang di share di facebook dan media-media online.

2. MEREKA TOH TAK MUNGKIN MEMBIKIN MALAIKAT

Cerpen: Herman
Selembar perjalanan; secarik catatan; sekeranjang dosa. Manakah yang pertama kali ditanyakan kelak di akhirat?
Ada orang yang setiap selesai solat berjemaah menghitung pahalanya; kali ini duapuluh tujuh katanya. Lalu dia merasa telah menjadi malaikat. Ada yang tidak mau berjemaah tapi hanya menangis di rumahnya; aku malu padaNya bisiknya. Terlalu banyak dosa katanya, sehingga menghadap Tuhan pun malu. Dia merasa telah terkutuk dan menjelma iblis. Ada juga yang setelah selesai tahajjud; menangis kemudian tak henti-hentinya memohon ampunan. Mungkin inilah dia yang disebut manusia!
Seperti hari kemarin, saat ini penyesalan mesti datang kembali. Membuat semak-semak liar tempat bermain belalang dan serangga. Angin berkesiur. Belalang dan serangga berpegang semakin erat pada ranting-ranting. Di luar, burung-burung dara melibaskan diri dengan dzikir senja. Matahari memerah. Laut meredam marah. Nelayan-nelayan berangkat menantang keruh. Apakah badai dan pekat malam yang kau saksikan bukan keruh kehidupan? Tak mengapa! Bagi nelayan, badai dan pekat malam adalah nafas mereka.
*****
Malam berjalan sangat pelan. Gerimis yang rajin menyambangi bumi, kini telah terdengar kaki-kakinya di seng rumah. Ayam-ayam betina mendekap anak-anak mereka lebih kencang dan erat. Lolongan anjing, suara jangkrik, mengiringi cahaya-cahaya kilat yang menyambar. Seperti lampu disko di diskotek.
Alun-alun kota tak pernah sepi. Setiap pojok adalah tempat yang aman bagi sebuah perselingkuhan. Apakah yang bisa kau katakan, ketika melihat anak-anak jalanan yang mencoba meraih sebuah bahagia dengan melelapkan diri di trotoar jalan. Mimpi! Bahkan dalam mimpi pun, mereka tak pernah bisa makan kenyang. Ahai…dunia bagi mereka adalah ajang malapetaka. Tapi…tapi….ada rupa lain yang kini dipergunjingkan. Malaikat yang hendak membikin malaikat. Ahai…apakah memang ada beberapa Tuhan di alam ini, hingga semakin hari, jumlah malaikat semakin bertambah?
Malaikat-malaikat itu berpakaian putih. Turun dari langit yang bersih. Langit yang tak pernah bisa bisa ditembus dengan roket manapun. Mereka turun membawa risalah Tuhan; dibekali jaring-jaring (seperti sarang laba-laba), beberapa ayat suci, juga pedang yang wangi seperti melati. Apakah mereka datang membawa mati beraroma melati? Entahlah! Dan lihatlah, mereka sedang memasang jaring-jaring di setiap perempatan jalan. Di seluruh kota! Mimpi apalagi saat ini. Bukan mimpi! Tapi apakah mereka tidak kasihan kepada manusia yang harus merangkak di setiap arus jalan. Jalan raya macet total. Mobil tidak bisa bergerak. Jaring itu (walaupun mirip sarang laba-laba!), tidaklah serapuh sarang laba-laba. Jaring-jaring itu disulam dengan tangan-tangan ahli surga. Surga! Apakah setiap manusia mempercakapkan dirinya sebagai ahli surga. Tapi malaikat-malaikat itu?
Setiap kota kini telah diselimuti jaring-jaring malaikat. Malaikat menghalangi maksiat. Aroma api tercium dari lenguhan iblis. Serasa bumi akan dilumatkan dalam kebakaran besar. Manusia tak pernah tahu atau jangan-jangan tak mau tahu, bagaimana seharusnya menghadapi iblis dan malaikat dalam waktu yang sama. Atau memang manusia adalah bunglon. Malaikat di satu waktu. Dan iblis di kesempatan yang lain. Aku tak mengerti. Karena aku tidak tahu, dalam bentuk apakah aku berwujud sekarang ini. Ibliskah? Malaikat? Manusia? Tuhan? Bukan! Bukan Tuhan. Tuhan tidak akan pernah mengijinkan siapa saja, apa pun juga, sebagai sainganNya!
“Bagaimana? Kalian yakin sudah memasang jaringnya di setiap sudut kota? Ingat! Perintah Tuhan harus kita jalankan dengan hikmat dan penuh tanggung jawab. Jangan seperti koruptor-koruptor laknat! Maksiat harus kita singkirkan dari pelataran bumi ini. Orang-orang yang tidak mau menuruti kita, berarti harus segera hengkang ke neraka.” Pimpinan malaikat itu berbicara lantang di depan anak buahnya. Dan iblis pun tertawa.
“Ha…ha…ha…! Apa dia kira surga dan neraka milik nenek moyangnya. Bicara seenak perut. Mau mengirim orang-orangku ke neraka. Tidak semudah itu kawan! Kita akan membuat perhitungan. Kita akan lihat siapa yang lebih berkuasa.” Iblis menyudahi ocehannya sambil menyeruput segelas wiski ditemani gadis cantik yang seksi.
“Kalau ada yang terperangkap ke jaring-jaring itu kita apakan? Kita biarkan saja seperti layang-layang yang enggan diterbangkan angin, atau ada opsi lain yang harus dijalankan?” Anak buah malaikat bertanya.
“Jangan biarkan mereka tergantung di sana. Berikan pelayanan yang baik. Supaya mereka tahu bahwa menjadi malaikat sungguh nikmat sekali rasanya.”
”Kita akan mengubah mereka menjadi malaikat?” Heran dan hampir tak percaya.
”Kita akan menyulap seluruh penghuni alam ini menjadi malaikat!” Tegas dan penuh percaya diri.
“Apakah mungkin?”
“Segalanya mungkin. Dan besok lihatlah! Koran-koran akan menurunkan berita tentang penduduk bumi yang telah berubah menjadi malaikat.”
*****
Hari-hari pun berjalan. Orang-orang ramai membicarakan jaring-jaring malaikat yang telah membuat banyak manusia terperangkap. Manusia yang terperangkap dalam jaring-jaring itu adalah para pelaku pasar dosa; pemaksiat yang harus diproduksi menjadi malaikat. Bumi semakin kelihatan sepi. Ruas-ruas jalan lengang. Lampu-lampu disko, di tempat hiburan malam hilang. Iblis kini benar-benar linglung memikirkan kawan-kawanya yang lenyap ditelan jaring malaikat.
Langit putih bersih. Awan-awan berarakan seperti kapas yang beterbangan. Angin bertiup perlahan. Bunga-bunga bermekaran. Melati dan seroja, juga mawar meningkap selendangnya. Sementara jaring-jaring malaikat itu, kini benar-benar telah penuh dengan manusia. Barangkali sembilanpuluh persen penduduk bumi adalah pelanggan dosa! Hitung saja, dari tempat terkecil di kantor kelurahan yang pengap sampai ruang presiden yang sejuk ber-AC, berisi maling. Apalagi jika ditambah dengan jumlah penghuni jalan yang selalu berlari tergesa menjelang malam. Mereka yang tidak punya apa-apa. Mereka yang dilumpuhkan oleh sistim. Mereka yang dirampok para penguasa. Tak punya sesuatu apapun untuk diperjual-belikan, selain harga diri termasuk di dalamnya badan yang indah dan menawan.
Bukan saja iblis yang linglung karena kehilangan sahabat-sahabatnya, bahkan malaikat-malaikat yang memasang jaring juga bingung mati kepalang. Bagaimana mungkin akan mampu menyulap sedemikian banyak manusia menjelma malaikat. Bahkan sebagian besar anak buahnya; yang turut andil dalam aksi jaring suci juga terjaring oleh jaring sendiri. Kualat dan laknat! Mengkhianati diri sendiri demi nafsu serakah. Mereka yang menjaring para pemaksiat juga diam-diam menyimpan hasrat dosa yang berkobar. Jadilah mereka, malaikat beringas. Menumpas segala apa saja tanpa ampun. Bahkan anak-anak jalanan yang tak berdosa dan tak tahu apa-apa mereka pukuli dengan semena-mena.
Bumi benar-benar telah sepi. Tidak ada lagi suara desahan yang bikin merangsang. Lenyap juga cekikikan para wanita pekerja kenikmatan di warung remang-remang (di hotel barangkali tak mungkin terjaring!). Hilang juga desah para brondong yang menunggu tante-tante kesepian yang minta dikunjungi menjelang tengah malam. Tak ada juga suara para penegak hukum yang minta suap lebih banyak. Para koruptor tak lagi nampak lenggang kakung di kantor-kantor pemerintahan. Manusia, iblis, setan, dedemit, bunian, makhluk-makhluk halus lainnya, bahkan juga kepala pimpinan malaikat yang memasang jaring, kini terjerat dalam jaring. Sandiwara apalagi yang berlaku. Benar-benar membingungkan.
Malaikat itu kini diam dan bisu. Hilang sudah segala harapnya. Tak berbekas juga semua rasa percaya diri yang dulu memompa semangatnya untuk mengobarkan perang. Mampus gugur. Dan dia sendiri tak tahu mesti berbuat apalagi. Jaring yang mereka buat terlalu kuat. Semua tak bisa bergerak. Sementara bau pesing dan amis karena beberapa hari terjaring, kencing, berak, mungkin juga mimpi basah di tempat yang sama, menusuk hidung, membuat kepala pening. Ah…malaikat yang hendak membikin malaikat! Membuat jaring bagi kematian diri sendiri. Mencoba mencari solusi bertaubat, sayang diri sendiri tertipu dengan pesona maksiat. Gelap dan pekat. Apakah dunia benar-benar akan kiamat. Gerimis tak juga reda, sementara api bergejolak dalam diri. Dosa apalagi yang hendak kita perselingkuhkan dalam hidup yang mesum ini? Ifrit menjerit disambut tepuk tangan bergemuruh.
Kairo, Juni-Juli 2006.
*Meminjam Danarto, “Mereka Toh Tak Mungkin Menjaring Malaikat

3. Ketika Bayazid Melanggar Aturan Agama

Bayazid, seorang Muslim yang suci, kadang-kadang dengan sengaja melanggar bentuk-bentuk lahir dan upacara agamanya.
Pada suatu hari, ketika ia pulang dari Mekah, ia singgah di kota Rey di Iran. Penduduk kota yang sangat menaruh hormat padanya, keluar mengelu-elukannya sampai seluruh kota menjadi gempar. Bayazid, yang sudah jenuh akan pendewaan serupa itu, menunggu hingga ia sampai di pinggir pasar. Di sana ia membeli sepotong roti, lalu mulai memakannya di muka umum. Padahal waktu itu bulan puasa. Akan tetapi Bayazid yakin, bahwa dalam perjalanan ia tidak terikat pada peraturan-peraturan agama.
Tetapi para pengikutnya tidak berpikir demikian. Maka mereka begitu dikecewakan oleh perbuatan itu, sehingga mereka semua segera meninggalkannya dan pulang. Bayazid dengan rasa puas berkata kepada salah seorang muridnya: ‘Lihat, begitu aku berbuat sesuatu yang berlawanan dengan harapan mereka, rasa hormat mereka terhadapku hilang lenyap.’
Jesus kerapkali sangat mengejutkan para pengikutnya dengan bertindak seperti itu juga.
Kebanyakan orang memerlukan seorang suci untuk disembah dan seorang guru untuk dimintai nasehat. Ada persetujuan diam-diam: ‘Engkau harus hidup sesuai dengan harapan kami, dan sebagai gantinya kami akan menghormatimu.’ ‘Permainan’ kesucian!
(Burung Berkicau, Anthony de Mello SJ, Yayasan Cipta Loka Caraka, Cetakan 7, 1994)

4. Dua Keinginan Sebelum Maut Menjemput

Di keheningan malam, Sang Maut turun dari hadirat Tuhan menuju ke bumi. Ia terbang melayang-layang di atas sebuah kota dan mengamati seluruh penghuni dengan tatapan matanya. Ia menyaksikan jiwa-jiwa yang melayang-layang dengan sayap-sayap mereka, dan orang-orang yang terlena di dalam kekuasaan sang lelap.
Ketika rembulan tersungkur kaki langit, dan kota itu berubah warna menjadi hitam legam, Sang Maut berjalan dengan langkah tenang di tengah pemukiman — berhati-hati tidak menyentuh apapun — sampai tiba di sebuah istana. Dia masuk dan tak seorang pun kuasa menghalangi. Dia tegak di sisi sebuah ranjang dan menyentuh pelupuk matanya, dan orang yang tidur itu bangun dengan ketakutan.
Melihat bayangan Sang Maut di hadapannya, dia menjerit dengan suara ketakutan, “Menyingkirlah kau dariku, mimpi yang mengerikan! Pergilah engkau makhluk jahat! Siapakah engkau ini? Dan bagaimana mungkin kau masuk istana ini? Apa yang kau inginkan? Minggatlah, karena akulah empunya rumah ini. Enyahlah kamu, kalau tidak, kupanggil para budak dan para pengawal untuk mencincangmu menjadi kepingan!”
Kemudian Maut berkata dengan suara lembut, tapi sangat menakutkan, “Akulah kematian, berdiri dan membungkuklah kepadaku.”
Dan si kaya berkuasa itu bertanya, “Apa yang kau inginkan dariku sekarang, dan benda apa yang kau cari? Kenapa kau datang ketika pekerjaanku belum selesai? Apa yang kau inginkan dari orang kuat seperti aku? Pergilah sana, carilah orang-orang yang lemah, dan ambillah dia! Aku ngeri oleh taring-taringmu yang berdarah dan wajahmu yang bengis, dan mataku bergetar menatap sayap-sayapmu yang menjijikan dan tubuhmu yang memuakkan.”
Setelah diam beberapa saat dan tersadar dari ketakutannya, ia menambahkan, “Tidak, tidak, Maut yang pengampun, jangan pedulikan apa yang telah kukatakan, karena rasa takut membuat diriku mengucapkan kata-kata yang sesungguhnya terlarang. Maka ambillah emasku seperlunya atau nyawa salah seorang dari budak, dan tinggalkanlah diriku… Aku masih memperhitungkan kehidupan yang masih belum terpenuhi dan kekayaan pada orang-orang yang belum terkuasai. Di atas laut aku memiliki kapal yang belum kembali ke pelabuhan, dan pada hasil bumi yang belum tersimpan. Ambillah olehmu barang yang kau inginkan dan tinggalkanlah daku. Aku punya selir, cantik bagai pagi hari, untuk kau pilih, Kematian. Dengarlah lagi : Aku punya seorang putra tunggal yang kusayangi, dialah biji mataku. Ambillah dia juga, tapi tinggalkan diriku sendirian.”
Sang Maut itu menggeram, engkau tidak kaya tapi orang miskin yang tak tahu diri. Kemudian Maut mengambil tangan orang itu, mencabut kehidupannya, dan memberikannya kepada para malaikat di langit untuk memeriksanya.
Dan maut berjalan perlahan di antara orang-orang miskin hingga ia mencapai rumah paling kumuh yang ia temukan. Ia masuk dan mendekati ranjang di mana tidur seorang pemuda dengan kelelapan yang damai. Maut menyentuh matanya, anak muda itu pun terjaga. Dan ketika melihat Sang Maut berdiri di sampingnya, ia berkata dengan suara penuh cinta dan harapan, “Aku di sini, wahai Sang Maut yang cantik. Sambutlah ruhku, impianku yang mengejawantah dan hakikat harapanku. Peluklah diriku, kekasih jiwaku, karena kau sangat penyayang dan tak kan meninggalkan diriku di sini. Kaulah utusan Ilahi, kaulah tangan kanan kebenaran. Jangan tinggalkan daku.”
“Aku telah memanggilmu berulang kali, namun kau tak mendengarkan. Tapi kini kau telah mendengarku, karena itu jangan kecewakan cintaku dengan peng-elakan diri. Peluklah ruhku, Sang Maut terkasih.”
Kemudian Sang Maut meletakkan jari-jari lembutnya ke atas bibir yang bergetar itu, mencabut nyawanya, dan menaruhnya di bawah sayap-sayapnya.
Ketika ia naik kembali ke langit, Maut menoleh ke belakang — ke dunia — dan dalam bisikan ia berkata, “Hanya mereka yang di dunia mencari Keabadian-lah yang sampai ke Keabadian itu.”
(dari “Kelopak-Kelopak Jiwa” – Gibran Khalil Gibran)

5. Kisah Kucing dan Daging Kambing

Rumi bercerita; Alkisah, hiduplah seorang istri yang amat licik. Ia selalu menghabiskan setiap makanan yang dibawa oleh suaminya pulang, dan berbohong tentang hal itu.
Suatu saat, suaminya pulang dengan membawa daging kambing untuk dihidangkan kepada tamunya yang akan tiba. Suami itu telah bekerja selama dua ratus hari untuk boleh membeli daging mahal tersebut.
Ketika suaminya tidak di tempat, istri yang rakus itu segera memotong daging dan memasaknya menjadi kebab (sebuah hidangan khas Timur Tengah, -red.) Dan ia makan semua masakan itu, diselingi dengan minum anggur.
Suaminya datang ke rumah bersama tamu yang dijemputnya. “Daging itu dimakan kucing,” istrinya berbohong, “kalau kau masih punya wang, belilah lagi.”
Sang suami lalu meminta pelayan untuk membawakan timbangan dan kucing yang dituduh itu. Berat kucing itu adalah tiga kilogram. “Daging kambing itu beratnya tiga kilogram dan satu ons,” ujar suami itu sambil menggendong kucing, “kalau benda ini adalah kucing, lalu di mana daging kambingnya? Kalau benda ini adalah daging kambing, lalu di mana kucingnya? Carilah mana kucing itu, atau mana daging kambing itu!”
Rumi menutup cerita itu dengan menulis: Jika kau memiliki raga, lalu di mana ruhnya? Jka kau memiliki ruh, lalu di mana raganya?

6. Apakah Tuhan Menciptakan Kejahatan ?

Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?
Apakah kejahatan itu ada?
Apakah Tuhan menciptakan kejahatan?
Seorang Profesor dari sebuah universitas terkenal menantang mahasiswa-mahasiswa nya dengan pertanyaan ini, ‘Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?’.
Seorang mahasiswa dengan berani menjawab, ‘Betul, Dia yang menciptakan semuanya’.
‘Tuhan menciptakan semuanya?’
Tanya professor sekali lagi.
‘Ya, Pak, semuanya’ kata mahasiswa tersebut.
Profesor itu menjawab, ‘Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan.’
Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor tersebut. Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia telah membuktikan kalau agama itu adalah sebuah mitos.
Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, ‘Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?’
‘Tentu saja,’ jawab si Profesor
Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, ‘Profesor, apakah dingin itu ada?’
‘Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada. Kamu tidak pernah sakit flu?’ Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa lainnya.
Mahasiswa itu menjawab, ‘Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut.
Kita menciptakan kata ‘dingin’ untuk mendeskripsikan ketiadaan panas.
Mahasiswa itu melanjutkan, ‘Profesor, apakah gelap itu ada?’
Profesor itu menjawab, ‘Tentu saja itu ada.’
Mahasiswa itu menjawab, ‘Sekali lagi anda salah Pak. Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut.
Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya.’
Akhirnya mahasiswa itu bertanya, ‘Profesor, apakah kejahatan itu ada?’
Dengan bimbang professor itu menjawab, ‘Tentu saja, seperti yang telah kukatakan sebelumnya. Kita melihat setiap hari di Koran dan TV. Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan.’
Terhadap pernyataan ini mahasiswa itu menjawab, ‘Sekali lagi Anda salah, Pak. Kejahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan. Seperti dingin atau gelap, ‘kejahatan’ adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kejahatan. Kejahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih Tuhan dihati manusia.
Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya.’
Profesor itu terdiam.
Nama mahasiswa itu adalah Albert Einstein.
sumber: milis Cetivasi

7. Siapakah Yang Akan Mengabulkan Doa Orang Yang Berhajat?


Kisah seorang laki-laki yang yang terdepak dari pekerjaannya sehingga membuatnya bersedih hati alang kepalang, kemudian dia meminta pertolongan kepada beberapa orang terkemuka dan tokoh agar memberikan rekomendasi untuknya. Beberapa pintupun sempat diketuknya akan tetapi ada saja aral yang menghalanginya sehingga menambah penyesalan dan kegundahannya.
Atas kehendak Allah, dia bertemu dengan seorang tua yang bijak. Ketika itu, warna kulitnya pucat pasi dan badannya kurus kering akibat kesedihan dan kegundahan yang menimpanya tersebut. Tatkala si orang tua mellihat kondisinya tersebut, ibalah hatinya, lantas bertutur kepadanya,
“Bagaimana dengan kebutuhanmu?.”
“Demi Allah, hingga sekarang hajatku itu belum lagi putus dan sekarang aku masih mencari si fulan untuk bisa berbicara dengannya.” Jawabnya.
“Aku tahu, siapa yang bisa mencarikan solusi buatmu dan menghilangkan kegundahanmu itu.” kata si orang tua.
“Apakah orang yang tuan maksudkan itu punya pengaruh terhadap pejabat si fulan?.” Tanyanya.
“Ya, berpengaruh sekali.” Jawab si orang tua.
“Apakah kamu mengenalnya? Apakah kamu bisa berbicara dengannya?.” Tanya laki-laki itu lagi ingin lebih tahu.
“Ya, aku mengenalnya dan aku bisa melakukannya bahkan kamu sendiri bisa berbicara dengannya.” Kata orang tua.
“Demi Allah, tolong kamu berbicara dengannya, semoga Allah membalas kebaikanmu.” Kata si laki-laki itu lagi.
“Tidak, kamu sajalah yang berbicara langsung dengannya!.” Kata orang tua itu lagi.
“Siapa sih dia?.” Tanya laki-laki itu penasaran.
“Dia-lah Allah,” kata orang tua itu tanpa ragu.
“Hah?.” Sahut laki-laki itu sembari tercengang…
“Allah berfirman, “Dan Rabb kamu berkata, ‘Mintalah pada-Ku, niscaya Aku akan perkenankan untukmu’.” Takutlah kamu pada Allah, sebab andai aku katakan kepadamu, ‘Manusia si Fulan dan si Fulan, kamu cepat-cepat katakan, ‘Ayo.’ Tetapi bila aku katakan kepadamu, ‘Allah’ kamu malah menjawab, “Hah?.” Lupakah kamu untuk berdoa kepada Allah?. Tidakkah kamu coba dulu berdoa pada saat-saat penghujung malam? Kamu sudah mencoba meminta kepada para hamba, sekarang cobalah minta kepada Rabbnya para hamba itu!.” kata orang tua itu mengingatkan.
Akhirnya, laki-laki itu meninggalkan si orang tua sementara ucapannya barusan masih terngiang-ngiang di kedua gendang telinganya. Dia telah merasa yakin bahwa kemudahan akan segera datang dari Allah. Laki-laki inipun berlalu menuju rumahnya dan tidur dengan harapan besok mendapatkan kemudahan itu. Dia berkata, “Tatkala aku sedang tidur itu, tiba-tiba seakan ada seorang laki-laki membangunkanku, lalu aku mengerjakan shalat, memohon kepada Allah, memohon perlindungan-Nya dan seakan-akan aku melihat-Nya. Begitu pagi hari, aku pergi melalui jalan yang tidak biasa aku tempuh. Aku melewati sebuah perusahaan yang menarik perhatianku sehingga aku berhenti sejenak di sampingnya. Lalu aku bertanya perihal lowongan yang masih kosong di situ. Ternyata, direkturnya menyongsongku dengan hangat dan menyambut kedatanganku sembari berkata, ‘sejak lama, kami mencari orang seperti kamu ini!.”
Akhirnya aku diterima bekerja untuk pekerjaan yang belum pernah terbayangkan olehku selama ini. Segala puji hanya bagi Allah.
Demikianlah kemudahan itu datang bagi hamba-Nya setelah mengalami kesulitan, bertawakkal serta berdoa kepada-Nya dengan doa orang-orang yang berhajat.
(SUMBER: Qashash wa Mawâqif Dzât ‘ibar karya ‘Adil bin Muhammad Al ‘Abdul ‘Ali, h.13-14, sebagai dinukil dari ceramah Syaikh. Muhammad asy-Syinqîthiy berjudul al-I’tishâm Billâh

8. SEKANTONG KUE

Seorang wanita sedang menunggu di bandara suatu malam. Masih ada beberapa jam sebelum jadwal terbangnya tiba. Untuk membuang waktu,ia membeli buku dan sekantong kue di toko bandara, lalu menemukan tempat untuk duduk.
Sambil duduk wanita tersebut membaca buku yang baru saja dibelinya. Dalam keasyikannya tersebut ia melihat lelaki disebelahnya dengan begitu berani mengambil satu atau dua dari kue yang berada diantara mereka berdua.
Wanita tersebut mencoba mengabaikan agar tidak terjadi keributan.
Ia membaca, mengunyah kue dan melihat jam. Sementara si Pencuri Kue yang pemberani menghabiskan persediaannya.
Ia semakin kesal sementara menit-menit berlalu. Wanita itupun sempat berpikir: (“Kalau aku bukan orang baik sudah kutonjok dia!”). Setiap ia mengambil satu kue, si lelaki jugamengambil satu.
Ketika hanya satu kue tersisa, ia bertanya-tanya apa yang akan dilakukan lelaki itu. Dengan senyum tawa di wajahnya dan tawa gugup, si lelaki mengambil kue terakhir dan membaginya dua. Si lelaki menawarkan separo miliknya sementara ia makan yang separonya lagi. Si wanita pun merebut kue itu dan berpikir (“Ya ampun orang ini berani sekali”), dan ia juga kasar malah ia tidak kelihatan berterima kasih. Belum pernah rasanya ia begitu kesal.
Ia menghela napas lega saat penerbangannya diumumkan, dan ia mengumpulkan barang miliknya dan menuju pintu gerbang. Menolak untuk menoleh pada si “Pencuri tak tahu terima kasih!”.
Ia naik pesawat dan duduk di kursinya, lalu mencari bukunya, yang hampir selesai dibacanya. Saat ia merogoh tasnya, ia menahan napas dengan kaget.
Disitu ada kantong kuenya, di depan matanya. Koq milikku ada di sini erangnya dengan patah hati. Jadi kue tadi adalah miliknya dan ia mencoba berbagi. Terlambat untuk minta maaf, ia tersandar sedih.
Bahwa sesungguhnya dialah yang kasar, tak tahu terima kasih dan dialah pencuri kue itu. Dalam hidup ini kisah pencuri kue seperti tadi sering terjadi. Kita sering berprasangka dan melihat orang lain dengan kacamata kita sendiri serta tak jarang kita berprasangka buruk terhadapnya.
Orang lainlah yang selalu salah, orang lainlah yang patut disingkirkan, orang lainlah yang tak tahu diri, orang lainlah yang berdosa, orang lainlah yang selalu bikin masalah, orang lainlah yang pantas diberi pelajaran.
Padahal kita sendiri yang mencuri kue tadi, padahal kita sendiri yang
tidak tahu terima kasih.Kita sering mempengaruhi, mengomentari,mencemooh pendapat, penilaian atau gagasan orang lain sementara sebetulnya kita tidak tahu betul permasalahannya.

9. TIDAK BU, BARANG ITU BUKAN MILIK SAYA

Meli tak menyangka akan begini jadinya. Ia terus berlari dan berlari, menghindari kerumunan dan amukan massa di sekitar Jakarta Barat. Dari kejauhan terlihat jilatan api dari beberapa gedung dan sisa asap pembakaran mobil. Massa yang beringas – yang entah datang dari mana – bersorak sorai. Kemudian terdengar suara-suara sumbang penuh hasutan:”Cari Cina! Cari Cina!”
Beberapa mata mulai memandangnya. Meli bergidik. Beberapa mulai merasa menemukan sasaran. Meli menatap ke depan. Lengang, tak ada satu kendaraan pun yang bisa membawanya pergi dari tempat itu. Cemasnya menjadi-jadi. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Berlari sekuat-kuatnya? Masuk ke rumah penduduk? Mereka telah menutup pintu rapat-rapat tampa berani membukanya, setidaknya saat ini. Lalu? Matanya mulai nanar.
Tiba-tiba di antara bayangan kepulan asap, tampak seorang lelaki tua lusuh dengan sebuah sepeda kusam tua, menghampirinya.
“Ibu Cina, ya! Ibu mau kemana? Cepat naik ke sepeda saya, Bu! Cepat!!”
“Ojek sepeda ya…. Pak?”
Bapak dengan baju tambalan di sana sini itu mengangguk pelan. Tanpa berpikir panjang, Meli segera naik ke atas sepeda tersebut. Si lelaki tua mengayuh sepedanya kuat-kuat disertai peluh bercucuran yang membasahi bagian punggung bajunya, meninggalkan massa yang berpesta dalam amukan dan beberapa pasang mata liar yang urung mengejar mereka.
Sampai di belakang Glodok Plaza, Meli melihat banyak orang mengambil barang dari dalam toko-toko di sekitar sana. Dengan wajah puas orang-orang itu mengangkuti televisi, radio, komputer, kulkas sampai mesin cuci dan lain sebagainya. Meli tak mengerti. Mungkinkah barang-barang itu diberikan oleh pemiliknya agar toko tersebut tak dibakar? Atau massa yang menjarahnya? Beberapa tentara tampak berjaga-jaga, namun tak melarang siapa pun yang ingin mengambil barang.
Di sudut yang sepi, Meli menyuruh bapak tua itu berhenti.
“Ada apa, Bu?”
“Pak, mendingan Bapak ikut ambil barang-barang itu dulu. Biar sepedanya saya yang jagain. Itu orang-orang pada ngambil. Ambil dulu, Pak!” ujar Meli. Hatinya tergetar melihat kemiskinan dan perjuangan lelaki tua ini untuk menghidupi keluarganya. Ya, apa salahnya ia menunggu sebentar dan menjaga sepeda ini sementara bapak itu mengangkuti barang yang bisa dia bawa pulang.
Di luar dugaan, bapak tua itu menggeleng dan tersenyum getir. “Tidak, Bu. Barang itu bukan milik saya. Bukan barang halal. Saya muslim, Bu.”
Meli tercengang beberapa saat. Benar-benar trenyuh. Orang tak mampu seperti ini, ternyata punya prinsip hidup yang sangat mulia. Saat sampai di tujuan, bapak itu hanya meminta ongkos tiga ribu rupiah, jumlah yang tak berbeda dengan bila tak ada kerusuhan. Meli memberinya empat ribu, dan bapak tua itu meninggalkannya dengan riang. “Terimakasih, Bu.”
Meli menatap lelaki tua itu hingga menjadi titik di kejauhan. Ia telah mendapat satu pelajaran yang luar biasa. Bukan dari siapa-siapa. Hanya dari seorang miskin, seorang muslim, seorang yang berbeda keyakinan dengan dirinya. Dan dengan bangga, Meli menceritakannya pada saya.
[Sumber: Disadur dari Buku 'Lentera Kehidupan, Cerita Luar Biasa dari Orang-Orang Biasa' karangan Helvy Tiana Rosa]

10. RAJA MAHMUD DAN KACANG BUNCIS

Suatu hari, Raja Mahmud yang perkasa dari Ghazna pergi berburu, ia terpisah dari kelompoknya. Ia kemudian mendatangi asap yang berasal dari sebuah api kecil, di mana ia juga menemukan perempuan tua dengan belanganya.
Raja Mahmud berkata:
“Hari ini engkau mendapat tamu seorang raja, apa yang engkau masak di atas apimu?”
Perempuan tua itu menjawab, “Ini rebusan buncis.”
Raja Mahmud bertanya, “Wahai perempuan tua, maukah engkau memberiku sedikit?”
“Tidak,” jawab perempuan itu, “Karena ini hanya untukku. Kerajaanmu tidak berharga sebagaimana buncis-buncis ini. Engkau boleh saja menginginkan buncisku, tetapi aku tidak menginginkan apa pun yang engkau miliki. Buncis-buncisku bernilai seratus kali lipat daripada semua milikmu. Lihat musuh-musuhmu, yang berusaha mengambil alih milikmu. Aku bebas, dan memiliki kacang buncisku.”
Mahmud yang perkasa memandang pemilik kacang tersebut, memikirkan kekuasaannya yang dipersengketakan, dan menangis.

11. SI KIKIR DAN MALAIKAT MAUT

Setelah bekerja keras, berdagang dan meminjamkan (uang) si kikir telah menumpuk harta, tigaratus ribu dinar. Ia memiliki tanah luas dan banyak gedung, dan segala macam harta benda.
Kemudian ia memutuskan untuk beristirahat selama satu tahun, hidup nyaman, dan kemudian menentukan mengenai bagaimana masa depannya. Tetapi, segera setelah ia berhenti mengumpulkan uang, ketika itu juga muncul Malaikat Maut di hadapannya untuk mencabut nyawanya.
Si kikir pun berusaha dengan segala daya upaya, agar Malaikat Maut yang pantang menyerah itu, tidak jadi menjalankan tugasnya. Ia berkata:
“Bantulah aku, hanya tiga hari saja, dan akan kuberikan sepertiga hartaku.”
Malaikat Maut menolak, dan mulai menarik nyawa si kikir. Kemudian si kikir berkata lagi:
“Jika engkau membolehkan aku tinggal dua hari lagi, akan kuberi engkau duaratus ribu dinar dari gudangku.”
Tetapi sang Malaikat Maut tidak mau mendengarkannya. Bahkan ia menolak memberi tambahan tiga hari demi tigaratus ribu dinarnya. Kemudian si kikir berkata:
“Tolonglah, kalau begitu beri aku waktu untuk menulis sebentar.”
Kali ini Malaikat Maut mengizinkannya, dan si kikir menulis dengan darahnya sendiri.
“Wahai manusia, manfaatkan hidupmu. Aku tidak dapat membelinya dengan tigaratus ribu dinar. Pastikan bahwa engkau menyadari nilai dari waktu yang engkau miliki.”

12. KUDA AJAIB

Seorang raja mempunyai dua putra. Si sulung, membantu masyarakat dengan bekerja demi mereka, dalam cara yang mereka pahami. Sedang putra kedua, disebut ‘Pemalas’ karena ia seorang pemimpi, sejauh yang dapat dilihat orang.
Putra pertama mendapat penghargaan tinggi di negerinya. Anak kedua, memperoleh kuda kayu dari tukang kayu dan menaikinya. Namun kuda kayu tersebut adalah kuda ajaib. Membawa penunggangnya, kalau ia bersungguh-sungguh, sesuai keinginan hatinya.
Menuruti hasrat hatinya, suatu hari sang pangeran muda menghilang bersama kuda ajaibnya. Ia menghilang dalam waktu yang lama. Setelah mengalami banyak petualangan, ia kembali bersama putri cantik dari Negeri Cahaya. Ayahnya sangat gembira karena ia kembali dengan selamat, serta mendengarkan cerita tentang kuda ajaib.
Kuda tersebut dibuat, disediakan untuk siapa pun yang menginginkannya. Tetapi sebagian besar orang lebih suka memanfaatkan yang nyata, yang telah dibuktikan dengan tindakan oleh pangeran pertama kepada mereka, karena bagi mereka kuda kayu tersebut tampak seperti mainan. Mereka tidak menangkap atau mengerti di luar (melampaui) penampilan fisik kuda tersebut, yang memang tidak mengesankan — hanya seperti mainan.
Ketika raja mangkat, ‘pangeran yang suka bermain dengan mainan kanak-kanak’ tersebut, karena harapan ayahnya, menjadi raja. Tetapi masyarakat pada umumnya membenci atau memandang rendah padanya. Mereka lebih suka pada kegembiraan, dan tertarik pada penemuan serta kegiatan praktis sang pangeran pertama.
Kalau tidak mendengar pangeran ‘pemalas’, kita tidak akan mengerti di luar penampilan fisik kuda kayu tersebut, baik dia mendapatkan seorang putri dari Negeri Cahaya atau tidak. Bahkan jika kita menyukai kuda, bukanlah bentuk luarnya yang dapat membantu kita bepergian hingga ke tujuan kita.

13. Tiga Nasihat Dari Seekor Burung Buat Seorang Pemburu

Pada suatu hari, ada seseorang menangkap burung. Burung itu berkata kepadanya, ” Aku tak berguna bagimu sebagai tawanan. Lepaskan saja aku. Nanti aku beri kau tiga nasihat. “
Si burung berjanji akan memberikan nasihat pertama ketika berada dalam genggaman orang itu. Yang kedua akan diberikannya kalau ia sudah berada di cabang pohon dan yang ketiga ketika ia sudah mencapai puncak bukit.
Orang itu setuju, lalu ia meminta nasihat pertama. Kata burung itu, ” Kalau kau kehilangan sesuatu, meskipun engkau menghargainya seperti hidupmu sendiri, jangan menyesal. “
Orang itu pun melepaskannya dan burung itu segera melompat ke dahan. Disampaikannya nasihat yang kedua, ” Jangan percaya kepada segala yang bertentangan dengan akal, apabila tak ada bukti. ”
Kemudian burung itu terbang ke puncak gunung. Dari sana ia berkata, ” Wahai manusia malang! Dalam diriku terdapat dua permata besar, kalau saja tadi kau membunuhku, kau akan memperolehnya. ” Orang itu sangat menyesal memikirkan kehilangannya, namun katanya, ” setidaknya, katakan padaku nasihat yang ketiga itu! ”
Si burung menjawab, ” Alangkah tololnya kau meminta nasihat ketiga sedangkan yang kedua pun belum kau renungkan sama sekali. Sudah kukatakan padaku agar jangan kecewa kalau kehilangan dan jangan mempercayai hal yang bertentangan dengan akal. Kini kau malah melakukan keduanya. Kau percaya pada hal yang tak masuk akal dan menyesali kehilanganmu. Aku pun tidak cukup besar untuk menyimpan dua permata besar! Kau tolol! Oleh karenanya kau harus tetap berada dalam keterbatasan yang disediakan bagi manusia. ”
(Catatan: Dalam lingkungan darwis, kisah ini dianggap sangat penting untuk mengakalkan fikiran siswa sufi, menyiapkannya menghadapi pengalaman yang tidak boleh dicapai dengan cara-cara biasa. Di samping penggunaannya sehari-hari di kalangan sufi, kisah ini terdapat juga dalam karya klasik Rumi, Matsnawi. Kisah ini juga ditonjolkan dalam Kitab Ketuhanan karya Fariduddin Aththar, salah seorang guru Rumi. Kedua tokoh sufi itu hidup pada abad ketiga belas.)

14. APAKAH ALLAH ADA?

“Katakan kepada saya,” kata seorang ateis, “apakah Allah itu
sungguh-sungguh ada?”
Jawab Sang Guru, “Jika kamu menginginkan saya
sungguh-sungguh jujur, saya tidak akan menjawab.”
Para murid penasaran mengapa ia tidak menjawab.
“Karena pertanyaannya tidak dapat dijawab,” kata Sang Guru.
“Jadi, Guru juga ateis?”
“Tentu saja tidak. Orang ateis membuat kesalahan karena
menyangkal kenyataan yang tidak mungkin dijelaskan.”
Setelah diam sejenak, ia menambahkan, “Dan orang teis
membuat kesalahan karena mencoba menjelaskannya.”
(Berbasa-basi Sejenak, Anthony de Mello,
Penerbit Kanisius, Cetakan 1, 1997)

15. NELAYAN YANG PUAS

Usahawan kaya dari kota terkejut menjumpai nelayan di pantai sedang berbaring bermalas-malasan di samping perahunya, sambil mengisap rokok.
‘Mengapa engkau tidak pergi menangkap ikan?’ tanya usahawan itu.
‘Karena ikan yang kutangkap telah menghasilkan cukup uang untuk makan hari ini,’ jawab nelayan.
‘Mengapa tidak kau tangkap lebih banyak lagi daripada yang kau perlukan?’ tanya usahawan.
‘Untuk apa?’ nelayan balas beitanya.
‘Engkau dapat mengumpulkan uang lebih banyak,’ jawabnya. ‘Dengan uang itu engkau dapat membeli motor tempel, sehingga engkau dapat melaut lebih jauh dan menangkap ikan lebih banyak. Kemudian engkau mempunyai cukup banyak uang untuk membeli pukat nilon. Itu akan menghasilkan ikan lebih banyak lagi, jadi juga uang lebih banyak lagi. Nah, segera uangmu cukup untuk membeli dua kapal … bahkan mungkin sejumlah kapal. Lalu kau pun akan menjadi kaya seperti aku.’
‘Selanjutnya aku mesti berbuat apa?’ tanya si nelayan.
‘Selanjutnya kau bisa beristirahat dan menikmati hidup,’ kata si usahawan.
‘Menurut pendapatmu, sekarang Ini aku sedang berbuat apa?’ kata si nelayan puas.
Lebih bijaksana menjaga kemampuan untuk menikmati hidup seutuhnya daripada memupuk uang.
(Burung Berkicau, Anthony de Mello SJ, Yayasan Cipta Loka Caraka, Cetakan 7, 1994)

16. Dua Keinginan

Di keheningan malam, Sang Maut turun dari hadirat Tuhan menuju ke bumi. Ia terbang melayang-layang di atas sebuah kota dan mengamati seluruh penghuni dengan tatapan matanya. Ia menyaksikan jiwa-jiwa yang melayang-layang dengan sayap-sayap mereka, dan orang-orang yang terlena di dalam kekuasaan sang lelap.
Ketika rembulan tersungkur kaki langit, dan kota itu berubah warna menjadi hitam legam, Sang Maut berjalan dengan langkah tenang di tengah pemukiman — berhati-hati tidak menyentuh apapun — sampai tiba di sebuah istana. Dia masuk dan tak seorang pun kuasa menghalangi. Dia tegak di sisi sebuah ranjang dan menyentuh pelupuk matanya, dan orang yang tidur itu bangun dengan ketakutan.
Melihat bayangan Sang Maut di hadapannya, dia menjerit dengan suara ketakutan, “Menyingkirlah kau dariku, mimpi yang mengerikan! Pergilah engkau makhluk jahat! Siapakah engkau ini? Dan bagaimana mungkin kau masuk istana ini? Apa yang kau inginkan? Minggatlah, karena akulah empunya rumah ini. Enyahlah kamu, kalau tidak, kupanggil para budak dan para pengawal untuk mencincangmu menjadi kepingan!”
Kemudian Maut berkata dengan suara lembut, tapi sangat menakutkan, “Akulah kematian, berdiri dan membungkuklah kepadaku.”
Dan si kaya berkuasa itu bertanya, “Apa yang kau inginkan dariku sekarang, dan benda apa yang kau cari? Kenapa kau datang ketika pekerjaanku belum selesai? Apa yang kau inginkan dari orang kuat seperti aku? Pergilah sana, carilah orang-orang yang lemah, dan ambillah dia! Aku ngeri oleh taring-taringmu yang berdarah dan wajahmu yang bengis, dan mataku bergetar menatap sayap-sayapmu yang menjijikan dan tubuhmu yang memuakkan.”
Setelah diam beberapa saat dan tersadar dari ketakutannya, ia menambahkan, “Tidak, tidak, Maut yang pengampun, jangan pedulikan apa yang telah kukatakan, karena rasa takut membuat diriku mengucapkan kata-kata yang sesungguhnya terlarang. Maka ambillah emasku seperlunya atau nyawa salah seorang dari budak, dan tinggalkanlah diriku… Aku masih memperhitungkan kehidupan yang masih belum terpenuhi dan kekayaan pada orang-orang yang belum terkuasai. Di atas laut aku memiliki kapal yang belum kembali ke pelabuhan, dan pada hasil bumi yang belum tersimpan. Ambillah olehmu barang yang kau inginkan dan tinggalkanlah daku. Aku punya selir, cantik bagai pagi hari, untuk kau pilih, Kematian. Dengarlah lagi : Aku punya seorang putra tunggal yang kusayangi, dialah biji mataku. Ambillah dia juga, tapi tinggalkan diriku sendirian.”
Sang Maut itu menggeram, engkau tidak kaya tapi orang miskin yang tak tahu diri. Kemudian Maut mengambil tangan orang itu, mencabut kehidupannya, dan memberikannya kepada para malaikat di langit untuk memeriksanya.
Dan maut berjalan perlahan di antara orang-orang miskin hingga ia mencapai rumah paling kumuh yang ia temukan. Ia masuk dan mendekati ranjang di mana tidur seorang pemuda dengan kelelapan yang damai. Maut menyentuh matanya, anak muda itu pun terjaga. Dan ketika melihat Sang Maut berdiri di sampingnya, ia berkata dengan suara penuh cinta dan harapan, “Aku di sini, wahai Sang Maut yang cantik. Sambutlah ruhku, impianku yang mengejawantah dan hakikat harapanku. Peluklah diriku, kekasih jiwaku, karena kau sangat penyayang dan tak kan meninggalkan diriku di sini. Kaulah utusan Ilahi, kaulah tangan kanan kebenaran. Jangan tinggalkan daku.”
“Aku telah memanggilmu berulang kali, namun kau tak mendengarkan. Tapi kini kau telah mendengarku, karena itu jangan kecewakan cintaku dengan peng-elakan diri. Peluklah ruhku, Sang Maut terkasih.”
Kemudian Sang Maut meletakkan jari-jari lembutnya ke atas bibir yang bergetar itu, mencabut nyawanya, dan menaruhnya di bawah sayap-sayapnya.
Ketika ia naik kembali ke langit, Maut menoleh ke belakang — ke dunia — dan dalam bisikan ia berkata, “Hanya mereka yang di dunia mencari Keabadian-lah yang sampai ke Keabadian itu.”
(dari “Kelopak-Kelopak Jiwa” – Gibran Khalil Gibran)

17. JONEYED DAN TUKANG CUKUR

Seorang suci bernama Joneyed pergi ke Mekah dengan berpakaian pengemis. Di sana ia melihat seorang tukang sedang mencukur seorang kaya. Ketika ia minta supaya dicukur juga, tukang cukur itu segera meninggalkan orang kaya dan mencukur Joneyed. Ia tidak memungut biaya dari Joneyed. Malah sebaliknya, Joneyed diberinya uang sedekah.
Joneyed begitu terharu sehingga ia berniat untuk memberikan semua sedekah yang akan diterimanya pada hari itu pada si tukang cukur.
Tidak disangka, seorang peziarah yang kaya memberi Joneyed sekarung emas. Joneyed pergi ke kios tukang cukur pada malam itu juga dan menyerahkan sekarung emas itu kepadanya.
Tukang cukur itu mengejeknya:
‘Anda ini orang suci macam apa? Tidak malukah Anda membayar sebuah pengabdian cinta?’
Kadang-kadang terdengar orang berkata: ‘Tuhan, kami ini sudah berbuat begitu banyak bagimu. Apa ganjaran kami sekarang?’
Kalau ganjaran ditawarkan atau dicari; cinta menjadi barang dagangan.
(Burung Berkicau, Anthony de Mello SJ, Yayasan Cipta Loka Caraka, Cetakan 7, 1994)

18. BAHARUDIN MENYEMBUNYIKAN MUKJIZAT-MUKJIZATNYA

Pada suatu ketika orang menemui murid seorang Muslim mistik
Baharudin Naqshband dan berkata, “Jelaskan, mengapa gurumu
menyembunyikan mukjizat-mukjizatnya. Aku sendiri
mengumpulkan peristiwa-peristiwa, yang membuktikan tak dapat
disangsikan lagi, bahwa ia hadir pada lebih dari satu tempat
pada waktu yang sama, bahwa ia menyembuhkan orang dengan
kekuatan doanya, tetapi ia berkata, bahwa itu karya kodrat,
bahwa ia membantu orang dalam kesusahannya dan mengatakan
itu sebagai keuntungan mereka. Mengapa ia berbuat demikian?”
“Aku tahu betul apa yang kamu maksud” kata murid, “Sebab aku
sendiri mengamati hal-hal itu. Dan kukira, aku dapat
menjawab pertanyaanmu itu. Pertama, Guru itu menolak menjadi
pusat perhatian orang banyak. Dan kedua, ia yakin bahwa jika
orang sudah menaruh perhatian pada mukjizat, mereka tidak
berminat lagi belajar sesuatu yang bernilai rohani.”

(DOA SANG KATAK 1, Anthony de Mello SJ,
Penerbit Kanisius, Cetakan 12, 1996)

19. Mimpi Berwarna Kelabu

Cerpen: Rama Dira J
DI SUATU subuh yang berkabut, mendadak Maharani terpental ke dalam sepenggal mimpi berwarna kelabu. Semesta kelabu dan segenap isinya juga kelabu. Sisa bulan purnama kelabu, menggelantung di langit kelabu dengan sinar bergeletar karena tertiup angin yang tentunya kelabu. Embun-embun kelabu menetes dari ujung dedaunan kelabu, untuk kemudian jatuh ke tanah yang kelabu. Demikianlah, seluruhnya adalah kelabu.
Di tengah-tengah tanah lapang itu, Maharani melihat ada sekumpulan lelaki yang semuanya berikat kepala, tengah duduk bersila mengelilingi seorang paling tua yang memegang cawan di kedua tangan sambil merapalkan serangkaian mantra.
Angin lembah yang tak henti bertiup terasa membunuh dinginnya. Namun, tak ada di antara orang-orang itu yang merasakan perihnya irisan-irisan tajam angin itu pada kulit kelabu mereka, sebagaimana Maharani.
Maharani memerhatikan mereka satu-satu tapi tak ada wajah kelabu yang bisa dikenalnya, kecuali satu, wajah suaminya. Maharani berusaha mendekat, memegang bahu laki-laki itu, “Mengapa di sini?”
Nyongka seperti tak lagi mengenalinya. Matanya marah, sempat memandang sekejap padanya untuk kemudian berpaling, kembali memejam, terbuai dalam dengung mantra milik sang perapal.
Maharani tak segera meninggalkan tempat itu sampai pada penghujung mantra dan orang-orang itu kemudian secara bergiliran meminum cairan darah dalam cawan, yang warnanya tidaklah merah sebab seperti sudah ditakdirkan, semua yang ada di dalam mimpi itu berwarna kelabu semata.
Usai semuanya mendapat giliran, mereka mulai meraung, memukul-mukul tanah, berdiri, mengambil pedang masing-masing, lantas terbang satu-satu bersama angin yang menghembus ke arah pemukiman suku Radu, di kampung sebelah.
Mimpi itu belum tuntas ketika Maharani mendapati tubuhnya telah basah peluh, masih terbaring di dalam pelukan Nyongka. Hembusan napas hangat milik sang suami yang baru menikahinya dua minggu yang lalu itu terus menyapu tengkuknya, membuat bulu-bulu halus di sana bergeletar.
Maharani berusaha bangkit menuju jendela, membuka dua daunnya. Ia melihat, semesta di luar yang menyungkup pemukiman suku Radu itu masihlah larut dalam pekat sisa malam. Ia tak lagi bisa memejam kembali sebab pikirannya terus menerawang, menerka-nerka apa gerangan yang dibawa oleh mimpi itu, sampai matahari muncul dari balik perbukitan.
Bertahun-tahun sebelumnya, sebelum menikah dengan Nyongka, ia memang pernah mendengar, ritual semacam yang ada di dalam mimpinya itu adalah ritual yang biasa dilakukan suku Ayal sebelum berangkat menuju medan perang. Sebagai orang Ayal, Nyongka pernah menceritakan pada Maharani (Maharani adalah keturunan suku Radu, sedangkan Nyongka adalah keturunan suku Ayal yang memutuskan untuk bermukim di pemukiman suku Radu setelah menikahi Maharani) bahwa sebelum berangkat perang, kaum laki-laki suku Ayal biasanya melakukan ritual cawan merah. Mereka berkumpul untuk meminum secara bergiliran darah hewan yang ditampung dalam satu cawan sebagai upaya untuk mendatangkan kekuatan, sebab setelah usai meminum darah itu, maka roh yang ada di dalam tubuh si peminumnya bukan lagi roh mereka sendiri tapi sudah menjelma menjadi roh perang. Jika sudah kemasukan roh ini, mereka adalah sosok yang baru, prajurit perang yang tak terkalahkan, tak bisa mati, sebab mereka memiliki berlapis-lapis nyawa.
*****
SEBAGAIMANA malam-malam sebelumnya, malam ini Maharani termenung bimbang, ketika tiba-tiba suaminya duduk terbangun dan merasa aneh menemukan fakta bahwa istrinya duduk membeku di samping dipan bambu pada saat semestinya ia tidur pulas sebagaimana dirinya sebab malam masihlah pekat. Tak bisa tidak, ia pun bertanya.
Mulanya Maharani berusaha mengelak. Ia menggeleng, menegaskan tidak terjadi apa-apa. Namun kemudian, Nyongka tak segera percaya. Ia terus mendesak Maharani sampai kemudian bersedia menceritakan mimpi berwarna kelabu yang selalu menyerang tidurnya dalam malam-malam terakhir ini.
Mimpi itu, sungguh mendatangkan perasaan mencekam pada Maharani. Sampai-sampai, segenap peristiwa yang ada di dalamnya terasa seperti rekaman gambar nyata yang terpampang di depan matanya. Namun, selalu, mimpi itu tak pernah tuntas. Tak berujung, hingga kemudian menyebabkan pikiran Maharani selalu galau, terpaksa menduga-duga apa yang akan terjadi sesudah itu.
Mendengar itu, Nyongka seperti tersihir sesuatu. Perasaannya menjadi bimbang. Ada semacam kekhawatiran yang mendadak menghajarnya apalagi dalam mimpi itu ada dia bersama segerombolan lelaki lain, tengah melakukan ritual cawan merah.
“Benarkah itu?” Ia masih meragukan Maharani.
“Tentu! Aku tak mungkin membual!”
“Sungguh aneh…”
“Aneh bagaimana?”
Nyongka tak menjawab pertanyaan Maharani. Ia membatin, ?Bukankah perang suku sudah lama tak terjadi? Bukankah ritual cawan merah sudah lama dibuang?? Pikiran berlanjut menyisir menuju masa lalu. Kala itu ia masihlah bocah. Di lembah pemukiman suku Ayal, ia menyaksikan sendiri bagaimana Ayahnya berupaya melerai beberapa lelaki Ayal yang berencana melakukan ritual cawan merah sebelum terlibat dalam perang suku dengan suku Radu di kampung sebelah. Seperti biasanya apa yang menjadi penyebab rencana penyerangan itu adalah masalah saling mengakui siapa sesungguhnya yang layak menempati kawasan lembah itu seluruhnya. Suku Ayal, sebagai suku asli yang sudah sejak lama menempati wilayah lembah itu merasa lebih berhak untuk tinggal di sana, sementara suku Radu yang adalah suku pendatang, tak mau begitu saja pergi meninggalkan wilayah yang sudah mereka tempati. Kedua pihak tak ada yang mau mengalah, sepakat mengadu kekuatan sampai nyawa pungkas. Siapa yang tak mati, dialah pemilik lembah itu. Sampai pada perang suku yang kesekian puluh kalinya, memang tak ada lelaki dari suku Ayal yang meninggal dalam perang suku. Korban yang meninggal semuanya dari pihak suku Radu.
Ketika Ayah Nyongka menjabat sebagai kepala suku Ayal baru, dialah yang kemudian mau mengambil jalan damai dalam menyelesaikan konflik yang terjadi antara dua suku yang mendiami lembah di kaki gunung itu. Sebagaimana yang disaksikan oleh Nyongka kecil, hal pertama yang dilakukan oleh Ayah Nyongka adalah mendatangi kumpulan lelaki yang akan melakukan ritual cawan merah tadi. Ia mencoba menenangkan mereka dan meyakinkan bahwa penyelesaian masalah dengan pertumpahan darah itu telah membuat roh-roh nenek moyang marah. Para roh nenek moyang tak mau lagi tanah lembah ini dikotori oleh anyir darah.
Sekelompok lelaki ini tak bisa menentang apa yang dikatakan oleh Ayah Nyongka sebagai kepala suku yang baru. Mereka juga mengiyakan rencana Ayah Nyongka untuk mendatangi kepala suku Radu demi menawarkan jalan damai, tidak dengan tumpah darah sebagaimana lazimnya terjadi.
Ayah Nyongka dengan beberapa lelaki dari pemukiman suku Ayal mendatangi pemukiman suku Radu keesokannya dan pulang dengan kabar yang melegakan. Telah disepakati jalan damai. Tanah milik suku Ayal yang sempat diakui sebagai milik suku Radu dikembalikan. Dan sejak saat itulah suku Radu dan suku Ayal sepakat untuk tak lagi terlibat dalam perang suku yang acap kali mengacaukan kehidupan kedua pihak di lembah itu. Semenjak itu pula ritual cawan merah tak lagi dijalankan oleh suku Ayal.
“Seharusnya tak ada lagi ritual cawan merah, meski hanya di dalam mimpi… “
Pembicaraan suami istri itu tak berujung pada kepastian. Kedua-duanya gundah, kedua-duanya tak bisa memejam meski mereka telah berusaha.
******
DI suatu subuh lain yang berkabut, Maharani terbangun. Ia tak mendapati Nyongka di sampingnya. Ia terus mencari-carinya ketika mendengar ribut-ribut di luar, teriakan-teriakan panik.
”Perang pecah. Perang pecah. Suku Ayal menyerang…”
Perkampungan suku Radu itu rusuh. Semuanya kacau balau. Kabarnya, para lelaki suku Ayal sudah berada di ujung Selatan perkampungan. Mereka menyerang membabi buta. Mereka telah membunuh banyak orang Radu sementara mereka sendiri, tak bisa terbunuh. Tanpa sepengetahuan Maharani, sehari sebelumnya telah terjadi perebutan tanah antara beberapa orang suku Ayal dan suku Radu di wilayah perbatasan. Tak ada kesepakatan damai yang tercapai, hingga pecahlah perang sebagaimana yang sering terjadi dua puluh tahun yang lalu.
Maharani pun menjadi panik, apalagi Nyongka tak ada bersamanya. Belum reda kepanikan Maharani, ia mendengar suara keras pada pintu yang dihasilkan oleh upaya beberapa orang untuk merobohkannya. Pintu ambruk dan dari dalam, ia bisa melihat, segerombolan lelaki berikat kepala, langsung memandang tajam padanya. Sebelum lelaki tertua masuk, Nyongka yang juga serta dalam rombongan itu, menghalanginya.
”Perempuan yang satu ini, biar aku yang membunuhnya.”
Lelaki tertua mengalah dan memberi kesempatan kepada Nyongka untuk menuntaskan hasrat membunuhnya meski sesungguhnya ia sudah menghabiskan ratusan nyawa milik orang Radu, sebelum mencapai rumah ini. Dalam perang suku kali ini, suku Ayal tak hanya menyerang kaum lelaki. Mereka menyerang siapa saja orang yang memiliki aroma tubuh kas milik suku Radu. Lelaki, perempuan, anak, bayi, semuanya.
Nyongka melangkah maju, Maharani mundur dengan gerak yang tak kuasa menahan beban badan. Beberapa kali ia terduduk untuk kemudian susah payah berusaha bangkit dalam cekaman perasaan tak menentu. Maharani berusaha terus memandang suaminya dengan sepasang mata yang mulai berkaca-kaca. Ia tahu pasti, meski itu adalah Nyongka, roh yang ada di dalam tubuh itu tak akan mengenalnya. Sebentar lagi, ia akan mati dalam tangan orang yang paling dicintai. Dalam detik-detik terakhir menjelang Nyongka menghujamkan pedang ke tubuhnya, ia hanya pasrah. Sebenarnya ia ingin membisikkan ucapan selamat tinggal dengan penuh rasa sayang. Namun, ia tak segera bisa melakukannya.
Nyongka sudah tak berjarak dengannya. Namun, Nyongka tak juga segera menghujamkan pedang. Ia justru menarik lengan Maharani lantas membawanya bergegas menerobos pintu belakang, menaruh kedua lengan Maharani pada pundaknya untuk kemudian ia bawa terbang, terus meninggi perlahan, melintasi angin, terus menuju ke arah langit subuh yang tak berbintang. Di bawah mereka, terdengar teriakan para lelaki yang mengumpat, menyumpahi Nyongka yang telah meloloskan seorang perempuan suku Radu yang seharusnya ia bunuh itu.
Maharani terus terbang, melintasi waktu, mengitari semesta, dengan terus erat di punggung Nyongka yang tiba-tiba hilang dan menyisakan dirinya sendiri, terjatuh ke bawah, dalam hempasan angin, layaknya sehelai bulu merpati, terjatuh perlahan, hingga mencapai taman bunga yang indah, di dunia yang entah. Maharani kebingungan mencari. Ia memandang ke atas, tak juga bisa menemukan Nyongka di mana.
Mimpi itu usai, Maharani bangun. Baru kali inilah mimpi berwarna kelabu itu sampai pada akhir yang demikian. Ia puas, ia tersenyum sebab ia kini telah mengetahui akhir yang sesungguhnya.
Namun, senyuman itu segera berakhir karena tak ada Nyongka di sampingnya.
***
Pangkalpinang, 17 April 07

20. Di Zawiyyah Sebuah Masjid

Sesudah shalat malam bersama, beberapa santri yang besok pagi diperkenankan pulang kembali ke tengah masyarakatnya, dikumpulkan oleh Pak Kiai di zawiyyah sebuah masjid.
Seperti biasanya, Pak Kiai bukannya hendak memberi bekal terakhir, melainkan menyodorkan pertanyaan-pertanyaan khusus, yang sebisa mungkin belum usah terdengar dulu oleh para santri lain yang masih belajar di pesantren.
“Agar manusia di muka bumi ini memiliki alat dan cara untuk selamat kembali ke Tuhannya,” berkata Pak Kiai kepada santri pertama, “apa yang Allah berikan kepada manusia selain alam dan diri manusia sendiri?”
“Agama,” jawab santri pertama.
“Berapa jumlahnya?”
“Satu.”
“Tidak dua atau tiga?”
“Allah tak pernah menyebut agama atau nama agama selain yang satu itu, sebab memang mustahil dan mubazir bagi Allah yang tunggal untuk memberikan lebih dari satu macam tuntunan.”
**
Kepada santri kedua Pak Kiai bertanya, “Apa nama agama yang dimaksudkan oleh temanmu itu?”
“Islam.”
“Sejak kapan Allah mengajarkan Islam kepada manusia?”
“Sejak Ia mengajari Adam nama benda-benda.”
“Kenapa kau katakan demikian?”
“Sebab Islam berlaku sejak awal mula sejarah manusia dituntun. Allah sangat adil. Setiap manusia yang lahir di dunia, sejak Adam hingga akhir zaman, disediakan baginya sinar Islam.”
“Kalau demikian, seorang Muslimkah Adam?”
“Benar, Kiai. Adam adalah Muslim pertama dalam sejarah umat manusia.”
**
Pak Kiai beralih kepada santri ketiga. “Allah mengajari Adam nama benda-benda,” katanya, “bahasa apa yang digunakan?”
Dijawab oleh santri ketiga, “Bahasa sumber yang kemudian dikenal sebagai bahasa Al-Qur’an.”
“Bagaimana membuktikan hal itu?”
“Para sejarahwan bahasa dan para ilmuwan lain harus bekerja sama untuk membuktikannya. Tapi besar kemungkinan mereka takkan punya metode ilmiah, juga tak akan memperoleh bahan-bahan yang diperlukan. Manusia telah diseret oleh perjalanan waktu yang sampai amat jauh sehingga dalam kebanyakan hal mereka buta sama sekali terhadap masa silam.”
“Lantas bagaimana mengatasi kebuntuan itu?”
“Pertama dengan keyakinan iman. Kedua dengan kepercayaan terhadap tanda-tanda yang terdapat dalam kehendak Allah.”
“Maksudmu, Nak?”
“Allah memerintahkan manusia bersembahyang dalam bahasa Al-Qur’an. Oleh karena sifat Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, berlaku universal secara ruang maupun waktu, maka tentulah itu petunjuk bahwa bahasa yang kita gunakan untuk shalat adalah bahasa yang memang relevan terhadap seluruh bangsa manusia. Misalnya, karena memang bahasa Al-Qur’anlah yang merupakan akar, sekaligus puncak dari semua bahasa yang ada di muka bumi.”
**
“Temanmu tadi mengatakan,” berkata Pak Kiai selanjutnya kepada santri keempat, “bahwa Allah hanya menurunkan satu agama. Bagaimana engkau menjelaskan hal itu?”
“Agama Islam dihadirkan sebagaimana bayi dilahirkan,” jawab santri keempat, “Tidak langsung dewasa, tua atau matang, melainkan melalui tahap-tahap atau proses pertumbuhan.”
“Apa jawabmu terhadap pertanyaan tentang adanya berbagai agama selain Islam?”
“Itu anggapan kebudayaan atau anggapan politik bukan anggapan akidah.”
“Apakah itu berarti engkau tak mengakui eksistensi agama-agama lain?”
“Aku mengakui nilai-nilai yang termuat dalam yang disebut agama-agama itu –sebelum dimanipulasikan– sebab nilai-nilai itu adalah Islam jua adanya pada tahap tertentu, yakni sebelum disempurnakan oleh Allah melalui Muhammad rasul pamungkasNya. Bahwa kemudian berita-berita Islam sebelum Muhammad itu dilembagakan menjadi sesuatu yang disebut agama –dengan, ternyata, berbagai penyesuaian, penambahan atau pengurangan– sebenarnya yang terjadi adalah pengorganisasian. Itu bukan agama Allah, melainkan rekayasa manusia.”
**
Pak Kiai menatapkan matanya tajam-tajam ke wajah santri kelima sambil bertanya, “Agama apakah yang dipeluk oleh orang-orang beriman sebelum Muhammad?”
“Islam, Kiai.”
“Apa agama Ibrahim?”
“Islam.”
“Apa agama Musa?”
“Islam.”
“Dan agama Isa?”
“Islam.”
“Sudah bernama Islamkah ketika itu?”
“Tidak mungkin, demikian kemauan Allah, ada nama atau kata selain Islam yang sanggup mewakili kandungan-kandungan nilai petunjuk Allah. Islam dan kandungannya tak bisa dipisahkan, sebagaimana api dengan panas atau es dengan dingin. Karena ia Islam, maka demikianlah kandungan nilainya. Karena demikian kandungan nilainya, maka Islamlah namanya. Itu berlaku baik tatkala pengetahuan manusia telah mengenal Islam atau belum.”
**
“Maka apakah gerangan arti yang paling inti dari Islam?” Pak Kiai langsung menggeser pertanyaan kepada santri keenam.
“Membebaskan,” jawab santri itu.
“Pakailah kata yang lebih memuat kelembutan!”
“Menyelematkan, Kiai.”
“Siapa yang menyelamatkan, siapa yang diselamatkan, serta dari apa dan menuju apa proses penyelamatan atau pembebasan itu dilakukan?”
“Allah menyelamatkan manusia, diaparati oleh para khulafa’ atas bimbingan para awliya dan anbiya. Adapun sumber dan tujuannya ialah membebaskan manusia dari kemungkinan tak selamat kembali ke Allah. Manusia berasal dari Allah dan sepenuhnya milik Allah, sehingga Islam –sistem nilai hasil karya Allah yang dahsyat itu– dimaksudkan untuk membebaskan manusia dari cengkeraman sesuatu yang bukan Allah.”
“Apa sebab agama anugerah Allah itu tak bernama Salam, misalnya?”
“Salam ialah keselamatan atau kebebasan. Itu kata benda. Sesuatu yang sudah jadi dan tertentu. Sedangkan Islam itu kata kerja. Berislam ialah beramal, berupaya, merekayasa segala sesuatu dalam kehidupan ini agar membawa manusia kepada keselamatan di sisi Allah.”
**
Pak Kiai menuding santri ketujuh, “Tidakkah Islam bermakna kepasrahan?”
“Benar, Kiai,” jawabnya, “Islam ialah memasrahkan diri kepada kehendak Allah. Arti memasrahkan diri kepada kehendak Allah ialah memerangi segala kehendak yang bertentangan dengan kehendak Allah.”
“Bagaimana manusia mengerti ini kehendak Allah atau bukan?”
“Dengan memedomani ayat-ayatNya, baik yang berupa kalimat-kalimat suci maupun yang terdapat dalam diri manusia, di alam semesta, maupun di setiap gejala kehidupan dan sejarah. Oleh karena itu Islam adalah tawaran pencarian yang tak ada hentinya.”
“Kenapa sangat banyak orang yang salah mengartikan makna pasrah?”
“Karena manusia cenderung malas mengembangkan pengetahuan tentang kehendak Allah. Bahkan manusia makin tidak peka terhadap tanda-tanda kehadiran Allah di dalam kehidupan mereka. Bahkan tak sedikit di antara orang-orang yang rajin bersembahyang, sebenarnya tidak makin tinggi pengenalan mereka terhadap kehendak Allah. Mereka makin terasing dari situasi karib dengan kemesraan Allah. Hasilnya adalah keterasingan dari diri mereka sendiri. Tetapi alhamdulillah, situasi terasing dan buntu yang terjadi pada peradaban mutakhir manusia, justru merupakan awal dari proses masuknya umat manusia perlahan-lahan ke dalam cahaya Islam. Sebab di dalam kegelapanlah manusia menjadi mengerti makna cahaya.”
**
“Cahaya Islam. Apa itu gerangan?”
Santri ke delapan menjawab, “Pertama-tama ialah ilmu pengeahuan. Adam diajari nama benda-benda. Itulah awal mula pendidikan kecendekiaan, yang kelak direkonstruksi oleh wahyu pertama Allah kepada Muhammad, yakni iqra’. Itulah cahaya Islam, sebab agama itu dianugerahkan kepada makhluk tertinggi yang berpikiran dan berakal budi yang bernama manusia.”
“Pemikiranmu lumayan,” sahut Pak Kiai, “Cahaya Islam tentunya tak dapat dihitung jumlahnya serta tak dapat diukur keluasan dan ketinggiannya: kita memerlukan tinta yang ditimba dari tujuh lautan lebih untuk itu. Bersediakah engkau kutanyai barang satu dua di antara kilatan-kilatan cahaya mahacahaya itu?”
“Ya, Kiai.”
“Sesudah engkau sebut Adam, apa yang kau peroleh dari Idris?”
“Dinihari rekayasa teknologi.”
“Dari Nuh?”
“Keingkaran terhadap ilmu dan kewenangan Allah.”
“Hud?”
“Kebangunan kembali menuju salah satu puncak peradaban dan teknologi canggih.”
“Baik. Tak akan kubawa kau berhenti di setiap terminal. Tetapi jawablah: pada Ibrahim, terminal Islam apakah yang engkau temui?”
“Rekonstruksi tauhid, melalui metode penelitian yang lebih memeras pikiran dan pengalaman secara lebih detil.”
“Pada Ismail?”
“Pengurbanan dan keikhlasan.”
“Ayyub?”
“Ketahanan dan kesabaran.”
“Dawud?”
“Tangis, perjuangan dan keberanian.”
“Sulaiman?”
“Ke-waskita-an, kemenangan terhadap kemegahan benda, kesetiaan ekologis dan keadilan.”
“Sekarang sebutkan yang engkau peroleh dari Musa!”
“Keteguhan, ketegasan haq, ilmu perjuangan politik, tapi juga kedunguan dalam kepandaian.”
“Dari Zakaria?”
“Dzikir.”
“Isa?”
“Kelembutan cinta kasih, alam getaran hub.”
“Adapun dari Muhammad, anakku?”
“Kematangan, kesempurnaan, ilmu manajemen dari semua unsur cahaya yang dibawa oleh para perutusan Allah sebelumnya.”
**
Akhirnya tiba kepada santri kesembilan. “Di tahap cahaya Islam yang manakah kehidupan dewasa ini?”
“Tak menentu, Kiai,” jawab sanri terakhir itu, “Terkadang, atau bahkan amat sering, kami adalah Adam yang sembrono dan nekad makan buah khuldi. Di saat lain kami adalah Ayyub –tetapi– yang kalah oleh sakit berkepanjangan dan putus asa oleh perolehan yang amat sedikit. Sebagian kami memperoleh jabatan seperti Yusuf tapi tak kami sertakan keadilan dan kebijakannya; sebagian lain malah menjadi Yusuf yang dicampakkan ke dalam sumur tanpa ada yang mengambilnya. Ada juga golongan dari kami yang telah dengan gagahnya membawa kapak bagai Ibrahim, tapi sebelum tiba di gudang berhala, malah berbelok mengerjakan sawah-sawah Fir’aun atau membelah kayu-kayu untuk pembangunan istana diktator itu.”
Pak Kiai tersenyum, dan santri itu meneruskan, “Mungkin itu yang menyebabkan seringkali kami tersembelih bagai Ismail, tapi tak ada kambing yang menggantikan ketersembelihan kami.”
“Maka sebagian dari kami lari bagai Yunus: seekor ikan paus raksasa menelan kami, dan sampai hari ini kami masih belum selesai mendiskusikan dan menseminarkan bagaimana cara keluar dari perut ikan.”
Pak Kiai tertawa terkekeh-kekeh.
“Kami belajar pidato seperti Harun, sebab dewasa ini berlangsung apa yang disebut abad informasi. Tetapi isi pidato kami seharusnya diucapkan 15 abad yang lalu, padahal Musa-Musa kami hari ini tidaklah sanggup membelah samudera.”
“Anakku,” Pak Kiai menyela, “pernyataan-pernyataanmu penuh rasa sedih dan juga semacam rasa putus asa.”
“Insyaallah tidak, Kiai,” jawab sang santri, “Cara yang terbaik untuk menjadi kuat ialah menyadari kelemahan. Cara yang terbaik untuk bisa maju ialah memahami kemunduran. Sebodoh-bodoh kami, sebenarnya telah pula berupaya membuat tali berpeluru Dawud untuk menyiapkan diri melawan Jalut. Tongkat Musa kami pun telah perlahan-lahan kami rekayasa, agar kelak memiliki kemampuan untuk kami lemparkan ke halaman istana Fir’aun dan menelan semua ular-ular sihir yang melata-lata. Kami juga mulai berguru kepada Sulaiman si raja agung pemelihara ekosistem. Seperti Musa kami juga belajar berendah hati kepada ufuk ilmu Khidhir. Dan berzikir. Bagai Zakaria, kami memperpeka kehidupan kami agar memperoleh kelembutan yang karib dengan ilmu dan kekuatan Allah. Terkadang kami khilaf mengambil hanya salah satu watak Isa, yakni yang tampak sebagai kelembekan. Tetapi kami telah makin mengerti bagaimana berguru kepada keutuhan Muhammad, mengelola perimbangan unsur-unsur, terutama antara cinta dengan kebenaran. Sebab tanpa cinta, kebenaran menjadi kaku dan otoriter. Sedangkan tanpa kebenaran, cinta menjadi hanya kelemahan, keterseretan, terjebak dalam kekufuran yang samar, hanyut dan tidak berjuang.”
**
Betapa tak terbatas apabila perbincangan itu diteruskan jika tujuannya adalah hendak menguak rahasia cahaya Islam.
“Sampai tahap ini,” kata Pak Kiai, “cukuplah itu bagi kalian, sesudah dua pertanyaan berikut ini kalian jawab.”
“Kami berusaha, Kiai,” jawab mereka.
“Bagaimana kalian menghubungkan keyakinan kalian itu dengan keadaan masyarakat dan negeri di mana kalian bertempat tinggal?”
“Kebenaran berlaku hanya apabila diletakkan pada maqam yang juga benar. Juga setiap kata dan gerak perjuangan,” berkata salah seorang.
“Sebaik-baik urusan ialah di tengah-tengahnya, kata Rasul Agung. Harus pas. Tak lebih tak kurang,” sambung lainnya.
“Muhammad juga mengajarkan kapan masuk Gua Hira, kapan terjun ke tengah masyarakat,” sambung yang lain lagi.
“Mencari titik koordinat yang paling tepat pada persilangan ruang dan waktu, atau pada lalu lintas situasi dan peta sejarah.”
“Ada dakwah rahasia, ada dakwah terang-terangan.”
“Hikmah, maw’idhah hasanah, jadilhum billati hiya ahsan.”
“Makan hanya ketika lapar, berhenti makan sebelum kenyang. Itulah irama. Itulah sesehat-sehat kesehatan, yang berlaku bagi tubuh maupun proses sejarah.”
“Perjuangan ialah mengetahui kapan berhijrah ke Madinah dan kapan kembali ke Makkah untuk kemenangan.”
“Dan di atas semua itu, Rasulullah Muhammad bersedia tidur beralaskan daun kurma atau bahkan di atas lantai tanah.”
Pak Kiai tersenyum, “Apa titik tengah di antara kutub kaku dan kutub lembek, anak-anakku?”
“Lentur, Kiai!” kesembilan santri itu menjawab serentak, karena kalimat itulah memang yang hampir setiap hari mereka dengarkan dari mulut Pak Kiai sejak hari pertama mereka datang ke pesantren itu.
“Fal-yatalaththaf!” ucap Pak Kiai akhirnya sambil berdiri dan menyalami santri-santrinya satu per satu, “titik pusat Al-Qur’an!”
1987
Emha Ainun Nadjib

21. TERSERAH TUHAN

Hidup di zaman kebangkitan Islam (kalau benar konsep ini
menggambarkan realitas sosial sekarang) memiliki persoalan
tersendiri. Ke dalam lingkungan mana pun saya masuk, di sana
saya jumpai orang yang semangat Islamnya menggelora.

Ketika di Universitas Muhammadiyah Jakarta saya diminta
bicara di depan segenggam mahasiswa “penjaga mesjid”, saya
diingatkan agar lebih menguasai Islam secara tekstual.
Karena, pendekatan saya, kata salah seorang dari mereka,
bersifat “ilmu sosial” biasa.

Bagi banyak pihak, yang bersifat formalis macam ini, sesuatu
termasuk “agama” hanya bila ia diwarnai Quran dan Hadis.

Dari tahun ke tahun, ada saja mahasiswa Indonesia, di
Universitas Monash, yang bersemangat memburu daging halal.
Dasarnya, daging di supermarket haram karena disembelih
tidak dengan cara Islam. Penjelasan –bahwa makanan para ahli
kitab (Yahudi dan Nasrani) halal bagi Muslim– tidak pernah
laku. 
Akhir-akhir ini, saya memberi ceramah. Tanpa menyebut
sepotong pun ayat, saya bicara agama. Buat saya, agama
terpancar dalam hidup, bukan dalam kitab. Saya tidak kitab
minded, karena, agama lebih menuntut tindakan, bukan
kecanggihan ilmu, dari pemeluknya. Kita bisa jadi pemeluk
yang baik tanpa harus menjadi ahli.

Persoalan muncul. Saya diultimatum oleh wanita berjilbab:
“Lain kali, hati-hati. Kalau ceramah begitu di Indonesia
bisa pulang tinggal nama.”

Betapa mengerikannya. Memang, hanya orang yang paham yang
tahu bahwa saya pun sebenarnya berpijak pada ayat Tuhan,
yakni ayat kauniah yang tak disebutkan dalam kitab suci. Mas
Djohan (Djohan Effendi) pernah bicara tentang guru yang
membikin murid bertanya-tanya. Saat pelajaran agama,
anak-anak diajak membersihkan halaman, kamar mandi dan WC.

“Pak, katanya, pelajaran agama?” tanya seorang murid.

“Ya, ini juga pelajaran agama,” kata Pak Guru, tenang.
“Dasar teorinya: ‘kebersihan adalah sebagian dari iman’.
Nah, dengan tindakan tadi, kita buktikan, kita pun beriman.”

Anak-anak mesem. Agama, dengan begitu, masih tetap agama
biarpun tak diwarnai bunyi ayat-ayat dalam kitab suci.

Hardi itu lulusan PGA. Ia setengah kiai. Paham Quran dan
Hadis. Bahkan, juga kitab kuning. Tapi, ia gelisah. Ada yang
tak beres dalam hidupnya. Ia pun datang pada Pak Kiai, mohon
petunjuk.

“Kamu tidak butuh kiai macam saya,” kata Pak Kiai. “Pergilah
kamu pada Kamin.”

Hardi kaget. Orang tahu, Kamin itu cuma tukang bakso. Tahu
apa tukang bakso, yang tak pernah sekolah, tentang rahasia
hidup? “Kiai gendeng,” pikirnya.

“Tidak, saya serius, Nak,” kata Pak Kiai.

Hardi sungkem. Seperti sujud, ia mencium dengkul Pak Kiai,
sambil minta maaf atas gendeng-nya tadi.

Tapi, mengapa Kamin? Ia masih penasaran. Tentu saja, Pak
Kiai bermaksud baik. Bukankah, kadang, kiai tak mau bicara
langsung?

Dengan rumusan itu di kepala, ia pergi ke rumah Kamin. Tak
ada yang istimewa di sana, selain bahwa Kamin sekeluarga
bekerja keras. Anak-anaknya dikerahkan untuk membantu
mencuci gelas. Yang lain mengerok kelapa muda untuk campuran
es. Yu Ginah, istrinya, menggoreng krupuk.

Setelah periksa sana periksa sini, Kamin ke warung kecil di
depan rumahnya itu, melayani pembeli. Warung itu maju.
Bakso, krupuk udang, dan es kelapa, jadi pasangan serasi.
Pembeli berjejal.

Anak-anak Kamin, empat orang, semua sekolah. Biayanya, ya,
dari warung kecil itu. Biaya sekolah dari situ. Biaya hidup
dari situ. Mereka hidup tentram.

Hardi mulai tertarik. Ia mencoba mengamati lebih dekat,
lebih dalam. Setelah salat bersama pada suatu hari, mereka
dialog. Tapi, Kamin itu pendiam. Ia bicara sedikit.

“Apa doa kang Kamin sehabis salat?” tanya Hardi.

“Saya serahkan hidup ini pada Tuhan,” jawabnya, polos.

“Warung Anda maju. Apa rahasianya?”

“Tidak ada. Semua terserah Tuhan.”

“Anak-anak Anda sekolah. Apa rencana Anda untuk mereka?”

“Semua saya serahkan Tuhan.”

“Maksudnya?”

“Saya orang bodoh, tidak tahu apa mereka bisa jadi pegawai,
buruh, atau tukang bakso juga. Saya percaya, Tuhan
mahapengatur. Jadi, semua terserah Tuhan.”

Hardi pernah mendengar, orang Barat yang mengagumi
Soedjatmoko menganggap bahwa almarhum adalah jenis orang
yang belum dirusak oleh sistem pendidikan tinggi. Ia masih
murni. Kamin, si tukang bakso ini, iman dan takwanya juga
murni, dan total.

Hardi sujud. Bijaksana Pak Kiai mengirim dia ke Kamin.
Ketulusan macam Kamin itu, memang, yang belum dimilikinya
selama ini.

—————
Mohammad Sobary, Editor, No.32/Thn.IV/27 April 1991

22. MATA YANG TIDAK MENANGIS DI HARI KIAMAT

Semua kaum Muslim berkeyakinan bahwa dunia dan kehidupan ini akan berakhir. Akan datang suatu saat ketika manusia berkumpul di pengadilan Allah Swt. Al-Quran menceritakan berkali-kali tentang peristiwa Hari Kiamat ini, seperti yang disebutkan dalam surah Al-Ghasyiyah ayat 1-16. Dalam surah itu, digambarkan bahwa tidak semua wajah ketakutan. Ada wajah-wajah yang pada hari itu cerah ceria. Mereka merasa bahagia dikarenakan perilakunya di dunia. Dia ditempatkan pada surga yang tinggi. Itulah kelompok orang yang di Hari Kiamat memperoleh kebahagiaan.
Tentang wajah-wajah yang tampak ceria dan gembira di Hari Kiamat, Rasulullah pernah bersabda, “Semua mata akan menangis pada hari kiamat kecuali tiga hal. Pertama, mata yang menangis karena takut kepada Allah Swt. Kedua, mata yang dipalingkan dari apa-apa yang diharamkan Allah. Ketiga, mata yang tidak tidur karena mempertahankan agama Allah.”
Mari kita melihat diri kita, apakah mata kita termasuk mata yang menangis di Hari Kiamat?
Dahulu, dalam suatu riwayat, ada seorang yang kerjanya hanya mengejar-ngejar hawa nafsu, bergumul dan berkelana di teinpat-tempat maksiat, dan pulang larut malam.Dari tempat itu, dia pulang dalam keadaan sempoyongan. Di tengah jalan, di sebuah rumah, lelaki itu mendengar sayup-sayup seseorang membaca Al-Quran. Ayat yang dibaca itu berbunyi: “Belum datangkah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kenudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang yang fasik (Qs 57: 16).
Sepulangnya dia di rumah, sebelum tidur, lelaki itu mengulangi lagi bacaan itu di dalam hatinya. Kemudian tanpa terasa air mata mengalir di pipinya. Si pemuda merasakan ketakutan yang luar biasa. Bergetar hatinya di hadapan Allah karena perbuatan maksiat yang pemah dia lakukan. Kemudian ia mengubah cara hidupnya. Ia mengisi hidupnya dengan mencari ilmu, beramal mulia dan beribadah kepada Allah Swt., sehingga di abad kesebelas Hijri dia menjadi seorang ulama besar, seorang bintang di dunia tasawuf.
Orang ini bernama Fudhail bin Iyadh. Dia kembali ke jalan yang benar kerena mengalirkan air mata penyesalan atas kesalahannya di masa lalu lantaran takut kepada Allah Swt. Berbahagialah orang-orang yang pernah bersalah dalam hidupnya kemudian menyesali kesalahannya dengan cara membasahi matanya dengan air mata penyesalan. Mata seperti itu insya Allah termasuk mata yang tidak menangis di Hari Kiamat.
Kedua, mata yang dipalingkan dari hal-hal yang dilarang oleh Allah. Seperti telah kita ketahui bahwa Rasulullah pernah bercerita tentang orang-orang yang akan dilindungi di Hari Kiamat ketika orang-orang lain tidak mendapatkan perlindungan. Dari ketujah orang itu salah satu di antaranya adalah seseorang yang diajak melakukan maksiat oleh perempuan, tetapi dia menolak ajakan itu dengan mengatakan, “Aku takut kepada Allah”.
Nabi Yusuf as. mewakili kisah ini. Ketika dia menolak ajakan kemaksiatan majikannya. Mata beliau termasuk mata yang tidak akan menangis di Hari Kiamat, lantaran matanya dipalingkan dari apa-apa yang diharamkan oleh Allah Swt.
Kemudian mata yang ketiga adalah mata yang tidak tidur karena membela agama Allah. Seperti mata pejuang Islam yang selalu mempertahahkan keutuhan agamanya, dan menegakkan tonggak Islam. Itulah tiga pasang mata yang tidak akan menangis di Hari Kiamat, yang dilukiskan oleh Al-Quran sebagai wajah-wajah yang berbahagia di Hari Kiamat nanti.[]
(Jalaluddin Rakhmat, Renungan-Renungan Sufistik: Membuka Tirai Kegaiban, Bandung, Mizan, 1995, h. 165-167)

23. Bunglon dan Kelelawar

Suatu kali pernah timbul pertentangan antara beberapa
ekor kelelawar dan seekor bunglon. Perkelahian antara mereka
sudah sedemikian sengitnya, sehingga pertentangan itu sudah
melampaui batas. Para kelelawar setuju bahwa jika saat
petang menjelang malam telah menyebar melalui ceruk
lingkaran langit, dan matahari telah turun di hadapan
bintang-bintang menuju lingkup terbenamnya matahari, mereka
akan bersama-sama menyerang si bunglon dan, setelah
menjadikannya tawanan mereka, menghukumnya sesuka hati dan
melampiaskan dendam. Ketika saat yang dinantikan tiba,
mereka menyerang dengan tiba-tiba, dan semuanya bersama-sama
menyeret bunglon yang malang dan tak berdaya itu ke dalam
sarang mereka. Dan malam itu mereka memenjarakannya.
Ketika fajar tiba, mereka bertanya-tanya apakah sebaiknya
bunglon itu disiksa saja. Mereka semua setuju bahwa dia
harus dibunuh, tetapi mereka masih merencanakan bagaimana
cara terbaik untuk melaksanakan pembunuhan itu. Akhirnya
mereka memutuskan bahwa siksaan yang paling menyakitkan
adalah dihadapkan pada matahari. Tentu saja, mereka sendiri
tahu bahwa tidak ada siksaan yang lebih menyakitkan, selain
berada dekat dengan matahari; dan, dengan membuat analogi
dengan keadaan mereka sendiri, mereka mengancam supaya dia
memandang matahari. Bunglon itu, sudah pasti, tidak
mengharapkan yang lebih baik lagi. ‘Penghukuman’ semacam itu
persis seperti yang diinginkannya, sebagaimana dikatakan
oleh Husayn Manshur,
Bunuhlah aku, kawan-kawanku, sebab dengan
terbunuhnya diriku, aku akan hidup. Hidupku ada
dalam kematianku, dan kematianku ada dalam
hidupku. (keterangan: baris-baris ini terdapat
dalam Al-Hallaj, 14.1)
Maka ketika matahari terbit, mereka membawanya keluar dari
rumah mereka yang menyedihkan agar dia tersiksa oleh cahaya
matahari, siksaan yang sesungguhnya merupakan jalan
keselamatan baginya.
Janganlah kamu mengira orang-orang yang gugur
dalam peperangan di jalan Allah itu mati. Tidak!
Bahkan mereka hidup. Mereka mendapat rizki dan
Tuhannya. (QS 3:169)
Kalau saja para kelelawar itu tahu betapa murah hati
tindakan mereka terhadap bunglon itu, dan betapa mereka
telah berbuat keliru, karena mereka justru memberinya
kesenangan, mereka pasti akan mati sedih. Bu-Sulayman Darani
berkata, “Jika orang-orang yang lalai itu tahu betapa mereka
telah mengabaikan kesenangan orang-orang yang sadar, mereka
pasti akan mati karena kecewa.” (dikutip dalam bahasa Persia
‘Aththar, Tadzkirah, hal. 282)
HIKAYAT-HIKAYAT MISTIS
Syaikh Al-Isyraq, Syihabuddin Yahya As-Suhrawardi

24. SETANGKAI MAWAR DI TANGGAL SEMBILAN

Cerpen: Evi Idawati

Mawar putih dengan tangkai dan daun yang masih segar tergeletak di meja kerja Rachel. Kelopak dan mahkotanya masih basah, bertumpuk saling melengkapi, melingkar hingga tak putus sampai tiga saf diatasnya. Ada satu helai mahkota bunga kecil hampir setinggi putik yang membalik. Tidak mengganggu pandangan karena begitu kecilnya.
Sendirian ditengah mahkota mawar yang lebar. Seakan enggan menatap keatas, mahkota itu meringkuk dan menunduk. Berdiam dalam lusinan putik yang menarik terik. Rachel hanya memandangi bunga itu. Seperti ingin menumpahkan kerinduannya pada sesuatu yang belum pernah dijumpainya. Beberapakali Rachel berkedip, mengangkat tangan mengusap rambut dikepalanya, menggerakkan jari-jarinya dan menyentuh alis mata dengan kelingkingnya. berpikir dan menebak kenapa. Tapi pandangan matanya tak pernah beranjak dari mawar putih itu. Dia meletakkan kedua sikunya diatas meja. Jari-jari dikedua tangannya bertaut. Dia menitipkan dagunya disana.
Setelah berdiam beberapa lama. Dia mengambil tangkai mawar itu dengan tangan kirinya, memandangnya sebentar, lalu memindahkannnya di tangan kanan. Rachel memutar tangkai mawar itu beberapa kali. Dia merentangkan tangannya masih memutar bunga itu dengan jempol dan telunjuknya. Matanya tak pernah lepas memandangi, seakan hendak meneliti dari segala sudut. Lalu dia meletakkan bunga itu di dadanya sambil memejamkan mata dan menghembuskan nafasnya. Tanggal sembilan. Selalu pada tanggal sembilan. Hanya satu tangkai mawar dan berwarna putih. Di bulan yang sama, sejak tiga tahun terakhir ini. Jujur, Rachel merasa tersanjung. Pun akhir-akhir ini begitu banyak kata bersliweran dalam benaknya. Tumpang tindih hendak mentertibkan dirinya menjadi kata-kata bijak yang akan bisa dimengertinya. Setidaknya kata-kata itu akan dapat dijadikan pijakan dan rekomendasi untuk mengambil langkah dan tindakan bagi setiap masalah yang dihadapinya.
Sejak dua tahun yang lalu, dia mengurung diri. Membangun rumah bagi kenyamanan dunianya. Rachel begitu sunyi dan sendirian. Dia menganyam waktu. Menggambar kisah dari kesedihannya. Pada air dia berujar. Dengan angin dia berbisik. Dia tidak percaya pada siapapun. Bahkan orang yang mengaku sebagai paling dekat dan sahabatnyapun tidak dia percayai.
Setiap hari dia menghampar sajadah besar dan menumpahkan segala hal disana. Rachel menemukan penompang dan pilar yang kokoh bagi rumahnya. Untuk hidupnya. Samudera yang menenggelamkannya dalam hening didasarnya. Di palungnya. Goa bagi rentetan doa. Sungai yang mengaliri dusun-dusun dihati. Hujan yang menyegarkan pohon dan dedaunan. Surya yang mengantar pagi. Bulan purnama dipangkal fajar. Mantra yang hanya bisa terucap sekerjap karena melihat keindahannnya. Tak akan terulang sebab waktu selalu maju. Tidak bisa diganti yang sudah terlewati.
Tapi selalu pada tanggal sembilan dibulan yang sama sejak tiga tahun terakhir ini. Mawar putih dengan kesegaran mahkota, kelopak dan daunnya terhantar baginya. Rachel diam. Menyulut tanya. Dia beranjak menjauh dari meja. Dan membaringkan tubuhnya disofa. Tubuhnya yang mungil seakan dimakan oleh tumpukan kain dan busa yang ditindihnya. Dia memandang ke atas. Tanpa tahu apa yang dipandangnya. Khayalnya terbang, menjelajah beragam tanda dan masa yang dilampauinya. Dia menggigil, memejamkan mata dan mengusap pipinya.
“Apa yang akan kamu lakukan pada saat kamu tua? Siapa yang akan mengurusmu? Siapa yang akan menemanimu? Kesendirian bukan pilihan! Keluarlah menjemput takdir! Tinggalkan rumahmu sekarang. Jangan tenggelam disumur yang kau buat untuk liang kesedihan. Beranjaklah! Atau semua akan berlalu dan hilang!” kata-kata dari rentetan kecemasan yang akhir-akhir ini mencengkeramnya.
Dia merasa rapuh, sendirian, tak bisa mengelak oleh teror kata-kata yang mukim di otaknya. Sekuat tenaga dia berjuang dan mengumpulkan fakta untuk melawan. Berperang dengan pikirannnya sendiri. Rachel menepis semua dengan satu hentakan dan gumam. Dia kembali mendekati meja dan duduk di kursi. Membuka laptop dan mulai meneruskan pekerjaannya.
Tapi beberapa kali dia berhenti. Mengalihkan matanya dari layar monitor ke mawar putih di meja. Ada sesuatu yang selalu membuat dia ingin menyentuh dan memandang mawar itu. Sekali lagi tangan kirinya meraih bunga putih itu. Dia memetik satu mahkotanya. Seperti memetik mimpi dan kerinduannya, lalu dia menjatuhkannnya. Satu lagi dia petik dan menjatuhkannnya lagi. Setiap kali dia memetik dan melepaskan satu lembar mahkota mawar, dia seakan menghembuskan kebahagian dan kesenangan di tahun-tahun hidupnya. Jika air matanya mengalir dan menetes adalah lenguh dari kesedihannya. Detik-detik dalam dirinya seperti terampas. Tanpa mengerdip dia memetik dan menjatuhkan mahkota mawar silih berganti. Ibarat menghadapi berondong peluru dia tak hendak menghindari untuk mati.
Begitu kukuh hatinya menikmati pembantaian pada mawar putih yang ada di tangannya. Sampai habis hanya disisakan satu mahkota bunga yang kecil, disekitar putik yang sendirian meringkuk dan membalik. Sementara kelopak, putik dan tangkai dengan tiga daunnya mengerdip di depannya.
Entah apa yang ada dalam pikirannnya sehingga dia tega melukai bunga yang tidak berdosa. Juga menyingkirkan sebagian keindahan itu dari matanya. Jika dia tidak berkenan, cukup melemparkannnya ke luar. Bukankah ada tempat lain selain meja dan ruangan kerjanya? Barangkali Rachel hanya sedang kebingungan. Dia begitu suka bunga. Mawar putih adalah salah satu favoritnya. Ada satu sudut dengan jambangan dan meja untuk kesukaannya itu di kamar tidurnya.
Entahlah. Dia tidak banyak bicara akhir-akhir ini. Dia menjadi teman bagi dirinya sendiri. Bercakap dengan pikiran dan hatinya. Genap sudah kesendiriannnya. Belajar dari yang lalu, hasrat hati untuk berbagi, meski hanya sekedar berbagi, mengukir tawa dan berbahagia sementara, sering menjadi banyolan dan lelucon bagi teman dan sahabatnya. Toh hidup sudah begitu rumit, rasanya nikmat jika bisa mentertawakannya sejenak.
Tapi siapa yang sanggup mendengar dirinya sendiri ditelanjangi dan dibodoh-bodohkan seperti sebuah permainan boneka di pertunjukan anak-anak. Kadang kala Rachel dijadikan badut, dengan perut gendut dan bibir ndower dengan celana jimsuit dan balonnya. Sering kali juga diumpamakan harimau lapar yang sanggup menerkam apa saja yang ada didekatnya. Tanpa pandang bulu dan pilih-pilih. Malahan lebih banyak mereka beranggapan Rachel hanya sepotong brownies yang siap dinikmati kapan saja. Oleh siapa saja. Sering terngiang kata-kata yang didengarnya.
“Barang bekas tak berharga. Tidak ada harganya!” tajam sekali orang berkata dengan kilatan jengkel dan amarahnya karena maksud hati yang tidak diindahkan Rachel. Akhirnya Rachel menutup diri membangun mimpi dan dunianya sendiri. Dia tidak ingin menyakiti siapapun. Tak mau membuat peluang bagi orang lain untuk melakukan dosa dengan menistanya. Kabur sudah harapan untuk bertemu dengan figur yang mempesonanya. Haram jika harus membuka hati untuk mimpi yang sudah terlewati.
Tapi dia melupakan semuanya dengan cepat serta mendapatkan banyak pemahaman. Bagaimana orang lebih senang memandang sesuatu hanya dari satu tempat saja. Ditempatnya berdiri, duduk, berumah dan tinggal. Mengunakan pikirannnya sendiri yang diyakini benar untuk membaca pikiran orang lain. Dan bermaksud menjadikan setiap orang seperti dirinya. Saat menyadari itu, Rachel tersenyum mensyukuri banyak hal dalam hidupnya yang membuat dia menjadi berbeda. Biarlah orang berkata, jangan larang mereka menyanyi, mereka gembira melakukannnya, dan kita buat diri kita sendiri gembira menikmati irama dan lagunya. Jika bisa memejamkan mata tidurlah yang nyenyak, kalaupun tidak gunakan membaca buku untuk perintang waktu. Handphone berdering, Rachel terlonjak kaget. Karena sedang asyik dengan pikiran-pikirannnya. Dia mengambil hpnya dan membaca sms yang diterimanya.
“Sudah kamu siapkan jawabannya? Aku menunggumu!” kening Rachel berkerut.
Dia membaca pesan itu sekali lagi. Lalu cepat berdiri dan mencari kado beludru warna biru yang sebelumnya menjadi tempat bagi setangkai mawar putih yang tinggal kelopak, daun dan tangkainya itu. Setelah ketemu, Rachel membukanya, dia membalik-balik kotak itu, tapi tidak menemukan apa-apa. Akhirnya dia membuka dasarnya dan menemukan cincin emas putih dengan kain satin putih yang terselubung dilubang cincinnya. Dia mengambilnya. Terbaca tulisan yang terbordir di tengahnya dengan benang yang warnanya sama dengan kainnya hingga tersamar. Pelan Rachel membacanya.
“Bertawajuhlah bersamaku, sudah tergelar sajadah lebar untuk kita, berdua- Jo”
Rachel menarik nafas sebentar, menggigit bibirnya. Dia memandang foto ketiga anaknya. Lalu menutup matanya. Setangkai mawar ditanggal sembilan.
“Aku semakin tua” gumamnya.***

25. CINTA MATI TERNYATA ADA

Cerpen: Eko Darmoko
Sudah enam tahun suami Mbok Pinah tergolek sakit di atas ranjang dengan kasur lusuh sebagai alas. Kasur yang begitu lusuh sehingga tak pantas lagi disebut sebagai kasur. Kain kasurnya yang bermotif garis-garis warna biru dan putih itu robek di sana-sini. Sehingga, sesekali ada kapuk keluar dari persembunyiannya.
Tak ada tempat yang lebih lebar lagi selain kasur lusuh itu. Di bawah kolong, sampai seluas-luasnya hingga mencapai bibir daratan, terhampar Pulau Jawa yang sungguh subur. Sebegitu luasnya, namun hanya beberapa ruas kaki yang sanggup dihuni suami Mbok Pinah. Ya, kasur itu hanya seluas dua-tiga ruas kaki orang dewasa saja. Tak lebih.
Mungkin, sepanjang sisa hidupnya dia harus rela menghabiskan di atas kasur itu. Rasanya, ingin sekali dia bangkit dari kasur itu dan kembali mencangkul di sawah. Namun apa yang dapat dikata. Tenaganya terbang entah ke mana.
Enam tahun lalu ketika Wak Suto, suami Mbok Pinah, sedang asyik bekerja -mencangkul- di sawah, secara tiba-tiba tubuhnya tersungkur ke tanah penuh lumpur. Wak Suto kena stroke. Lalu dia dibawa oleh teman-temannya sesama petani pulang ke rumah. Melihat suaminya dalam keadaan tak sadarkan diri, Mbok Pinah juga ikut tersungkur ke tanah, pingsan.
Baru setelah diberi bau-bauan dari minyak kayu putih, Mbok Pinah sadar. Namun, Wak Suto masih memejamkan matanya. Belum juga sadarkan diri. Karena lama tak sadarkan diri, teman-temannya memanggil “orang pinter.” Orang itu membacakan mantra-mantra di telinga Wak Suto. Lalu sadarlah Wak Suto. Ketika sadar dari stroke, dia hanya dapat melihat sebuah dunia yang hanya berwarna ungu pekat. Juga merasakan tubuhnya lemas tak bertenaga, sampai sekarang.
Segala sesuatu yang menyangkut kebutuhan Wak Suto selalu dipenuhi dan dilayani sang istri. Mbok Pinah dengan tulus dan ikhlas selalu melayani suaminya yang tergolek sakit. Tak ada hal lain yang dapat dilakukan. Dengan kata lain, dunia Wak Suto hanya seluas dimensi kasur.
Makan, minum, mandi, hingga rutinitas buang air kecil dan besar pun harus dengan pelayanan istrinya. Suap demi suap bubur dengan cermatnya disodorkan ke mulut sang suami. Semua terkesan tulus dan ikhlas. Jika ada bubur yang membelepoti bibirnya, maka dengan hati-hati Mbok Pinah menyeka dengan sapu tangan.
Mereka tinggal berdua di sebuah rumah yang rapuh. Temboknya terbuat dari papan ala kadarnya dan tiang penyangga tua. Sebentar lagi akan roboh jika terserempet puting beliung. Tak ada sesuatu apa pun yang berharga di rumah itu selain setrika listrik yang dibelikan anaknya yang merantau di Surabaya. Padahal, di rumahnya tak ada listrik. Walaupun, listrik sudah masuk desa dan dapat dinikmati penduduk.
Kedua anaknya pergi meninggalkan emak dan bapaknya. Juga meninggalkan Desa Karangwungu yang membesarkannya. Hanya uang dan uang yang datang menjenguk Mbok Pinah dan suaminya. Uang yang tak cukup untuk menyambung hidup. Sudah dua kali Idul Fitri anaknya tak juga pulang dan menjenguk orang tuanya yang sakit. Ingin sekali orang tua itu melihat kedua anak perawannya pulang ke rumah. Memeluknya dengan cinta dan kasih sayang yang hangat. Namun, semua itu kini hanya menjadi awang-awang. Mereka lelah menantikan kedua anak perawannya yang mencari uang di Surabaya.
Untuk membuat dapurnya tetap mengepul, Mbok Pinah bekerja sebagai pencari kayu bakar. Tempatnya di hutan yang cukup jauh dari Desa Karangwungu. Kayu bakar itu dijual kepada penduduk kampung sebelah. Untuk dapat mencapai hutan itu, dia harus berjalan menyusuri rawa-rawa dengan gestur tanah yang gembur. Juga, masih ada bengawan atau sungai. Penyebutan itu mungkin timbul karena aliran sungai juga merupakan aliran anak Sungai Bengawan Solo. Selain mencari kayu bakar, Mbok Pinah juga membuat arang dari batok kelapa. Nantinya, arang itu dijual kepada pedagang sate yang tersebar di sekitar Telon Semlaran, Lamongan.
Kesulitan dan kerasnya hidup tak membuatnya menyerah. Dia masih semangat menyongsong hari esok. Dari raut wajahnya yang keriput, masih terlihat jelas bara api yang menyala-nyala. Sisa-sisa kecantikannya masih tampak meskipun keriput tersebar di sana-sini. Umurnya yang sekitar 60 tahun bukan halangan untuk tetap menerobos kejamnya kehidupan.
Tak ada sesal sedikit pun di wajahnya mengenai nasib bersuami lelaki tua yang lumpuh. Dia masih tegar dan setia kepada sang suami. Bukan karena hasratnya yang kalah oleh umur, namun karena kesetiaan yang sampai pada tahap ma’rifat.
Suatu hari, Wak Suto mengalami kejang-kejang yang sungguh dahsyat. Hingga ranjang yang menahan berat tubuhnya serasa mau ambruk. Serentak rumah mereka didatangi oleh para tetangga yang datang memastikan kabar itu. Salah seorang di antara tetangga itu kembali memanggil “orang pinter.”
Orang yang sama seperti enam tahun lalu ketika Wak Suto tak sadarkan diri akibat stroke. Sama seperti enam tahun lalu, “orang pinter” itu kembali membacakan mantra-mantra yang ditujukannya pada telinga Wak Suto.
Kali ini mantranya tak semanjur enam tahun yang lalu. Wak Suto masih kejang-kejang. Karena mantranya gagal, dia pun kembali mengulangi pembacaan mantra dengan suara agak keras. Namun, tetap dengan nuansa mistis dan khidmat. Kejang Wak Suto pun sedikit reda. Kecemasan dan kesedihan Mbok Pinah ikut-ikutan reda. Setelah seluruh kejang Wak Suto mereda, dia pun mengeluarkan suara. Suara yang terdengar berat.
“Pinah, istriku, jika aku mati…” suaranya terhenti sejenak. Dia mengumpulkan tenaga untuk meneruskan suaranya. “Jika aku mati, hendaklah engkau menyusulku. Percuma engkau hidup, anak-anak kita tak akan peduli pada orang tuanya yang telah melahirkan dan membesarkannya.”
Tak hanya Mbok Pinah, para tetangga pun kaget mendengar perkataan Wak Suto. Lalu Wak Suto meneruskannya. “Aku ngomomg begini bukan karena kedonyan. Tapi aku merasa itulah yang terbaik untukmu, juga untuk kita,” ujarnya. Tak ada yang menanggapi. Semua yang mendengarkan hanya membisu dan mematung.
Air mata meleleh lembut dari mata Mbok Pinah. Selembut hatinya merelakan kepergian sang suami untuk selamanya. Arwah Wak Suto terbang entah ke mana. Yang tinggal hanya jasad yang kurus kering tergolek di kasur lusuh itu. Tugasnya untuk melihat dunia dan “numpang minum” telah selesai dijalani.
Mendengar kematian Wak Suto, hampir seluruh penduduk kampung memberikan seserahan apa adanya. Ada yang memberikan gula, ketan, kopi, beras, juga ada yang memberikan uang kepada janda baru itu, Mbok Pinah. Tak heran bila penduduk kampung begitu solidaritas kepada sang kawan yang pergi meninggalkan mereka untuk selamanya.
Wak Suto terkenal baik dan ramah. Tak ada satu musuh pun yang dimiliki. Justru kawan yang banyak. Bahkan, dari kampung sebelah pun dia juga banyak memiliki kawan.
Prosesi pemandian dan penguburan Wak Suto telah menyedot perhatian seluruh penduduk kampung. Seluruh warga bergotong royong mengantarkan kepergian Wak Suto ke tempat pengistirahatan yang terakhir. Juga malam harinya, tahlil untuk mengiringi kepergiannya dihadiri oleh penduduk kampung dan para sesepuh serta petinggi desa. Para tetangga perempuan sibuk di dapur membuat dan menyuguhkan makanan untuk para jamaah tahlilan. Semua biaya untuk melakukan hajatan itu didapati dari para tetangga-tetangga. Mbok Pinah tak sedikit pun mengeluarkan uang. Bukan karena tak punya uang, namun karena rasa kekeluargaan yang begitu luhur di antara penduduk desa.
Tahlilan sudah sampai pada malam ketiga. Namun, kedua anak perawannya tak juga kunjung pulang. Padahal, mereka sudah dikirimi kabar melalui SMS oleh petinggi desa. SMS itu juga telah dibalas oleh mereka.
“Kami akan segera pulang. Secepatnya.” Begitulah balasan yang diterima petinggi desa dari kedua anak perawan Mbok Pinah dan almarhum Wak Suto. Kata “secepatnya” adalah penekanan bahwa mereka pasti datang dengan segera. Namun, hingga hari ketiga tahlilan mereka tak juga pulang ke rumah.
Malam ketiga tahlilan itu membukakan mata dan hati para penduduk kampung. Mereka menyaksikan sebuah peristiwa yang sungguh menyentuh lubuk hati sedalam-dalamnya. Mbok Pinah yang juga ikut membacakan tahlil dengan lembut pergi meninggalkan mereka untuk selamanya. Mbok Pinah pergi untuk selamanya dengan keadaan duduk sambil memegang buku tahlilan.
Menyaksikan kejadian itu aku hanya bisa duduk bersila mematung. Nagasari yang tinggal satu gigitan lagi tak juga aku makan. Aku diliputi rasa merinding sedalam-dalamnya. Alam pikiranku mengembara pada peristiwa ketika ajal menjemput Wak Suto. Di telingaku terngiang-ngiang suara Wak Suto: “Jika aku mati, hendaklah engkau menyusulku.”
Amanat Wak Suto sebelum mati telah dilaksanakan oleh istrinya. Mbok Pinah pergi menyusul. Kini mereka kembali bertemu. Hidup bersama kembali. Penuh kedamaian. Semoga. Suara Wak Suto yang terngiang di telingaku telah hilang ditelan hiruk-pikuk yang menyelimuti rumah itu. Salah seorang sesepuh desa yang duduk di sebelahku mengeluarkan suara. Suaranya terdengar lirih namun penuh keyakinan.
“Ternyata… di dunia yang penuh dengan kepura-puraan ini, cinta mati benar-benar ada…”

26. Doa Yang Tidak Membebaskan

Para santri pun akhirnya berkumpul lagi setelah beberapa
lama sebelumnya mereka menerima tugas dari sang kiai.

“Sudah mengerti pesan dalam surat itu?” tanya kiai, membuka
pertemuan kembali.

“Sudah, kiai, alhamdulillah,” sahut salah seorang santri.

“Bagaimana isi pesan itu?”

Santri itu memperdengarkan bacaannya yang bagus atas surat
Al Ma’un. “Aroaital ladzi yukadzibu biddin …,” merdu
suaranya. Dan ia pun meneruskan pembacaan dan terjemahannya,
sampai selesai.

“Kamu?!” kata sang kiai kepada santri yang lain.

Santri itu pun mengulangi hal yang sama. Ia pun membaca
ayat-ayat suci itu, disertai terjemahannya.

Setelah para santri lain memberi jawaban yang sama, sang
kiai tak lagi meneruskan bertanya pada santri berikutnya. Ia
berkesimpulan, semua santri pasti akan berbuat serupa.

“Kalian belum mengerti kalau begitu. Kalian cuma hapal.
Mengerti dan hapal itu beda,” katanya lagi, dengan intonasi
lembut seperti semula.

Kiai kita ini ialah pendiri perserikatan yang bernama
Muhammadiyah yang terkenal itu: Kiai Haji Ahmad Dahlan.
Dialog ini terkenal di kalangan keluarga Muhammadiyah. Orang
Muhammadiyah menganggap “peristiwa” ini penting karena dalam
dialog itu terselip sebuah pesan jelas, bahwa agama tak cuma
minta dipahami, melainkan diamalkan. Ketika agama berhenti
pada titik pemahaman, saat itu mungkin agama diturunkan
derajadnya menjadi “cuma” sejenis filsafat. Agama, dengan kata lain, dipreteli fungsi-fungsi sosialnya
yang begitu penting dan yang paling relevan dengan hidup
kemasyarakatan kita.

Syahdan, sejak dialog antara kiai dan santri itu lalu
didirikan sebuah panti asuhan, tempat menampung anak-anak
yatim-piatu. Langkah ini diambil KH Ahmad Dahlan untuk
memenuhi perintah yang dikandung di dalam surat Al Ma’un
tersebut. Ini merupakan contoh kongkret bagi para santrinya,
mengenai bagaimana mereka harus memahami kandungan isi kitab
suci Al Qur’an.

Di sana memang ada kalimat: “Tahukah kamu, orang-orang yang
mendustakan agama? ” Dan dalam surat ini dijelaskan bahwa
orang yang menyia-nyiakan anak yatim serta tak memberi makan
orang miskin, dimasukkan dalam kategori dusta itu.

Agama diturunkan Tuhan buat manusia, dan bukan buat
kepentingan Tuhan itu sendiri. Tuhan sudah kelewat mulia,
kelewat luhur, kelewat kaya. Pendeknya ia tak perlu apa-apa
lagi.

Oleh karena itu, sekali lagi, pemahaman KH Ahmad Dahlan itu
sungguh sangat kontekstual buat situasi kita saat itu, dan
juga kini. Ayat-ayat suci sungguh bukan untuk dibaca,
dilagukan, dan dipertandingkan dari tingkat kabupaten sampai
tingkat nasional, melainkan untuk dimengerti, dipahami dan
dilaksanakan.

Sikap KH Ahmad Dahlan begitu tegas: ia tak ingin umat Islam
hanya menjadi “burung nyanyi”, (seperti contoh para
santrinya) yang mengandalkan suara merdu. Baginya, yang
terpenting adalah tindakan dan amal nyata. Relevansi sosial
dari agama, pendeknya, merupakan hal yang penting. Mungkin
malah yang terpenting.

Ibadah puasa selama sebulan itu ditutup dengan lebaran.
Suasana khusu’, penuh tirakat dan sikap prihatin yang
nampaknya dalam itu diakhiri dengan sebuah pesta: makan,
minum, rokok dan segala macam yang selama sebulan dilarang,
di hari itu halal semata hukumnya. Dan kita bersyukur.

Tradisi yang mewarnainya, dus sesuatu yang bukan bagian dari
ajaran, ialah sungkem pada orang-tua, mertua, bertemu sanak
keluarga, teman kongkow, teman ngaji, teman sekolah atau
kantor, dan juga para tetangga. Suasana gembira memancar di
tiap wajah. Hati pun terbuka buat saling memaafkan.

Urusan ibadah kita menjadi juga urusan nasional. Negara
mendapat untung, setidaknya dari penjualan benda-benda pos.
Permintaan dan pengiriman maaf tak bisa jalan tanpa amplop
dan perangko.

Pulang ke kampung juga merupakan tradisi lain yang ikut
mewarnai kemeriahan lebaran. Negara juga ikut terlibat dalam
acara ini. Mungkin juga memperoleh untung dari penjualan
tiket kereta, pesawat dan kapal laut, buat kepentingan
orang-orang yang bergembira ini.

Suasana tirakat tak boleh berlama-lama. Tuhan menghendaki
segala yang mudah, sederhana dan kepenak, bagi
hamba-hambaNya. Tapi persoalannya, jika puasa sebulan itu
dianggap media latihan hidup asketik, pengerahan segenap
kekuatan lahir dan batin untuk menangkap esensi serta makna
ajaran suciNya, apakah kemudian yang kita bawa “pulang” ke
dunia ini? Apa hasil pengembaraan rohaniah, yang bisa
kongkret kita abdikan buat kepentingan kemanusiaan?

Pertama-tama, barangkali harus diakui bahwa tak setiap hamba
memang telah “berhasil” menghayati esensi ajaran yang
terkandung dalam puasa. Mungkin kita ini masih pada tataran
“burung nyayi”: kita baru hapal, dan belum mengerti, seperti
kata Kiai Dahlan tadi. Kita sibuk ngaji, sibuk bertilawatil
Qur’an, mungkin kurang sibuk berbuat.

Kecuali itu, dari tahun ke tahun, mungkin suasana “tirakat”
dalam bulan puasa semakin nampak berubah. Benar, kita masih
fasih bicara solidaritas sosial, kita juga punya kepedulian
terhadap kemiskinan, tapi bagaimanakah tindakan kita?

Acara buka puasa menggejala di mana-mana. Acara-acara
semacam itu sering berarti makan besar dan enak. Dan kita
boleh bertanya pada diri sendiri, berapa puluh kalikah acara
seperti itu kita hadiri selama sebulan itu?

Atas nama kekeluargaan, kangen-kangenan antara sesama teman
dalam organisasi ketika mahasiswa, kumpul tanpa suatu tujuan
tertentu selain buka bersama, atau bahkan dengan motivasi
bisnis, acara buka puasa bersama diadakan di hotel mewah.

Tak jadi soal memang, karena kita makin makmur. Tapi “kita”
di sini siapa gerangan orangnya? Nampaknya cuma kelas
menengah dan atas. Dengan kata lain, golongan rakyat yang
sehari penghasilannya 2-3 ribu, tak akan pernah ikut acara
macam ini.

Tak jadi soal juga memang, kalau kita tak ada kepedulian
terhadap mereka. Tak jadi soal kalau kita tak belajar
menaruh iba dan rasa kasih pada mereka yang di bawah, yang
tertindas.

Jarak antara sesama kita, sebenarnya jauh. Setidaknya, tak
sedekat yang kita bayangkan. Dan tak sedekat yang kita
gambarkan secara ideal bahwa tiap umat, menurut ajaran, satu
sama lain adalah saudara.

“Saudara yang bagaimana?” saya bertanya

Soal serius dalam hidup kita, umat, ialah bahwa kita lupa,
ajaran itu bukan realitas. Tapi kita sudah puas dengan semua
yang ideal. Dan berhentilah kita di tataran itu.

Maka kita pun menyanyikan lagu bahwa agama memperhatikan
yang miskin dan menyantuni yang yatim. Kita menyanyi dalam
arti sebenarnya karena kita lupa bahwa agama di situ
menuntut tindakan kita. Ucapan “Selamat Lebaran” yang kita
sampaikan pada mereka yang lebih miskin jadinya cuma ucapan
kosong atau setengah kosong, karena tanpa kita sertai
tindakan yang jelas bisa membebaskan mereka dari struktur
yang mengurung dan memiskinkan mereka itu.

Sebagai doa, ucapan kita jelas mulia. Tapi bagaimanapun, ia
belum merupakan doa yang membebaskan.

—————
M.Sobary

27. Emas Tanda Cinta Buta

oleh Mohamad Sobary
(http://www.jawapos.co.id/25 januari/de25j5.htm)
AKHIRNYA musyawarah dalam keluarga kecil itu berhasil
memutuskan mudik juga meskipun kondisi ekonomi begitu lesu.
Harga semua barang naik. Tunjangan hari raya dari kantor
tidak ada. Uang tetap sukar diperoleh. Bahkan sangat jauh
lebih sukar hari ini dibanding beberapa bulan lalu.
Tapi, mengapa Kang Mudi berkeras hati untuk tetap pulang dan
sang istri tetap “manut” kehendak sang suami? Soalnya, kata
Kang Mudi, ini sudah tradisi. Lebaran di Jakarta memang
Lebaran juga namanya. Bahkan, di Jakarta lebih dekat dengan
kawan-kawan di tempat kerja. Kalau mau, saling mengunjungi
untuk maaf-memaafkan bisa dilakukan dengan mudah.
Tapi, saling mengunjungi dan maaf-memaafkan dengan cara itu
bukan tradisi. Mereka bisa melakukannya dengan baik setelah
–seperti biasa– kembali masuk kerja. Tradisi mereka
dilakukan di kantor. Jadi, tradisi di kampung itulah yang
perlu dibela dengan susah payah.
Lagi pula, Kang Mudi juga mempunyai rasa cinta tanah air
seperti orang-orang Jakarta. Ketika di layar televisi
melihat beberapa tokoh menukar dolar dengan rupiah, Kang
Mudi diam membisu. Kerongkongannya seperti tersekat. Ia
hendak memberi komentar, tapi suara itu tak kunjung keluar.
Apa yang hendak dikatakannya? Ketika acara televisi itu
selesai, ia baru merasa sedikit lebih tenang. Kemampuan
berpikir jernih dan daya nalarnya pulih kembali secara
pelan-pelan. Dan, berkatalah ia kepada Yu Kemi, istrinya.
“Wong-wong itu jane dho pamer opo piye to (Orang-orang itu
sebenarnya pada pamer atau apa)?”
“Orang kaya selalu bebas berbuat apa saja. Namanya juga
orang kaya,” sahut istrinya.
“Lha pamer kok diembel-embeli cinta rupiah, cinta negara,
segala macam,” gerutunya.
“Lha Pakne juga bebas kok kalau mau ikut pamer dolar.”
“Dolare mbahmu, ya,” gerutunya.
Memang, tidak pada tempatnya Kang Mudi ikut pamer dolar.
Uang dolar itu saja ibaratnya belum pernah dilihatnya. Ia
sejak dulu cuma melihat rupiah. Membeli jeruk dengan rupiah.
Membeli aqua dengan rupiah. Membeli rokok kethengan di
pinggir jalan pun dengan rupiah. Juga tiap membeli kaus,
baju, sarung, sepatu.
Ia pegawai negeri. Posisinya lumayan. Tapi, gajinya rendah.
Boleh dikata, dari tahun ke tahun, selama hampir lima belas
tahun masa dinas, ia hanya makan gaji. Tak ada “cabang”, tak
ada “ranting” apa pun. Penghasilan utamanya juga gaji itu.
Tapi, Yu Kemi membuka warung kecil-kecilan di rumah. Warung
itu berkembang. Dan, lama-lama, penghasilan dari warung bisa
jauh lebih besar daripada gaji yang diperoleh Kang Mudi. Yu
Kemi dengan sendirinya sangat mandiri secara ekonomi.
Tiga anak mereka –Ato, Adi, dan Ami– masing-masing sudah
kelas tiga, kelas dua, dan kelas satu SMP. Biaya untuk
mereka –kata Yu Kemi– uleng-ulengan, artinya sangat banyak.
Kalau Yu Kemi lagi merasa ruwet, ia mengeluh karena
anak-anak itu keperluannya sebentar-sebentar duit,
sebentar-sebentar duit. Dikiranya duit itu cuma tinggal
diraup dari laci kantor bapaknya.
“Laci kantor bapakmu isinya bukan duit, tapi kertas kosong,
amplop surat dari kampung, surat tagihan televisi, dan tanda
utang dari koperasi. Makanya, suruh bapakmu mengisi laci
dengan duit negara. Suruh bapakmu korup duit negara kalau
semua kebutuhan harus selalu dipenuhi.”
“Wis, wis, Bune,” kata Kang Mudi menenangkan sang istri.
Diam-diam Kang Mudi sadar, tugas istrinya alangkah rumit dan
beratnya. Dia sendiri tiap hari cuma pergi ke kantor. Dan,
di kantor ia tak harus banyak berpikir. Orang lain
–atasannya– yang selalu berpikir untuk dia, mengenai apa
yang harus dilakukan. Dia tinggal bekerja sebaik-baiknya.
Bahkan tak harus sebaik-baiknya.
Jiwa Yu Kemi lilih, leleh, luluh kalau sang suami sudah
berkata lembut. Dan, saat itulah Kang Mudi memainkan kartu
utamanya. Dia menanyakan emas yang disimpan sang istri.
“Bukankah dulu ada sekitar sepuluh gram?”
“Lima belas,” sahut sang istri.
“Itu kalung apa ali-ali (cincin) to Bu?”
“Kalung,” sahut sang istri.
Inilah kunci utama yang memaksa mereka mudik. Kang Mudi
berhasil dengan gemilang meyakinkan istrinya bahwa mudik
kali ini lebih patriotik sifatnya dibanding semua jenis
mudik sebelumnya. Dia ingin menyerahkan kalung emas simpanan
sang istri kepada Pak Camat di kampung sebagai tanda duka
atas krisis sekarang.
Dengan sumbangan emas itu, semoga para pemudik lain –juga
para saudagar dan orang-orang kaya di kampung– terketuk
jiwanya dan mereka pun bersedia berkorban demi tanah air.
Ketika wajah tanah air sedang bermuram durja seperti
sekarang, siapa yang diharapkan bertindak tepat kalau bukan
kita sendiri? Kalau kita tak berbuat sesuatu, apa tanda
cinta kita pada tanah air?
Sikap patriotik harus diperlihatkan. Berapa pun nilai yang
kita sumbangkan, jumlah itu ada gunanya. Minimal buat
menyumbang pembangunan desa mereka sendiri.
Yu Kemi tahu, suaminya hanya latah. Khas latahnya golongan
atas, demi menyenangkan bos mereka. Atau ikut meneladani
tindakan patriotik dua orang kiai di Jakarta, yang juga
menyerahkan emas kepada negara.
Tapi, Yu Kemi tak mau berkomentar. Biarlah lima belas gram
emas itu diserahkan kepada Pak Camat kalau betul itu memberi
suaminya harga diri dan rasa bangga. Ia sebenarnya diam-diam
sudah merasa tergiur untuk ikut muncul di televisi sambil
menukar dolar dengan rupiah. Keinginan itu jelas tak
terpenuhi. Dan, ia pun tahu bahwa ia tak diharap melakukan
peran itu.
Dan, begitulah sebenarnya pergolakan dalam jiwa Kang Mudi.
Dan, sekarang, ketika jalan keluar diperoleh, keluarga kecil
itu kemudian naik kereta api dari Gambir menuju kampung
halaman.
Kota demi kota dilintasi. Semalam suntuk mereka duduk di
kursi keras dalam ruangan penuh sesak manusia yang juga
ingin mudik. Bedanya, mungkin, Kang Mudi mudik dengan tujuan
utama menyumbang tanah kelahiran.
Sambil terkantuk-kantuk, di sepanjang jalan dia sudah
membayangkan adegan besok pagi di kecamatan, ketika dia
menyerahkan kalung emas kepada Pak Camat. Dia membayangkan
di kecamatan ada wartawan daerah yang memotretnya dan
mewartakan komitmen kebangsaan yang diperlihatkannya.
Dapatkah sumbangan itu memecahkan krisis moneter kita?
Tidak. Sama sekali tidak. Saya kira, cuma memperlihatkan
kepada kita bahwa benar, cinta memang buta. Juga cinta yang
diwujudkan dengan emas atau dolar.

28. Kang Sejo Melihat Tuhan

Bukan salah saya kalau suatu hari saya ceramah agama di
depan sejumlah mahasiswa Monash yang, satu di antaranya,
Islamnya menggebu. Artinya, Islam serba berbau Arab. Jenggot
mesti panjang. Ceramah mesti merujuk ayat, atau Hadis. Lauk
mesti halal meat. Dan, semangat mesti ditujukan buat
meng-Islam-kan orang Australia. Tanpa itu semua jelas tidak
Islami.

Saya pun dicap tidak Islami. Iman saya campur aduk dengan
wayang. Dus, kalau pakai kaca mata Geertz, seislam-islamnya
saya, saya ini masih Hindu. Memang salah saya, sebab ketika
itu saya main ibarat: Gatutkaca itu sufi. Ia satria-pandita.
Tiap saat seperti tidur, padahal berzikir qolbi. Jasad di
bumi, roh menemui Tuhan. Ini turu lali, mripat turu, ati
tangi: mata tidur hati melek, seperti olah batin dalam dunia
kaum sufi.

Biar masih muda, hidup Gatutkaca seimbang, satu kaki di
dunia satu lagi di akhirat. Mirip Nabi Daud: hari ini puasa,
sehari esoknya berbuka. Dan saya pun dibabat …

Juli tahun lalu saya dijuluki Gus Dur sebagai orang yang
doanya pendek. Bukan harfiah cuma berdoa sebentar.
Maksudnya, tak banyak doa yang saya hafal. Namun, yang tak
banyak itu saya amalkan. “Dan itu betul. Artinya, banyak ilmu ndak diamalkan buat
apa?” kata Pak Kiai sambil bergolek-golek di Hotel
Sriwedari, Yogya. Apa yang lebih indah dalam hidup ini,
selain amal yang memperoleh pengakuan Romo Kiai? Saya merasa
hidup jadi kepenak, nikmat.

Dalam deretan Sufi, Al Adawiah disebut “raja.” Wanita ini
hamba yang total. Hidupnya buat cinta. Gemerlap dunia tak
menarik berkat pesona lain: getaran cinta ilahi. Pernah ia
berkata, “Bila Kau ingin menganugerahi aku nikmat duniawi,
berikan itu pada musuh-musuh-Mu. Dan bila ingin Kau
limpahkan padaku nikmat surgawi, berikanlah pada
sahabat-sahabat-Mu. Bagiku, Kau cukup.”

Ini tentu berkat ke-”raja”-annya. Lumrah. Lain bila itu
terjadi pada Kang Sejo. Ia tukang pijit -maaf, Kang, saya
sebut itu- tunanetra.

Kang Sejo pendek pula doanya. Bahasa Arab ia tak tahu.
Doanya bahasa Jawa: Gusti Allah ora sare (Allah tak pernah
tidur): potongan ayat Kursi itu. Zikir ia kuat. Soal ruwet
apa pun yang dihadapi, wiridannya satu: “Duh, Gusti, Engkau
yang tak pernah tidur …” Cuma itu.

“Memang sederhana, wong hidup ini pun dasarnya juga
sederhana,” katanya, sambil memijit saya.

Saya tertarik cara hidupnya. Saya belajar. Guru saya ya
orang macam ini, antara lain. Rumahnya di Klender.
Kantornya, panti pijat itu, di sekitar Blok M. Ketika saya
tanya, apa yang dilakukannya di sela memijit, dia bilang,
“Zikir Duh, Gusti …” Di rumah, di jalan, di tempat kerja,
di mana pun, doanya ya Duh, Gusti … itu. Satu tapi jelas
di tangan.

“Berapa kali Duh Gusti dalam sehari?” tanya saya.

“Tidak saya hitung.”

“Lho, apa tak ada aturannya? Para santri kan dituntun kiai,
baca ini sekian ribu, itu sekian ribu,” kata saya

“Monggo mawon (ya, terserah saja),” jawabnya. “Tuhan memberi
kita rezeki tanpa hitungan, kok. Jadi, ibadah pun tanpa
hitungan.”

“Sampeyan itu seperti wali, lo, Kang,” saya memuji.

“Monggo mawon. Ning (tapi) wali murid.” Dia lalu ketawa.

Diam-diam ia sudah naik haji. Langganan lama, seorang
pejabat, mentraktirnya ke Tanah Suci tiga tahun yang lalu.

‘Senang sampeyan, Kang, sudah naik haji?”

“Itu kan rezeki. Dan rezeki datang dari sumber yang tak
terduga,” katanya.

“Ayat menyebutkan itu, Kang.”

“Monggo mawon. Saya tidak tahu.”

Ketularan bau Arab, saya tanya kenapa doanya bahasa Jawa.

“Apa Tuhan tahunya cuma bahasa Arab?”

“Kalau sampeyan Dah Duh Gusti di bis apa penumpang lain …”

“Dalam hati, Mas. Tak perlu diucapkan.”

Ia, konon, pernah menolak zakat dari seorang tetangganya.
Karena disodor-sodori, ia menyebut, “Duh, Gusti, yang tak
pernah tidur …” Pemberi zakat itu, entah bagaimana,
ketakutan. Ia mengaku uang itu memang kurang halal. Ia minta
maaf.

“Mengapa sampeyan tahu uang zakat itu haram”? tanya saya.

“Rumah saya tiba-tiba panas. Panaaaas sekali.”

“Kok sampeyan tahu panas itu akibat si uang haram?”

“Gusti Allah ora sare, Mas,” jawabnya.

Ya, saya mengerti, Kang Sejo. Ibarat berjalan, kau telah
sampai. Dalam kegelapan matamu kau telah melihatNya. Dan
aku? Aku masih dalam taraf terpesona. Terus-menerus

—————
Mohammad Sobary, Tempo 12 Januari 1991

29. Menanti Bangau Lewat

Source : Hokoriku-MOL
Teng !…jam dinding berdentang satu kali. Malam semakin larut, tapi Anis masih duduk di ruang tengah. Sejak tadi matanya sulit terpejam. Baru beberapa jam yang lalu Ibu Mas Iqbal, suaminya, menelepon, “Nis, Alhamdulillah, barusan ini keponakanmu bertambah lagi…” suara ibu terdengar sumringah di ujung sana.
“Alhamdulillah…, laki-laki atau perempuan Bu ?” Anis tergagap, kaget dan senang. Sudah seminggu ini keluarga besar Mas Iqbal memang sedang berdebar-debar menanti berita Dini, adik suaminya, yang akan melahirkan.
“Laki-laki, cakep lho Nis, mirip Mas mu waktu bayi…” Ibu tertawa bahagia. Dini memang adik yang termirip wajahnya dengan Mas Iqbal.
“Selamat ya Bu nambah cucu lagi, salam buat Dini, insya Allah besok pulang kerja Anis dan Mas Iqbal akan jenguk ke rumah sakit” janji Anis sebelum menutup pembicaraan dengan Ibu yang sedang menunggu Dini di rumah sakit.
Setelah menutup telpon Anis termenung sesaat. Ia jadi teringat usia pernikahannya yang telah memasuki tahun ke lima, tapi belum juga ada tangis si kecil menghiasi rumah mereka. Meskipun demikian ia tetap ikut merasa sangat bahagia mendengar berita kelahiran anak kedua Dini di usia pernikahan mereka yang baru tiga tahun.
“Koq melamun !…” Mas Iqbal yang baru keluar dari kamar mandi mengagetkannya. Ia memang pulang agak malam hari ini, ada rapat di kantor katanya. Air hangat untuk mandinya sempat Anis panaskan dua kali tadi.
“Mas, ibu tadi mengabari Dini sudah melahirkan, bayinya laki-laki” cerita Anis.
“Alhamdulillah…Dila sudah punya adik sekarang” senyum Mas Iqbal sambil mengeringkan rambutnya, tapi entah mengapa Anis menangkap ada sedikit nada getir dalam suaranya. Anis menepis perasaannya sambil segera menata meja menyiapkan makan malam.
Selepas Isya bersama, Mas Iqbal segera terlelap, seharian ini ia memang lelah sekali. Anis juga sebenarnya agak lelah hari ini. Ia memang beruntung, selepas kuliah dan merasa tidak nyaman bekerja di kantor, Anis memutuskan untuk membuat usaha sendiri saja. Dibantu temannya seorang notaris, akhirnya Anis mendirikan perusahaan kecil-kecilan yang bergerak di bidang design interior. Anis memang berlatar pendidikan bidang tersebut, ditambah lagi ia punya bakat seni untuk merancang sesuatu menjadi indah dan menarik. Bakat yang selalu tak lupa disyukurinya. Keluarga dan teman-teman banyak yang mendukungnya, akhirnya sekarang ia sudah memiliki kantor mungil sendiri tidak jauh dari rumahnya.
Dan, seiring dengan kemajuan dan kepercayaan yang mereka peroleh, perusahaannya sedikit demi sedikit mulai dikenal dan dipercaya masyarakat. Tapi Anis merasa itu tidak terlalu melelahkannya, semua dilakukan semampunya saja, sama sekali tidak memaksakan diri, malah menyalurkan hobi dan bakatnya merancang dan mendesign sesuatu sekaligus mengisi waktu luangnya. Beberapa karyawan cekatan sigap membantunya. Malah sekarang sudah ada beberapa designer interior lain yang bergabung di perusahaan mungilnya. Itu sebabnya sesekali saja Anis agak sibuk mengatur ketika ada pesanan mendesign yang datang, selebihnya teman-teman yang mengerjakan. Waktu Anis terbanyak tetap buat keluarga, mengurus rumah atau masak buat Mas Iqbal meski ada Siti yang membantunya di rumah, menurutnya itu tetap pekerjaan nomor satu. Anis juga bisa tetap rutin mengaji mengisi ruhaniahnya. Namun karena kegiatannya itu, biasanya ia tidur cepat juga, tapi malam ini rasa kantuknya seperti hilang begitu saja. Berita dari ibu tadi membuat Anis teringat lagi. Teringat akan kerinduannya menimang si kecil, buah hatinya sendiri.
Lima tahun pernikahan adalah bukan waktu yang sebentar. Awalnya Anis biasa saja ketika enam bulan pertama ia tak kunjung hamil juga, ia malah merasa punya waktu lebih banyak untuk suaminya dan merintis kariernya. Seiring dengan berjalannya waktu dan tak hentinya orang bertanya, dari mulai keluarga sampai teman-temannya, tentang kapan mereka menimang bayi, atau kenapa belum hamil juga, Anis mulai khawatir. Fitrahnya sebagai wanita juga mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada dirinya, atau kapan ia hamil seperti juga pasangan-pasangan lainnya… Atas saran dari banyak orang Anis mencoba konsultasi ke dokter kandungan. Seorang dokter wanita dipilihnya. Risih juga ketika menunggu giliran di ruang tunggu klinik, pasien di sekitarnya datang dengan perut membuncit dan obrolan ringan seputar kehamilan mereka. Atau ketika salah seorang diantara mereka bertanya sudah berapa bulan kehamilannya.
“Saya tidak sedang hamil, hanya ingin konsultasi saja…” senyum Anis sabar meski dadanya berdebar, sementara Mas Iqbal semakin pura-pura asyik dengan korannya. Anis bernafas lega ketika dokter menyatakan ia sehat-sehat saja. Hindari stress dan lelah, hanya itu nasehatnya.
Setahun berlalu. Ditengah kebahagiaan rumah tangganya ada cemas yang kian mengganggu Anis. Kerinduan menimang bayi semakin menghantuinya. Sering Anis gemas melihat tingkah polah anak-anak kecil disekitarnya, dan semakin bertanya-tanya apa yang terjadi dengan dirinya. Setelah itu mulailah usaha Anis dan suaminya lebih gencar dan serius mengupayakan kehamilan. Satu demi satu saran yang diberikan orang lain mereka lakukan, sejauh itu baik dan tidak melanggar syariat Islam. Beberapa dokter wanita juga kadang mereka datangi bersama, meski lagi dan lagi sama saja hasilnya. Sementara hari demi hari, tahun demi tahun terus berlalu.
Kadang Anis menangis ketika semakin gencar pertanyaan ditujukan padanya atau karena cemas yang kerap mengusik tidurnya. Mas Iqbal selalu sabar menghiburnya “Anis…apa yang harus disedihkan, dengan atau tanpa anak rumah tangga kita akan berjalan seperti biasa. Aku sudah sangat bahagia dengan apa yang ada sekarang. Insya Allah tidak akan ada yang berubah dalam rumah tangga kita…” goda Mas Iqbal suatu ketika seperti bisa membaca jalan pikirannya. Suaminya memang tahu kapan Anis sedang mendalam sedihnya dan harus dihibur agar tidak semakin larut dalam kesedihannya. Di saat-saat seperti itu memang cuma suaminya yang paling bisa menghiburnya, tentu saja disamping do’a dan berserah dirinya pada Allah. Kadang Anis heran kenapa Mas Iqbal bisa begitu sabar dan tenang, seolah-olah tidak ada apapun yang terjadi. Dia selalu ceria dan optimis seperti biasa. Apakah memang pria tidak terlalu memasukkan unsur perasaannya atau mereka hanya pintar menyembunyikan perasaan saja? Anis tidak tahu, yang pasti sikap Mas Iqbal banyak membantu melewati masa-masa sulitnya.
Sebenarnya Anis juga bukan selalu berada dalam kondisi sedih seperti itu. Sesekali saja ia agak terhanyut oleh perasaannya, biasanya karena ada faktor penyulutnya, yang mengingatkan ia akan mimpinya yang belum terwujud itu. Selebihnya Anis bahagia saja, bahkan banyak aktivitas atau prestasi yang diraihnya. Buatnya tidak ada waktu yang disia-siakan. Selagi sempat, semua peluang dan kegiatan positif dilakukannya. Kadang-kadang beberapa teman menyatakan kecemburuannya terhadap Anis yang bisa melakukan banyak hal tanpa harus disibuki oleh rengekan si kecil. Anis tersenyum saja.
Anis juga tidak pernah menyalahkan teman-temannya kalau ketika sesekali bertemu obrolan banyak diisi tentang anak dan seputarnya. Buatnya itu hal biasa, usia mereka memang usia produktif. Jadi wajar saja kalau pembicaraan biasanya seputar pernikahan, kehamilan, atau perkembangan anak-anak mereka yang memang semakin lucu dan menakjubkan, atau cerita lain seputar itu. Biar bagaimanapun Anis menyadari menjadi ibu adalah proses yang tidak mudah dan perlu belajar atau bertukar pengalaman dengan yang lain. Tapi kadang-kadang, sesekali ketika Anis sedang sedih, rasanya ia tidak mau mendengar itu dulu. Anis senang juga jika ada yang berusaha menjaga perasaannya diwaktu-waktu tertentu, dengan tidak terlalu banyak bercerita tentang hal tersebut, bertanya, atau malah menyemangati dengan do’a dan dukungan agar sabar dan yakin akan datangnya si kecil menyemarakkan rumah tangganya.
Anis tersadar dari lamunannya. Diminumnya segelas air dingin dari lemari es. Sejuk sekali. Meskipun malam tapi udara terasa pengap. Ditambah lagi berwudhu ditengah malam, melunturkan sebagian besar kemelut dalam dadanya. Setelah membangunkan suaminya, Anis shalat malam berdua. Di akhir shalat air mata Anis membasahi sajadahnya. “Rabbi…, ampunilah dosa-dosa kami, jangan beri kami cobaan yang tidak kuat kami menanggungnya. Beri kami kekuatan dalam menjalani semuanya. Perkenankan kami memiliki buah hati pewaris kami, penerus kami dalam menegakkan Dien-Mu. Hanya ridha-Mu yang kami cari. Sungguh tidak ada yang lain lagi…”. Selesai shalat Anis terlelap. Dalam mimpinya ia bermain bersama beberapa gadis kecil. Senang sekali.
*****
Suatu siang di kantornya, Anis sedang merancang sebuah ruang pameran. Ada festival Islam yang akan digelar, mungkin karena tidak banyak designer interior berjilbab rapi seperti Anis, ia dipercaya merancangnya. Ketika sedang mencorat-coret gambar, Fitri mengejutkannya, “Mbak Anis, ada tamu yang mau bertemu”.
“Dari mana Fit ?” tanya Anis.
“Katanya dari Yayasan Amanah, mbak, mau menawarkan kerja sama”.
“Iya deh, saya kedepan sepuluh menit lagi” jawab Anis.
Setelah bincang-bincang dengan tamunya akhirnya Anis menyepakati kerja sama menyantuni beberapa anak-anak yatim yang diasuh yayasan tersebut. Anis memang selalu menyisihkan rezkinya untuk mereka yang membutuhkan. Perusahaan mungil yang dikelolanya selalu berusaha menjalankan syariat Islam.
Sejak itu Anis punya kegiatan baru, menyantuni dan mengasuh beberapa anak yatim bersama yayasan tersebut. Tidak banyak kegiatan sebenarnya, hanya laba perusahaan kecilnya yang tidak seberapa disisihkan sebagian untuk disalurkan sebagai beasiswa untuk beberapa anak-anak tersebut. Itupun setelah dimusyawarahkan dengan semua teman-teman dan disetujui bersama. Tapi banyak hikmah yang Anis dapatkan. Sesekali Anis jadi bertemu dan bersahabat dengan mereka. Anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya sehingga tidak seberuntung yang lain, yang mendapat curahan perhatian dan kasih sayang berlimpah dari orang tua. Mereka memang kurang beruntung, tapi kesabaran dan ketegaran mereka membuat Anis malu menyadari dirinya yang rapuh, mudah mengeluh dan sedih. Anis jadi menyadari betapa sebenarnya karunia yang diberikan Allah padanya begitu banyak dan berlimpah. Kalaupun ada satu atau dua hal yang luput, itu tidak seberapa dibandingkan dengan yang ia telah dapatkan. Anis jadi menata dirinya untuk lebih sabar dan banyak bersyukur. Dengan banyak bersyukur tentu Ia akan lebih banyak memberikan lagi nikmat-Nya.
*****
“Bu Anis, kuenya enak sekali…” puji Ina tulus. Mata polosnya bersinar senang. Ia memang anak yang manis, kelas 5 SD dan selalu ranking satu di kelasnya, ibunya hanya penjual gado-gado dengan tiga orang anak, sementara ayahnya sudah meninggal sejak Ina kelas satu. Minggu pagi cerah ini Anis memang mengundang beberapa anak asuhnya ke rumah beserta beberapa orang pengurus yayasan. Sejak kemarin ia dan Mas Iqbal pontang-panting menyiapkan semuanya. Sebenarnya bisa saja Anis pesan makanan, tapi entah kenapa ia ingin menyiapkan sendiri, untungnya Mas Iqbal setuju dan membantunya penuh.
“Bu Anis, sup nya Farouk tumpah….” jerit Atikah nyaring.
Anis sibuk melayani mereka, Mas Iqbal juga tak kalah repot. Sekarang Anis memang semakin dekat dengan mereka, ia berusaha memberikan kasih sayang dan perhatian atau bimbingan semampunya. Mereka banyak membuka mata dan hatinya. Anak-anak malang yang membutuhkan kasih sayang dan bimbingan.
Selesai acara Anis kecapekan luar biasa, anak-anak itu terkadang manja dan mencari perhatiannya saja, tapi Anis senang. Tamu-tamu kecil itu menyemarakkan rumahnya.
Keesokan paginya Anis bangun agak siang. Selesai shalat subuh dan menyiapkan keperluan Mas Iqbal, ia tertidur lagi. Suaminya berangkat kerja tanpa pamit, kasihan pada Anis yang sepertinya masih kelelahan. Anis sendiri tidak pergi kerja hari ini, ia sudah izin sebelumnya.
Jam setengah delapan pagi Anis terbangun oleh dering telepon dari ibunya.
“Anis, selamat ulang tahun ya…semoga semakin bertambah keimanannya, sehat, bahagia dan cepat mendapatkan momongan”, ujar ibu mendo’akan.
“Terima kasih ya, Bu” Anis tersadar bahwa hari ini usianya bertambah lagi. Sebenarnya ia tak pernah menganggap istimewa, tapi kalau ada yang ingat ya senang juga.
“Masih sering sedih nggak?…” Ibu menggodanya. Selain Mas Iqbal memang ibu yang paling memahami perasaannya dan tentu saja yang paling sering menghibur dan mendo’akannya.
“Ingat lho Nis, apa saja yang kita dapatkan itu sudah hasil seleksi dari sana dan itu adalah yang terbaik untuk kita. Kita harus ikhlas, sabar, dan senang menerimanya. Istri-istri Rasululloh pun ada yang tidak diberi momongan dan itu bukan dosa. Yang penting kita tak putus usaha dan berdo’a, bagaimana hasilnya biar Allah saja yang menentukan”, ibu menasehati.
“Iya Bu” jawab Anis hampir tak terdengar. Ia terharu ibu selalu memperhatikan dan menghiburnya.
Setelah menutup telpon dari ibu Anis dikejutkan lagi oleh selembar surat di meja, yang ini ucapan selamat dari Mas Iqbal rupanya. Anis tersenyum membacanya tapi matanya akhirnya basah juga. Suaminya memang selalu sabar dan penuh perhatian, tak pernah sekalipun ia menyakiti hati Anis, kalaupun ada perbedaan pendapat selalu ia selesaikan dengan bijak. Tiba-tiba Anis merasakan lagi betapa besar nikmat yang telah dilimpahkan kepadanya. Rasanya tidak ada lagi alasan untuk bersedih, apalagi putus asa. Kalau memang sudah tiba waktunya dan baik untuknya, tentu harapan dan do’anya akan dikabulkan. Ia yakin tidak akan ada do’a dan usaha yang sia-sia. Hanya Allah yang tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya, tidak mungkin Ia mendzholimi hamba-Nya dan Ia yang akan mengabulkan do’a. Insya Allah mungkin esok hari. Ya, siapa tahu… (er)
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, kalau mereka mengetahui.” (Al Ankabuut, 64)

30. Seuntai Kalung Mutiara Buat Annisa

Pada kesempatan kali ini saya akan menceritakan kisah anak berumur 5 tahun bernama Anisa. Di sore hari yg cerah, Anisa dan ibunya berbelanja di supermarket tepatnya di jalan Datuk Maharaja. Ketika sedang asik menemani sang ibu belanja Anisa melihat kalung mutiara putih berkilauan, kalung itu tergantung dalam sebuah kotak berwarna pink yang sangat attraktif. Kalung itu nampak begitu indah sekali , sehingga Anisa pun sangat ingin memiliki kalung itu. Tapi Dia tahu, pasti Ibunya akan berkeberatan. Seperti biasanya, sebelum berangkat ke supermarket dia sudah berjanji tidak akan meminta apapun selain yang sudah disetujui untuk dibeli.
Dan tadi Ibunya sudah menyetujui untuk membelikannya kaos kaki ber-renda yang cantik. Namun karena kalung itu sangat indah, diberanikannya bertanya.
“Bunda, bolehkah Anisa memiliki kalung ini? Ibu boleh kembalikan kaos kaki yang tadi… “Sang Bunda segera mengambil kotak kalung dari tangan Anisa. Dibaliknya tertera harga Rp15,000. Dilihatnya mata Anisa yang memandangnya dengan penuh harap dan cemas. Sebenarnya dia bisa saja langsung membelikan kalung itu, namun ia tak mau bersikap tidak konsisten.
“Oke … Anisa, kamu boleh memiliki Kalung ini. Tapi kembalikan kaos kaki yang kau pilih tadi. Dan karena harga kalung ini lebih mahal dari kaos kaki itu, Ibu akan potong uang tabunganmu
untuk minggu depan. Setuju ?”
Anisa mengangguk lega, dan segera berlari riang mengembalikan kaos kaki ke raknya.
“Terimakasih…, Ibu” Anisa sangat menyukai dan menyayangi kalung mutiaranya. Menurutnya, kalung itu membuatnya nampak cantik dan dewasa. Dia merasa secantik Ibunya. Kalung itu tak pernah lepas dari lehernya, bahkan ketika tidur. Kalung itu hanya dilepasnya jika dia mandi atau berenang. Sebab,kata ibunya, jika basah, kalung itu akan rusak, dan membuat lehernya menjadi hijau. Setiap malam sebelum tidur, ayah Anisa membacakan cerita pengantar tidur. Pada suatumalam, ketika selesai membacakan sebuah cerita,
Ayah bertanya “Anisa…, Anisa sayang Enggak sama Ayah ?”
“Tentu dong… Ayah pasti tahu kalau Anisa sayang Ayah !”
“Kalau begitu, berikan kepada Ayah kalung mutiaramu…
“Yah…, jangan dong Ayah ! Ayah boleh ambil “si Ratu” boneka kuda dari nenek… ! Itukesayanganku juga
“Ya sudahlah sayang,… ngga apa-apa !”. Ayah mencium pipi Anisa sebelum keluar dari kamar
Anisa.
Kira-kira seminggu berikutnya, setelah selesai membacakan cerita, Ayah bertanya lagi,
“Anisa…, Anisa sayang nggak sih, sama Ayah?”
“Ayah, Ayah tahu bukan kalau Anisa sayang sekali pada Ayah?”.
“Kalau begitu, berikan pada Ayah Kalung mutiaramu.”
“Jangan Ayah… Tapi kalau Ayah mau, Ayah boleh ambil boneka Barbie ini..”Kata Anisa seraya
menyerahkan boneka Barbie yang selalu menemaninya bermain. Beberapa malam kemudian, ketika Ayah masuk ke kamarnya, Anisa sedang duduk di atas tempat tidurnya. Ketika didekati, Anisa rupanya sedang menangis diam-diam. Kedua tangannya tergenggam di atas pangkuan. air mata membasahi pipinya…”Ada apa Anisa, kenapa
Anisa ?” Tanpa berucap sepatah pun, Anisa membuka tangannya.
Di dalamnya melingkar cantik kalung mutiara kesayangannya” Kalau Ayah mau…ambillah kalung
Anisa”
Ayah tersenyum mengerti, diambilnya kalung itu dari tangan mungil Anisa. Kalung itu dimasukkan ke dalam kantong celana. Dan dari kantong yang satunya, dikeluarkan sebentuk kalung mutiara putih…sama cantiknya dengan kalung yang sangat disayangi Anisa…”Anisa… ini untuk Anisa. Sama bukan ? Memang begitu nampaknya, tapi kalung ini tidak akan membuat lehermu menjadi hijau”
Ya…, ternyata Ayah memberikan kalung mutiara asli untuk menggantikan kalung mutiara imitasi Anisa.
Demikian pula halnya dengan Allah S.W.T. terkadang Dia meminta sesuatu dari kita, karena Dia berkenan untuk menggantikannya dengan yang lebih baik. Namun, kadang-kadang kita seperti atau bahkan lebih naif dari Anisa : Menggenggam erat sesuatu yang kita anggap amat berharga, dan oleh karenanya tidak ikhlas bila harus kehilangan. Untuk itulah perlunya sikap ikhlas, karena kita yakin tidak akan Allah mengambil sesuatu dari kita jika tidak akan menggantinya dengan yang lebih baik.
Posted by KR7 | Kang Robby

31. Tasbih dari Gunung Slamet

Cerpen: Sigit Emwe
Mbah Muslich masih memegangi jenggotnya yang telah beruban, tangannya pelan membelainya. Perlahan ia memperbaiki posisi pecinya yang agak kurang pas dirasaknnya. Kembali matanya tertuju pada koran pagi ditangannya. Dalam halaman yang dibacanya terdapat berita tentang kematian seorang istri kyai secara khusnul khotimah yaitu saat mengerjakan shalat. Mata Mbah Muslich jauh menerawang ke atas atap rumahnya yang buat dari jerami kering. Dalam-dalam ia hisap asap tembakau yang ia nyalakan berapa menit yang lalu. Dimejanya yang terbuat dari bambu tampak sebuah asbak terbuat dari tanah liat penuh dengan putung-putung rokok yang dihisapnya. Mbah Muslich tampak begitu gelisah, sekali-kali batuknya membuat tubuhnya terguncang dari posisi duduknya.
***
Walaupun menyandang gelar Haji dan memiliki kelebihan indera keenam yaitu mengetahui apa yang tidak diketahui orang lain atau orang biasa menyebutnya ngarti sadurunge weruh, Mbah Muslich tetap lah Mbah Muslich yang dulu. Hidup dalam kesederhanaan dan kesendirian. Mbahi Muslich hidup seorang diri. Sebenarnya keponakannya pernah tinggal bersamanya sejak kecil, namun nasib berkata lain keponakannya yang berkerja sebagai pengrajin tasbih mati secara tragis dengan gantung diri di pohon manggga di depan rumah Mbah Muslich yang berada tepat di bawah kaki Gunung Slamet. Sejak kematian keponakannya Mbah Muslic memilih hidup membujang, apalagi anak, istripun ia tak punya. Meskipun tanahnya amatlah luas, Mbah Musich enggan untuk mencari pendamping hidup. Sebenarnya Mbah Muslich bukan lelaki yang membenci perempuan, namun ia merasa bahwa dirinya takkan mampu membahagiakan perempuan.
Dulu ibu Mbah Muslich adalah seorang janda kaya, ia ditinggal mati suami tercinta dalam perang kemerdekaan. Waktu itu bapak dari Mbah Muslich adalah seorang pejuang yang gigih memperjuangkan kemerdekaan. Pada suatu malam ia bersama pasukannya tengah melakukan patroli untuk menjaga keamanan desanya. Tiba-tiba sebuah bom meledak tepat didepannya. Tubuhnya terpental kaki dan tangannya terpisah dari tubuhnya. Sejak itulah Muslich kecil menjadi anak yatim.
Kehidupan menjadi anak yatim menempa Muslich kecil menjadi orang yang tahan banting. Hidup dalam kasih sayang ibunya membuat Muslich kecil begitu menghargai perempuan. Dari figur ibunya lah Muslich memiliki pandangan tersendiri terhadap perempuan.
Seekor kucing belang yang turun dari atas meja membuyarkan lamunan Mbah Muslich. Sesaat Mbah Muslich menghisap dalam-dalam rokok terakhir sebelum membuangnya ke dalam asbak. Mbah Muslich beranjak dari tempat duduknya, Ia berjalan menuju sebuah sudut ruangan dan mengambil Al-Quran dari dalam lemari.
Tiba-tiba terdengar orang mengucapkan salam dan beberapa saat kemudian terdengar suara orang mengetuk pintu rumah Mbah Muslich. Suara itu semakin keras, seperti begitu tergesa-gesa. Mbah Muslich memasukan kembali Al-Quran ke dalam lemari dan meletaknnya di atas tempatnya. Mbah Muslich kemudian berjalan menuju ke arah pintu untuk membuka dan mengetahui siapa yang datang.
Seorang kakek tua berdiri di depan Mbah Muslich. Pakaiannya serba putih, dengan sorban putih dikepalanya. Ternyata Mbah Ronggo yang datang bertamu kerumah Mbah Muslich. Tampak wajah tua yang berkeriput Mbah Ronggo begitu pucat dan pasi, ada kecemasan tergambar dari raut wajahnya.
“Ada gerangan apa saudaraku berkenan berkunju ke gubugku ini” tanya Mbah Muslich sambil mempersilahkan Mbah Ronggo masuk ke dalam rumah dan mempersilahkan Mbah Ronggo untuk duduk.
“Maafkan aku, jika kedatangan jasad ini mengganggu kekhusuanmu” jawab Mbah Ronggo.
“Ada gerangan apa yang membuat saudaraku, berkenan hadir dalam wujud wadag ini, sepertinya ada masalah teramat penting engkau bawa kepadaku” Mbah Muslich menerka maksud kedatangan Mbah Ronggo.
“Tentu saudaraku lebih tahu, dan bisa meraba masalah apa yang aku bawa untukmu” jawab Mbah Ronggo singkat.
“Jika masalah itu, pastilah saudaraku lebih mumpuni dalam menyelesaikannya, namun marilah kita bahas masalah itu dengan lebih bijak dan lebih arif” ucapan Mbah Muslich terdengar datar.
“Kehidupan ini semakin tua, kita semakin di makan usia, namun banyak yang belum bisa kita lakukan untuk menjaga keseimbangan alam ini” kata-kata dari Mbah Ronggo keluar penuh makna.
“Itulah yang meski kita lakukan, cobalah saudaraku, bawa tasbih ini dan berikan kepada putramu, biarkan ia menyelesaiakan persoalannya, Inssa Allah masalahnya akan terselesaikan” Mbah Muslich mengambil tasbih dari lehernya dan memberikan kepada Mbah Ronggo.
Tasbih berwarna kuning keemasan. Dengan tulisan Allah pada tiap butirannya. Kini telah ada di tangan Mbah Ronggo. Tanpa waktu yang lama Mbah Ronggo memohon pamit kepada Mbah Muslich.
Di pesantrennya Gus Maktum tampak begitu gelisah, ia tengah menunggu kedatangan bapaknya. Berapa saat kemudian terdengar salam dari luar pesantren. Yang datang ternyata Mbah Ronggo. Tanpa berpanjang kata Mbah Ronggo memberikan tasbih pemberian dari Mbah Muslich kepada putranya Gus Maktum.
Tampak wajah berseri-seri terpancar dari wajah Gus Maktum. Berulang-ulang diciumnya tangan Mbah Ronggo. Ekspresinya seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan dari bapaknya.
“Anakku, sekarang temuilah istrimu dan berikan apa apa yang menjadi keinginannya” perintah Mbah Ronggo kepada Gus Maktum.
Tanpa berpikir lama Gus Maktum menuju kamar di mana istrinya tengah duduk termenung. Tampak mata yang sembab dari sepasang mata yang indah milik istrinya. Seolah istrinya berusaha menahan kesedihan yang ia sembunyikan.
“Istriku, ini tasbich bertuliskan lafal Allah dari gunung Slamet seperti persyaratkan yang kau ajukan kepadaku agar aku bisa menikah lagi” Gus Maktum menunjukan tasbih itu kepada istrinya.
Dengan tangan sedikit gemetar istri Gus Maktum menerima tasbih tersebut. Dipandangnya tasbich itu dengan mata berkaca-kaca. Pikirannya melayang pada seorang pemuda dusun di bawah kaki Gunung Slamet yang berprofesi sebagai pengrajin tasbih. Betapa perasaan bersalah muncul dalam hatinya ketika tanpa alasan yang jelas ia harus meninggalkan dusunnya dan pemuda tercintanya itu untuk menikah dengan Gus Maktum seorang putera dari Kyai Terkenal di Jawa Timur.
Pesta perkawinan Gus Maktum dengan istri keduanya digelar cukup meriah di pondok pesantren Gus Maktum, ada bend ternama yang dulu menjadi santri di pesantren itu di undang meramaikan pesta pernikahan itu. Selain itu kelompok hadroh dan para pemusik kasidah pun tak mau ketinggalan menyubangkan karyanya sbagai wujud ketakdiman kepada seorang guru.
Malam semakin larut, Gus Maktum tampak begitu lelah menyambut tamu-tamu yang datang dari kota-kota dan pesantren-pesantren lainnya. Begitu juga kelelahan tampak menyelimuti istri kedua Gus Maktum yang berdandan layaknya seorang artis. Hanya saja menggunakan Jilbab, sehingga kemenorannya berdandan sedikit tertutupi. Gus Maktum da istri keduannya hendak beristirahat, mereka menarik diri dari keramaian pesta dan bergegas menuju ke dalam kamar.
Tiba di dalam kamar, tiba-tiba istri kedua Gus Maktum menjerit histeris, tubuhnya tampak lunglai. Dihadapnnya terlihat sosok wanita dengan mengenakan pakaian shalat tampak bersimbah darah. Gus Maktum melihat istri pertamanya telah tak bernyawa dengan goresan di urat nadi tangannya. Dalam genggaman tangannya tampak tasbih berlafalkan nama Allah telah berwarna merah. Gus Maktum tak bisa berkata apa-apa, tubuhnya lemah. Kedua kakinya terasa terpaku di atas bumi. Begitu kaku. ***

32. Ajak Aku Melihat Kunang-Kunang

Cerpen: Mustafa Ismail
Lelaki itu membuka komputer, lalu mengaktifkan Yahoo! Messenger. Ia meneliti satu persatu nama-nama di sana. Beberapa temannya sedang online. Tapi lebih banyak tidak. Sudah sore, pikirnya, teman-teman yang biasa mengaktifkan YM di kantor, sudah mulai pulang. Rus ingin menyapa beberapa teman yang tinggalnya terpisah-pisah di berbagai kota dan luar negeri.
Tak hanya nama-nama, ia juga memperhatikan kata-kata yang diletakkan di depan nama-nama itu, yang seringkali menjadi cermin apa yang sedang dirasakan atau dilakukan teman-temannya. “Sedang keluar”, “Bos yang manis”, “Menunggu musim duren”, “Bete deh…”, “Kamu ketahuan….” dan sebagainya. Ia memperhatikan satu persatu, sambil senyum-senyum melihat “catatan status online” itu.
Matanya kemudian tertumbuk pada nama lain: Mawar. Ia menulis “status onlinenya” dengan sangat puitis: “Ajak aku melihat kunang-kunang.” Ah, ia langsung tersugesti untuk menyapa Mawar. Sudah lama ia tidak bertemu perempuan hitam manis dengan rambut sebahu dan lesung pipit itu.
Dulu, Rus itu satu kantor dengan Mawar. Mereka sangat dekat. Tapi pelan-pelan kedekatan itu berjarak. Seseorang kemudian sering menjemput Mawar. Ia tidak mengenal lelaki itu. Mawar selalu mengelak menceritakan tentang dia. Ia hanya berkata: “Itu sepupuku. Kantornya dekat sini, makanya sambil pulang ia mampir menjemputku.”
Rus pun tidak bertanya lebih jauh. Tapi suatu kali, Mawar mengajak Rus bertemu di sebuah kafe. Meski satu kantor, mereka pergi sendiri-sendiri ke kafe yang biasa mereka kunjungi itu. Itu dilakukan agar teman-teman kantor tidak tahu mereka dekat.
Rus tidak ingin terlihat sebagai lelaki yang mengingkari keluarga. Mawar pun tidak ingin tampak sebagai gadis yang dekat dengan suami orang. Jadi di kantor, tak seorang pun yang tahu hubungan khusus mereka. Ketika di kantor, mereka berlaku sebagaimana layaknya rekan-rekan kerja lainnya. Rus kepala bagian personalia, dan Mawar adalah staf di bagian keuangan.
Pengakuan di kafe itu sungguh mengejutkan. “Aku mau menikah, Mas,” katanya.
Rus terdiam sesaat. Matanya memandang Mawar tanpa berkedip. Mawar tersenyum. Tapi bukan senyum yang biasa dilihat Rus. Senyum ini agak getir. Ia seperti merasa menyesal telah mengatakan sesuatu kepada Rus. “Maafkan aku, Mas. Aku tahu, Mas sangat mencintai keluarga Mas.”
“Ya. Sebetulnya akulah yang salah karena telah mengagumimu dan mengharapkanku terus dekat denganku.” Suara Rus sangat pelan. Mawar menatap lelaki di depannya itu dengan mata tak berkedip. Mereka saling tatap. Tapi pelan-pelan Mawar menunduk, dan beberapa tetes bening mengalir di pipinya.
“Maafkan aku Mas. Aku juga mengagumi dan mengharapkan Mas selalu dekat denganku, tapi…..”
“Ya, aku paham.” Rus berusaha tenang. Ia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. “Siapakah lelaki itu?”
“Mas pasti sudah tahu.”
“Lelaki yang sering menjemputmu?”
“Dia bukan lelaki yang cocok denganku. Kami terpaksa berpisah beberapa bulan lalu.”
“Lalu siapa?”
“Safar.”
“Safar Yoga?”
Rus segera terbayang seorang lelaki tinggi kurus hitam manis yang dulu mejanya di kantor persis di sebelah Rus, ketika awal-awal bekerja di kantor itu. Tapi setahun bekerja, Safar pindah ke perusahaan lain. Kudengar, terakhir ia menjadi kepala bagian penjualan pada sebuah perusahaan ritel.
“Dia tetanggaku, Mas.”
“Safar cerita banyak tentangku?”
Mawar tersenyum.
“Ia bercerita bahwa ketika sama-sama mahasiswa ia berhasil merebut Santi dariku?”
Mawar menggeleng.
“Atau ia bercerita suatu kali kami berantam di kampus karena ia menggoda Nova, pacarku?”
Mawar juga menggeleng.
“Atau dia cerita bahwa aku dan dia lama tidak ngobrol karena masalah perempuan. Bahkan ketika satu kantor pun kami jarang bertegur sapa meski meja kami bersebelahan?”
“Tidak. Ia tidak menceritakan apa yang Mas ungkapkan. Ia memang tahu kedekatan kita, tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Justru ia merasa tidak enak ketika aku dekat dengannya. Ia takut Mas tersinggung. Tapi aku berhasil meyakinkannya bahwa Mas orang terpelajar dan sangat mencintai keluarga Mas. Mas tidak mungkin mencintai lebih dari satu perempuan.”
Rus terdiam. Agak lama. Lalu, ia melirik arloji, dan buru-buru ia mengatakan: “Sudah malam. Kita harus pulang. Aku akan mengantarmu.”
“Tidak usah, Mas. Aku naik taksi saja.”
Mereka beranjak. Rus berjalan ke arah tempat parkir. Mawar berhenti di teras gedung. Tak lama, sebuah mobil minibus silver lewat dan berhenti di sana. Seseorang melongok dari dalam mobil dan berbicara dengan Mawar. Lalu Mawar pun naik.
Dari jauh, Rus tertunduk diam. Ia tak langsung ke tempat parkir tadi, tapi berdiri di sebuah sudut memperhatikan Mawar. Ia bisa melihat jelas lelaki yang memberhentikan mobilnya di depan Mawar dan mengajaknya pergi. Dia adalah Safar. Ia tidak mengerti mengapa Safar selalu menang dalam soal perempuan.
Dua bulan kemudian, Rus menerima surat pengunduran diri Mawar. “Aku mau pulang ke Yogya, Mas. Mengurus usaha orangtua,” katanya.
“Bagaimana dengan Safar?”
“Dia sementara di Jakarta, tapi nanti setelah menikah ia juga akan ikut mengurusi usaha orangtuaku.”
“Aku hanya berharap kamu bahagia.” Suara Rus pelan, dan menatanya menatap Mawar dalam-dalam.
“Terima kasih, Mas. Saya berharap kita bisa menjadi saudara.”
Rus mengangguk. “Ya, kamu saudaraku.” Ia ingin mencium dan merangkul Mawar karena begitu terharu, tapi ia mengurungkan niat itu. Ia juga berusaha menahan tetes air mata, meskipun matanya terasa berkedap-kedip dan agak panas.
Sementara Mawar buru-buru pamit dan membiarkan Rus terdiam di kursi memandang tubuhnya hilang di balik pintu. Yang sempat ia dengar hanya sebuah isak kecil yang ditahan.
*
Ini pertama kali Mawar online di Yahoo Messenger, setelah setahun kepindahannya ke Yogya, dan mereka tidak saling sapa. Yang membikin penasaran ia muncul dengan kalimat yang sungguh puitis: ajak aku melihat kunang-kunang. Ia tak sabar untuk menyapanya. Rus pun mulai mengetik pesannya, bertukar kata dengan Mawar.
Rus: Mawar, aku ingin mengajakmu melihat kunang-kunang. Berdiri dari jendela di lantai sebelas kantor kita dulu, dan melihat ke gelap malam. Di situ beribu-ribu kunang-kunang membentuk lautan cahaya, saling-silang dan meluncur-naik.
Rus: Atau berdirilah di tengah sawah atau kebun ketika matahari telah terbenam. cahaya-cahaya itu bagai tetes salju yang meliuk-liuk seperti camar-camar di pantai.
Mawar: Wah….
Mawar: Sayangnya udah menelusuri penjuru Yogya dan belum juga menemukannya, Mas.
Rus: Masa sih?
Rus: Atau pejamkan mata…
Rus: Bayangkan seribu kunang-kunang meliuk-liuk di rambutmu, terbang ke sana kemari, seperti melompat dari ranting ke ranting. Lalu, bayangkan dirimu ada di sebuah gurun, dengan rumput-rumput hijau, dan sebatang pohon di belakangmu. Lalu seribu kunang-kunang menyerbu dari pohon itu, hinggap di pucuk-pucuk rumput itu, dan membentuk gurun cahaya.
Mawar: Kok serem Mas, hihi…
Mawar: Satu kunang-kunang sudah cukup kok, hehe.
Rus: Bukannya lautan cahaya itu indah.
Mawar: Setitik cahaya yang bisa dimiliki dan digenggam erat lebih indah daripada lautan cahaya yang mudah sirna…
Rus: Jika terus merawatnya, gurun cahaya tidak akan sirna.
Rus: Dan bayangkan seribu kunang-kunang itu kemudian membentuk satu kunang-kunang abadi yang terus terbang meliuk-liuk di rambutmu.
Mawar: Haha.
Rus: Mawar serius ingin melihat kunang-kunang?
Mawar: Iya, hehe.
Rus: Bayangkan ini…..
Rus: Seseorang datang dari jauh, menyapamu, kemudian menjelma kunang-kunang yang selalu berkedap-kedip setelah matahari terbenam. Ia selalu membuat jalanmu begitu terang berderang.
Rus: Bayangkan juga jika ada seribu kunang-kunang yang kemudian menyatu menjadi satu kunang-kunang. Betapa terangnya jalanmu.
Mawar: Ya, sungguh indah Mas.
Rus: Mawar, coba ceritakan apa yang kamu lakukan jika kunang-kunang datang padamu.
Mawar: Melihat saja sudah cukup puas mas. Aku tak ingin memiliki karena justru akan melukainya
Rus: Tidak ingin kunang-kunang itu selalu bersamamu?
Mawar: Tidak.. Tapi pengen dia ada pas aku ingin melihatnya. Tak perlu harus terus bersama. Kebersamaan yang terus menerus dipaksakan seringkali menimbulkan kejenuhan dan kebosanan.
Rus: Apakah kunang-kunangmu telah terbang jauh?
Mawar: Belum pernah merasa memiliki satu kunang-kunang pun, Mas. Jadi masih terus mencari, kunang-kunang yang mau setia hadir saat aku pengen melihatnya. Yang cahayanya takkan pernah pudar.
Mawar: makluk kecil lemah namun mampu memberikan cahayanya untuk menerangi.
Rus: Sungguh mengharukan.
Rus: Jika aku punya kunang-kunang, aku akan segera mengirim satu untukmu
Mawar: Mau mas…Tapi jangan sampai melukainya ya.
Mawar: Untuk apa dimiliki dan dinikmati tapi dia terluka.
Rus: Mawar benar.
Rus: Tapi lebih baik memiliki sambil terus merawatnya agar tidak terluka.
Rus: Pernahkah pada satu hari dulu, mawar takjub pada kunang-kunang? Atau mawar punya kenangan bersama kunang- kunang?
Mawar: Dulu di kebun di rumahku banyak kunang-kunang mas.
Mawar: Tiap malam…
Mawar: Sering aku sama adikku, berdua menggelar tikar di halaman rumah, menikmati kunang-kunang. Kami seringkali menangkapi mereka dan menaruh dalam botol.
Mawar: Sayang sekarang sudah tak ada lagi kunang-kunang.
Mawar: Mereka pergi seiring pergerakan usiaku menjadi dewasa.
Mawar: Betul, ada banyak yang bisa kita miliki dan kita rawat.
Mawar: Tapi kunang-kunang sepertinya tercipta hanya untuk dilihat.
Mawar: Tak akan ada yang bisa memiliki dan merawat.
Rus: Rumah Mawar di Yogya?
Rus: Sekarang masih ada kebun itu?
Mawar: Rumahku di Karanganyar, Solo.
Mawar: Kebunnya masih ada, tapi kunang-kunangnya menghilang. Dulu juga banyak burung jalak dan kutilang, tiap kali panen padi harus “ngoyak-oyak” para makhluk itu. Tapi sekarang sudah tak ada semua.
Rus: Mengapa kunang-kunang itu hilang?
Rus: Burung jalak dan kutilang bagaimana?
Mawar: Sawah-sawahnya sudah jadi perumahan, mas.
Mawar: Sawah yang tersisa sudah pakai pestisida semua.
Rus: Wah.
Ia tidak sempat melanjutkan percakapan itu, karena tiba-tiba status Mawar sign off alias offline. Rus menunggu Mawar online kembali. Boleh jadi, ada sesuatu gangguan yang menyebabkan percakapan itu terputus. Ia terus memelotoi komputer. Semenit, dua menit, lima menit, hingga setengah jam, Mawar tak juga sign in kembali.
Rus jadi gelisah. Mungkinkah listrik tiba-tiba mati, atau mungkin baterai laptopnya drop. Ia mengambil telepon genggam dan mengetikkan sms kepada Mawar. Tapi, sms itu tak terkirim. Ia makin gelisah, apa yang sesungguhnya terjadi.
Tapi Rus tidak hendak beranjak dari komputer. Meski sudah hampir magrib, dan sebagian temannya sudah meninggalkan kantor, ia masih tetap menunggu. Siapa tahu sebentar lagi Mawar online kembali atau sms yang dikirimkannya masuk ke telepon genggam Mawar.
Benar, selepas magrib, Mawar online kembali. Ia langsung menyapa.
Rus: Kok tadi off tiba-tiba.
Mawar: Iya nih, laptopku tiba-tiba hang, tidak jalan.
Rus: Ya sudah, nggak apa-apa.
Rus: Oh ya, sudah punya momongan?
Mawar : Momongan apa? Aku belum kawin Mas.
Rus: Safar?
Mawar: Aku sudah melupakannya. Mungkin ia juga sudah melupakan aku.
Rus terdiam sejenak. Ia tidak tahu harus menuliskan apa di “box dialog” yahoo messenger. Tiba-tiba perasaannya jadi tidak menentu. Rupanya sifat Safar yang gonta-ganti perempuan belum berakhir, sehingga sampai sekarang ia belum menikah. Tapi mengapa itu juga dilakukan terhadap Mawar. Mawar terlalu baik untuk disakiti.
Mawar: Mas…..
Rus : Iya
Mawar: Kok diam sih?
Rus: Nggak. Sebentar, ada telepon masuk.
Rus berusaha berbohong. Ia tidak ingin pikirannya tertebak.
Rus: Mawar….
Mawar: Iya Mas
Rus: Aku ingin menjadi kunang-kunang untukmu.
Mawar: Mas sudah cukup lama menjadi kunang-kunangku.
Rus: Tak mudah melupakanmu.
Mawar: Aku juga setengah mati untuk berhenti memikirkan Mas, berusaha untuk menjauh dari Mas. Sampai kemudian aku terpaksa pindah ke Yogya, karena tak kuat terus bertemu dengan Mas.
Rus: Mengapa harus menjauhiku?
Mawar: Mas sudah tahu jawabannya.
Rus: Tapi, tidak bolehkah aku kembali menjadi kunang-kunang untukmu. Atau, paling tidak, biarkan aku mengajakmu melihat kunang-kunang.
Baru saja pesan itu terkirim, status Mawar kembali sign off. Pembicaraan terputus. Rus tidak tahu, apakah Mawar sempat membaca pesan terakhirnya itu. Tapi, sungguh, ia ingin sekali mengajak Mawar melihat kunang-kunang, berdiri dari lantai sebelas kantornya, atau di sebuah taman pada senja yang temaram.
Rus tidak beranjak dari komputer. Ia menunggu Mawar online kembali. Kali ini, dengan perasaan sungguh berdebar-debar. ***

33. Membunuh Siluman

Cerpen: Ganda Pekasih
Barjo nyaris terperosok lubang yang runtuh tiba-tiba dari dinding lobang yang digalinya kalau saja dia tidak cepat berpegangan pada akar kayu yang menjuntai di atas galian. Barjo menghentikan pekerjaannya dan terheran-heran.
Di samping lobang galian hasil pekerjaannya yang dalamnya kini sudah mencapai satu setengah meter itu menganga lobang baru pada dindingnya, seukuran sarang buaya-buaya muara di Karang Pencah.
Barjo berdebar memperhatikan lobang yang cukup besar itu. Perlahan dia mengintip mendekatkan wajahnya ke permukaan lobang.Bau aneh dan misterius menyergap hidungnya. Barjo naik ke atas penggalian dengan menggapai akar kayu, jantungnya berdebar kencang.
Di atas lobang, dia tidak melihat ada orang yang melihatnya, Barjo mencoba tenang. Lalu pelan-pelan Barjo kembali turun, dia merasa seperti akan mendapatkan sesuatu yang berharga, tapi dia berharap bukan seperti yang telah didapatkan orang-orang dari Desa Pengging yang dibencinya.
Barjo memasukkan kepalanya ke mulut lobang yang menganga, beberapa tanah di sekelilingnya runtuh,lobang itu tambah menganga. Barjo seperti disergap kekuatan lobang misterius itu disertai bau aneh dan sunyi. Lalu dia rasakan seperti ada yang mengisyaratkannya untuk masuk, tapi Barjo tak berani. Barjo kembali naik ke atas lobang.
***
Malam ini Barjo duduk bersemedi sehabis sembahyang, dia ingin tahu gerangan lobang apa yang ada di belakang rumahnya itu yang semula ia menggali lobang untuk membuat sumur. Maghrib tadi, Minten, istri Barjo, ikut membantu menutup lobang itu dengan dinding gedhek agar tidak diketahui orang. Belum lama mereka membeli gubuk sederhana setelah menjual rumah mereka di Desa Pengging.
Bukan karena di sana mereka tak tahan hidup miskin,sementara tetangga tetangganya semakin banyak yang kaya raya karena usaha mereka berhasil, tapi karena mereka tak ingin jadi budak setan.Bahkan si Sarmin yang kerjanya cuma mencari kodok kini sudah bisa membeli motor, padahal rawa-rawa tempat dia mencari rezeki lebih sering tandus daripada berair. Dan sudah bukan rahasia lagi kalau Desa Pengging terkenal dengan banyak petilasan tempat meminta kekayaan.
Kini malah tersiar kabar kalau Desa Pengging telah menjadi salah satu tempat persinggahan gejok yang mengiringi Nyai Layonsari mencari abdi dalem, hingga saatnya nanti semua orang Pengging akan menjadi abdi dalem sang Nyai. Tapi sudah bukan rahasia, orangorang di Pengging memiliki borok di salah satu tubuhnya yang tak bisa disembuhkan. Awal mulanya hanya luka seperti di patuk ular.
Makhluk-makhluk gaib berupa ular, monyet, tuyul, setiap malam menetek di luka itu menghisap darah. Dan gilanya, apa saja kini di Pengging bisa dijual kepada pendatang, sebuah keris berkarat, secuil batu makam, bahkan sepotong akar beringin bisa sangat berharga. Orang-orang mengaku dengan gampang sebagai juru kunci petilasan anu, kuncen makam keramat anu, kuncen pohon anu, kuncen situ anu, dan semua tempat kini seperti sudah menjadi kapling-kapling petilasan.
Dan sebelum keluarganya menjadi pengikut gejok,sekalipun ditawari sendiri oleh Nyai menjadi abdi dalem-nya, Barjo tak akan tertarik. Barjo lalu cepat menyingkir dari Pengging. Carik Desa Gondel ketika pertama kali Barjo dan istrinya Minten datang, mensyaratkan orangorang dari Pengging yang mau tinggal di desanya tidak boleh mempunyai luka bekas patukan ular, sekecil apa pun.Maka dengan satu syarat itu, Barjo pun diterima.
”Besok malam aku akan masuk ke lobang itu, kau awasi di atas, jangan ada penduduk yang tau,” kata Barjo setelah usai bersemedi. “Emangnya mau ngapainPak?” “Aku punya firasat kita akan kaya?” “Kaya?” “Sstt? jangan keras-keras, nanti kedengeran orang.” “Kok bapak malah ikut orangorang Pengging, nyari pesugihan biar kaya, apa kita akan mengorbankan cucu kita? Kita pindah ke sini kan supaya kita tidak termasuk golongan mereka.”
”Bukan begitu Bune, itu bukan lobang pesugihan, menurutku itu lobang harta karun.Kenapa rupanya kalau kita dapat harta karun.” “Jangan percaya Pak, itu tipu daya setan, kan bapak pernah bilang, habib yang pernah mampir ke Pengging kalau ceramah ya melulu tentang syaitan yang kerjanya siang malam hanya memperdaya manusia.”
”Sudahlah, kau tidur saja, lobang itu lobang harta, bukan lobang siluman apalagi lobang Genderuwo.” Minten beringsut masuk kamar sambil bersungut-sungut, gara-gara lobang itu dia cemas, suaminya kali ini mungkin saja akan teperdaya. ***
Barjo masuk ke dalam lubang dengan membawa lentera,keesokan harinya,menjelang senja, saat matahari mulai tenggelam di kaki-kaki bukit Marengas, tanah harapan mereka terakhir untuk sekadar menyambung hidup yang rencananya akan mereka tanami semangka.
Minten dengan ragu menunggu di atas penggalian mengawasi dengan berdebar, dia berharap Barjo tak menemukan apa-apa, tapi Barjo berhasil merayunya bahwa tidak ada orang yang boleh tahu soal lobang itu sebelum mereka mengetahui apa isinya. Barjo tercengang, sementara jantungnya berdebar saat dia melihat ada anak tangga terbuat dari batu walau tampak tidak sempurna karena batu-batu itu sudah pecah bercampur tanah, tapi Barjo yakin batu-batu itu suatu hari pernah disusun menjadi tangga. Kaki kaki? selasar selasar?
Lalu dia menemukan terowongan yang lain.Ini pasti bagian dari istana raja-raja zaman dulu, pikir Barjo. Barjo tak ingat sudah berapa puluh langkah dia masuk, menyinari langit-langit lobang, dan dinding dindingnya dengan lentera minyaknya. Dan dia sungguh terpesona karena tergambar jelas kini, bahwa tempat ini bukan gua yang diciptakan alam, tapi sebuah tempat yang sengaja dibikin oleh manusia.
Ada anak tangga, ada dinding yang berukir dengan garis-garis aneh. Ada air yang mengucur dari atas dan di bawahnya ada tanah landai yang menampung cucuran air itu. Ada selasar-selasar bercabang? Ha-ha-ha! Sebentar lagi aku akan menemukan sesuatu yang berharga,pikirnya gembira. Maka dalam pikirannya,tempat ini seketika menjelma seperti bagian dari sebuah istana yang luas, yang mungkin pernah terkubur oleh letusan Gunung Merbabu.
Keluar dari lobang itu, Barjo membawa beberapa pecahan batu-batu berukir sekepalan tangan. Minten kembali menutup lobang di samping galian itu dengan gedhek lalu buru-buru masuk ke rumah, penasaran dengan apa yang dibawa Barjo. “Cuma batu-batu itu Pak?” Barjo tertawa.
”Otakmu juga sudah dipenuhi pikiran untuk kaya kan? Lalu kalau kita kaya kamu mau beli apa?” “Eling, Pak. eling?.” “Mulanya memang batu-batu ini, tapi kalau terus digali kita akan menemukan sumber kekayaan kita.” “Tapi Pak? lobang itu bukan milik kita. Lagian kalau kita kaya, orang-orang Pengging pasti menyangka kita juga muja Pak.” “Biarkan saja.” “Astagfirullah? eling Pak. Bapak sudah kemasukan roh jahat.” ***
Barjo pulang ke Gendol dengan riang, beberapa benda-benda yang ditemukannya di selasar sekitar lobang laku dijual kepada pedagang barang antik yang tertarik menanti barang yang akan dijual Barjo selanjutnya seperti yang dijanjikan Barjo, bahwa dia akan menjual barangnya hanya kepada si pedagang Tionghoa itu. Tapi siang harinya saat Barjo pulang, Minten kesurupan, matanya melotot marah, dia berlaku seperti seekor ular yang sangat besar yang hendak membelit Barjo.
Barjo tak segera memberi tahu penduduk kampung, sempat dia berpikir untuk memanggil Carik Desa Gendol, atau seorang yang bergelar kiai di kampung itu untuk mengusir makhluk yang menempati Minten, tapi pikirannya seketika berubah, lebih baik makhluk yang menempati Minten diajak berdialog dan bekerja sama untuk mengetahui apakah banyak benda-benda berharga di lobang itu, sekaligus meminta izinnya untuk mengambil barang-barang itu. ***
Barjo seperti melayang saat sebongkah benda berkarat berupa piring yang ternyata emas muda dibayar dua juta rupiah oleh Tong Kian, babah gemuk penjual barang-barang antik terkenal di kota.Tapi Barjo melihat senyum licik di mata manusia berkepala botak itu, maka Barjo tidak langsung pulang menemui Minten di Gendol, tapi dia jalan-jalan dulu ke Pengging, menikmati wedang kopi Mbah Mirjan di pinggir jalan Desa Wetan langganannya, sempat pula dia didatangi dua orang yang mengaku dari Mojokerto.
Barjo diminta untuk mencarikan mereka kuncen yang bisa mempertemukan mereka dengan Nyi Layonsari. Barjo tersenyum tenang, dia menjelaskan bahwa dia bukan orang yang tepat untuk orang putus asa seperti mereka. Mampuslah kalian, mau saja diperbudak setan, maki Barjo dalam hati.
Malam hari, saat Barjo tak melihat ada orang yang mencurigakan yang mengikutinya, Barjo bergegas pulang ke Gendol. Kali ini Minten sangat gembira karena dia yakin Barjo mendapatkan uang bukan karena muja seperti kebanyakan orang-orang Pengging tapi karena ketiban rezeki nomplok menemukan harta pusaka. ***
Barang-barang yang dijual Barjo terus mendatangkan uang yang melimpah, dengan sekejap mereka bisa menggaji beberapa orang menggarap kebun semangka dan menyewa tanah garapan ratusan meter, mereka juga membeli beberapa ekor kambing dan sapi, memperbaiki rumah gubuk mereka dan membeli mesin pompa air.
Setiap mendapatkan uang, biasanya Barjo berjalan-jalan dulu ke Pengging menikmati wedang kopi Mbah Mirjan kesukaannya sambil menghabiskan senja,ngobrol terkekeh kekeh dengan orang tua itu,di bawah keteduhan beberapa batang sawo tua tempat banyak orang berteduh di siang hari sehabis pulang berjualan di pasar kecamatan. ***
Pino, cucu tunggal mereka yang sering menginap setelah rumah mereka semakin rapi, suatu hari saat tidur siang hilang tak tahu rimbanya. Balita mungil yang kini montok karena terus dibelikan susu sapi murni oleh Barjo dan Minten hilang tak berbekas seperti raib ditelan Bumi. Barjo dan Minten panik, mereka mencari ke segenap Desa Gendol. Desa yang tenang jadi geger.
Seorang tetua desa menyuruh penduduk memukul bunyi-bunyian menjelang maghrib, katanya Pino diambil makhluk halus, maka ramailah penduduk desa memukuli apa saja, panci, ember, kentongan, tapi hingga malam tiba tak ada tandatanda Tino ditemukan. Minten berkata pada Barjo, janganjangan Pino diambil makhluk penjaga harta karun itu.
Barjo tersadar, bukankah beberapa bulan lalu dia bernegosiasi dengan makhluk yang menempati Minten untuk dibantu mengambil harta-harta itu. Dan kini dia meminta imbalan.Benarkah? Barjo panik, Minten pun kalang kabut. Barjo masuk ke dalam lobang itu tengah malam dengan lentera minyak, dengan memelas dia meminta Tino dikembalikan, tapi tak ada jawaban.
Barjo sempat melihat sesuatu bergerak berwarna hijau keemasan, berdiri dengan sepasang tanduk dan mata nyalang, tubuhnya laksana naga, dia bergerak mendekati Barjo, Barjo menjerit ketakutan dan berlari keluar lobang.
Dengan berat hati, Barjo dan Minten terpaksa merelakan Pino, tapi Sarmih, ibu Pino yang suaminya bekerja di Mojekerto tak bisa menerima kalau anak mereka diambil makhluk berbentuk naga itu. Barjo dan Minten disuruh mengembalikan apa-apa yang pernah mereka ambil dari lobang makhluk itu, tapi bagaimana caranya. Barjo tak mungkin menebus kembali barang-barangnya kepada Tong Kian.
Beberapa hari kemudian, saat Barjo pulang dari Pengging malam hari menghabiskan senja di sana bersama Mbah Mirjan dan kopi wedangnya, kabut aneh berwarna kelam muncul di langit Gendol, Barjo merasa kabut itu pertanda buruk. Tiba di rumah, Barjo melihat bukan Minten yang menyambutnya seperti biasa di pintu rumah, tapi makhluk itu, dia berdiri angkuh, hijau keemasan kulitnya, berkilau diterpa lampu minyak tanah yang mulai kehabisan minyaknya.
Barjo memanggil Minten, tapi tak ada sahutan. Barjo mengeluarkan pisaunya, saatnya makhluk ini mampus dan aku yang menggantikannya menguasai lobang itu. Satu tikaman mengena, pisau itu menancap. Satu kelebatan parang bagai kilat yang diayunkan Barjo memotong kepala makhluk itu.
Tubuh Jejadian itu terkulai jatuh ke tanah dengan suara jeritan aneh. Barjo bersorak kegirangan. Tapi suatu keajaiban terjadi. Makhluk itu bukan naga jejadian, tapi sepersekian detik berganti menjadi Minten, kepala minten terlempar jauh di lantai, terlepas dari batang tubuhnya dengan bersimbah darah kental menghitam, di tengah temaram lampu minyak tanah di malam celaka yang berkabut aneh di langit Gendol.***
Gejok: Balatentara roh halus.?

34. Kemarau Air Mata

Cerpen: Fakhrunnas MA Jabbar
Debu jalanan yang pekat menyesakkan napas. Sebuah truk pengangkut tanah timbun mengepulkan debu itu sehingga menggelapkan pandangan. Panas terik memang telah berlangsung terlalu lama. Aku sendiri tak sanggup lagi membilang karena sudah terlalu lama didera derita. Pohon-pohon meranggas. Dedaunannya berguguran. Entah kapan lagi sang pohon akan berbunga dan berputik kembali.
Setiap hari kusaksikan lalu lintas truk proyek dari gubuk yang kutempati bersama Maryam dan ketiga anak kami yang masih kecil. Wajah mereka terlihat penuh belas dan pasi karena jarang mendapatkan makan bergizi. Kemarau panjang tahun ini makin memperburuk keadaan kami sekeluarga. Tanaman padi di sawah yang luasnya kira-kira sepiring boleh dikatakan tak menghasilkan apa-apa. Hama pianggang mudah sekali menyerang saat panas berkepanjangan.
“Kapan lagi Abang ke Kantor Desa?” tanya Maryam membangunkan kesadaranku akan persoalan mendasar yang sedang kami hadapi. Bukan hanya kami, melainkan hampir semua orang-orang kampungku tak lepas dari kemelut persoalan yang sama.
“Untuk apa ke sana? Kata Pak Kades, belum ada tanda-tanda penyelesaian masalah ganti rugi itu dalam waktu dekat ini,” jawabku. Memang kemarin aku baru saja menjumpai Pak Kades menanyakan persoalan yang sedang hangat dibicarakan orang-orang kampung sini.
“Bukankah persoalannya sudah terlalu lama terkatung-katung? Apa penduduk di sini akan dibiarkan mati kelaparan karena tak ada kepastian itu?” desak istriku mulai naik darah.
“Menurut Pak Kades, inilah akibatnya bila penduduk tak mau menerima uang ganti rugi yang sudah ditetapkan.”
“Ganti rugi itu terlalu murah, Bang. Terlalu murah!” sergah Maryam.
Aku malas bertekak 1) dengan istriku sendiri hanya gara-gara adu pendapat soal yang sudah lama diapungkan. Bukankah aku pada hakikatnya sependapat dengan Maryam. Kami berada di pihak yang sama. Ganti rugi yang layak juga akan kami terima dan pergunakan bersama-sama.
Aku terpancing juga akhirnya. Kuambil fotokopi daftar ganti rugi harta benda dan tanah yang dicanang oleh pemerintah. Daftar ini ditandatangani oleh Bupati dan Pimpinan Proyek Listrik yang akan melaksanakan pembangunan PLTA di kampung kami dan beberapa kampung yang bertetangga dengan kami. Kami hanya merasa hanya menerima akibat buruk saja dari pembangunan itu. Soalnya, sungai Turip kini pun airnya sudah sangat dangkal karena didera oleh kemarau dan akan dibendung pula. Oleh sebab itu, bila pembendungan itu berjalan, maka kampung-kampung di kawasan aliran sungai itu akan ditenggelamkan.
Siapa pun bisa membayangkan bagaimana sebuah—eh, tidak hanya sebuah melainkan banyak kampung ditenggelamkan. Tidak hanya harta benda beserta tanah leluhur yang dikorbankan, melainkan juga kenang-kenangan dan catatan sejarah yang sudah menjadi sebutan orang kampung secara turun-temurun. Di kampung kami justru terdapat sebuah tanah perkuburan pejuang yang menjadi korban bala tentara Jepun.2) Kuburan itu boleh saja dipindahkan. Tapi, alam sekitar yang menjadi saksi selama berpuluh-puluh tahun tak mungkin tergantikan oleh tanah perkuburan baru. Sewaktu masih hidup dulu, Emakku yang paling pandai bergurau selalu bilang begini: ’sedangkan tempat jatuh lagi dikenang, apalagi tempat bermain’. Ya, kampung halaman bagiku dan juga bagi orang-orang kampung di sini tentulah lebih dari sekadar sebagai tempat bermain itu.
Aku mafhum bahwa penderitaan orang-orang kampung tak akan lebih baik dari kami. Apalagi yang diharapkan di saat segala usaha pertanian tak menjadi karena kemarau panjang ini. Lebih tersiksa lagi, akibat rencana penenggelaman kampung kami, maka kegiatan pembangunan nyaris berhenti sama sekali. Jalan dari ibu kota kecamatan yang dulunya pernah diaspal kasar, sekarang penuh lubang dan dunggul.3) Sungguh kasihan para petani yang mengangkuti sisa-sisa hasil kebun dengan hanya menaiki sepeda melintasi jalan penuh lubang itu. Lebih menyakitkan lagi begitu truk-truk pengangkut tanah timbun macam dikejar setan untuk memburu trip. Debu-debu pun berkepulan tanpa terkendali. Tampaknya, sebagian anak-anak kecil di kampung kami sudah ketularan batuk karena terhirup debu kotor jalanan itu.
Usaha penduduk hampir mati begitu ada larangan dari orang kabupaten supaya tidak bertanam tanaman. Meskipun yang dimaksudkan peraturan itu hanyalah untuk tanaman keras saja. Tapi, aparat Kantor Kepala Desa kadang-kadang melarang penduduk bertanam apa saja. Perekonomian rakyat tersendat. Lagi pula, mau bertanam apa-apa pun di musim kemarau ini tak ada gunanya. Tanah rengkah-rengkah. Rumput pun enggan bertumbuh sehingga terlihat mersik.4) Kerbau ternak pun kuyu 5) dan pucat dengan tubuh kerempeng.
Terasa kini bahwa kemarau bagaikan mewakili sosok jiwa kami dari kampung ini. Ya, hati kami pun tersaput kemarau. Hati kami kini sangat butuh setitik air penyejuk pikiran. Rasanya kami tak kuat bertahan bila kemarau di luar diri kami sebagaimana sedang berlangsung bersepadu dengan kemarau yang ada di batin kami. Bila kemarau sepanjang bulan-bulan lalu mampu mengeringkan sumur-sumur dan sumber air lainnya. Justru kemarau batin telah lama mengeringkan air mata kami. Sunggung, kami tidak bisa lagi menangis. Air mata kami tak cukup mewakili nasib kami yang sedang dikoyak oleh sebuah rencana besar.
Oh ya, sejak dulu—10 tahun silam—sebenarnya orang-orang kampung di sini tak pernah menolak pembangunan PLTA berskala besar itu. Proyek itu bagus untuk pembangunan. Pembangunan itu bagus untuk rakyat. Rakyat itu bagus bila menerima hasil-hasil pembangunan itu sebagai buah pengorbanan yang sudah diberikan lebih dulu. Siapa bilang kami tak berkorban dengan membiarkan kampung halaman kami ditenggelamkan. Siapa bilang tak? Apa namanya kalau bukan pengorbanan bila semua kami menyerahkan harta benda yang sudah kami pelihara selama ini untuk sebuah pembangunan PLTA raksasa? Tapi, ganti rugi yang terlalu rendah itu benar-benar akan menimbulkan kemarau perasaan yang lain di hati kami. Jangan perpanjang lagi kemarau-kemarau ini, air mata kami telah lama mengering disadap oleh kemarau batin bertahun-tahun.
Aku memang selalu bersikap bagai mewakili orang kebanyakan. Itulah sebabnya bayangan pikiranku selalu mangatasnamakan penduduk di sini. Aku lebih senang berbicara dengan menyebut ’kami’ daripada ’aku’. Sebab, ke’aku’anku memang ada di dalam ke’kami’an kami. Aku larut di dalamnya. Lain halnya bila aku berbicara dengan anak dan istri. Aku harus mendahulukan ke’aku’anku sendiri. Tak ada orang lain yang lebih bertanggung jawab atas diri anak dan istri selain diriku sendiri.
Rasanya dalam usia setua ini, aku masih punya keberanian untuk menyampaikan hal-hal yang bertentangan dengan hati nuraniku sendiri. Barangkali, aku termasuk salah satu pensiunan pegawai negeri di mana pada masa masih bertugas dulu aku juga pernah disebut sebagai orang terpandang. Aku dulunya memang tokoh. Tapi begitu masa pensiun menggerogotiku, keberanian itu pudar tiba-tiba. Aku tak punya kekuasaan lagi meski sedikit. Aku telah lebur menjadi orang kebanyakan. Oleh karenanya, sisa-sisa keberanian itu saja yang selalu membuatku bangkit untuk memupuskan kesewenangan. Termasuk soal ganti rugi itu yang menurutku sudah termasuk kesewenangan baru.
Kadang-kadang aku jadi sulit berbicara soal kemarau yang sedang melanda kini. Sebab, kemarau batin makin garang mengeringkan impian-impian dan harapan. Oleh karenanya, aku tak begitu mempedulikan bagaimana orang-orang kampung berjejal mengambil air minum di sungai Turip yang makin dangkal itu. Sebab, mata air di dalam hati kami jauh lebih dangkal lagi.
Wabah kolera dan muntaber mulai merajalela. Musibah baru pun muncul. Ada kematian yang tiba-tiba datangnya. Aku pun merasakan deraan kematian itu ketika Hasyim, anak bungsu kami, juga meninggal dunia setelah muntah mencret selama sehari semalam. Puskesmas memang ada di kota kecamatan. Tapi jaraknya cukup jauh. Maryam memang tidak sanggup lagi menangis. Oleh sebab itu, sekarang kemarau juga ikut mengeringkan air mata semua penduduk.
Kemarau batin pula yang tiba-tiba mengubah sikap Maryam, istriku. Ia tampak lelah menahan derita. Lelah menatap kenestapaan dua anak kami yang tersisa.
“Bang, lebih baik kita terima saja ganti rugi itu. Walaupun rendah sekalipun,” pinta Maryam beriba-iba. Dia tampaknya tak kuat lagi menyaksikan dan mengalami deraan kemarau demi kemarau ini. Kepergian Hasyim baginya suatu pukulan yang besar. Dia tak ingin maut akan ikut merenggut dua anak kami yang lain, Yunus dan Maksum. Hanya mereka berdua yang menjadi pewaris kami kelak.
“Maumu, kita terima perlakuan yang tidak adil itu?” balasku menyangkal.
“Apa lagi yang harus kita tunggu di sini. Hanya ada wabah, debu, maut, dan tanah yang rengkah. Bagaimana kalau kita ikut terenggut maut dalam selimut kemarau ini?” ungkap Maryam lagi.
“Jangan putus asa. Aku melihat ada gelagat lain yang bisa-bisa di luar dugaan sama sekali. Kemarau ini begitu panjang. Lihatlah air sungai Turip itu. Hanya tinggal sebatas lutut. Bila sungai itu pun kering, bendungan apa lagi hendak dibuat di kampung kita?” aku memang mulai menemukan keraguan baru sehubungan dengan rencana PLTA itu.
Orang-orang ahli seperti perencanaan proyek PLTA itu boleh saja membuat perkiraan-perkiraan tentang jumlah air sungai yang siap menopang pembangkit listrik itu. Tapi, kekuasaan Tuhan? Tak seorang pun dapat mendahuluinya. Inilah keyakinanku.
“Jadi menurut Abang, proyek PLTA itu bisa saja batal?” tanya Maryam penuh kebimbangan.
Aku mengangguk.
“Ya, kenapa tidak? Bila alam sendiri yang hendak membatalkannya. Siapa yang akan menghalangi?” balasku makin berani.
Maryam terdiam. Pikirannya memang tidak akan lebih kencang dari pikiranku. Namun, ia bisa memahami ramalan-ramalan yang kubuat.
Kemarau telah berlangsung setahun lebih beberapa bulan. Air sungai Turip benar-benar telah mengering. Ini di luar dugaan banyak orang. Seiring dengan itu, di kalangan pelaksana proyek PLTA terjadi sebuah kejutan yang tak pernah dibayangkan. Pimpinan proyek tersebut tiba-tiba tersiar bunuh diri. Alasannya malu hati karena perkiraan yang dibuatnya bersama perencana dan konsultan yang lain meleset sama sekali. Kadangkala, rasa malu bisa mengalahkan arti sebuah hidup.
Kampung kami dan beberapa kampung yang dicadangkan akan tenggelam benar-benar heboh. Sebagian penduduk mulai terbakar semangatnya untuk unjuk rasa. Aku pun diajak untuk meramaikan unjuk rasa itu. Sekadar mengingatkan pihak yang berkehendak bahwa semestinya pembangunan jangan sampai merugikan rakyat kecil seperti kami dan penduduk di sini. Tapi, sungguh, dengan kesadaran penuh, aku menolak untuk ikut unjuk rasa itu. Bagiku itu tak akan menyelesaikan masalah. Kemarau panjang selama ini sudah menjadi persoalan besar bagi kami sekeluarga. Ditambah pula kemarau yang ada di batin kami sendiri. Kami tak ingin akan bertambah lagi kemarau-kemarau baru dalam kehidupan kami. Biarlah air mata kami mengering, tapi kami tak akan meratapi apa yang terjadi.***
Pekanbaru, 9107
1) bertengkar
2) Jepang
3) gundukan kecil
4) kering menguning
5) kurus dan pucat lesu

35. Sebutir Berlian Pembawa Malapetaka

Pada suatu hari seorang wanita tua berjalan menyusuri bukit. Tak sengaja, matanya tertuju pada sebuah batu mengkilat yang berada di sela-sela batu besar. Batu itu kurang lebih sebesar kepalan tangan orang dewasa. Dengan berbagai usaha, diraih dan dipegangnya batu gemerlap itu.
Pada saat itu pula, lewat seorang pria muda yang sedang mencari kayu bakar. Tampak sekali dari pakainnya, bahwa lelaki itu adalah orang miskin. Lelaki itu melihat batu mengkilat yang dipegang oleh nenek tua, dan terperanjatlah dia ketika melihat sebuah berlian sebesar itu.
“Apa itu nek?” Lelaki itu bertanya, “Bolehkah aku memintanya?”
“Baiklah..” Jawab nenek itu seraya memberikan batu itu kepada sang lelaki tanpa beban sama sekali.
Setengah tidak percaya, lelaki itu segera menerima dan membawa pulang berlian besar itu. Sesampainya di rumahnya yang mulai reyot, lelaki itu mulai merancang berbagai strategi untuk memanfaatkan berlian besar tersebut agar dapat membuatnya kaya.. tanpa kehilangan batu itu sama sekali.
Besoknya, si lelaki memutuskan untuk menggadaikan berlian miliknya. Uang hasil gadai berlian itu ternyata cukup besar, dan uang itulah yang ia gunakan sebagai modal usaha. Tahun demi tahun dilalui, dan akhirnya lelaki itu tumbuh berkembang menjadi seorang pengusaha yang kaya-raya. Berlian yang dulu digadai itupun sudah dapat ditebusnya kembali.
Tapi entah kenapa, perlahan namun pasti mulai ada perubahan di diri lelaki itu. Ia mulai congkak, suka pamer, dan mulai melarutkan dirinya dalam kehidupan malam yang sangat menjijikkan. Lambat laun, teman-temannya mulai menjauh. Yang ada sekarang hanyalah orang-orang yang mau memanfaatkan dirinya.
Berbagai persaingan dan minimnya dukungan dari orang-orang terdekatnya, akhirnya membuat usaha lelaki itupun jatuh. Ia sekarang tidak mempunyai apa-apa lagi. Bahkan semua orang sudah meninggalkannya. Tetapi, ternyata tidak semua hartanya habis, ia masih memiliki batu berlian besar pemberian seorang nenek yang ia temui beberapa tahun lalu. Entah mengapa, ia mulai merasa menyesal kenapa ia harus meminta berlian tersebut dari nenek tua itu.
Akhirnya, dengan berbagai upaya, ia berusaha mencari kembali nenek tersebut. Setelah berhari-hari mencari, akhirnya lelaki itu menemukan rumah sang nenek, yaitu sebuah gubug kecil di perbukitan.
Sambil sujud tersungkur di hadapan sang nenek tua, laki-laki itu mengembalikan berliannya.
“Kenapa engkau dulu memberikan batu permata ini kepadaku?” kata lelaki itu sambil menangis, “Seharusnya, engkau memberikan sesuatu yang lebih berharga dari ini… yaitu kekuatan untuk memberi batu ini..”
Sambil tersenyum, nenek itu menjawab, “Aku sedang mengajarkannya padamu..”
(tidak jelas di mana cerita ini berasal, yang pasti aku mendengarnya dari sebuah radio beberapa tahun yang lalu)
Sumber : Joddie

36. Ibu Dan Syair Kematian

Cerpen: Nugroho Sukmanto
HINGGA terdengar panggilan boarding, tak ada lagi berita tentang kondisi Ibu yang sedang terbaring di ruang ICU. Masih koma. Hanya itu SMS terakhir adikku. Untuk menjawab pertanyaan yang barangkali menggelayut di benak keluarga yang tinggal di Semarang, aku segera menyampaikan pesan, “Sebentar lagi aku akan naik pesawat…”
***
LEPAS landas, menembus jendela berembun dibasuh kabut-kabut lembut cairan mengkristal, mataku menerawang. Berlatar awan-awan putih melapis langit, lamunanku menghadirkan bayangan Ibu yang sedang kritis.
Lalu tiba-tiba terngiang kata-kata Ibu setahun lalu, saat kami selesai menggulung tikar, setelah para ulama dan ustad, kawan-kawan Bapak, pengurus Madrasah Muhammadiyah Kampung Pendrikan, beriringan pulang. Ya, mereka memang rajin membacakan Surat Yasin dan mengalunkan zikir untuk mendoakan para sahabat yang telah lebih dahulu pergi. Waktu itu, mereka bertahlil khusyuk sekali saat memperingati 1.000 hari kematian Bapak.
“Kamu nggak usah sedih jika suatu nanti aku menyusul bapakmu. Kalau kamu sedang liburan atau bertugas ke luar negeri, kamu tak perlu buru-buru pulang. Yang penting, kamu jangan melupakan janjimu membuat syair untuk digubah menjadi lagu. Bukan aku yang minta lho… kan kamu sendiri yang janji.
Aku akan merasa bahagia di alam kematian, mendengarkan nyanyian yang kamu ciptakan. Tapi jangan yang norak. Mendengarnya, nanti aku nggak nyenyak tidur di dalam kubur. Bisa-bisa malah keliaran jadi leak atau kuntilanak…”
“Rasanya Ibu lebih cocok jadi Si Manis Jembatan Ancol deh daripada kuntilanak,” adik perempuanku yang paling kecil menyahut.
Ini membuat kami tertawa semua.
“Amit amit!” Ibu mengucap sambil mengetuk-ngetuk tonjolan lekuk jarinya ke permukaan lantai.
Jika berbincang mengenai janji-janji apa pun yang hendak kami berikan kepadanya, Ibu tak pernah mengingat-ingat. Mungkin karena tak terlalu mengharapkan. Tetapi terhadap janjiku untuk membuat puisi dan menggubahnya menjadi lagu, Ibu tak pernah lupa. Bahkan ditagih terus sampai akhir hayat.
Itulah Ibu. Ia menyambut kematian dengan canda. Sepertinya ia ingin meninggal sambil tertawa. Dari perkataan-perkatan yang terlontar, aku tahu ia merasa telah menyelesaikan kewajiban menjalani kodrat sebagai perempuan, ibu, dan istri, sehingga menjemput kematian, serasa tak memiliki beban atau kekhawatiran sama sekali. Bahkan kelihatan sangat sumringah dan bergairah.
“Umurku sudah 75 tahun. Tugas terakhir menyelenggarakan seluruh selamatan untuk almarhum yang menjadi tradisi sudah kupenuhi. Akan kuusahakan menjelang kematian aku tak menyusahkan siapa pun. Bapakmu itu orang yang paling beruntung. Mati tanpa sengsara akibat sakit berlarut-larut. Tapi dasar pedagang, meninggal pun saat sedang mencari uang…”
Bapak memang wafat dengan cepat. Waktu itu, berangkat ke kantornya yang mirip gudang di Pekojan, kawasan Pecinan, Bapak ditemani oleh Tasya, salah seorang cucu. Walaupun sudah berusia 73 tahun, Bapak tidak pernah mau berhenti bekerja. Tetapi tidak seperti saat masih muda yang keranjingan kerja, menghabiskan masa tua, Bapak bekerja seenaknya. Berangkat ke kantor pukul 10.00, pukul 14.00 sudah sampai di rumah lagi. Yang diurusi pun hanya perusahaan pribadi -berupa grosir gula pasir- yang didirikan bersama Koh Mboen, Cina Singkek, sahabat lama yang bentuk pertemanan mereka oleh Ibu disebut sebagai “benang dengan layangan”.
Di tengah jalan, saat mengendarai mobil, Bapak terkena stroke. Mungkin akibat penyakit tekanan darah tinggi yang pada saat-saat terakhir kurang diurus. Belum sampai di rumah sakit, saat dilarikan tukang becak langganan yang kebetulan memergoki, Bapak sudah tak bernapas lagi. Menurut Tasya, sebelumnya Bapak kejang-kejang sebentar. Kematian semacam itulah yang dianggap Ibu sebagai kematian yang cukup menyenangkan.
Dua hari yang lalu Ibu dibawa ke rumah sakit karena terjatuh di kamar mandi. Sekarang Ibu dalam keadaan tak sadarkan diri, tetapi belum sampai sehari penuh. Pasti Ibu sedang ditopang oleh berbagai peralatan medis dan mekanis.
Jika dokter mengatakan tindakan itu sebagai jalan satu-satunya untuk mempertahankan hidup yang tak mungkin lagi memperoleh kesembuhan, apakah maksud Ibu “tak ingin menyusahkan” berarti sama dengan aku harus mengizinkan selang-selang yang kubayangkan malang melintang itu dicabut dan seketika menghilangkan nyawanya?
Apakah dengan demikian Ibu merasa “beruntung” karena kematiannya tidak “sengsara akibat sakit yang berlarut-larut”?
Bukankah menurut agama kita tidak boleh mendahului Sang Pencipta dan hanya Dialah Penguasa yang berhak mencabut nyawa manusia? Bukankah kewajiban seorang anak harus mengupayakan pengobatan dan memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa, memohon diberi kesembuhan yang kemungkinan -dalam keadaan separah apa pun- dapat saja dikabulkan?
Alangkah jahat dan durhaka seorang anak menutup harapan hidup orang tua yang telah melahirkan dan membesarkan dengan penuh pengorbanan dan kasih sayang. Apalagi dilakukan dengan sengaja dan jelas-jelas akan mengakibatkan nyawanya tercabut.
Hmm, di satu sisi aku menangkap sepenggal wasiat,…sebuah permintaan. Tetapi di sisi lain aku harus menjalankan amanah,… kewajiban insan beriman.
Saat dicekam kebimbangan semacam itu, terbayang segala keindahan sosok Ibu.
Ibu selalu memandang segala sesuatu yang terjadi sebagai hikmah yang harus disyukuri. Pelajaran tentang cara menatap kehidupan, banyak yang ia ajarkan. Ibu selalu mengingatkan, “Hal-hal yang kelihatan sepele tetapi digali dari lubuk yang paling dalam akan memunculkan kemurnian. Jangan suka mengungkap yang semu, apalagi palsu, atau memaparkan keunggulan dan kemewahan. Biar orang lain memuji atau memperbincangkan, tetapi jangan sekali-kali kamu yang menceritakan tentang kehebatanmu atau keluargamu. Bahkan sebaliknya, kamu yang harus menceritakan kehebatan mereka.”
Dulu aku merasa iri ketika teman-teman menceritakan kehebatan ibunya. Aku ingat Tommy menceritakan ibunya yang menguasai empat bahasa asing, lulusan sebuah akademi, dan menjadi pejabat sebuah bank pemerintah. Menuk bangga ibunya sebagai pengurus organisasi massa yang memiliki banyak pengikut. Kemal memuji ibunya yang pandai bermain tenis dan menguasai bridge, olah raga otak kalangan intelek. Dewi katanya punya ibu sangat istimewa yang selalu membantu menyelesaikan pekerjaan rumah dan mencarikan penyelesaian soal-soal yang tak dimengerti.
Ibuku? Ibuku hanya seorang guru sekolah rakyat. Itu pun ia lakukan hanya sampai ketika Bapak telah sepenuhnya berdagang, melepas pekerjaan sebagai karyawan PLN, dan pengawas beberapa gardu wilayah selatan. Hanya satu bahasa asing, bahasa Belanda yang dikuasai. Itu pun karena Ibu pernah sekolah di HIS. Ibu juga sangat-sangat menghindari ikut organisasi massa. Paling-paling ia aktif di paguyuban aliran kebatinan, membantu kakaknya menyiapkan katering jika mereka mengadakan semedi bersama.
Bermain tenis? Tidak mungkin. Main badminton saja sepertinya akan kedodoran. Membantu menyelesaikan pekerjaan rumah atau memecahkan soal-soal dari sekolah? Rasanya sedapat mungkin ia jauhi.
“Kalau kamu tak mampu, jangan dipaksakan. Mungkin sebatas itu kapasitas yang menjadi suratan. Tetapi setiap orang, biar bodoh sekalipun, harus menggunakan kepintaran yang dimiliki untuk memecahkan masalah yang dihadapi, tanpa bantuan orang-orang yang semestinya tak dilibatkan. Artinya kamu harus berusaha sendiri. Harus mandiri!” Ibu sering berkata begitu dan Bapak sangat setuju.
Saat kuceritakan banyak kawanku yang membanggakan ibunya dan kutanyakan apa sebetulnya kehebatan Ibu yang harus kuceritakan kawan-kawan, ia malah bilang, “Mestinya aku yang nanti harus bangga padamu, bukan sebaliknya. Bilang saja ibumu hanya seorang guru sekolah rendah.”
“Boleh aku menceritakan Ibu sebagai seorang pujangga?”
“Menceritakan aku gemar bersyair boleh-boleh saja. Siapa tahu mereka menjadi terinspirasi mencintai syair juga. Tetapi jangan kaubanggakan aku sebagai penyair. Itu bukan profesi atau hobi yang kugeluti. Aku telah memilih pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Kesenanganku hanya memasak dan bersih-bersih rumah. Sisa waktu, paling kuhabiskan untuk membaca buku atau kadang-kadang menulis. Bapakmu yang meminta aku mengisi waktu bersama keluarga saat dia harus mengorbankan waktu karena disita kesibukan mencari uang.”
Memang aku dan adik-adikku sangat merasakan di rumah selalu ada seseorang yang menjadi tempat berkeluh dan sosok tumpuan menyibak kebuntuan. Tidak hanya muncul secara fisik, ia juga menghadirkan jiwanya. Pendek kata, Ibu itu bagi kami adalah tiang kelana kehidupan yang memotivasi untuk terus berprestasi. Untuk memberi inspirasi, Ibu sering membacakan puisi. Baik karya sendiri atau cuplikan dari sebuah antologi. Ibu bilang semua itu untuk menggugah perasaan agar lebih peka menerima pesan-pesan berarti yang perlu dipahami.
Kemudian kami memang bersama-sama membangun ruang komunikasi dengan pengantar bahasa-bahasa samar. Rasanya menggunakan ungkapan metaforik, talirasa lebih lekat terjalin dan maknanya lebih meresap ke dalam perasaan.
Kata Ibu, “Syair itu merupakan kelembutan ekspresi keberadaan jiwa. Syair itu kehadiran ruh kita yang selalu ingin menyatu dalam jalinan keluarga. Tubuh kita bisa mati. Fisik kita bisa sirna. Tetapi ruh kita akan tetap hidup. Antara lain ya dalam syair itu.”
Kami terdiam.
“Jadi kalau aku mati, itu hanya kematian jasadku yang akhirnya dengan tanah lebur menyatu. Saat kamu baca syair yang lahir dari tanganku, ruhku akan ada di situ. Begitu pula saat kamu baca syairmu, aku pasti akan tergugah menyimak. Jadi, mari usahakan kita dapat terus berkomunikasi lewat syair atau sekarang kau menyebutnya sebagai puisi!”
***
SAAT menuruni tangga pesawat, kebimbangan yang menyelimuti, kupendam dulu dalam-dalam. Biarlah nanti kuputuskan setelah melihat dan memahami situasi. Tetapi tanpa sebuah keputusan yang kuyakini, tetap saja keraguanku menempatkan perasaan mengambang tak menentu. Jika keadaan Ibu seperti yang kubayangkan, betul-betul aku akan dihadapkan pada posisi yang amat sangat sulit.
Saat HP kubuka kembali, membaca pesan adikku, aku tersenyum. Ternyata Ibu benar-benar tak ingin menyusahkan. Ia wafat saat pesawat telah mengudara. Dan air mataku seketika deras mengalir. Apakah itu tangis sedih, lega atau haru, terasa berbaur hingga tak dapat dengan mudah dipilah-pilah. Mungkin Ibu mangkat setelah beliau yakin benar, sebentar lagi aku pasti akan datang.
Ketika adikku menyampaikan bahwa jenazah menungguku untuk dimandikan, langsung kupesan taksi menuju RS Elisabeth. Menurut kebiasaan, semua anak-anak harus ikut mengguyur jenasah sebelum dibungkus kain kafan. Walau lengan baju sudah kusingkap, niat memandikan kuurungkan, setelah adikku menyampaikan titipan Ibu, sebelum beliau kehilangan kesadaran.
Kudapati tulisan serupa syair, serupa puisi terselip dalam amplop: “Tak usah kau ikut memandikan/ Jasadku yang dingin profan/ Singkaplah kain kafan/ Pandang wajahku dalam senyuman/ Lalu bacakan puisi-puisi/ Mengiring hidup di alam kematian”
Selesai dimandikan, kupandangi wajah Ibu yang cerah, sedang pulas tidur sambil tersenyum. Memenuhi permintaannya, kubacakan syair-syair dalam berbagai bahasa yang Ibu mengerti, Jawa, Melayu, Belanda dan satu syair indah berbahasa Arab, yang dilafalkan Ibu pada waktu malam: Surat Yasin.
Selamat jalan, Ibu. Pasti, akan kugubah sebuah lagu mengiringi melepas rindu saat engkau bertemu kekasihmu.***

37. Berhala Di Hutan Kayu

Cerpen: M. Shoim Anwar
Dengan kapak berkilat-kilat lelaki itu mendekati patung di pusat kota. Meski usianya sudah tidak muda lagi, langkahnya masih tampak perkasa dan semangatnya membara. Butir-butir keringat di kening berkilauan memantulkan sinar matahari. Dari balik kaca mata bening yang dikenakan, sorot mata lelaki itu menyiratkan keyakinan berlipat.
“Telah ditanamkan sampah di kota-kota peradaban. Dan inilah kapak Ibrahim hamba!” 1) katanya sambil mengacungkan benda itu ke arah langit.
Patung sosok perempuan itu berdiri menjulang. Rambutnya panjang mengurai. Telapak kakinya menumpu di pelataran beton, sementara kedua tangannya membuka seperti tengah menyambut orang yang akan memeluknya. Bagian-bagian tubuh patung itu tergambar dengan detail. Tanpa ada yang disembunyikan. Di tengah kota yang megah, patung itu hadir tanpa busana sesobek pun.
Di depan patung, dengan jarak tak lebih dari seratus meter, terdapat masjid besar kebanggaan warga kota. Posisi patung benar-benar berhadapan dengan pintu masjid. Antara keduanya dipisahkan oleh tanah lapang. Setiap orang yang datang dan pulang dari masjid pasti berpapasan dengan patung tersebut. Kondisi ini sudah lama menjadi bahan pembicaraan. Tapi hingga hari ini belum ada keputusan.
“Jadi, Pak Tais akan memulainya sekarang?” tanya Waidi.
“Tunggu apa lagi? Kita memang telah merdeka. Tapi itu bukan segalanya. Gerakan Syahwat Merdeka mau mengikis habis budaya malu!” jawab lelaki yang dipanggil Pak Tais itu bersemangat.
“Memang,” Waidi mengangguk-angguk, “nilai-nilai kesucian yang ditegakkan dengan susah payah selama berabad-abad oleh para nabi, wali, dan orang-orang saleh mau diruntuhkan.”
“Kita tidak mencari sensasi. Dari Ibrahim sampai sekarang tugas kita adalah menghancurkan berhala kemungkaran dengan tangan, mulut, dan hati kita!”
Keduanya berjalan ke arah patung. Cuaca sangat panas, tapi di atas sana terlihat mendung menggantung sebagai pertanda akan hujan. Di kejauhan sudah terdengar ada geluduk. Awalnya memang tak ada yang tahu rencana pembangunan patung tersebut. Tiba-tiba saja kawasan yang dikenal sebagai Hutan Kayu ini dibabat dan dipagari seng keliling. Konon ada tiga belas aliansi yang melakukan aktivitas di dalamnya. Dari dalam pagar itu sering keluar-masuk beberapa Perempuan Ayu. Tak jelas, apakah para Perempuan Ayu itu ikut tidur di situ atau tidak. Baik yang laki maupun perempuan, omongan mereka kerap terdengar sangat jorok. Di dekat tempat itu bahkan pernah ditemukan buku-buku cerita yang kelewat jorok serta kumpulan puisi dengan gambar alat kelamin di sampul depannya.
Pada suatu hari, saat pembangunan masih berlangsung dahulu, dua laki-laki bernama Ahmad dan Rada yang mulanya bekerja di situ menyatakan mengundurkan diri secara terbuka. Keduanya menyatakan tidak sepaham dengan aliansi di dalam. Dengan mundurnya dua orang tersebut semakin sempurnalah gerakan aliansi itu. Maka, kata-kata jorok pun semakin sering terdengar di situ. Beberapa bulan setelah itu pagar yang mengelilingi Hutan Kayu itu dibongkar. Bonggol-bonggol kayu masih tampak di sana-sini dengan ketinggian sekitar satu meter. Terlihat ada bangunan yang masih diberi selubung di kawasan tersebut. Banyak yang penasaran menanti selubung itu dibuka. Dan, benar, tiga hari setelah itu selubung pun dibuka. Ternyata dia adalah patung telanjang! Itulah yang menyulut Pak Tais mengasah kapaknya.
Terlihat seorang lelaki, Hudat namanya, dengan langkah terburu-buru mendekati Pak Tais dan Waidi dari arah belakang.
“Kau tidak bisa menghancurkan patung dengan mengatasnamakan Tuhan atau agama dengan tafsir seperti itu!” Hudat melontarkan kata-katanya dan menuding-nuding. Pak Tais mengeryit dan meninggikan kaca matanya.
“Terus?” Pak Tais menyela sambil mengangkat kapaknya. Dia memandang ke lelaki yang rambutnya dicat merah itu.
“Justru patung itu tercipta sebagai pancaran dari ayat-ayat Tuhan.”
“Ya, itu benar!” seorang perempuan bernama Mariani yang datang menyusul Hudat ikut menimpali. “Dan kami sudah sepakat sebelum berkarya bersama.”
Tiba-tiba datang lagi lelaki bernama Paisi ke kerumuman itu. Tubuh lelaki ini kecil tapi dia menampakkan keberanian juga. Mata Paisi memandang ke kerumunan itu secara bergantian. Kali ini menancap tepat ke kening Hudat. Paisi dengan cepat melompat ke bonggol kayu dan berdiri di atasnya.
“Kamu paham dengan yang kamu ucapkan tentang ayat-ayat Tuhan? Jangan sembrono! Tuhan telah memberi contoh simbol dan metafor untuk mengungkapkan banyak hal,” Paisi menuding muka Hudat. “Pertentangan kalian adalah mencerminkan ciri zaman, di mana kaum muda yang progresif berhadapan dengan kaum tua yang merasa mapan!”
“Maaf,” Pak Tais memotong sambil menempelkan kapak ke dadanya, “ini bukan perkara generasi, tapi perkara tanggung jawab moral terhadap bangsa!”
“Apa bukan karena selama ini Anda sering diundang ke sekolah-sekolah?” Benis, yang ternyata baru datang di belakang Hudat, nyeplos juga bicaranya.
“Itu wujud tanggung jawab kami untuk ikut membangun generasi muda di sekolah.”
“Menyebalkan!” Benis melengos.
“Kita sudah terlalu jauh meninggalkan nilai-nilai agama,” Pak Tais menjawab lagi.
“Jangan pakai pendekatan agamalah! Ini urusan seni!” terdengar suara membelah. Ternyata Sitompu yang baru muncul ikut menukas.
“Oke kalau nggak boleh,” Pak Tais menurunkan nadanya, “sekarang bagaimana reaksi Anda andaikata yang dibuat patung telanjang itu adalah sosok ibumu? Malu apa ndak kalian?”
Suasana sepi beberapa saat. Tak ada yang bicara. Pak Tais menatap wajah-wajah yang mengelilingi dirinya. Udara terasa makin gerah karena ada mendung menyumpal di langit. Bunyi geluduk terdengar makin kerap. Angin tiba-tiba menerpa mengusung gulungan-gulungan debu ke arah mereka. Terdengar kata-kata kotor meluncur.
“Kalian sudah over dosis. Kalian menginginkan kebebasan, tapi di saat yang sama kalian justru kehilangan rasa malu sehingga berani mempertontonkan kemaluan sendiri. Ini sudah maniak!” Pak Tais kembali menandaskan.
“Kita berada dalam ruang kreatif yang berbeda dan tak bisa dipertemukan. Mestinya kita saling menghargai,” Mariani kembali menimpali.
“Itu kalau Anda hidup sendiri. Ini ruang publik. Jadi tak ada yang bebas nilai. Setiap orang punya rasa tanggung jawab pada kepentingan umum,” Waidi menuding ke Mariani.
Mariani mendelik ke arah Waidi. Perempuan itu dengan cepat melompat ke bonggol kayu dan berkacak pinggang. “Apa kamu kira kami tak punya tanggung jawab!”
“Tanggung jawab kalian hanya sebatas tanggung jawab kreatif individual. Tapi tak menyentuh tanggung jawab sosial. Sementara patung itu kalian pajang untuk dilihat masyarakat. Itu namanya egois. Sama saja dengan membuang limbah ke tengah perkampungan!” Pak Tais kali ini menaikkan tensi omongannya.
Mariani dengan cepat meloncat turun. Dia dan yang lain segera ambil posisi mengelilingi Pak Tais dan Waidi sambil berputar-putar. Kedua lelaki yang merasa dikepung itu ikut berputar sambil mengawasi langkah demi langkah. Sementara Hudat yang napasnya terlihat ngos-ngosan akan merebut kapak di tangan Pak Tais.
“Semakin bernafsu kalian merebut benda ini, saya akan semakin berusaha keras mempertahankan,” Pak Tais, sambil tersenyum, menggenggam kapaknya makin erat. Dia menoleh ke kiri ke kanan, dilemparkannya kapak itu ke udara, kemudian ditangkapnya kembali dengan tangan kiri seperti hendak mempertontonkan kepiawaiannya.
“Jangan kau teruskan niatmu!” Benis menuding kencang.
“Tak ada yang dapat memenjarakan niat kami,” Waidi menepuk-nepuk dadanya. Dengan sekali hentakan dia pun telah berada di atas bonggol kayu. Kumis dan rambut keritingnya tampak makin tebal. Terdengar mendung menggelinding di atas kepala. Cuaca meredup.
Sekonyong-konyong perhatian mereka terbelah. Terlihat seorang lelaki berlari mendekat sambil berteriak-teriak. Ternyata dia adalah Muhid. Dia segera membelah kerumunan dan berdiri tepat di depan Pak Tais.
“Kau? akan menghancurkan patung itu??” Muhid terbata-bata. “Persis seperti aksi si komunis Njoto menentang yang cabul-cabul dulu. Sekalian tiru saja dia!”
“Aha, dulu kau pernah bilang gerakan komunis masih remang-remang. Sekarang, Bung, kau omongkan itu dengan fasih. Ada hubungan apa kamu?” Pak Tais manggut-manggut. “Kau sudah baca buku-buku sejarah?”
“Tentu!”
“Ketahuilah Bung, komunis melakukan propaganda itu karena ambisi politik dan ingin merebut kekuasaan. Toh akhirnya mereka melakukan pembunuhan masal. Kami sangat jauh dari itu. Niat kami hanya karena Allah.”
Muhid tak menjawab. Sekarang dia memepet Pak Tais dan memegang lengannya. Mata keduanya bertatapan. Waidi meloncat turun dari bonggol. Dengan tak kalah beraninya Waidi ikut menghadang. Kali ini dia merebut posisi Pak Tais dan ganti mengadu dada dengan Muhid. Sementara Paisi terlihat canggung dan agak takut. Di sebelahnya Hudat berkacak pinggang tinggi-tinggi.
“Ketahuilah!” Waidi menggeretak, “siapa pun yang memperjuangkan hukum Tuhan memang banyak dimusuhi. Ibrahim dibakar dengan api, Musa dikejar-kejar oleh Firaun, Isa disiksa, dan Muhammad dilempari dengan batu dan kotoran.”
“Apa-apaan, jangan sok suci!” terdengar suara memotong. Ternyata Bihat datang juga. “Persetan semuanya!”
“Tuhan yang mengetahui hati kami,” Waidi membalas.
Saat itu pula terdengar langkah mendebam-debam. Persis berbarengan dengan bunyi geluduk di langit. Kerumunan terhenyak dan mereka mengalihkan perhatian. Terlihat seorang lelaki berlari mendekat. O, ternyata yang datang adalah Wowo. Dengan napas seperti kuda Wowo membelah kerumunan. Dia langsung mengambil posisi Pak Tais dan Waidi. Ditatapnya mata mereka satu per satu. Bihat yang mencoba mendekat disepak minggir. Bihat tampak ketakutan dan mengusap-usap kepalanya yang gundul. Wowo, dengan jenggot yang lebat, tampak meradang dan berani. Dia pun berujar,
“Kalian jangan coba-coba mencemari budaya dan moral bangsa kami. Kami adalah Bumi Putra. Kalian agen imperialis yang menyebarkan virus budaya dan seks. Kalian menghancurkan peradaban! Nilai-nilai budaya kalian rusak. Maka jadilah kalian budak kebebasan yang tak berperadaban!”
Sontak Hudat menuding-nuding. Bibirnya kelihatan bergetar dan dadanya mengembang. Kata-kata pun meluncur darinya, “Kalian iri. Kalian telah kalah dalam pertempuran kreatif. Kalian tak mampu menandingi kami sehingga kalian menggunakan dalil-dalil moral untuk menyerang kami. Kuno!”
“Kami tidak akan menghalalkan segala cara!” Wowo ganti menuding. “Kalian telah menggunakan dana dari dewan kesenian untuk kepentingan sendiri. Temanku Saut juga pernah omong ini. Kalian telah mengelabuhi pemerintah dan rakyat!”
“Itu kata-kata khas orang yang tak mampu membangun network. Bisanya menuduh dan selalu curiga! Bilang juga sama Saut!” Hudat meloncat pula ke atas bonggol kayu dan menepuk-nepuk dada, “Ini Hudat!”
“Ketika hendak melaksanakan perintah Tuhan,” Pak Tais menukas, “Ibrahim dan Ismail digoda oleh para iblis agar menggagalkan niatnya melaksanakan perintah Tuhan. Maka, Ibrahim pun melempari iblis itu dengan batu. Iblis lari terbirit-birit.”
“Tapi, kami tak akan lari!” Hudat membalas dengan cepat.
“Karena rasa malu kalian sudah tergadai!”
“Apa maksudmu?” Mariani menuding.
“Pikirkan itu!” Waidi membalasnya.
Cuaca makin meredup. Terdengar geluduk menggelinding di atas ubun-ubun seperti batu-batu besar meluncur. Awan hitam berarak ke satu titik. Kilat pun terlihat membelah. Suasana dengan cepat menjadi gelap. Geluduk sontak pecah menggelegar. Mereka yang tadi berdebat berhenti dengan sendirinya. Ditatapnya langit yang pekat di atas kepala. Petir dengan ganas menyambar seperti pecut menghajar. Mereka pun berlarian. Beberapa saat setelah itu hujan seperti dicurahkan dari langit. Hutan Kayu dan patung itu terbebat hujan.
Hujan telah lama mengguyur Hutan Kayu dengan lebatnya. Sudah hampir dua jam, tapi belum ada tanda-tanda mereda. Tanah yang gundul itu mengalirkan air keruh hingga ke halaman masjid. Dulu, ketika pohonnya masih lebat, tak pernah terjadi seperti ini. Air hujan terus mengangkut berbagai kotoran ke halaman masjid. Kecemasan mulai merambat seiring semakin naiknya permukaan air. Ini juga terjadi gara-gara sungai yang melewati Hutan Kayu ditimbun untuk fondasi patung. Akibatnya, kini air meluber ke mana-mana.
Air menggenangi jalanan hingga setinggi lutut. Tak bisa dihindarkan. Kemacetan terjadi sepanjang ruas jalan. Klakson kendaraan meraung-raung. Banjir terus menggempur. Maka, mogoklah semua kendaraan. Teriakan-teriakan terdengar di sana-sini.
Apa yang terjadi? Terlihat warga sekitar mulai kehabisan kesabaran. Di bawah guyuran hujan, mereka beramai-ramai mendatangi Hutan Kayu dengan membawa berbagai peralatan seperti cangkul, linggis, sekop, ganco, parang, bahkan juga terlihat pedang, celurit, serta potongan-potongan besi. Mereka berteriak-teriak makin keras. Anggota mereka juga makin bertambah. Dengan kaki-kaki terendam air hingga paha, mereka mulai tiba di Hutan Kayu dan langsung mengepung patung. Berbagai senjata diacung-acungkan ke arah patung. Aba-aba pun diteriakkan.
“Stop! Hentikan!” tiba-tiba terdengar suara datang.
Orang-orang seketika menoleh ke belakang. Ada serombongan lain datang mendekat. Rombongan terakhir ini ternyata dimotori oleh Hudat beserta kawan-kawannya yang terlibat perdebatan sebelum hujan tadi. Mereka datang dengan melepas baju.
“Jangan coba-coba hancurkan patung!” teriak Hudat, “Kita harus bisa hidup berdampingan dengan berbagai perbedaan! Hargai ekspresi dan karya orang lain!”
“Apa maksudnya?” salah seorang ganti bertanya.
“Jangan melihat persoalan secara hitam putih!”
Tiba-tiba Hudat melihat Pak Tais dan Waidi datang mendekat. Tidak ada lagi kapak di tangan Pak Tais. Sementara hujan belum menipis. Aliran air terasa makin deras karena gelontoran dari atas.
“Kau pasti yang menggerakkan orang-orang kampung itu!” Hudat menuding ke Pak Tais, “Kau telah memperalat dan menunggangi mereka!”
“Maaf Bung, kami sama sekali tidak melakukan itu.”
“Kura-kura dalam perahu!” Bihat ikut menuding.
“Kau gunakan pengaruhmu untuk menghasut mereka!” teriak Mariani sambil menyingkap roknya hingga ke lekuk paha.
“Kau telah melakukan provokasi pada mereka. Sejarah berulang. Ketika akal sehat sudah melemah, cara culas akan ditempuh. Ingatlah kepicikan Ken Arok, Jaka Tingkir, Napoleon, atau Musolini!” Hudat makin kencang.
“Ditunggangi!” Benis berteriak.
“Kami tak kenal kamus tunggang-mengunggang,” Waidi membalas.
“Mereka, orang-orang yang tak mengenal hakikat seni dan keindahan, tidak selayaknya dilibatkan dalam wilayah ini. Ini pembodohan!” potong Bihat.
“Maaf,” salah seorang warga kampung ikut angkat bicara, “perdebatan kalian soal karya seni sudah selesai. Biar sejarah juga yang menjawabnya. Ketika roh kalian sudah tinggal di tenggorokan dan maut sebentar lagi menjemput, saat itulah kalian menemukan jawaban apakah yang kalian perdebatkan selama ini berguna atau sia-sia. Saat itu pula kalian akan menemukan jawaban apakah kalian berada di pihak yang menang atau kalah. Dan, aku juga tahu, kata-kataku ini pun akan kalian perdebatkan kembali, bahkan sambil menendang kursi, melempar botol minuman, mencaci-maki, serta mengeluarkan kata-kata kotor.”
“Ayo mulai!” Terdengar teriakan keras.
“Kita sudah dikepung banjir!”
“Hampir tenggelam!”
“Bongkar!”
Dengan cepat orang-orang itu mengayunkan peralatannya masing-masing. Cangkul, sekop, linggis, dan ganco, dengan gesit menembus tanah. Sungai yang terletak di bawah pelataran patung itu akan digali kembali. Mereka lakukan itu dengan cepat dan semangat. Mereka berpacu dengan waktu. Banjir semakin menggelontor. Teriakan di sana-sini terus terdengar. Dibuatlah tanggul secara melingkar. Fondasi patung itu digali beramai-ramai. Air yang menggenang di galian dikuras. Beberapa saat kemudian patung itu didorong. Belum juga goyah. Bangunan patung itu ternyata memakai fondasi cakar ayam. Maka, galian pun diperlebar. Teriakan-teriakan makin keras terdengar. Terlihat seorang naik ke pundak bangunan. Tambang besar kemudian diikatkan ke leher patung. Sementara yang lain menarik tambang itu ke arah utara.
“Ayo, tariiik?!” Terdengar komando.
Tambang itu pun ditarik bersama-sama. Masih alot. Galian diperdalam lagi. Hujan masih menggila. Banjir makin meluas. Kendaraan di jalan sudah tampak seperti perahu. Cuaca amat dingin, namun orang-orang semakin terlecut kerjanya. Terdengar kembali teriakan-teriakan. Mereka yang berada di bawah patung berlarian menjauh.
“Satu?dua?tiga! Tariiik?!!!”
Kepala patung terlihat mulai bergerak. Orang-orang makin bernafsu. Sedikit demi sedikit bangunan itu mulai bergeser dari tegaknya. Sekarang condong ke utara. Tenaga makin dikerahkan. Patung itu tampak oleng. Bersamaan dengan teriakan-teriakan yang makin keras patung itu pun tumbang ke arah utara dengan bunyi mendebam. Orang-orang pun bersorak. Sungai yang melintas di bekas bangunan kemudian dibedah. Air pun menerjang.
Esok paginya, traktor besar mengusung patung itu ke arah selatan kota. Kondisi berhala itu masih utuh dari ujung kepala hingga fondasi. Benda itu diusung dalam posisi telentang. Sementara kedua tangannya terlihat menengadah ke langit seperti hendak mengadukan nasibnya. Orang-orang melihatnya sepanjang perjalanan. Entah siapa yang menggores, di tubuh patung itu terbaca sebuah tulisan: “Berdebatlah terus di garis batas pernyataan dan impian” 2).
Hudat, Bihat, Benis, Muhid, dan Mariani menatapnya dari balik pagar. Paisi berdiri di tikungan. Sementara di perempatan jalan terlihat Pak Tais, Waidi, dan Wowo bersedekap tangan. Bunyi traktor terdengar gemeretak mengeremus kerikil sepanjang jalan. Konon patung itu akan ditancapkan di pinggir kolam renang di perbatasan kota. ***
Surabaya, September 2007
Catatan:
1) Disadur dari baris sajak “Kapak Ibrahim Hamba” karya Emha Ainun Nadjib
2) Disadur dari baris sajak “Krawang-Bekasi” karya Chairil Anwar

38. Akhir Petualangan si Pasien Terakhir

Untuk kedua kalinya wanita itu pergi ke dokter Hanung, seorang dokter spesialis kulit dan kelamin di kota Bandung. Sore itu ia datang sambil membawa hasil laboraturium seperti yang diperintahkan dokter dua hari sebelumnya. Sudah beberapa Minggu dia mengeluh merasa sakit pada waktu buang air kecil (drysuria) serta mengeluarkan cairan yang berlebihan dari vagina (vagina discharge).
Sore itu suasana di rumah dokter penuh dengan pasien. Seorang anak tampak menangis kesakitan karena luka dikakinya, kayaknya dia menderita Pioderma. Disebelahnya duduk seorang ibu yang sesekali menggaruk badannya karena gatal. Di ujung kursi tampak seorang remaja putri melamun, merenungkan akne vulgaris (jerawat) yang ia alami.
Ketika wanita itu datang ia mendapat nomor terakhir. Ditunggunya satu per satu pasien yang berobat sampai tiba gilirannya. Ketika gilirannya tiba, dengan mengucap salam dia memasuki kamar periksa dokter Hanung. Kamar periksa itu cukup luas dan rapi. Sebuah tempat tidur pasien dengan penutup warna putih. Sebuah meja dokter yang bersih. Di pojok ruang sebuah wastafel untuk mencuci tangan setelah memeriksa pasien serta kotak yang berisi obat-obatan.
Sejenak dokter Hanung menapat pasiennya. Tidak seperti biasa, pasiennya ini adalah seorang wanita berjilbab rapat. Tidak ada yang kelihatan kecuali sepasang mata yang menyinarkan wajah duka. Setelah wawancara sebentar (anamnese) dokter Hanung membuka amplop hasil laboratorium yang dibawa pasiennya. Dokter Hanung terkejut melihat hasil laboratorium. Rasanya ada hal yang mustahil. Ada rasa tidak percaya terhadap hal itu. Bagaimana mungkin orang berjilbab yang tentu saja menjaga kehormatannya terkena penyakit itu, penyakit yang hanya mengenai orang yang sering berganti-ganti pasangan sexual.
Dengan wajah tenang dokter Hanung melakukan anamsese lagi secara cermat.
“Saudari masih kuliah?”
“Masih Dok”
“Semester berapa?”
“Semester tujuh Dok”
“Fakultasnya?”
“Sospol”
“Jurusan komunikasi massa ya?”
Kali ini ganti pasien terkahir itu yang kaget. Dia mengangkat muka dan menatap dokter Hanung dari balik cadarnya.
“Kok dokter tahu?”
“Aah,…….. tidak, hanya barang kali saja!”
Pembicaraan antara dokter Hanung dengan pasien terakhirnya itu akhirnya seakan-akan beralih dari masalah penyakit dan melebar kepada persoalan lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah penyakit itu.
“Saudari memang penduduk Bandung ini atau dari luar kota?”
Pasien terkahirnya itu tampaknya mulai merasa tidak enak dengan pertanyaan dokter yang mulai menyimpang dari masalah-masalah medis itu. Dengan jengkel dia menjawab.
“Ada apa sih Dok …. Kok tanya macam-macam?”
“Aah enggak,… barangkali saja ada hubungannya dengan penyakit yang saudari derita!”
Pasien terkahir itu tampaknya semakin jengkel dengan pertanyaan dokter yang kesana-kemari itu. Dengan agak kesal ia menjawab:
“Saya dari Pekalongan”
“Kost-nya?”
“Wisma Fathimah, jalan Alex Kawilarang 63”
“Di kampus sering mengikuti kajian islam yaa”
“Ya, … kadang-kadang Dok!”
“Sering mengikuti kajian Bang Jalal?”
Sekali lagi pasien itu menatap dokter Hanung.
“Bang Jalal siapa?”
Tanyanya dengan nada agak tinggi.
“Tentu saja Jalaluddin Rahmat! Di Bandung siapa lagi Bang Jalal selain dia… kalau di Yogya ada Bang Jalal Muksin”
“Ya,…. kadang-kadang saja saya ikut”
“Di Pekalongan,… (sambil seperti mengingat-ingat) kenal juga dengan Ahmad Baraqba?”
Pasien terakhir itu tampak terkejut dengan pertanyaan yang terkahir itu, tetapi dia segera menjawab
“Tidak! Siapa yang dokter maksudkan dengan nama itu dan apa hubungannya dengan penyakit saya?”
Pasien terakhir itu tampak semakin jengkel dengan pertanyaan-tanyaan dokter yang semakin tidak mengarah itu. Tetapi justru dokter Hanung manggut-manggut dengan keterkejutan pasien terakhirnya. Dia menduga bahwa penelitian penyakit pasiennya itu hampir selesai.
Akhirnya dengan suara yang penuh dengan tekanan dokter Hanung berkata,
“Begini saudari, saya minta maaf atas pertanyaan-pertanyaan saya yang ngelantur tadi, sekarang tolong jawab pertanyaan saya dengan jujur demi untuk therapi penyakit yang saudari derita,…”
Sekarang ganti pasien terakhir itu yang mengangkat muka mendengar perkataan dokter Hanung. Dia seakan terbengong dengan pertanyaan apa yang akan di lontarkan oleh dokter yang memeriksanya kali ini.
“Sebenarnya saya amat terkejut dengan penyakit yang saudari derita, rasanya tidak mungkin seorang ukhti mengidap penyakit seperti ini”
“Sakit apa Dok?”.
Pasien terakhir itu memotong kalimat dokter Hanung yang belum selesai dengan amat penasaran.
“Melihat keluhan yang anda rasakan serta hasil laboratorium semuanya menyokong diagnosis gonore, penyakit yang disebabkan hubungan sexual”.
Seperti disambar geledek perempuan berjilbab biru dan berhijab itu, pasien terakhir dokter Hanung sore itu berteriak,
“Tidak mungkin!!!”
Dia lantas terduduk di kursi lemah seakan tak berdaya, mendengar keterangan dokter Hanung. Pandang matanya kosong seakan kehilangan harapan dan bahkan seperti tidak punya semangat hidup lagi.
Sementara itu pembantu dokter Hanung yang biasa mendaftar pasien yang akan berobat tampak mondar-mandir seperti ingin tahu apa yang terjadi. Tidak seperti biasanya dokter Hanung memeriksa pasien begitu lama seperti sore ini. Barangkali karena dia pasien terakhir sehingga merasa tidak terlalu tergesa-gesa maka pemeriksaannya berjalan agak lama. Tetapi kemudian dia terkejut mendengar jerit pasien terakhir itu sehingga ia merasa ingin tahu apa yang terjadi.
Dokter Hanung dengan pengalamannya selama praktek tidak terlalu kaget dengan reaksi pasien terakhirnya sore itu. Hanya yang dia tidak habis pikir itu kenapa perempuan berjilbab rapat itu mengidap penyakit yang biasa menjangkiti perempuan-perempuan rusak. Sudah dua pasien dia temukan akhir-akhir ini yang mengidap penyakit yang sama dan uniknya sama-sama mengenakan busana muslimah. Hanya saja yang pertama dahulu tidak mengenakan hijab penutup muka seperti pasien yang terakhirnya sore hari itu. Dulu pasien yang pernah mengidap penyakit yang seperti itu juga menggunakan pakaian muslimah, ketika didesak akhirnya dia mengatakan bahwa dirinya biasa kawin mut’ah. Pasiennya yang dahulu itu telah terlibat jauh dengan pola pikir dan gerakan Syi’ah yang ada di Bandung ini. Dari pengalaman itu timbul pikirannya menanyakan macam-macam hal mengenai tokoh-tokoh Syi’ah yang pernah dia kenal di kota Kembang ini dan juga kebetulan mempunyai seorang teman dari Pekalongan yang menceritakan perkembangan gerakan Syi’ah di Pekalongan. Beliau bermaksud untuk menyingkap tabir yang menyelimuti rahasia perempuan yang ada didepannya sore itu.
“Bagaimana saudari,… penyakit yang anda derita ini tidak mengenali kecuali orang-orang yang biasa berganti-ganti pasangan seks. Rasanya itu tidak mungkin terjadi pada seorang muslimah seperti diri anda. Kalau itu masa lalu saudari baiklah saya memahami dan semoga dapat sembuh, bertaubatlah kepada Allah, … atau mungkin ada kemungkinan lain,…?”
Pertanyaan dokter Hanung itu telah membuat pasien terakhirnya mengangkat muka sejenak, lalu menunduk lagi seperti tidak memiliki cukup kekuatan lagi untuk berkata-kata. Dokter Hanung dengan sabar menanti jawaban pasien terakhirnya sore itu. Beliau beranjak dari kursi memanggil pembantunya agar mengemasi peralatan untuk segera tutup setelah selesai menangani pasien terakhirnya itu.
“Saya tidak percaya dengan perkataan dokter tentang penyakit saya!” katanya terbata-bata.
“Terserah saudari,… tetapi toh anda tidak dapat memungkiri kenyataan yang anda sandang-kan?”
“Tetapi bagaimana mungkin mengidap penyakit laknat tersebut sedangkan saya selalu berada di dalam suasana hidup yang thaat kepada hukum Allah?”
“Sayapun berprasangka baik demikian terhadap diri anda,… tetapi kenyataan yang anda hadapi itu tidak dapat dipungkiri?”
Sejenak dokter dan pasien itu terdiam. Ruang periksa itu sepi. Kemudian terdengar suara dari pintu yang dibuka pembantu dokter yang mengemasi barang-barang peralatan administrasi pendaftaran pasien. Pembantu dokter itu lantas keluar lagi dengan wajah penuh dengan tanda tanya mengetahui dokter Hanung yang menunggui pasien terakhirnya itu.
“Cobalah introspeksi diri lagi, barangkali ada yang salah,… sebab secara medis tidak mungkin seseorang mengidap penyakit ini kecuali dari sebab tersebut”.
“Tidak dokter,… selama ini saya benar-benar hidup secara baik menurut tuntunan syari’at islam,… saya tetap tidak percaya dengan analisa dokter!”.
Dokter Hanung mengerutkan keningnya men-dengar jawaban pasien terakhirnya itu. Dia tidak merasa sakit hati dengan perkataan pasiennya yang berulang kali mengatakan tidak percaya dengan analisanya. Untuk apa marah kepada orang sakit. Paling juga hanya menambah parah penyakitnya saja, dan lagi analisanya toh tidak menjadi salah hanya karena disalahkan oleh paiennya. Dengan penuh kearifan dokter itu bertanya lagi….
“Barangkali anda biasa kawin mut’ah?”
Pasien terakhir itu mengangkat muka.
“Iya dokter!”
“Apa maksud dokter?”
“Itukan berarti anda sering kali ganti pasangan seks secara bebas!”
“Lho,… tapi itukan benar menurut syari’at Islam Dok!”
Pasien terakhir itu membela diri
“Ooo,… jadi begitu,… kalau dari tadi anda mengatakan begitu saya tidak bersusah payah mengungkapkan penyakit anda. Tegasnya anda ini pengikut Syi’ah yang bebas berganti-ganti pasangan mut’ah semau anda. Ya itulah petualangan seks yang anda lakukan. Hentikan itu kalau anda ingin selamat”.
“Bagaimana dokter ini, saya kan hidup secara benar menurut syari’at Islam sesuai dengan keyakinan saya, dokter malah melarang saya dengan dalih-dalih medis”.
Sampai disini dokter Hanung terdiam. Sepasang giginya terkatup rapat dan dari wajahnya terpancar kemarahan yang sangat terhadap perkataan pasien terakhirnya yang tidak punya aturan itu. Kemudian keluarlah perkataan yang berat penuh tekanan.
“Terserah apa kata saudari membela diri,…. Anda lanjutkan petualangan seks anda. Dengan resiko anda akan berkubang dengan penyakit kelamin yang sangat mengerikan itu, dan sangat boleh jadi pada suatu tingkat nanti anda akan mengidap penyakit AIDS yang sangat mengerikan itu,…..atau anda hentikan dan bertaubat kepada Allah dari mengikuti ajaran bejat itu kalau anda menghendaki kesembuhan”.
“Ma…maaf Dok, saya telah membuat dokter tersinggung!”
Dokter Hanung hanya mengangguk menjawab perkataan pasien terakhirnya yang terbata-bata itu.
“Begini saudari,…tidak ada gunanya resep saya berikan kepada anda kalau toh tidak berhenti dari praktek kehidupan yang selama ini anda jalani. Dan semua dokter yang anda datangi pasti akan bersikap sama,…sebab itu terserah kepada saudari. Saya tidak bersedia memberikan resep kalau toh anda tidak mau berhenti”.
“Ba…BBaik Dok,…Insya Allah akan saya hentikan!”
Dokter Hanung segera menuliskan resep untuk pasien yang terakhirnya itu, kemudian menyodorkan kepadanya.
“Berapa Dok?”
“Tak usahlah,…saya sudah amat bersyukur kalau anda mau menghentikan cara hidup binatang itu dan kembali kepada cara hidup yang benar menurut tuntunan yang benar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Saya relakan itu untuk membeli resep saja”.
Pasien terakhir dokter Hanung itu tersipu-sipu mendengar jawaban dokter Hanung.
“Terimah kasih Dok,…permisi!”
Perempuan itu kembali melangkah satu-satu di peralatan rumah Dokter Hanung. Ia berjalan keluar teras dekat bougenvil biru yang sekana menyatu dengan warna jilbabnya. Sampai digerbang dia menoleh sekali lagi ke teras, kemudian hilang di telan keramaian kota Bandung yang telah mulai temaran di sore itu.

39. Syaikh Bin Baz rahimahullah dan Seorang Pencuri

Salah seorang murid Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menceritakan kisah ini kepada-ku (penulis kisah ini-pen). Dia berkata : Pada salah satu kajian Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah di Masjidil Haram, salah seorang murid beliau bertanya tentang sebuah masalah yang didalamnya ada syubhat, serta pendapat dari Syaikh Bin Baz rahimahullah tentang masalah tersebut. maka Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjawab pertanyaan penanya serta memuji Syaikh Bin Baz rahimahullah. Ditengah-tengah mendengar kajian, tiba-tiba ada seorang laki-laki dengan jarak kira-kira 30 orang dari arah sampingku kedua matanya mengalirkan air mata dengan deras, dan suara tangisannya pun keras hingga para murid pun mengetahuinya. Di saat Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah selesai dari kajian, dan majelis sudah sepi aku melihat kepada pemuda yang tadi menangis. Ternyata dia dalam keadaan sedih, dan bersamanya sebuah mushhaf. Aku pun lebih mendekat hingga kemudian aku bertanya kepadanya setelah kuucapkan salam: “Bagaiman kabarmu wahai akhi (saudaraku), apa yang membuatmu menangis ?” Maka ia menjawab dengan bahasa yang mengharukan, “Jazakallahu khairan.” Akupun mengulangi sekali lagi, “Apa yang membuatmu menangis akhi…?”
Dia pun menjawab dengan tekanan suara yang haru, “Tidak apa-apa, sungguh aku telah ingat Syaikh Bin Baz rahimahullah, maka aku pun menangis.”
Kini menjadi jelas bagiku dari penuturannya bahwa dia dari Pakistan, sedang dia mengenakan pakaian orang Saudi.
Dia meneruskan keterangannya: “Dulu aku mempunyai sebuah kisah bersama Syaikh Bin Baz rahimahullah, yaitu sepuluh tahun yang lalu aku bekerja sebagai satpam pada salah satu pabrik batu bata di kota Thaif. Suatu ketika datang sebuah surat dari Pakistan kepadaku yang menyatakan bahwa ibuku dalam keadaan kritis, yang mengharuskan operasi untuk penanaman sebuah ginjal. Biaya operasi tersebut membutuhkan tujuh ribu Riyal Saudi (kurang lebih 17,5 juta Rupiah). Jika tidak segera dilaksanakan operasi dalam seminggu, bisa jadi dia akan meninggal. Sedangkan beliau sudah berusia lanjut.
Saat itu, aku tidak memiliki uang selain seribu Riyal, dan aku tidak mendapati orang yang mau memberi atau meminjami uang. Maka aku pun meminta kepada perusahaan untuk memberiku pinjaman. Mereka menolak. Aku menangis sepanjang hari. Dia adalah ibu yang telah merawatku, dan tidak tidur karena aku.
Pada situasi yang genting tersebut, aku memutuskan untuk mencuri pada salah satu rumah yang bersebelahan dengan perusahaan pada jam dua malam. Beberapa saat setelah aku melompati pagar rumah, aku tidak merasakan apa-apa kecuali para polisi tengah menangkap dan melemparkanku ke mobil mereka. Setelah itu dunia pun tersa menjadi gelap.
Tiba-tiba, sebelum shalat subuh para polisi mengembalikanku ke rumah yang telah kucuri. Mereka memasukkanku ke sebuah ruangan kemudian pergi. Tiba-tiba ada seorang pemuda yang menghidangkan makanan seraya berkata, “Makanlah, dengan membaca bismillah !” Aku pun tidak mempercayai yang tengah kualami.
Saat adzan shalat subuh, mereka berkata kepadaku, “Wudhu’lah untuk shalat!” Saat itu rasa takut masih menyelimutiku. Tiba-tiba datang seorang lelaki yang sudah lanjut usia dipapah salah seorang pemuda masuk menemuiku. Kemudian dia memegang tanganku dan mengucapkan salam kepadaku seraya berkata, “Apakah engkau sudah makan ?” Aku pun, ‘Ya, sudah.’ Kemudian dia memegang tangan kananku dan membawaku ke masjid bersamanya. Kami shalat subuh. Setelah itu aku melihat lelaki tua yang memegang tanganku tadi duduk diatas kursi di bagian depan masjid, sementara banyak jama’ah shalat dan banyak murid mengitarinya.
Kemudian Syaikh tersebut memulai berbicara menyampaikan sebuah kajian kepada mereka. Maka aku pun meletakkan tanganku diatas kepalaku karena malu dan taku.
Ya Allaaah…, apa yang telah kulakukan ? aku telah mencuri di rumah Syaikh Bin Baz ?!
Sebelumya aku telah mendengar nama beliau, dan beliau telah terkenal di negeri kami, Pakistan.
Setelah Syaikh Bin Baz rahimahullah selesai dari kajian, mereka membawaku ke rumah sekali lagi. Syaikh pun memegang tanganku, dan kami sarapan pagi dengan dihadiri oleh banyak pemuda. Syaikh mendudukkanku di sisi beliau. ditengah makan beliau bertanya kepadaku, “Siapakah namamu ?” Kujawab, “Murtadho.”
Beliau bertanya lagi, “Mengapa engkau mencuri ?” Maka aku ceritakan kisah ibuku. Beliau berkata, “Baik, kami akan memberimu 9000 (sembilan ribu) Riyal.” Aku berkata kepada beliau, “Yang dibutuhkan hanya 7000 (tujuh ribu) Riyal.” Beliau menjawab, “Sisanya untukmu, tetapi jangan lagi mencuri wahai anakku.”
Aku mengambil uang tersebut, dan berterima kasih kepada beliau dan berdo’a untuk beliau. aku pergi ke Pakistan, lalu melakukan operasi untuk ibu. Alhamdulillah, beliau sembuh. Lima bulan setelah itu, aku kembali ke Saudi, dan langsung mencari keberadaan Syaikh Bin Baz rahimahullah. Aku pergi kerumah beliau. aku mengenali beliau dan beliau pun mengenaliku. .
Kemudian beliau pun bertanya tentang ibuku. Aku berikan 1500 (seribu lima ratus) Riyal kepada beliau, dan beliau bertanya, “Apa ini ?” Kujawab, “Itu sisanya.” Maka beliau berkata, “Ini untukmu.”
Ku katakan, “Wahai Syaikh, saya memiliki permohonan kepada anda.” Maka beliau menjawab, “Apa itu wahai anakku ?” kujawab, “Aku ingin bekerja pada anda sebagai pembantu atau apa saja, aku berharap dari anda wahai Syaikh, janganlah menolak permohonan saya, mudah-mudahan Allah menjaga anda.” Maka beliau menjawab, “Baiklah.” Aku pun bekerja di rumah Syaikh hingga wafat beliau rahimahullah.
Selang beberapa waktu dari pekerjaanku di rumah Syaikh, salah seorang pemuda yang mulazamah kepada beliau memberitahuku tentang kisahku ketika aku melompat kerumah beliau hendak mencuri di rumah Syaikh. Dia berkata, “Sesungguhnya ketika engkau melompat ke dalam rumah, Syaikh Bin Baz saat itu sedang shalat malam, dan beliau mendengar sebuah suara di luar rumah. Maka beliau menekan bel yang beliau gunakan untuk membangunkan keluarga untuk shalat fardhu saja. Maka mereka terbangun semua sebelum waktunya. Mereka merasa heran dengan hal ini. Maka beliau memberi tahu bahwa beliau telah mendengar sebuah suara. Kemudian mereka memberi tahu salah seorang penjaga keamanan, lalu dia menghubungi polisi. Mereka datang dengan segera dan menangkapmu. Tatkala Syaikh mengetahui hal ini, beliau bertanya, ‘Kabar apa ?’ Mereka menjawab, ‘Seorang pencuri berusaha masuk, mereka sudah menangkap dan membawa ke kepolisian.’ Maka Syaikh pun berkata sambil marah, ‘Tidak, tidak, hadirkan dia sekarang dari kepolisian, dia tidak akan mencuri kecuali dia orang yang membutuhkan’.”
Maka di sinilah kisah tersebut berakhir. Aku katakan kepada pemuda tersebut, “Sungguh matahari sudah terbit, seluruh umat ini terasa berat, dan menangisi perpisahan dengan beliau rahimahullah. Berdirilah sekarang, marilah kita shalat dua rakaat dan berdo’a untuk Syaikh rahimahullah.” Mudah-mudahan Allah Ta’ala merahmati Syaikh Bin Baz dab Syaikh Ibnu Utsaimin, dan menempatkan keduanya di keluasan surga-Nya. Amiin…(penulis kisah ini : Mamduh Farhan al Buhairi).
Sumber : dinukil dari Majalah Qiblati edisi 02 tahun III bulan November 2007 M / Syawwal 1428 H. (hal : 96) – www.alsofwah.or.id

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar