Sabtu, 12 Februari 2011

Kisah Wanita Muslim

1. SITI FATIMAH DAN BINATANG

Terdapatlah seorang gadis kecil yang tumbuh berkembang bersama orang tuanya, semua di dalam hutan. Suatu hari ia menemukan ayah dan ibunya meninggal, dan dia harus menjaga dirinya sendiri. Orangtuanya meninggalkan Mihrab, sebuah ornamen ukiran yang aneh seperti kusen jendela, yang terus tergantung di dinding pondok.
“Sekarang aku sendirian,” ujar Fatimah, “dan harus bertahan di hutan yang hanya didiami binatang ini, akan lebih baik jika aku dapat berbicara dan mengerti bahasa mereka.”
Maka ia menghabiskan hari-hari baiknya dengan menyebut keinginannya ke kusen di dinding, “Mihrab, berilah aku kekuatan untuk memahami dan berbicara dengan binatang.”
Setelah cukup lama, tiba-tiba ia merasa bahwa dirinya dapat berbicara dengan burung, binatang-binatang lain bahkan ikan. Maka ia pergi ke dalam hutan untuk mencobanya.
Segera ia menuju ke kolam. Di atas air ada sejenis lalat kolam, melompat-lompat di permukaan dan tidak pernah masuk ke air. Bermacam ikan berenang di dalamnya, dan menempel di dasar kolam terdapat banyak siput.

Fatimah berkata untuk memulai percakapan, “Lalat, mengapa kau tidak masuk ke air?”
“Untuk apa, menganggap hal itu mungkin, padahal tidak?” tanya lalat.
“Karena kau akan aman dari burung-burung yang akan menyambar dan memakanmu.”
“Bukankah aku belum dimangsanya?” jawab lalat.
Dan itu akhir percakapan.
Kemudian Fatimah berbicara pada ikan, “Wahai, ikan,” katanya menembus air, “mengapa kau tidak berusaha keluar dari air, sedikit demi sedikit? Kudengar ada beberapa jenis ikan yang dapat melakukannya.”
“Sama sekali tidak mungkin,” ujar ikan, “tidak ada satu pun yang melakukan itu dan bertahan hidup. Kami dibesarkan untuk percaya bahwa itu adalah suatu dosa serta bahaya yang mematikan.” Ikan itu kembali menyelam ke bayangan, tidak mau mendengar omong-kosong tersebut.
Lalu Fatimah menegur siput, “Hai, siput, kau dapat merayap keluar dari air dan mendapatkan daun-daunan segar untuk dimakan. Aku telah mendengar bahwa ada siput-siput yang dapat benar-benar melakukannya.”
“Sebuah pertanyaan paling baik dijawab dengan pertanyaan apabila seekor siput yang bijak mendengarnya,” ujar siput.
“Barangkali akan cukup baik jika engkau bersedia mengatakan padaku, mengapa engkau demikian tertarik dengan kesejahteraanku? Orang harus menjaga diri mereka sendiri.”
“Baiklah,” ujar Fatimah, “Aku menganggapnya karena jika seseorang dapat lebih memperhatikan orang lain, ia ingin membantunya mencapai puncak-puncak yang lebih tinggi.”
“Tampaknya hal itu merupakan suatu gagasan yang asing bagiku,” jawab siput, dan merayap ke bawah sebuah batu menjauhi jarak pendengaran.
Fatimah menyerah pada lalat, ikan dan siput, dan berkelana ke dalam hutan, mencari (sesuatu) yang lain untuk diajak bicara. Ia merasa bahwa dirinya harus menjadi orang yang bermanfaat untuk seseorang. Bagaimanapun, ia lebih banyak memiliki pengetahuan daripada penghuni hutan ini. Seekor burung misalnya, dapat diperingatkan agar menyimpan makanan untuk musim dingin, atau bersarang di dekat kehangatan pondok, sehingga tidak perlu ada kematian sia-sia. Tetapi ia tidak melihat seekor burung pun.
Sebagai gantinya, ia bertemu secara tidak sengaja dengan pondok seorang pembuat arang. Dia seorang laki-laki tua dan duduk di depan pintunya, membakar kayu untuk arang yang akan dibawanya ke pasar.
Fatimah, senang bertemu dengan manusia lain — satu-satunya orang lain yang telah ditemuinya selain kedua orangtuanya — segera berlari menghampirinya. Dia menceritakan pengalamannya hari itu.
“Jangan khawatir tentang hal itu, Anakku,” ujar laki-laki tua yang baik tersebut, “Itulah hal-hal yang mana seorang manusia harus belajar, dan hal-hal itu berpengaruh sangat penting bagi kehidupan masa depannya.”
“Hal-hal untuk dipelajari?” ujar Fatimah, “Dan apakah yang seharusnya aku inginkan dengan hal-hal untuk dipelajari itu, berdoa? Hal-hal itu hanya akan, sangat mungkin, mengubah sikap hidup dan cara berpikirku.” Dan seperti lalat, ikan dan siput, ia pergi menjauhi si pembakar arang.
Fatimah, putri Waliah, telah menghabiskan waktu tigapuluh tahun berikutnya seperti halnya lalat, ikan dan siput sebelum ia mempelajari sesuatu sama sekali.

2. Gubernur Dan Wanita Yang Berwajah Buruk

Seorang Gubernur pada zaman Khalifah Al-Mahdi, pada suatu hari mengumpulkan sejumlah tetangganya dan menaburkan uang dinar dihadapan mereka. Semuanya saling berebutan memunguti uang itu dengan suka cita. Kecuali seorang wanita kumal, berkulit hitam dan berwajah jelek. Ia terlihat diam saja tidak bergerak, sambil memandangi para tetangganya yang sebenarnya lebih kaya dari dirinya, tetapi berbuat seolah-olah mereka orang-orang yang kekurangan harta.
Dengan keheranan sang Gubernur bertanya, “Mengapa engkau tidak ikut memunguti uang dinar itu seperti tetangga engkau?” Janda bermuka buruk itu menjawab, “Sebab yang mereka cari uang dinar sebagai bekal dunia. Sedangkan yang saya perlukan bukan dinar melainkan bekal akhirat.” “Maksud engkau?” tanya sang Gubernur mulai tertarik akan kepribadian perempuan itu. “Maksud saya, uang dunia sudah cukup. Yang masih saya perlukan adalah bekal akhirat, iaitu sholat, puasa dan zikir. Sebab perjalanan di dunia amat pendek dibanding dengan pengembaraan di akhirat yang panjang dan kekal.”
Dengan jawaban seperti itu, sang Gubernur merasa telah disindir tajam. Ia insaf, dirinya selama ini hanya sibuk mengumpulkan harta benda dan melalaikan kewajiban agamanya. Padahal kekayaannya melimpah ruah, tak kan habis dimakan keluarganya sampai tujuh keturunan. Sedangkan umurnya sudah di atas setengah abad, dan Malaikat Izrail sudah mengintainya.
Akhirnya sang Gubernur jatuh cinta kepada perempuan lusuh yang berparas hanya lebih bagus sedikit dari monyet itu. Kabar itu tersebar ke segenap pelosok negeri. Orang-orang besar tak habis fikir, bagaimana seorang gubernur boleh menaruh hati kepada perempuan jelata bertampang jelek itu.
Maka pada suatu kesempatan, diundanglah mereka oleh Gubernur dalam sebuah pesta mewah. Juga para tetangga, termasuk wanita yang membuat heboh tadi. Kepada mereka diberikan gelas crystal yang bertahtakan permata, berisi cairan anggur segar. Gubernur lantas memerintah agar mereka membanting gelas masing-masing. Semuanya terbengong dan tidak ada yang mau menuruti perintah itu. Namun, tiba-tiba terdengar bunyi berdenting, pertanda ada orang gila yang melaksanakan perintah itu. Itulah si perempuan berwajah buruk. Di kakinya pecahan gelas berhamburan sampai semua orang tampak terkejut dan keheranan.
Gubernur lalu bertanya, “Mengapa kaubanting gelas itu?” Tanpa takut wanita itu menjawab, “Ada beberapa sebab. Pertama, dengan memecahkan gelas ini berarti berkurang kekayaan Tuan. Tetapi, menurut saya hal itu lebih baik daripada wibawa Tuan berkurang lantaran perintah Tuan tidak dipatuhi.” Gubernur terkesima. Para tamunya juga kagum akan jawaban yang masuk akal itu. Sebab lainnya?” tanya Gubernur. Wanita itu menjawab, “Kedua, saya hanya menaati perintah Allah. Sebab di dalam Al-Quran, Allah memerintahkan agar kita mematuhi Allah, Utusan-Nya, dan para penguasa. Sedangkan Tuan adalah penguasa, atau ulil amri, maka dengan segala resikonya saya laksanakan perintah Tuan.” Gubernur kian takjub. Demikian pula para tamunya. “Masih ada sebab lain?”
Perempuan itu mengangguk dan berkata, “Ketiga, dengan saya memecahkan gelas itu, orang-orang akan menganggap saya gila. Namun, hal itu lebih baik buat saya. Biarlah saya dicap gila daripada tidak melakukan perintah Gubernurnya, yang berarti saya sudah berbuat durhaka. Tuduhan saya gila, akan saya terima dengan lapang dada daripada saya dituduh durhaka kepada penguasa saya. Itu lebih berat buat saya.”
Maka ketika kemudian Gubernur yang kematian isteri itu melamar lalu menikahi perempuan bertampang jelek dan hitam legam itu, semua yang mendengar bahkan berbalik sangat gembira kerana gubernur memperoleh jodoh seorang wanita yang tidak saja taat kepada suami, tetapi juga taat kepada gubernurnya, kepada Nabinya, dan kepada Tuhannya.

3. Wanita Pertama Masuk Surga

Pernahkah terbersit dalam pikiran anda untuk bertanya “Siapa sih wanita yang pertama masuk surga di akhirat kelak?”. Sebuah pertanyaan iseng yang kalo dipikir-pikir sih ternyata membuat kita penasaran juga ya. Jika anda penasaran (seperti juga aku ketika itu), maka anda sama penasarannya dengan Siti Fatimah, putri Rasulullah Saw. Ia berniat menanyakan hal ini kepada ayahandanya.
Lalu, apakah anda menduga bahwa wanita yang pertama masuk surga itu adalah Siti Fatimah? Atau ibunda beliau Siti Khadijah, atau Siti Aisyah ataukah salah satu dari keluarga Rasulullah Saw lainnya? Mmm. Jika iya, jawaban anda ternyata salah. Inilah hebatnya Islam, tidak mengenal istilah ‘nepotisme’ (hehehe). Dalam sebuah ceramah agama, akhirnya aku tahu, ternyata wanita yang diperkenankan masuk surga pertama kali adalah seorang wanita yang bernama Muti’ah. Anda kaget? Sama seperti Siti Fatimah ketika itu, yang mengira dirinyalah yang pertama kali masuk surga.
Siapakah Muti’ah? Karena rasa penasaran yang tinggi, Siti Fatimah pun mencari seorang wanita yang bernama Muti’ah ketika itu. Beliau juga ingin tahu, amal apakah yang bisa membuat wanita itu bisa masuk surga pertama kali? Mmm, pencarian pun dimulai, sodare-sodare…
Setelah bertanya-tanya, akhirnya Siti Fatimah mengetahui rumah seorang wanita yang bernama Muti’ah tersebut. Kali ini ia ingin bersilaturahmi ke rumah wanita tersebut, ingin melihat lebih dekat kehidupannya. Waktu itu, Siti Fatimah berkunjung bersama dengan anaknya yang masih kecil, Hasan. Setelah mengetuk pintu, terjadilah dialog.
“Di luar, siapa?” kata Muti’ah tidak membukakan pintu.
“Saya Fatimah, putri Rasulullah”
“Oh, iya. Ada keperluan apa?”
“Saya hanya berkunjung saja”
“Anda seorang diri atau bersama dengan lainnya?”
“Saya bersama dengan anak saya, Hasan?”
“Maaf, Fatimah. Saya belum mendapatkan izin dari suami saya untuk menerima tamu laki-laki”
“Tetapi Hasan masih anak-anak”
“Walaupun anak-anak, dia lelaki juga kan? Maaf ya. Kembalilah besok, saya akan meminta izin dulu kepada suami saya”
“Baiklah” kata Fatimah dengan nada kecewa. Setelah mengucapkan salam, ia pun pergi.
Keesokan harinya, Siti Fatimah kembali berkunjung ke rumah Muti’ah. Selain mengajak Hasan, ternyata Husein (saudara kembar Hasan) merengek meminta ikut juga. Akhirnya mereka bertiga pun berkunjung juga ke rumah Muti’ah. Terjadilah dialog seperti hari kemarin.
“Suami saya sudah memberi izin bagi Hasan”
“Tetapi maaf, Muti’ah. Husein ternyata merengek meminta ikut. Jadi saya ajak juga!”
“Dia perempuan?”
“Bukan, dia lelaki”
“Wah, saya belum memintakan izin bagi Husein.”
“Tetapi dia juga masih anak-anak”
“Walaupun anak-anak, dia juga lelaki. Maaf ya. Kembalilah esok!”
“Baiklah” Kembali Siti Fatimah kecewa. Namun rasa penasarannya demikian besar untuk mengetahui, rahasia apakah yang menyebabkan wanita yang akan dikunjunginya tersebut diperkanankan masuk surga pertama kali.
Akhirnya hari esok pun tiba. Siti Fatimah dan kedua putranya kembali mengunjungi kediaman Mutiah. Karena semuanya telah diberi izin oleh suaminya, akhirnya mereka pun diperkenankan berkunjung ke rumahnya. Betapa senangnya Siti Fatimah karena inilah kesempatan bagi dirinya untuk menguak misteri wanita tersebut.
Menurut Siti Fatimah, wanita yang bernama Muti’ah sama juga seperti dirinya dan umumnya wanita. Ia melakukan shalat dan lainnya. Hampir tidak ada yang istimewa. Namun, Siti Fatimah masih penasaran juga. Hingga akhirnya ketika telah lama waktu berbincang, “rahasia” wanita itu tidak terkuak juga. Akhirnya, Muti’ah pun memberanikan diri untuk memohon izin karena ada keperluan yang harus dilakukannya.
“Maaf Fatimah, saya harus ke ladang!”
“Ada keperluan apa?”
“Saya harus mengantarkan makanan ini kepada suami saya”
“Oh, begitu”
Tidak ada yang salah dengan makanan yang dibawa Muti’ah yang disebut-sebut sebagai makanan untuk suaminya. Namun yang tidak habis pikir, ternyata Muti’ah juga membawa sebuah cambuk.
“Untuk apa cambuk ini, Muti’ah?” kata Fatimah penasaran.
“Oh, ini. Ini adalah kebiasaanku semenjak dulu”
Fatimah benar-benar penasaran. “Ceritakanlah padaku!”
“Begini, setiap hari suamiku pergi ke ladang untuk bercocok tanam. Setiap hari pula aku mengantarkan makanan untuknya. Namun disertai sebuah cambuk. Aku menanyakan apakah makanan yang aku buat ini enak atau tidak, apakah suaminya seneng atau tidak. Jika ada yang tidak enak, maka aku ikhlaskan diriku agar suamiku mengambil cambuk tersebut kemudian mencambukku. Ini aku lakukan agar suamiku ridlo dengan diriku. Dan tentu saja melihat tingkah lakuku ini, suamiku begitu tersentuh hatinya. Ia pun ridlo atas diriku. Dan aku pun ridlo atas dirinya”
“Masya Allah, hanya demi menyenangkan suami, engkau rela melakukan hal ini, Muti’ah?”
“Saya hanya memerlukan keridloannya. Karena istri yang baik adalah istri yang patuh pada suami yang baik dan sang suami ridlo kepada istrinya”
“Ya… ternyata inilah rahasia itu”
“Rahasia apa ya Fatimah?” Mutiah juga penasaran.
“Rasulullah Saw mengatakan bahwa dirimu adalah wanita yang diperkenankan masuk surga pertama kali. Ternyata semua gara-gara baktimu yang tinggi kepada seorang suami yang sholeh.”
“Masya Allah… Subhanallah…”

4. Antara Sabar Dan Mengeluh

Pada zaman dahulu ada seorang yang bernama Abul Hassan yang pergi haji di Baitul Haram. Diwaktu tawaf tiba-tiba ia melihat seorang wanita yang bersinar dan berseri wajahnya.
“Demi Allah, belum pernah aku melihat wajah secantik dan secerah wanita itu,  pasti  dia tidak pernah risau dan bersedih hati.”
Tiba-tiba wanita itu mendengar ucapan Abul Hassan lalu ia bertanya, “Apakah katamu hai saudaraku ? Demi Allah aku tetap terbelenggu oleh perasaan dukacita dan luka hati karena risau, dan orang-orang  pasti  setuju   dengan sikapku l ini.”
Abu Hassan bertanya, “Bagaimana hal yang merisaukanmu?”
Wanita itu menjawab, “Pada suatu hari ketika suamiku sedang menyembelih kambing korban, dan saat itu  aku mempunyai dua orang anak yang sudah boleh bermain dan yang satu masih menyusu, dan ketika aku bangun untuk membuat makanan, tiba-tiba anakku yang agak besar berkata pada adiknya, “Hai adikku, sukakah aku tunjukkan padamu bagaimana ayah menyembelih kambing ?
Jawab adiknya, “Baiklah kalau begitu ?”
Lalu disuruh adiknya baring dan disembelihkannya leher adiknya itu. Kemudian dia merasa ketakutan setelah melihat darah memancur keluar dan lari ke bukit yang mana di sana ia dimakan oleh serigala, lalu ayahnya pergi mencari anaknya itu sehingga mati kehausan dan ketika aku letakkan bayiku untuk keluar mencari suamiku, tiba-tiba bayiku merangkak menuju ke periuk yang berisi air panas, ditariknya periuk tersebut dan tumpahlah air panas terkena  badannya  sehingga menghancurkan  kulitya. Berita ini terdengar kepada anakku yang telah kawin dan tinggal di daerah lain, maka ia jatuh pingsan hingga sampai menuju ajalnya. Dan kini aku tinggal sebatang kara di antara mereka semua.”
Lalu Abul Hassan bertanya, “Bagaimanakah kesabaranmu menghadapi semua musibah yang sangat hebat itu ?”
Wanita itu menjawab, “Tiada seorang pun yang dapat membedakan antara sabar dengan mengeluh melainkan ia menemukan di antara keduanya ada jalan yang berdeda. Adapun sabar dengan memperbaiki yang lahir, maka hal itu baik dan terpuji akibatnya. Dan adapun mengeluh, maka orangnya tidak mendapat ganti yakni sia-sia belaka.”
Demikianlah cerita di atas, satu cerita yang dapat dijadikan tauladan di mana kesabaran sangat dianjurkan oleh agama dan harus dimiliki oleh setiap orang yang mengaku beriman kepada Allah dalam setiap terkena musibah dan dugaan dari Allah.
Karena itu Rasulullah s.a.w bersabda dalam firman Allah dalam sebuah hadith Qudsi,:
” Tidak ada balasan bagi hamba-Ku yang Mukmin, jika Aku ambil kekasihnya dari ahli dunia kemudian ia sabar, melainkan syurga baginya.”
Begitu juga mengeluh. Perbuatan ini sangat dikutuk oleh agama dan hukumnya haram. Karena itu Rasulullah s.a.w bersabda,: ” Tiga macam daripada tanda kekafiran terhadap Allah, merobek baju, mengeluh dan menghina nasib orang.”
Dan sabdanya pula, ” Mengeluh itu termasuk kebiasaan Jahiliyyah, dan orang yang mengeluh, jika ia mati sebelum taubat, maka Allah akan memotongnya bagi pakaian dari uap api neraka.” (Riwayat oleh Imam Majah)
Semoga kita dijadikan sebagai hamba Tuhan yang sabar dalam menghadapi segala musibah.

5. Wanita Yang Teguh Menggenggam Tauhid

Semoga muslimah sekalian bisa mengambil hikmah dan mengikuti jejak keduanya, meninggal dalam keadaan teguh menggenggam “Tauhid.” “
Alkisah di negeri Mesir, Fir’aun terakhir yang terkenal dengan keganasannya bertahta. Setelah kematian sang isteri, Fir’aun kejam itu hidup sendiri tanpa pendamping. Sampai cerita tentang seorang gadis jelita dari keturunan keluarga Imran bernama Siti Asiah sampai ke telinganya. Fir’aun lalu mengutus seorang Menteri bernama Haman untuk meminang Siti Asiah.
Orangtua Asiah bertanya kepada Siti Asiah, “Sudikah anakda menikahi Fir’aun ?”
“Bagaimana saya sudi menikahi Fir’aun. Sedangkan dia terkenal sebagai raja yang ingkar kepada Allah ?”
Haman kembali pada Fir’aun. Alangkah marahnya Fir’aun mendengar kabar penolakan Siti Asiah.
“Haman, berani betul Imran menolak permintaan raja. Seret mereka kemari. Biar aku sendiri yang menghukumnya !”
Fir’aun mengutus tentaranya untuk menangkap orangtua Siti Asiah. Setelah disiksa begitu keji, keduanya lantas dijebloskan ke dalam penjara. Menyusul kemudian, Siti Asiah digiring ke Istana. Fir’aun kemudian membawa Siti Asiah ke penjara tempat kedua orangtuanya dikurung. Kemudian, dihadapan orangtuanya yang nyaris tak berdaya, Fir’aun berkata, “He, Asiah. Jika engkau seorang anak yang baik, tentulah engkau sayang terhadap kedua orangtuamu. Oleh karena itu, engkau boleh memilih satu diantara dua pilihan yang kuajukan. Kalau kau menerima lamaranku, berarti engkau akan hidup senang, dan pasti kubebaskan kedua orangtuamu dari penjara laknat ini. Sebaliknya, jika engkau menolak lamaranku, maka aku akan memerintahkan para algojo agar membakar hidup-hidup kedua orangtuamu itu, tepat dihadapanmu.”
Karena ancaman itu, Siti Asiah terpaksa menerima pinangan Fir’aun. Dengan mengajukan beberapa syarat, yaitu Fir’aun harus membebaskan orangtuanya, Fir’aun harus membuatkan rumah untuk ayah dan ibunya, yang indah lagi lengkap perabotannya dan Fir’aun harus menjamin kesehatan, makan, minum kedua orangtuanya.
Siti Aisyah bersedia menjadi isteri Fir’aun. Hadir dalam acara-acara tertentu, tapi tak bersedia tidur bersama Fir’aun. Sekiranya permintaan-permintaan tersebut tidak disetujui, Siti Asiah rela mati dibunuh bersama ibu dan bapaknya.
Akhirnya Fir’aun menyetujui syarat-syarat yang diajukan Siti Asiah. Fir’aun lalu memerintahkan agar rantai belenggu yang ada di kaki dan tangan orangtua Siti Asiah dibuka. Singkat cerita, Siti Asiah tinggal dalam kemewahan Istana bersama-sama Fir’aun. Namun ia tetap tak mau berbuat ingkar terhadap perintah agama, dengan tetap melaksanakan ibadah kepada Allah SWT.
Pada malam hari Siti Asiah selalu mengerjakan shalat dan memohon pertolongan Allah SWT. Ia senantiasa berdoa agar kehormatannya tidak disentuh oleh orang kafir, meskipun suaminya sendiri, Fir’aun.
Untuk menjaga kehormatan Siti Asiah, Allah SWT telah menciptakan iblis yang menyaru sebagai Siti Asiah. Dialah iblis yang setiap malam tidur dan bergaul dengan Fir’aun.
Fir’aun mempunyai seorang pegawai yang amat dipercaya bernama Hazaqil. Hazaqil amat taat dan beriman kepada Allah SWT. Beliau adalah suami Siti Masyitoh, yang bekerja sebagai juru hias istana, yang juga amat taat dan beriman kepada Allah SWT. Namun demikian, dengan suatu upaya yang hati-hati, mereka berhasil merahasiakan ketaatan mereka terhadap Allah. Dari pengamatan Fir’aun yang kafir.
Suatu kali, terjadi perdebatan hebat antara Fir’aun dengan Hazaqil, disaat Fir’aun menjatuhkan hukuman mati terhadap seorang ahli sihir, yang menyatakan keimanannya atas ajaran Nabi Musa a.s. Hazaqil menentang keras hukuman tersebut. Mendengar penentangan Hazaqil, Fir’aun menjadi marah. Fir’aun jadi bisa mengetahui siapa sebenarnya Hazaqil. Fir’aun lalu menjatuhkan hukuman mati kepada Hazaqil. Hazaqil menerimanya dengan tabah, tanpa merasa gentar sebab yakin dirinya benar.
Hazaqil menghembuskan nafas terakhir dalam keadaan tangan terikat pada pohon kurma, dengan tubuh penuh ditembusi anak panah. Sang istri, Masyitoh, teramat sedih atas kematian suami yang amat disayanginya itu. Ia senantiasa dirundung kesedihan setelah itu, dan tiada lagi tempat mengadu kecuali kepada anak-anaknya yang masih kecil.
Suatu hari, Masyitoh mengadukan nasibnya kepada Siti Asiah. Diakhir pembicaraan mereka, Siti Asiah menceritakan keadaan dirinya yang sebenarnya, bahwa iapun menyembunyikan ketaatannya dari Fir’aun. Barulah keduanya menyadari, bahwa mereka sama-sama beriman kepada Allah SWT dan Nabi Musa a.s.
Pada suatu hari, ketika Masyitoh sedang menyisir rambut puteri Fir’aun, tanpa sengaja sisirnya terjatuh ke lantai. Tak sengaja pula, saat memungutnya Masyitoh berkata, “Dengan nama Allah binasalah Fir’aun.”
Mendengarkan ucapan Masyitoh, Puteri Fir’aun merasa tersinggung lalu mengancam akan melaporkan kepada ayahandanya. Tak sedikitpun Masyitoh merasa gentar mendengar hardikan puteri. Sehingga akhirnya, ia dipanggil juga oleh Fir’aun.
Saat Masyitoh menghadap Fir’aun, pertanyaan pertama yang diajukan kepadanya adalah, “Apa betul kau telah mengucapkan kata-kata penghinaan terhadapku, sebagaimana penuturan anakku. Dan siapakah Tuhan yang engkau sembah selama ini?”
“Betul, Baginda Raja yang lalim. Dan Tiada Tuhan selain Allah yang sesungguhnya menguasai segala alam dan isinya.”jawab Masyitoh dengan berani.
Mendengar jawaban Masyitoh, Fir’aun menjadi teramat marah, sehingga memerintahkan pengawalnya untuk memanaskan minyak sekuali besar. Dan saat minyak itu mendidih, pengawal kerajaan memanggil orang ramai untuk menyaksikan hukuman yang telah dijatuhkan pada Masyitah. Sekali lagi Masyitoh dipanggil dan dipersilahkan untuk memilih, jika ingin selamat bersama kedua anaknya, Masyitoh harus mengingkari Allah. Masyitoh harus mengaku bahwa Fir’aun adalah Tuhan yang patut disembah. Jika Masyitoh tetap tak mau mengakui Fir’aun sebagai Tuhannya, Masyitoh akan dimasukkan ke dalam kuali, lengkap bersama kedua anak-anaknya.
Masyitoh tetap pada pendiriannya untuk beriman kepada Allah SWT. Masyitoh kemudian membawa kedua anaknya menuju ke atas kuali tersebut. Ia sempat ragu ketika memandang anaknya yang berada dalam pelukan, tengah asyik menyusu. Karena takdir Tuhan, anak yang masih kecil itu dapat berkata, “Jangan takut dan sangsi, wahai Ibuku. Karena kematian kita akan mendapat ganjaran dari Allah SWT. Dan pintu surga akan terbuka menanti kedatangan kita.”
Masyitoh dan anak-anaknyapun terjun ke dalam kuali berisikan minyak mendidih itu. Tanpa tangis, tanpa takut dan tak keluar jeritan dari mulutnya. Saat itupun terjadi keanehan. Tiba-tiba, tercium wangi semerbak harum dari kuali berisi minyak mendidih itu.
Siti Asiah yang menyaksikan kejadian itu, melaknat Fir’aun dengan kata-kata yang pedas. Iapun menyatakan tak sudi lagi diperisteri oleh Fir’aun, dan lebih memilih keadaan mati seperti Masyitoh.
Mendengar ucapan Isterinya, Fir’aun menjadi marah dan menganggap bahwa Siti Asiah telah gila. Fir’aun kemudian menyiksa Siti Asiah, tak memberikan makan dan minum, sehingga Siti Asiah meninggal dunia.
Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Siti Asiah sempat berdoa kepada Allah SWT, sebagaimana termaktub dalam firman-Nya, “Dan Allah membuat isteri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata : “Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi_mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.” (Q.S. At-Tahrim [66] : 11)
Demikian kisah Siti Asiah dan Masyitoh. Semoga muslimah sekalian bisa mengambil hikmah dan mengikuti jejak keduanya, meninggal dalam keadaan teguh menggenggam “Tauhid.”

6. Hafshah, Dibela Jibril Lantaran Tekun Ibadah

Selain Aisyah, Hafshah dikenal sebagai istri Rasulullah Saw. yang pencemburu. Seringkali ia membuat ulah untuk menarik perhatian Rasulullah. Suatu hari, ketika Rasulullah menemuinya, Hafshah bertanya, “Ya Rasulullah, mengapa mulutmu bau maghafir (minuman dari getah yang berbau busuk)?” “Aku baru saja minum madu, bukan maghafir,” jawab Nabi penuh tanda tanya. “Kalau begitu, engkau minum madu yang sudah lama,” timpal Hafshah.
Keheranan Rasulullah makin bertambah ketika Aisyah yang ditemuinya mengatakan hal serupa. Saking kesalnya, Rasulullah mengharamkan madu buat dirinya untuk beberapa waktu. Beliau tak tahu kalau Hafshah telah “berkomplot” dengan Aisyah untuk “ngerjain” Rasulullah. Keduanya cemburu lantaran Nabi tinggal lebih lama dari jatah waktunya di rumah Zainab binti Jahsy. Waktu itu Nabi tertahan karena Zainab menawarkan madu kepada beliau.
Membicarakan kehidupan Hafshah binti Umar bin Khattab tak bisa lepas dari sifat pencemburunya yang besar. Sebenarnya, sifat cemburunya itu lahir dari rasa cintanya yang mendalam kepada Rasulullah. Ia takut kalau-kalau Rasulullah kurang memberi perhatian dan cinta yang cukup kepadanya. Namun, sifat pencemburunya itu terkadang melahirkan ulah yang menjengkelkan.
Pernah, dalam sebuah perjalanan Hafshah dan Aisyah dibawa serta. Kedua istri Nabi itu duduk dalam sekedup (tandu di atas punggung unta) yang berbeda. Selama perjalanan, Rasulullah lebih sering berada dalam sekedup di atas unta Aisyah. Pada waktu istirahat, Hafshah yang terbakar api cemburu meminta Aisyah untuk berpindah tempat.
Seusai istirahat, Rasulullah naik kembali ke sekedup Aisyah yang sudah ditempati Hafshah dan mengajak bicara. Beliau tak tahu kalau yang menjawabnya dengan jawaban-jawaban pendek itu Hafshah. Dan … betapa kesalnya Rasulullah setelah ia tahu dirinya dipermainkan kedua istrinya itu.
Begitu seringnya Hafshah membuat ulah, lantaran cemburu, Rasulullah pernah berniat akan menceraikannya. Namun, Jibril datang mencegah Nabi. Rasulullah malah mendatangi anak Umar bin Khattab itu dan berkata, “Ya Hafshah, hari ini Jibril datang kepadaku dan memerintahkan kepadaku “irji’ ilaa Hafshah, fainnaha hiya showwama, qowwama wa hiya azawaajuka fil jannah” (kembalilah kepada Hafshah, sesungguhnya ia wanita yang senantiasa puasa, mendirikan shalat, dan ia adalah istrimu kelak di surga).
Dialah Hafshah binti Umar, wanita yang mendapat pembelaan Jibril tatkala hendak diceraikan Rasulullah lantaran sifat pencemburunya. Jibril memberi penilaian obyektif atas diri Hafshah. Meski memiliki kelemahan dan kekurangan dengan sifat cemburunya, tapi Hafshah adalah wanita yang tekun beribadah. Ia rajin puasa sunnah dan tak pernah meninggalkan shalat tahajjud. Maka Jibril pun membelanya, bahkan menyampaikan jaminan Allah bahwa Hafshah termasuk salah satu istri Nabi di surga.
Kecemburuan istri-istrinya sebenarnya dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan manusiawi oleh Rasulullah. Apalagi, beliau dikenal orang yang paling sabar dalam menghadapi berbagai persoalan, termasuk ulah istri-istrinya. Namun, yang membuatnya marah adalah jika rasa cemburu itu mendorong istri-istrinya atau dirinya melakukan maksiat kepada Allah. Rasulullah pernah ditegur Allah lantaran mengharamkan madu dan istrinya Maria akibat ulah Hafshah. Rasa cemburu yang seperti inilah yang tidak dibenarkan Rasulullah.
Akibat rasa cemburunya yang berlebihan itu, Hafshah ditegur langsung oleh Allah melalui firman-Nya dalam surat At-Tahrim ayat 3 dan 4. Tapi, putri Umar bin Khattab itu pulalah yang dibela Jibril ketika hendak dicerai oleh Rasulullah karena memiliki kelebihan-kelebihan dalam sisi peribadatannya.

7. Fatimah, wanita yang berhati emas

SUATU hari, Hasan dan Husain sakit parah. Orang
tua mereka —Ali dan Fatimah— sangat kebingungan.
Akhirnya mereka bernazar jika —atas kemurahan Allah—
kedua putra mereka sembuh, mereka akan berpuasa
selama tiga hari berturut-turut.
Allah mendengar doa mereka dan tidak lama setelah
itu keduanya pun kembali pulih kesehatannya. Kedua
orangtua mereka pun memulai puasa nazar mereka.
Matahari rurun di ufuk barat dan hari pertama puasa
mereka berakhir. Ali dan Fatimah berbuka puasa dengan
segelas air dan kemudian melaksanakan shalat maghrib.
Setelah itu mereka bersiap-siap menyantap makanan
—sedikit roti gandum. Saat kedua tangan mereka menyentuh
roti itu, tiba-tiba terdengar suara ratapan seseorang.
“Demi cinta kepada Allah, sembuhkan rasa laparku
dan selamatkanlah keluargaku dari kelaparan.”
Fatimah melirik ke arah suaminya dan berkata, “Bagaimana
mungkin kita menampik permintaan pengemis itu
sedangkan kita makan hingga kenyang?”
Merasa gembira dengan respons suaminya, Fatimah
mengemas semua roti dan bergegas menuju pintu, dan
memberikan roti itu kepada si pengemis. Malam hari itu,
tak seiris roti pun melewati bibir mereka.
Hari kedua puasa tiba dan berakhir dengan terbenamnya
matahari. Setelah menunaikan shalat maghrib, mereka
bersiap-siap menyantap sedikit roti untuk berbuka. Belum
lagi bibir mereka menyentuh roti, lagi-lagi terdengar suara
meratap, “Demi cinta kepada Allah…!”
Segera Fatimah bergegas ke pintu dan ia melihat dua
anak yatim meminta makanan dengan suara penuh iba.
Pemandangan itu menggerakkan kelembutan hati
Fatimah. Ia kembali dan berkata kepada Ali, “Sudah menjadi
perintah Allah dan Rasul-Nya bahwa kita seyogyanya
membantu orang-orang miskin. Biarkan kedua anak yatim
itu memakan makanan kita!”
Tersentak oleh semangat istrinya, Ali setuju dan
mereka melewatkan malam yang kedua tanpa sesuap
makanan pun.
Dengan tubuh yang kuat ditambah dengan semangat
yang kukuh, mereka memenuhi kewajiban puasa di hari
berikutnya. Pada petang hari ketiga, mereka duduk menunggu
berbuka puasa dengan hati penuh gembira.
Ketika Rasulullah mendengar hal ini, Rasulullah
sangat bersuka-cita dan berseru bahwa semua generasi
akan mengucapkan selamat karena ia menjadi ayah dari
seorang wanita yang berhati emas itu.
—Studies in Mohammedanism (Poole)
202

8. Srikandi-Srikandi Perang Yarmuk

TUJUH tahun setelah peristiwa Uhud, masa-masa
kegelapan Islam telah berlalu. Rasulullah berhasil menaklukkan
Mekah dan mendeklarasikan pengampunan
massal kepada musuh-musuh beliau. Tersentuh oleh
keluhuran budi Rasulullah, orang-orang Mekah berkumpul
d:i hadapan beliau dan menyatakan syahadat.
Hindun tidak tinggal diam. Dia datang bersama pengikutpengikutnya
menghadap Nabi dan menyatakan masuk
Islam.
Rasulullah memberi mereka nasihat seraya berkata,
“Berjanjilah bahwa kalian tidak akan berbohong dan
melakukan zina!”
“Wahai Rasulullah, mungkinkah wanita terhormat
melakukan hal itu? tanya Hindun.
“Alangkah baiknya kalau kalian tidak melakukannya.
Berjanjilah bahwa kalian tidak akan membunuh anakanak
kalian!” lanjut Rasulullah.
“Kami yang membesarkan mereka. Kalianlah para
lelaki yang membawa mereka ke medan perang dan membunuh
mereka,” jawab Hindun lagi.
Rasulullah menatap si pembicara, “Apakah kamu
Hindun?”
“Benar Wahai Rasulullah.”
“Baiklah kalau begitu. Jangan ijinkan lagi lelaki kalian
membunuh mereka. Berjanjilah juga bahwa kalian tidak
akan mencuri.”
“Kadang-kadang aku melakukan hal ini, tetapi aku
mencurinya dari dompet suamiku; apakah itu juga termasuk
pencurian?”
Rasulullah tersenyum, “Bukan, itu bukan mencuri; tetapi
jangan menggunakan uang suami secara berlebihan.”
BEBERAPA tahun kemudian, api perang menyelimuti
cakrawala Yarmuk. Kekaisaran Romawi Timur tidak akan
pernah membiarkan negara persemakmuran Islam berkembang
luas hingga ke daerah yang berbatasan dengan
kerajaannya. Oleh sebab itu mereka memutuskan untuk
menghancurkan ancaman orang Islam yang semakin besar
meskipun masih dalam tahap perkembangan awalnya dan
mengirimkan satu ekspedisi militernya dengan kekuatan
penuh untuk tujuan tersebut.
Tentara muslim pun tidak
ketinggalan mempersiapkan kekuatannya untuk mempertahankan
eksistensi mereka. Akibatnya terjadilah
perang Yarmuk.
Hindun masih hidup pada waktu itu. Dia mencari
tahu maksud tentara Romawi. Dia meninjau persiapan
kaum muslimin dalam menghadapi bencana yang menghadang.
Meskipun kepalanya sudah bertabur uban, darah
Hindun masih tetap mendidih dalam urat nadinya.
Suatu hari ia pergi menemui teman-teman dan pengikut-
pengikut lamanya dan mengatakan dengan lantang,
“Seluruh negeri sedang dimobilisasi untuk menghadapi
perang Yarmuk. Bagaimana kalian masih sibuk menyisir
uban kalian dan berbagi kisah-kisah cengeng. Kawan, bersiaplah!
Mari kita berangkat ke medan laga dan memberikan
semangat kepada cucu-cucu kita yang maju ke medan
perang. Paling tidak hal fni bisa menggantikan kesalahankesalahan
yang pernah kita lakukan pada perang Uhud.
Dan jika kita beruntung, tombak dan anak panah musuh
akan menembus dada kita, niscaya pintu surga akan terbuka
lebar di hadapan kita!”
Para wanita itu menanggapi seruan Hindun dengan
serta-merta. Selang beberapa saat satu peleton pasukan
srikandi Islam di bawah pimpinan Hindun bergabung
dengan tentara muslim.
Pada malam menjelang perang, saat pasukan muslim
hendak maju ke medan perang, Hindun dan pasukan
srikandinya mendekati mereka dan seiring derap langkah
pasukan muslim, mereka menyanyikan lagu-lagu perjuangan:
Majulah! Saudara seiman, majulah!
Qur’an nan suci dalam dada kalian
—Pesan Kebenaran, Cahaya Tuhan—
Musnahkan tentara kafir
Majulah! Kaum muslimin, majulah!
Perang pun berkecamuk. Pasukan Islam bertempur
dengan gagah berani, tetapi keberanian mereka tidak
mampu menghadang kekuatan pasukan musuh yang jauh
lebih banyak. Sehingga pasukan muslim mulai terdesak
mundur.
Pada saat itu, tiba-tiba Hindun dan pasukan srikandinya
muncul di depan mereka. Dia mencabut seluruh
perhiasan dan kerudung yang ia pakai, lalu ia lemparkan
ke wajah tentara Islam seraya berteriak, “Wahai para
pengecut! Mau ditaruh di mana muka kalian bila kalian
pulang dengan membawa kekalahan? Dasar tidak tahu
malu. Jika kalian ingin melarikan diri, turun dari kuda
kalian, ambillah perhiasan ini dan pakailah, dan masuklah
kalian ke kamp kalian. Kami yang akan memacu kudakuda
kalian. Kami akan bertempur dan kami akan
menang.”
Arus pun berbalik. Pasukan muslim bertempur dengan
kekuatan baru dan berjuang habis-habisan hingga tentara
Romawi terpukul mundur pontang panting dan melarikan
diri.
Dengan menyanyikan lagu-lagu kemenangan,
Hindun dan pasukannya pulang ke kampung halaman
mereka. []
—Bin Hisham

9. Saudah binti Zam’ah, Wanita Gemuk Istri Rasulullah yang Berjiwa Periang

Sudah gilakah Muhammad, tuduh sebagian orang Makkah ketika Rasulullah saw menikahi Saudah binti Zam’ah. Pernikahan itu membuat gempar masyarakat Makkah. Bayangkan, meski seorang janda, Saudah bukanlah janda kembang yang menarik. Sebagai janda tua, sama sekali ia tidak menyisakan kecantikan di masa mudanya. Punya anak lagi.
“Apakah wanita semacam itu pantas untuk menggantikan posisi Khadijah? Padahal, banyak wanita lain yang lebih layak menggantikan Khadijah, baik dari segi kecantikannya, martabatnya, kekayaannya, maupaun usianya,” kata mereka.
Pendapat itu betul. Memang kehadiran Saudah bukan untuk menggantikan posisi Khadijah. “Aku mengawinin Saudah kerena dia adalah janda pahlawan yang perlu di santunin,” alasan Nabi.
Memang tidak ada satu sumberpun yang menyebutkan bahwa Saudah adalah cantik molek, berharta banyak, atau memiliki kedudukan yang memberi pengaruh dorongan hasrat duniawi dalam perkawinannya dengan Nabi. Nabi mengawini Saudah dengan maksud agar pejuang-pejuang muslim lainnya mengetahui bahwa jika mereka gugur untuk agama Allah, istri-istri dan anak-anaknya tidak akan dibiarkan hidup sengsara dalam kemiskinan. Banyak Muslim lainnya yang siap akan merawatnya.
Rasulullah memberikan contoh konkrit, bahkan ssampai rela mengawini janda syuhada’ itu. Sebagai pemimpin, beliau harus memberi contoh lebih dulu. Bagi Saudah perkawinan dengan Rasulullah itu adalah satu kehormatan yang tiada tara. Selain itu, dengan perkawinan akan meringankan beban hidupnya sebagai janda yang menanggung anaknya.
Sebagai wanita, ia selalu rendah hati. Sama sekali tak terkecoh dengan kedudukan tinggi suaminya, Rasulullah. Ia menyadari bahwa sebagai istri, dirinya sudah tua. Tak menarik lagi hati suami. Badannya gemuk, hingga tampak berat jika berjalan. Walau begitu, dia berjiwa periang. Bahkan sering ucapannya menimbulkan gelak tawa orang yang mendengarnya. Tanpa ragu-ragu, Saudah meyakini bahwa apa yang diterima dari Rasulullah suaminya adalah belas kasihan, bukan kemesraan sebagaimana yang diperoleh istri kepada suaminya itu. “Aku telah puas, Rasulullah mengangkat diriku sebagai istri dengan kedudukan semulia ini,” kata Saudah jujur.
Karena itu, ia menerima apa adanya tentang dirinya sebagai istri Rasulullah. Bahkan giliran untuk dirinya sebagai istri, dengan ikhlas diserahkan untuk ‘Aisyah madunya. Ia sudah merasa puas bisa tinggal di tengah keluarga Nabi, mengurus rumah tangganya, melayani serta membantu putra-putrinya. Ummi mu’miniin ini berusia panjang, dan baru wafat di zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab.
Hijrah Pertama
Sakran bin Abdus Syams bin Abdi Wudd al Quraisy al Amiry, adalah masih sepupu Saudah sendiri. Seorang lelaki yang cukup gigih mempertahankan keislamannya dari penindasan dan pengejaran Quraisy. Sebagai Islam pemula, pasangan itu merasakan betapa pahit-getirnya perjuangan menjadi Islam yang penuh siksaan dan penderitaan. Karena tak kuat lagi menderita cacian dan siksaan, keduanya hijrah ke negeri Habsyah atau Abisinia atas saran Nabi.
Peristiwa hijrah pertama itu terjadi tahun 615 M. waktu itu ada delapan orang Bani Amir yang hijrah meninggalkan kampung halaman berjalan kaki menelusuri gurun sahara yang panas terik serta mengarungi lautan menuju Habsyah. Di antara mereka itu ada Malik bin Zam’ah bin Qais bin Abdusy Syams yang masih saudara sepupu Saudah. Juga Sakran bin Qais bin Abdusy Syams al Amiry, saudara sepupu dan suami saudah. Lalu Salith dan Hathib dua anak lelaki Amir bin Andus Syams, serta Abdullah bi Suhail bin Amr saudara seppupu Sakran. Tiga dari delapan Muhajirin itu, diikuti istrinya masing-masing, yakni Saudah binti Zam’ah, Ummu Kaltsum binti Suhail, dan Umrah binti al Wuqdan. Semuanya adalah cucu-cucu Abdusy Syams.
Mereka pergi ke Abisinia yang selama ini belum pernah dikenalnya. Hidup di negeri orang yang bukan serumpun dan berseketurunan, lain bangsa, lain budaya, dan lain pula bahasanya. Itulah tantangan berat yang dihadapi Saudah beserta suaminya di perantauan.
Bahkan, nasib malang masih menimpanya dengan cobaan lebih berat. Dalam perjalanan kembali ke kampung halaman di Makkah, sakran meninggal dunia dan dimakamkan di Makkah. Bisa dibayangkan betapa berat penderitaan Saudah sepeninggal suaminya, hidup tak ada lagi tempat berpijak dan bergantung. Akan tetapi, wanita itu begitu mulia, semulia suaminya yang wafat sebagai syuhada’.
Betapa merananya Saudah yang terpaksa mengasuh seorang anaknya, sementara Zam’ah ayahnya sudah tua renta. Wanita semacam inilah yang dinikahi Nabi hanya semata-mata karena pertimbangan untuk menyantuni para janda pahlawan. Saudah adalah wanita yang setia. Janda pahlawan yang begitu tabah mengalami segala penderitaan dan cobaan. Jika karena itu, Muhammad kemudian mengawininya untuk memberi perlindungan dan memberikan tempat setaraf ummul mu’minin, sungguh beliau pantas mendapatkan pujian dan penghargaan atas pengorbanannya.

10. Bau Harum Kuburan Masyithah

Masyithah pelayan putri Fir’aun. Ia ibu yang melahirkan putra-putra berlian. Wanita yang berani mempersembahkan jiwa-raga untuk agama Allah swt. Ia seorang bunda yang memiliki sifat kasih sayang dan kelembutan. Mencintai anak-anaknya dengan cinta fitrah ibu yang tulus. Masyithoh berjuang, bekerja, dan rela letih untuk membahagiakan mereka di dunia dan di akhirat.
Bayangkan, anaknya yang terkecil direnggut dari belaian tangannya. Si sulung diambil paksa. Keduanya dilemparkan ke tengah tungku panas timah membara. Masyithah menyaksikan itu semua dengan mata kepalanya sendiri. Kalbu ibu mana yang tidak bergetar. Hati ibu mana yang tidak hancur bersama luruhnya jasad buah hatinya. Jiwa ibu mana yang tidak tersembelih dan membekaskan rasa sakit dengan luka menganga? Masyithah melihat sendiri si sulung dan si bungsu menjerit kesakitan terpanggang di tungku timah panas membara.
Itulah peristiwa dahsyat yang dihadapi Masyithah, sosok yang menakjubkan dalam cinta kepada Allah swt. Ia seorang ibu mukminah yang sangat sabar dan memiliki anak-anak yang shalih lagi baik hati. Cinta yang bersemayam dalam hati mereka adalah gejolak iman yang mampu melahirkan sebuah pengorbanan yang sempurna. Kehidupan dunia tidak mampu mengalihkan mereka dari cita-cita meraih keridhaan Sang Pencipta. Inilah hakikat yang sebenar-benarnya: Iman yang baik akan mampu mengalahkan tarikan dunia dengan segala isinya.
Tidak diragukan lagi, siapa yang pernah merasakan pahitnya kezhaliman meskipun sesaat, mencicipi sakitnya siksaan meskipun sebentar, pasti akan tahu mengapa Rasulullah saw bersabda, ”Kezhaliman akan membawa kegelapan di hari kiamat.” (Bukhari)
Masyithah telah merasakan beragam kezhaliman dan penyiksaan. Semua ketidaknyamanan itu dihadapinya dengan tegar sampai akhirnya ia bertemu dengan Tuhannya dengan ridha dan diridhai. Masyithah mengajarkan kepada kita tentang sempurna dalam berkorban dan total dalam berderma. Ia telah sukses mendidik anak-anaknya untuk mempersembahkan nyawa mereka untuk Allah swt.
Rasulullah saw. bercerita kepada kita, “Ketika menjalani Isra’ dan Mi’raj, aku mencium bau yang sangat harum.” “Wahai Jibril, bau harum apa ini?” tanya Rasulullah. Jibril menjawab, “Ini bau harum Masyithah –pelayan putri Fir’aun– dan anak-anaknya.” Saya bertanya, “Apa kelebihan Masyithah?”
Jibril menjawab, ”Suatu hari Masyithah menyisir rambut putri Fir’aun. Sisirnya jatuh dari tangannya. Ia berkata, ‘Bismillah.’ Putri Fir’aun kaget dan berkata kepadanya, ‘Dengan menyebut nama ayahku.’ Ia menolak. ‘Tidak. Akan tetapi Tuhan saya dan Tuhan ayah kamu adalah Allah.’ Ia menyuruh putri itu untuk menceritakan peristiwa tersebut kepada ayahnya.
Putri itu pun menceritakan kepada Fir’aun. Maka Fir’aun memanggil Masyithah. Fir’aun bertanya, “Wahai Fulanah, apakah engkau punya Tuhan selain aku?” Ia menjawab, “Ya, Tuhan saya dan Tuhan kamu adalah Allah.” Fir’aun marah besar. Ia memerintahkan dibuatkan tungku besar yang diisi timah panas; agar Masyithah dan anak-anaknya dilemparkan ke dalamnya. Masyithah tidak menyerah. Begitu juga anak-anaknya. Masyithoh meminta satu hal kepada Fir’aun, “Saya minta tulangku dan tulang anak-anakku dibungkus menyatu dengan kain kafan.” Fir’aun menuruti permintaannya.
Sungguh, Masyithah wanita terhormat lagi mulia. Ia hidup di istana raja. Ia dekat kekuasaan karena tugasnya merawat anak Fir’aun. Akan tetapi keimanan kepada Allah swt. telah membuncah di kalbunya. Kadang ia menyembunyikan keimanannya seperti yang dilakukan istri atau keluarga Fir’aun yang muslim lainnya.

11. Mendapat Berkat Setelah Membaca Bismillah

Ada seorang perempuan tua yang taat beragama, tetapi suaminya seorang yang fasik dan tidak mau mengerjakan kewajiban agama dan tidak mau berbuat kebaikan. Perempuan itu senantiasa membaca Bismillah setiap kali hendak berbicara dan setiap kali dia hendak memulai sesuatu senantiasa didahului dengan Bismillah. Suaminya tidak suka dengan sikap isterinya dan senantiasa memperolok-olokkan isterinya. Suaminya berkata sambil mengejek, “Asyik Bismillah, Bismillah. Sebentar-bentar Bismillah.”
Isterinya tidak berkata apa-apa sebaliknya dia berdoa kepada Allah S.W.T., supaya memberikan hidayah kepada suaminya. Suatu hari suaminya berkata : “Suatu hari nanti akan aku buat kamu kecewa dengan bacaan-bacaanmu itu.” Untuk membuat sesuatu yang mengagetkan isterinya, dia memberikan uang yang banyak kepada isterinya dengan berkata, “Simpan duit ini.” Isterinya mengambil duit itu dan menyimpan di tempat yang aman, di samping itu suaminya telah melihat tempat yang disimpan oleh isterinya. Kemudian dengan diam-diam suaminya itu mengambil duit tersebut dan membuang  dompet duit ke dalam sumur di belakang rumahnya.
Setelah beberapa hari kemudian suaminya itu memanggil isterinya dan berkata, “Berikan padaku uang yang aku berikan kepada engkau dahulu untuk disimpan.” Kemudian isterinya pergi ke tempat dia menyimpan duit itu dan diikuti oleh suaminya dengan berhati-hati dia menghampiri tempat dia menyimpan duit itu dia membuka dengan membaca, “Bismillahirrahmanirrahiim.” Ketika itu Allah S.W.T. mengantar malaikat Jibrail A.S. untuk mengembalikan dompet duit dan menyerahkan duit itu kepada suaminya kembali.
Alangkah terperanjat suaminya, dia berasa bersalah dan mengaku segala perbuatannya kepada isterinya, ketika itu juga dia bertobat dan mula mengerjakan perintah Allah, dan dia juga membaca Bismillah apabila dia hendak memulai suatu kegiatan atau pekerjaan.

12. Balasan Karena Durhaka Terhadap Suami

Setiap malam, seorang ibu dari keturunan Bani Israil berendam air mata. Hatinya dibalut rasa pilu setiap kali menatap anaknya yang menderita disebabkan penyakit misteri. Selain berdoa siang dan malam, si ibu berusaha mengobati anaknya itu. Namun tiada tanda penyakitnya akan sembuh, sebaliknya bertambah parah.
Suatu malam, setelah memberikan anaknya obat, dengan linangan air mata, si ibu berdoa ke hadirat Allah, sekali gus bernazar jika penyakit anaknya sembuh. Dengan kehendak Allah, tidak berapa lama kemudian, si anak yang sekian lama terlantar perlahan-lahan sembuh. Selera makannya bertambah dan dalam waktu terdekat, dia kembali pulih.
Sekali lagi dengan iringan air mata, si ibu tak henti-henti memanjatkan rasa syukur kepada Allah. Sesungguhnya dia merasa cukup terharu selepas doanya dikabulkan. Sambil tersenyum dia mengusapkan rambut anak lelakinya itu dengan penuh kasih sayang. Lantaran terlampau gembira, ibu tadi terlupa menunaikan nazar yang dilafazkan ketika berdoa. Hinggalah pada suatu malam, dia bermimpi dikunjungi seorang lelaki tua yang tidak dikenalinya.
Lelaki itu berkata kepadanya dalam nada marah, “Hai perempuan! Tunaikanlah nazarmu agar kelak engkau tidak ditimpa musibah daripada Allah.” Sejurus kemudian lelaki tersebut lenyap dan si ibu tersentak daripada tidurnya. Beberapa kali dia beristighfar sambil mengurut dadanya yang berdebar kencang. Digosok-gosok kelopak matanya, kemudian dia termenung memikirkan mimpi itu. Perasaan takut telah menerjang-nerjang nalurinya.
Keesokan malamnya, si ibu memanggil anaknya. Lalu diceritakan perintah lelaki tua dalam mimpinya serta nazar yang belum ditunaikan. “Nazar apa?” tanya si anak. “Begini… semasa kamu sakit tempo hari, ibu bernazar sekiranya kau sembuh,ibu berjanji untuk keluar dari dunia ini selama tujuh hari. Doa ibu dikabulkan tapi hingga ke hari ini nazarnya belum dapat ditunaikan,” jelas si ibu. “Apa yang mesti kita lakukan?” tanya si anak setelah agak lama termenung. “Apa lagi galikan sebuah lubang kubur untuk ibu!” perintah si ibu. “Gali kubur? Tapi.. bukankah kubur hanya untuk orang mati?”. Soal si anak penuh keheranan. “Sudah, jangan banyak tanya. Gali kubur, kemudian timbunkan ibu. Setelah tujuh hari, kau galilah semula. Insya Allah ibu akan selamat,” ujar si ibu dengan lembut.
Dalam keadaan tergesa-gesa, si anak setuju dengan perintah ibunya. Lalu dia segera mengambil cangkul, melakukan apa yang disuruh. Setelah selesai si anak membaringkan tubuh ibunya dalam liang lahat. Dengan linangan air mata, si ibu menadah tangan lalu berdoa: “Ya Allah, Engkau telah memenuhi permintaan dan doaku. Sekarang aku akan tunaikan nazarku. Peliharalah aku daripada kebinasaan alam kubur ini, ya Allah dan selamatkanlah anakku.”
Dalam keadaan serba salah si anak meletakkan papan keranda dan menyodok tanah untuk menimbun lubang kukur itu. Dia kemudian berjalan pulang sambil air matanya tak henti-henti mengalir. “Mungkin ibuku sedang meronta-ronta kelemasan sebelum menghembuskan nafas terakhir,” bisik si anak mengenangkan nasib sibunya. Si anak mengira hari dan dirasakannya waktu terlalu lambat bergerak. Namun sesaat pun si anak tidak lupa memohon agar Allah senatiasna memelihara ibunya.
Didalam kubur, si ibu merasakan lubang kuburnya semakin hari semakin luas. Beberapa ketika kemudian, dia terpandang pancaran cahaya disebelah kanan kepalanya. Lalu dia menoleh. Didapati ada suatu lubang kecil di sebelahnya yang amat terang. Apabila di intainya ternampaklah sebuah taman yang penuh dengan bunga-bungaan yang amat indah. Belum pernah dia melihat taman seindah itu seumur hidupnya.
Si ibu tambah tersentak apabila ternampak dua wanita sedang duduk di tepi sebuah kolam yang jernih airnya. Seorang berwajah muram sementara yang seorang lagi begitu ceria. Menyadari kehadirannya, wanita berwajah ceria bersuara: “Wahai perempuan, silakan masuk dan duduklah bersama kami” sapanya penuh sopan. Sejurus itu lubang kecil di kubur si ibu perlahan-lahan membesar sehingga memudahkannya berjalan masuk ke taman tersebut. Dihampirinya kedua-dua wanita itu. Tiba-tiba muncul seekor burung, lalu melebarkan sayapnya ke atas kepala wanita ceria itu. Tidak berapa lama kemudian, seekor lagi datang mematuk- matuk kepala wanita berwajah muram itu.
Kejadian itu memeranjatkan si ibu. Dia bertanya kepada perempuan yang dipayungi burung itu. “Bagaimana kamu memperolehi kemulian ini?” tanyanya lagi. “Semasa di dunia, aku mentaati suamiku. Semasa aku kembali menemui Tuhan, dia redha kepadaku sehingga kini. Maka Allah muliakan aku seperti mana kamu lihat.” Setelah itu, si ibu tadi bertanya pula kepada wanita yang melolong-lolong setiap kali burung mematuk kepalanya. “Semasa di dunia,” jawabnya tersekat-sekat, “aku perempuan yang soleh, tidak pernah aku melanggar perintah Allah, tetapi aku sering kali durhaka kepada suamiku.” Apabila aku meninggal, dia berada dalam keadaan tidak redha kepadaku… maka itulah Allah jadikan kubur ini tempat penyiksaan. “Jika kamu kembali ke dunia nanti, ceritakan kepada suamiku, yang aku memohon ampun dan maaf.” “Insya Allah,” jawab si ibu tadi perlahan, menahan hiba.
Tujuh hari kemudian,setelah tinggal bersama-sama dua orang wanita tersebut, si ibu masuk semula ke kuburnya. Ketika bangun  anak lelaki ibu tadi sudah berada di sisinya. Kedua-dua anak beranak itu berpelukan dengan air mata berlinangan karena tidak menyangka dapat berjumpa lagi. Kemudian si anak membawa ibunya pulang, gemparhlah  seluruh kampung bahwa si ibu telah kembali lagi setelah seminggu dikebumikan.
Berduyun-duyunlah orang menziarahi perempuan tersebut, bertanyakan pengalamannya selama tujuh hari berada dalam kubur. Di antara yang hadir itu termasuklah suami perempuan kedua yang ditemui si ibu tadi semasa di alam kubur. Setelah mendengar pengalamannya, lelaki itu pun bersuara. “Dialah arwah isteri saya” kata lelaki itu sayu. “Malang sekali, sekarang dia sedang disiksa karena durhaka kepada kamu, Ampunilah dia agar arwah dapat ketenangan di sana,” jelas ibu itu. “Baiklah… aku ampunkan segala dosanya terhadapku dan aku redha dengan kepergiannya,” sambung lelaki itu lagi.
Aneh, malam itu si ibu bermimpi didatangi perempuan yang dipatuk burung. “Bagaimana keadaan kamu sekarang?” tanya si ibu itu. “Alhamdulillah, aku selamat daripada siksaan karena pertolonganmu menyampaikan pesan agar suamiku memaafkan dosaku. Semoga Allah membalas kebaikanmu dan mengampunkan engkau,” ujar wanita itu terharu. Si ibu terjaga lantas beristighfar beberapa kali.

13. Wanita Cantik yang menjadi Ahli Ibadah

Abul Faraj bin Jauzy menceritakan sebuah kisah bahwa ada seorang wanita cantik di Mekah. Wanita itu sudah bersuami. Suatu hari, aku sempat melihat wajahnya karena pantulan cermin, lalu wanita itu berkata kepada suaminya, ” Apakah menurutmu bila ada seseorang yang melihat wajah cantiku ini lalu dibiarkan begitu saja.?” Suaminya menjawab, ‘Tentu Tidak. ” Suaminya lanjut bertanya, “Memangnya siapa?’ Wanita itu menjawab, “Ubaid bin Umair.Izinkan aku untuk memberinya pelajaran.” Suaminya balas menjawab, “Aku izinkan kamu.”
Kemudian, wanita itu mendatangi Ubaid bin Umair seakan-akan ingin bertanya tentang sesuatu, maka keduanya pergi kepojok Masjidil haram dan wanita itu membuka cadarnya, lalu wajahnya terlihat seperti separuh purnama.
Ubaid  yang mulai bicara terlebih dahulu,
“Hamba Allah, tutplah wajahmu itu!”
Wanita itu balas menimpali, “Kehormatanku telah dicoreng olehmu.”
Ubay kemnali berkata, “Aku ingin bertanya sesuatu kepadamu, bila kamu menjawabnya dengan jujur maka aku akan menurut padamu. “
Wanita itu menjawab, ‘Semua pertanyaan yang kamu lontarkan akan aku jawab dengan jujur.”
“Katakan, jika malaikat maut mendatangimu untuk mencabut nyawamu, apakah kamu masih tetap melampiaskan keinginanmu?” tanya Ubaid.
“Tentu tidak. ” Balas wanita itu.
“Kamu benar.Kemudian, bila kamu sudah masuk kubur lalu mulai diajukan pertanyaan oleh malaikat, apakah kamu masih ingin melampiaskan keinginanmu?” tanya Ubaid kembali.
Wanita itu menjawab lagi, “Tentu juga tidak.”
“Kamu benar lagi. Lalu,ketika semua orang diberikan catatan amal perbuatannya, sedangkan kamu sendiri tidak tahu akan mengambil catatanmu itu dengan tangan kanan atau tangan kirimu, apakah kamu masih ingin melampiaskan keinginanmu?” Ujar Ubaid.
“Tentu tidak,” timpal wanita itu.
“Kamu benart. Lalu,ketika kamu ingin melewati jembatan dan kamu tidak tahu akan selamat atau akan jatuh dari jembatan itu, apakah kamu masih ingin melakukan keinginanmu?” ujar Ubaid lagi.
“Tentu tidak, ” balas wanita itu.
Ubaid segera menimpali, ” Kamu benar. Kemudian, ketika timbangan dihadirkan lalu kamu dipanggil dan tidak tahu apakah timbanganmu aitu ringan atau berat, apakah kamu masih sibuk ingin memenuhi keinginanmu?”
Wanita itu kembali menjawab, “Tentu tidak.”
“Kamu benar. Karena itu, bertaqwalah kepada Allah. dia telah memberimu karunia dan membuatmu memiliki wajah yang cantik,” balas Ubaid.
Kemudian , wanita itu segera kembali kesuaminya. Lalu suaminya bertanya, “Apa yang telah kamu lakukan?” Istrinya menjawab.
“Kamu pengangguran dan kita semua juga pengangguran.”
Setelah kejadian itu, wanita cantik Mekah itu mulai rajin sholat, puasa, dan tekun beribadah lainnya.Suaminya sempat berkomentar,
“Apa sebenarnya yang terjadi antara aku dan Ubaid bin Umair. Ia telah merusak istriku. Dulunya , setip malam isriku selalu menjadi pengantin dan kini ia menjadi seorang ahli ibadah.”

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar