Sabtu, 12 Februari 2011

Kisah-Kisah Ayah Ibu

1. Hak Ibu Lebih Besar Dari Pada Hak Ayah

Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Di dalam surat Al-Ahqaf ayat 15 Allah Subhanahu wa Ta’alaa berfirman :
“Artinya : Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a, “Ya Rabb-ku, tunjukkilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang Engkau ridlai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”.
Ukuran terendah mengandung sampai melahirkan adalah 6 bulan (pada umumnya adalah 9 bulan 10 hari) di tambah 2 tahun menyusui anak jadi 30 bulan, sehingga tidak bertentangan dengan surat Lukman ayat 14. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir]
Dalam ayat ini disebutkan bahwa ibu mengalami tiga macam kepayahan, yang pertama adalah hamil kemudian melahirkan dan selanjutnya menyusui. Karena itu kebaikan kepada ibu tiga kali lebih besar dari pada kepada bapak.
Dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
“Artinya : Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Datang seseorang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali ?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi ?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ibumu!’ Ia bertanya lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ibumu!’, Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi, ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Bapakmu’ “[Hadits Riwayat Bukhari (Al-Fath 10/401) No. 5971, Muslim 2548]
Imam Adz-Dzhabai dalam kitabnya Al-Kabair berkata:
“Ibumu telah mengandungmu di dalam perutnya selama sembilan bulan seolah-olah sembilan tahun. Dia bersusah payah ketika melahirkanmu yang hampir saja menghilangkan nyawanya. Dan dia telah menyusuimu dari teteknya, dan ia hilangkan rasa kantuknya karena menjagamu. Dan dia cuci kotoranmu dengan tangan kanannya, dia utamakan dirimu atas dirinya serta atas makanannya. Dia jadikan pangkuannya sebagai ayunan bagimu. Dia telah memberikannmu semua kebaikan dan apabila kamu sakit atau mengeluh tampak darinya kesusahan yang luar biasa dan panjang sekali kesedihannya dan dia keluarkan harta untuk membayar dokter yang mengobatimu dan seandainya dipilih antara hidupmu dan kematiannya, maka dia akan meminta supaya kamu hidup dengan suara yang paling keras.
Betapa banyak kebaikan ibu, sedangkan engkau balas dengan akhlak yang tidak baik. Dia selalu mendo’akanmu dengan taufiq, baik secara sembunyi maupun terang-terangan. Tatkala ibumu membutuhkanmu di saat di sudah tua renta, engkau jadikan dia sebagai barang yang tidak berharga disisimu. Engkau kenyang dalam keadaan dia lapar. Engkau puas dalam keadaan dia haus. Dan engkau mendahulukan berbuat baik kepada istri dan anakmu dari pada ibumu. Dan engkau lupakan semua kebaikan yang pernah dia buat. Dan rasanya berat atasmu memeliharanya padahal adalah urusan yang mudah. Dan engkau kira ibumu ada di sisimu umurnya panjang padahal umurnya pendek. Engkau tinggalkan padahal dia tidak punya penolong selainmu.
Padahal Allah telah melarangmu berkata ‘ah’ dan Allah telah mencelamu dengan celaan yang lembut. Dan engkau akan disiksa di dunia dengan durhakanya anak-anakmu kepadamu. Dan Allah akan membalas di akhirat dengan dijauhkan dari Allah Rabbul ‘Aalamin. Dan Allah berfirman di dalam surat Al-Hajj ayat 10 :
“Artinya : (Akan dikatakan kepadanya), ‘Yang demikian itu, adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tanganmu dahulu dan sesungguhnya Allah sekali-kali tidak pernah berbuat zhalim kepada hamba-hambaNya”.
Demikianlah dijelaskan oleh Imam Adz-Dzahabi tentang besarnya jasa seorang ibu terhadap anak dan menjelaskan bahwa jasa orang tua kepada anak tidak bisa dihitung. Ketika Ibnu Umar menemui seseorang yang menggendong ibunya beliau mengatakan, “Itu belum bisa membalas”. Kemudian juga beberapa riwayat[1] disebutkan bahwa seandainya kita ingin membalas jasa orang tua kita dengan harta atau dengan yang lain, masih juga belum bisa membalas. Bahkan dikatakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Kamu dan hartamu milik bapakmu” [Hadits Riwayat Ibnu Majah dari Jabir, Thabrani dari Samurah dan Ibnu Mas'ud, Lihat Irwa'ul Ghalil 838]
[Disalin dari Kitab Birrul Walidain, edisi Indonesia Berbakti Kepada Kedua Orang Tua oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, terbitan Darul Qolam - Jakarta]
_________
Foote Note.
[1] Shahih Ibnu Majah No. 1855

2. Seandainya Orang Tua Menyuruh Untuk Bercerai

Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Apabila kedua orang tua menyuruh anak untuk menceraikan istrinya, apakah harus ditaati atau tidak ?
Dibawah ini dibawakan beberapa hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam, diantaranya yang diriwayatkan Imam Tirmidzi dan Abu Dawud.
“Artinya : Dari sahabat Abdullah bin Umar berkata : “Aku mempunyai seorang istri serta mencintainya dan Umar tidak suka kepada istriku. Kata Umar kepadaku, ‘Ceraikanlah istrimu’, lalu aku tidak mau, maka Umar datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakannya, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, ‘Ceraikan istrimu’” [Hadits Riwayat Abu Dawud 5138, Tirmidzi 1189, dan Ibnu Majah 2088]
Hadits kedua diriwayatkan oleh Abu Darda.
“Artinya : Dari Abu Darda Radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang datang kepadanya berkata, “Sesunggguhnya aku mempunyai seorang istri dan ibuku menyuruh untuk menceraikannya. Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Orang tua itu adalah sebaik-baik pintu surga, seandainya kamu mau maka jagalah pintu itu jangan engkau sia-siakan maka engkau jaga” [Hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Tirmidzi mengatakan hadits ini Hasan Shahih].
Hadist ini dijadikan dalil oleh sebagian ulama bahwa seandainya orang tua kita menyuruh untuk menceraikan istri kita, wajib ditaati. [Nailul Authar 7/4]
Ini terjadi bukan hanya pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja tetapi juga pada zaman Nabi Ibrahim ‘Alaihis Shalatu wa sallam. Ketika Ibrahim ‘Alaihi Shalatu wa sallam berkunjung ke rumah anaknya -Ismail ‘Alaihi salam- dan anaknya saat itu tidak ada di tempat, kemudian Ibrahim berkata kepada istri Ismail ‘Alaihi Salam, “Sampaikan pada suamimu hendaklah dia mengganti palang pintu ini” . Ketika Ismail datang, istrinya mengatakan bahwa ada orang tua yang datang menyuruh ganti palang pintu. Ismail kemudian mengatakan bahwa orang tua yang datang itu adalah ayahnya yang menyuruh menceraikan istrinya. [Hadits Riwayat Bukhari no. 3364 (Fathul Baari 6/396-398)]
Sebagian ulama yang lain mengatakan jika orang tua kita menyuruh menceraikan istri tidak harus diataati. [Masaail min Fiqil Kitab wa Sunnah hal. 96-97]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika ditanya tentang seseorang yang sudah mempunyai istri dan anak kemudian ibunya tidak suka kepada istrinya dan mengisyaratkan agar menceraikannya, Syaikhul Islam berkata, “Tidak boleh dia mentalaq istri karena mengikuti perintah ibunya. Menceraikan istri tidak termasuk berbakti kepada Ibu” [Majmu' Fatawa 33/112]
Ada orang bertanya kepada Imam Ahmad, “Apakah boleh menceraikan istri karena kedua orang tua menyuruh untuk menceraikannya ?” Dikatakan oleh Imam Ahmad, “Jangan kamu talaq”. Orang tersebut bertanya lagi, “Tetapi bukankah Umar pernah menyuruh sang anak menceraikan istrinya ?” Kata Imam Ahmad, “Boleh kamu taati orang tua, jika bapakmu sama dengan Umar, karena Umar memutuskan sesuatu tidak dengan hawa nafsu” [Masail min Fiqil Kitab wa Sunnah hal. 27]
Permasalahan mentaati perintah orang tua ketika diminta untuk menceraikan istri, sudah berlangsung sejak lama. Oleh karena itu para imam (aimmah) sudah menjelaskan penyelesaian dari permasalahan tersebut. Pada zaman Imam Ahmad (abad kedua) dan zaman Syaikhul Islam (abad ketujuh) permasalahan ini sudah terjadi dan sudah dijelaskan bahwa tidak boleh taat kepada kedua orang tua untuk menceraikan istri karena hawa nafsu. Kecuali jika istri tidak taat pada suami, berbuat zhalim, berbuat kefasikan, tidak mengurus anaknya, berjalan dengan laki-laki lain, tidak pakai jilbab (tabaruj/memperlihatkan aurat), jarang shalat dan suami sudah menasehati dan mengingatkan tetapi istri tetap nusyuz (durhaka), maka perintah untuk menceraikan istri wajib ditaati. Wallahu ‘Alam
[Disalin dari Kitab Birrul Walidain, edisi Indonesia Berbakti Kepada Kedua Orang Tua oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, terbitan Darul Qolam - Jakarta.]

3. Orang Tua Melakukan Perbuatan Yang Bertolak Belakang Dengan Syari’at

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Orang tua saya melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan syari’at dan adab-adabnya. Apa yang harus di lakukan terhadap ayah dalam kondisi seperti ini.?

Jawaban.
Waalaikumssalam warahmatullahi wabarakatuhu
Kami do’akan semoga Allah memberikan petunjuk kepada ayah anda dan menganugrahinya taubat. Kami sarankan agar anda bersikap lembut terhadapnya dan menasehatinya dengan cara yang sopan serta tidak putus asa akan kemungkinan mendapat hidayah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya ; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepadaKu-lah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepadaKu”. [Luqman : 14-15]  
Allah mewasiatkan agar berterima kasih kepada kedua orang tua disamping bersyukur kepadaNya. Allah juga memerintahkan agar sang anak memperlakukan kedua orang tua dengan cara yang baik walaupun mereka memaksanya berbuat kufur terhadap Allah. Berdasarakan ini anda tahu, bahwa yang disyariatkan bagi anda adalah tetap memperlakukan ayah anda dengan baik, tetap berbuat baik kepadanya walaupun ia bersikap buruk terhadap anda. Terus berusaha mengajaknya kepada al-haq. Kendati demikian, anda tidak boleh mematuhinya dalam hal kemaksiatan.
Kami sarankan juga agar anda memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memberinya petunjuk, di samping itu perlu juga meminta bantuan kepada orang-orang baik dari kalangan kerabat anda, seperti paman-paman anda dan sebagainya, terutama orang-orang yang dihormati dan disegani oleh ayah anda. Mudah-mudahan ia mau menerima nasehat mereka. Semoga Allah memberikan petunjuk untuk bertaubat nasuha kepada kami, anda dan ayah anda. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Mahadekat.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu
[Majmu Fatawa wa Maqalat Mutawwi'ah, juz 5, hal. 356, Syaikh ibnu Baz]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq]

4. ORANG TUA MELARANG PERNIKAHAN SATU SUKU

Syaikh Husain Al-Awayisyah ditanya : Saya pemuda berumur 29 tahun. Menimbang umur yang sudah layak untuk berumah tangga, saya ingin berumah tangga dengan seorang gadis yang berasal dari satu suku. Orang tua kami tidak setuju karena adat dalam suku kami melarang pernikahan lelaki dan perempuan yang berasal dari satu suku. Kami sudah banyak menempuh cara dan menyampaikan hujjah berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Namun tetap mengalami jalan buntu. Apakah yang harus kami lakukan?
Jawaban
Berbicara tentang budaya yang dimaksud, itu merupakan budaya yang tidak baik. Hendaknya orang-orang bertakwa kepada Allah dan merubah barometer (dasar penilaian dan standar ini). Pastinya, barometer mereka harus hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Jika telah datang kepada kalian orang yang kalian ridha kepada agamanya, maka nikahkanlah”
Hanya saja, mungkin telah mengakar pada diri mereka perkara-perkara yang tidak dibenarkan oleh syari’at ini. Akan tetapi, kami mengatakan, jika orang tua memang melarang si anak (untuk menikah dengan gadis yang disebutkan), maka kewajiban anak ini agar menempuh segala upaya sampai melegakan perasaan orang tua, memohon kemudahan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui do’a, menyampaikan hujjah-hujjah dan hal-hal lain yang membuat hati kedua orang tuanya terbuka. ika tetap saja menemui jalan buntu, kami katakan kepada sang pemuda, janganlah engkau mengawali hidup rumah tangga dengan awal yang buruk (dengan melakukan penentangan kepada orang tua, -pent). Karena berbakti kepada orang tua hukumnya wajib. Memang benar disebutkan dalam hadits.
“Tidak ada (kewajiban) taat kepada makhluk dalam mendurahakai Al-Khaliq (Allah)”.
Akan tetapi, sang pemuda harus mencermati kaidah menimbang antara mashalih dan mafasid (antara besarnya kemaslahatan dan bahaya). Apabila hidup rumah tangganya akan berawal dengan pemutusan hubungan silaturahmi dengan kedua orang tuanya, perlu ia ketahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan kaum wanita yang banyak di belahan bumi Timur dan Barat selain wanita yang dimaksud. Apakah kemudian pilihannya hanya terpaku pada gadis ini saja ?!
Yang menjadi masalah, apabila telah muncul benih-benih kasmaran sebelumnya. Kalau demikian faktanya, inilah masalah sebenarnya. Sesuatu yang dibangun di atas asas yang rusak, maka bangunannya pun rusak.
Cobalah pemuda itu mencari gadis lain yang diridhai oleh orang tuanya. Ibu mau menerima. Ayah juga mau menerimanya. Gadis yang tipenya sesuai dengan keinginannya dari sisi rupa, tingkat keagamaan, nasab dan status sosial serta persetujuan orang tua. Wanita dinikahi karena empat perkara, yaitu karena kecantikan, harta, nasab dan agamanya. Tinggal perkara nomor lima, ialah ridha orang tua.
Namun ketika urusan yang longgar dipersempit dimensinya, terjadilah peristiwa seperti ini. Ingatlah, di dunia ini tidak hanya terdapat satu gadis itu saja. Wallahu a’lam.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]

5. Ingin Menikahi Janda Akan Tetapi Ibu Melarang, Apa Yang Harus Saya Lakukan ?

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya :
Saya ingin menikahi seorang janda ayah sayapun sudah setuju, demikian juga dengan wanita tersebut dan keluarganya, semua setuju atas pernikahan saya itu. Hanya ibu saya yang tidak setuju dan tidak menyukainya. Apakah saya boleh menikahi wanita itu tanpa mempedulikan kerelaan ibu saya, atau tidak boleh ? Apakah saya terhitung bebuat durhaka terhadap ibu saya bila saya tetap menikahi wanita itu? Tolong beri penjelasan kepada saya, semoga Allah memberikan pahala kepada Anda.
Jawaban
Hak seorang ibu sangat besar. Berbakti kepadanya termasuk kewajiban terpenting. Yang saya nasihatkan kepada anda adalah agar tidak usah menikahi wanita tersebut yang tidak diridhai oleh ibu anda. Karena seorang ibu adalah orang yang harus paling didengar nasihatnya. Kemungkinan ibu anda mengetahui akhlak wanita tersebut yang akan membahayakan diri anda. Sementara wanita selain dia masih banyak lagi.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya”. [Ath-Thalaaq : 2-3]
Tidak diragukan lagi bahwa berbakti kepada ibu termasuk perbuatan takwa, kecuali kalau si ibu bukan termasuk orang yang taat beragama, sementara wanita yang akan dilamar justru yang konsekuen terhadap ajaran agama dan bertakwa. Kalau memang yang terjadi adalah realitas kedua yang kami sebutkan, maka anda tidak wajib taat kepada ibu anda, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebajikan”
Semoga Allah memberikan taufiq kepada semua pihak untuk mendapatkan keridhaanNya, dan mempermudah diri kita mendapatkan hal yang membawa kemaslahatan dan keselamatan dalam agama dan dunia kita.
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Awwal, edisi Indonesia Fatawa bin Baaz, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Penerjemah Abu Abdillah Abdul Aziz, Penerbit At-Tibyan-Solo]

6. Apakah Berbakti Kepada Kedua Orang Tua Mencakup Segala Hal ?

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya :
Sebagian orang, beranggapan bahwa berbakti kepada kedua orang tua adalah dalam segala hal. Kami mohon perkenan Syaikh untuk menjelaskan batasan-batasan berbakti kepada kedua orang tua.
Jawaban
Berbakti kepada kedua orang tua adalah berbuat baik kepada keduanya dengan harta, bantuan fisik, kedudukan dan sebagainya, termasuk juga dengan perkataan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan tentang bakti ini dalam firmanNya.
“Artinya : Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kemu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”. [Al-Isra : 23]
Demikian ini terhadap orang tua yang sudah lanjut usia. Biasanya orang yang sudah lanjut usia perilakunya tidak normal, namun demikian Allah menyebutkan.
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’, “�
Yakni sambil merasa tidak senang kepada keduanya.
“Dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”
Bentuk perbuatan, hendaknya seseorang bersikap santun dihadapan kedua orang tuanya serta bersikap sopan dan penuh kepatuhan karena status mereka sebagai orang tuanya, demikian berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, ‘Wahai Rabbku, kasihinilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. [Al-Isra : 24]
Lain dari itu, hendaknya pula berbakti dengan memberikan harta, karena kedua orang tua berhak memperoleh nafkah, bahkan hak nafkah mereka merupakan hal yang paling utama, sampai-sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersada.
“Artinya : Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu”. [1]
Lain dari itu, juga mengabdi dengan bentuk berbuat baik, yaitu berupa perkataan dan perbuatan seperti umumnya yang berlaku, hanya saja mengabdi dalam perkara yang haram tidak boleh dilakukan, bahkan yang termasuk baktin adalah menahan diri dari hal tersebut, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Tolonglah saudaramu baik ia dalam kondisi berbuat aniaya maupun teraniaya”
Ditanyakan kepada beliau, “Begitulah bila ia teraniaya, lalu bagaimana kami menolongnya bila ia berbuat aniaya ?”. beliau menjawab.
“Artinya : Engkau mencegahnya dari berbuat aniaya”. [2]
Jadi, mencegah orang tua dari perbuatan haram dan tidak mematuhinya dalam hal tersebut adalah merupakan bakti terhadapnya. Misalnya orang tua menyuruhnya untuk membelikan sesuatu yang haram, lalu tidak menurutinya, ini tidak dianggap durhaka. Bahkan sebaliknya, ia sesungguhnya telah berbuat baik, karena dengan begitu ia telah mencegahnya dari yang haram.

[Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq]
_________
Foote Note
[1]. Hadits Riwayat Abu Daud dalam Al-Buyu 3530, Ibnu Majah dalam At-Tijarah 2292 dari hadits Ibnu Amr, Ibnu Majah 2291 dari hadits Jabir
[2]. Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam Al-Mazhalim 24444 dari hadits Anas, Muslim meriwayatkan seperti dalam Al-Birr 2584 dari hadits Jabir, Ahmad 12666 dari Anas. Lafazh di atas adalah riwayat Ahmad

7. HUKUM MENTAATI KEDUA ORANG TUA DENGAN BERMAKSIAT TERHADAP ALLAH

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya :
Saya seorang muslimah, alhamdulillah saya melakukan setiap yang diridhai Allah dan konsisten menganakan hijab syar’i. Tapi ibu saya -semoga Allah memaafkannya- tidak menghendaki saya mengenakan hijab dan menyuruh saya nonton di bioskop dan video dst, ia mengatakan, “Jika kamu tidak bersenang-senang, kamu akan segera tua dan beruban”.

Jawaban
Hendaknya anda tetap bersikap lembut terhadap ibu anda, berbuat baik kepadanya dan berbicara dengan yang lebih baik, karena hak seorang ibu sangat agung, namun demikian anda tidak boleh mematuhinya pada selain yang ma’ruf, hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Sesungguhnya ketaatan itu pada yang ma’ruf”.[1]
Dan sabdanya.
“Artinya : Tidak boleh mentaati mekhluk dengan bemaksiat terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala”.[2]
Begitu pula sikap terhadap ayah, suami dan sebagainya, tidak boleh mematuhi mereka dengan melakukan kemaksiatan terhadap Allah, demikian berdasarkan hadits-hadits tadi.
Kendati demikian, seorang isteri, atau anak, tetap menempuh cara yang baik untuk mengatasi problema-problema tersebut, yaitu dengan menjelaskan dalil-dalil syariatnya, keharusan mentaati Allah dan RasulNya, waspada terhadap perbuatan maksiat kepada Allah dan RasulNya, sambil terus konsisten melaksanakan kebenaran, tidak mematuhi perintah yang menyelisihi kebenaran, baik perintah itu dari suami, ayah, ibu ataupun lainnya.
Tidak ada salahnya menyaksikan acara televisi atau video yang tidak mengandung kemungkaran, mendengarkan seminar-seminar ilmiah dan kajian-kajian yang bermanfaat, dengan tetap waspada sehingga tidak menyaksikan acara-acara yang menampilkan kemungkaran, juga tidak boleh menonton di bioskop serta kebatilan-kebatilan lainnya.
[Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah, Juz 5, hal. 358, Syaikh Ibnu Baz]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq]
_________
Foote Note
[1]. Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam Al-Ahkam 7145, Muslim dalam Al-Imarah 1840
[2]. Hadits Riwayat Ahmad 1098 dari hadits Ali dengan riwayat yang seperti itu, 20130 dari hadits Imron 20131 dari hadits Al-Hakim bin Amr. Al-Haitsami dalam Al-Majma 5/226 mengatakan, “Ahmad meriwayatkan dengan beberapa lafazh, Ath-Thabari meriwayatkan secara ringkas, di antaranya ; ‘Tidak boleh ada ketaatan terhadap makhluk dengan melakukan kemaksiatan terhadap Khaliq”. Para perawi jalur Imam Ahmad adalah orang-orang yang tergolong shahih.

8. MENENTANG IBUNYA KARENA DIPERINTAHKAN UNTUK MELAKUKAN PERBUATAN YANG MELANGGAR ALLAH DAN RASULNYA

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Baz ditanya :
Apa hukumnya, bila seorang anak perempuan tidak mentaati ibunya karena ibunya itu memintanya untuk bermaksiat kepada Allah, seperti menyuruhnya untuk tabbaruj dan bepergian, dan menganggap hijab itu adalah khurafat belaka, tidak ada kebenarannya di dalam agama, dan menyuruhnya untuk pergi ke pesta, dan mamakai pakaian yang diharamkan oleh Allah atas seorang perempaun dan memarahi anaknya bila mengenakan hijab ?
Jawaban
Tidak boleh taat kepada makhluk, baik itu ayah, ibu maupun yang lainnya, di dalam maksiat kepada Allah.
Rasulullah bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya ketaatan itu hanya di dalam perbuatan yang baik”
Dan beliau bersabda pula.
“Artinya : Tidak ada ketaatan kepada makhluk di dalam maksiat kepada khalik”.
Apa-apa yang diperintahkan oleh ibu penanya di atas adalah perbuatan-perbuatan maksiat, maka jelas tidak boleh mentaatinya, dan semoga si penanya dan ibunya diberikan hidayah dan dilindungi dari godaan setan

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerbit Darul Haq]

9. Kisah-Kisah Teladan Kepada Orang Tua

Sahabat Abu Hurairah sempat gelisah karena ibunya masih dalam jeratan kekufuran. Dalam shahih Muslim disebutkan, dari Abu Hurairah, ia bercerita.
Aku mendakwahi ibuku agar masuk Islam. Suatu hari aku mengajaknya untuk masuk Islam, tetapi dia malah mengeluarkan pernyataan tentang Nabi yang aku benci. Aku (pun) menemui Rasulullah dalam keadaan menangis. Aku mengadu.
“Wahai Rasulullah, aku telah membujuk ibuku untuk masuk Islam, namun dia menolakku. Hari ini, dia berkomentar tentang dirimu yang aku benci. Mohonlah kepada Allah supaya memberi hidayah ibu Abu Hurairah”. Rasulullah bersabda : “Ya, Allah. Tunjukilah ibu Abu Hurairah”. Aku keluar dengan hati riang karena do’a Nabi. Ketika aku pulang dan mendekati pintu, maka ternyata pintu terbuka. Ibuku mendengar kakiku dan berkata : “Tetap di situ Abu Hurairah”. Aku mendengar kucuran air. Ibu-ku sedang mandi dan kemudian mengenakan pakaiannya serta menutup wajahnya, dan kemudian membuka pintu. Dan ia berkata : “Wahai, Abu Hurairah ! Asyhadu an Laa Ilaaha Illa Allah wa Asyhadu Anna Muhammadan Abduhu wa Rasuluhu”. Aku kembali ke tempat Rasulullah dengan menangis gembira. Aku berkata, “Wahai, Rasulullah, Bergembiralah. Allah telah mengabulkan do’amu dan menunjuki ibuku”. Maka beliau memuji Allah dan menyanjungNya serta berkomentar baik” [Hadits Riwayat Muslim]
Ibnu Umar pernah melihat lelaki menggendong ibunya dalam thawaf. Ia bertanya : “Apakah ini sudah melunasi jasanya (padaku) wahai Ibnu Umar?” Beliau menjawab : “Tidak, meski hanya satu jeritan kesakitan (saat persalinan)”.
Zainal Abidin, adalah seorang yang terkenal baktinya kepada ibu. Orang-orang keheranan kepadanya (dan berkata) : “Engkau adalah orang yang paling berbakti kepada ibu. Mengapa kami tidak pernah melihatmu makan berdua dengannya dalam satu talam”? Ia menjawab,”Aku khawatir tanganku mengambil sesuatu yang dilirik matanya, sehingga aku durhaka kepadanya”.
Sebelumnya, kisah yang lebih mengharukan terjadi pada diri Uwais Al-Qarni, orang yang sudah beriman pada masa Nabi, sudah berangan-angan untuk berhijrah ke Madinah untuk bertemu dengan Nabi. Namun perhatiannya kepada ibunya telah menunda tekadnya berhijrah. Ia ingin bisa meraih surga dan berteman dengan Nabi dengan baktinya kepada ibu, kendatipun harus kehilangan kemuliaan menjadi sahabat Beliau di dunia.
Dalam shahih Muslim, dari Usair bin Jabir, ia berkata : Bila rombongan dari Yaman datang, Umar bin Khaththab bertanya kepada mereka : “Apakah Uwais bin Amir bersama kalian ?” sampai akhirnya menemui Uwais. Umar bertanya, “Engkau Uwais bin Amir?” Ia menjawa,”Benar”. Umar bertanya, “Engkau dari Murad kemudian beralih ke Qarn?” Ia menjawab, “Benar”. Umar bertanya, “Engkau punya ibu?”. Ia menjawab, “Benar”. Umar (pun) mulai bercerita, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Akan datang pada kalian Uwais bin Amir bersama rombongan penduduk Yaman yang berasal dari Murad dan kemudian dari Qarn. Ia pernah tertimpa lepra dan sembuh total, kecuali kulit yang sebesar logam dirham. Ia mempunyai ibu yang sangat dihormatinya. Seandainya ia bersumpah atas nama Allah, niscaya aku hormati sumpahnya. Mintalah ia beristighfar untukmu jika bertemu”.
(Umar berkata), “Tolong mintakan ampun (kepada Allah) untukku”. Maka ia memohonkan ampunan untukku. Umar bertanya, “Kemana engkau akan pergi?”. Ia menjawab, “Kufah”. Umar berkata, “Maukah engkau jika aku menulis (rekomendasi) untukmu ke gubernurnya (Kufah)?” Ia menjawab, “Aku lebih suka bersama orang yang tidak dikenal”.
Kisah lainnya tentang bakti kepada ibu, yaitu Abdullah bin Aun pernah memanggil ibunya dengan suara keras, maka ia memerdekakan dua budak sebagai tanda penyesalannya.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VIII/1425/2005M. Penerbiit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo – Solo 57183

10. Surat Dari Ibu Yang Terkoyak Hatinya

Anaku….
Ini surat dari ibu yang tersayat hatinya. Linangan air mata bertetesan deras menyertai tersusunnya tulisan ini. Aku lihat engkau lelaki yang gagah lagi matang. Bacalah surat ini. Dan kau boleh merobek-robeknya setelah itu, seperti saat engkau meremukkan kalbuku sebelumnya.
Sejak dokter mengabari tentang kehamilan, aku berbahagia. Ibu-ibu sangat memahami makna ini dengan baik. Awal kegembiraan dan sekaligus perubahan psikis dan fisik. Sembilan bulan aku mengandungmu. Seluruh aktivitas aku jalani dengan susah payah karena kandunganku. Meski begitu, tidak mengurangi kebahagiaanku. Kesengsaraan yang tiada hentinya, bahkan kematian kulihat didepan mataku saat aku melahirkanmu. Jeritan tangismu meneteskan air mata kegembiraan kami.
Berikutnya, aku layaknya pelayan yang tidak pernah istirahat. Kepenatanku demi kesehatanmu. Kegelisahanku demi kebaikanmu. Harapanku hanya ingin melihat senyum sehatmu dan permintaanmu kepada Ibu untuk membuatkan sesuatu.
Masa remaja pun engkau masuki. Kejantananmu semakin terlihat, Aku pun berikhtiar untuk mencarikan gadis yang akan mendampingi hidupmu. Kemudian tibalah saat engkau menikah. Hatiku sedih atas kepergianmu, namun aku tetap bahagia lantaran engkau menempuh hidup baru.
Seiring perjalanan waktu, aku merasa engkau bukan anakku yang dulu. Hak diriku telah terlupakan. Sudah sekian lama aku tidak bersua, meski melalui telepon. Ibu tidak menuntut macam-macam. Sebulan sekali, jadikanlah ibumu ini sebagai persinggahan, meski hanya beberapa menit saja untuk melihat anakku.
Ibu sekarang sudah sangat lemah. Punggung sudah membungkuk, gemetar sering melecut tubuh dan berbagai penyakit tak bosan-bosan singgah kepadaku. Ibu semakin susah melakukan gerakan.
Anakku…
Seandainya ada yang berbuat baik kepadamu, niscaya ibu akan berterima kasih kepadanya. Sementara Ibu telah sekian lama berbuat baik kepada dirimu. Manakah balasan dan terima kasihmu pada Ibu ? Apakah engkau sudah kehabisan rasa kasihmu pada Ibu ? Ibu bertanya-tanya, dosa apa yang menyebabkan dirimu enggan melihat dan mengunjungi Ibu ? Baiklah, anggap Ibu sebagai pembantu, mana upah Ibu selama ini ?
Anakku..
Ibu hanya ingin melihatmu saja. Lain tidak. Kapan hatimu memelas dan luluh untuk wanita tua yang sudah lemah ini dan dirundung kerinduan, sekaligus duka dan kesedihan ? Ibu tidak tega untuk mengadukan kondisi ini kepada Dzat yang di atas sana. Ibu juga tidak akan menularkan kepedihan ini kepada orang lain. Sebab, ini akan menyeretmu kepada kedurhakaan. Musibah dan hukuman pun akan menimpamu di dunia ini sebelum di akhirat. Ibu tidak akan sampai hati melakukannya,
Anakku…
Walaupun bagaimanapun engkau masih buah hatiku, bunga kehidupan dan cahaya diriku…
Anakku…
Perjalanan tahun akan menumbuhkan uban di kepalamu. Dan balasan berasal dari jenis amalan yang dikerjakan. Nantinya, engkau akan menulis surat kepada keturunanmu dengan linangan air mata seperti yang Ibu alami. Di sisi Allah, kelak akan berhimpun sekian banyak orang-orang yang menggugat.
Anakku..
Takutlah engkau kepada Allah karena kedurhakaanmu kepada Ibu. Sekalah air mataku, ringankanlah beban kesedihanku. Terserahlah kepadamu jika engkau ingin merobek-robek surat ini. Ketahuilah, “Barangsiapa beramal shalih maka itu buat dirinya sendiri. Dan orang yang berbuat jelek, maka itu (juga) menjadi tanggungannya sendiri”.
Anakku…
Ingatlah saat engkau berada di perut ibu. Ingat pula saat persalinan yang sangat menegangkan. Ibu merasa dalam kondisi hidup atau mati. Darah persalinan, itulah nyawa Ibu. Ingatlah saat engkau menyusui. Ingatlah belaian sayag dan kelelahan Ibu saat engkau sakit. Ingatlah ….. Ingatlah…. Karena itu, Allah menegaskan dengan wasiat : “Wahai, Rabbku, sayangilah mereka berdua seperti mereka menyayangiku waktu aku kecil”.
Anakku…
Allah berfirman: “Dan dalam kisah-kisah mereka terdapat pelajaran bagi orang-orang berakal” [Yusuf : 111]
Pandanglah masa teladan dalam Islam, masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, supaya engkau memperoleh potret bakti anak kepada orang tua.
[Diadaptasi dari Idatush Shabirin, oleh Abdullah bin Ibrahim Al-Qa’rawi dan Ilzam Rijlaha Fatsamma Al-Jannah, oleh Shalihj bin Rasyid Al-Huwaimil]

11. Ibu yang Anaknya Diculik Itu

Oleh : Seno Gumira Ajidarma
Ibu terkulai di kursi seperti orang mati. Pintu, jendela, televisi, telepon, perabotan, buku, cangkir teh, dan lain-lain masih seperti dulu—tetapi waktu telah berlalu sepuluh tahun. Tinggal Ibu kini di ruang keluarga itu, masih terkulai seperti sepuluh tahun yang lalu. Rambut, wajah, dan busananya bagai menunjuk keberadaan waktu.
Telepon berdering. Ibu tersentak bangun dan langsung menyambar telepon. Diangkatnya ke telinga. Ternyata yang berbunyi telepon genggam. Ketika disambarnya pula, deringnya sudah berhenti. Ibu bergumam.
”Hmmh. Ibu Saleha, ibunya Saras yang dulu jadi pacar Satria. Sekarang apapun yang terjadi dengan Saras dibicarakannya sama aku, seperti Saras itu punya dua ibu. Dulu almarhum Bapak suka sinis sama Ibu Saleha, karena seperti memberi tanda kalau Saras itu tentunya tidak bisa terus menerus menunggu Satria. ’Orang hilang diculik kok tidak mendapat simpati,’ kata Bapak. Kenyataannya selama sepuluh tahun Saras tidak pernah bisa pacaran sama siapapun. ’Saya selalu teringat Satria, Ibu, saya tidak bisa’,” katanya.
”Tapi inilah soal yang pernah kubicarakan sama Si Saras. ’Kuhargai cintamu yang besar kepada Satria, sehingga kamu selalu terlibat urusan orang-orang hilang ini,’ kataku, ’tapi cinta adalah soal kata hati, Saras, karena kalau terlalu banyak alasan dan perhitungan dalam percintaan, nanti tidak ada tempat untuk hati lagi…’ Ah, Saras, memang rasanya ia seperti anakku juga. Semenjak Bapak meninggal setahun yang lalu, rasanya semakin peduli dia kepada rumah ini, membantu aku membereskan kamar Satria, seperti tahu betul rasa kehilanganku setelah ditinggal Bapak…”
Ibu sudah sampai ke kursi tempatnya duduk tadi, dan duduk lagi di situ. Ibu terdiam, melihat ke kursi tempat Bapak biasanya duduk. Lantas melihat ke sekeliling.
”Bapak… Kursi itu, meja itu, lukisan itu, ruangan ini, ruang dan waktu yang seperti ini, kok semuanya mengingatkan kembali kepada Bapak. Seperti ini juga keadaannya, bahkan aku masih ingat juga pakai daster ini ketika kami berbicara tentang hilangnya Satria. Waktu itu sudah setahun Satria tidak kembali, dan kami masih seperti orang menunggu. Aku waktu itu masih percaya Satria suatu hari akan kembali… Kenapa harus tidak percaya, kalau memang tidak pernah kulihat sesuatu yang membuktikan betapa Satria tidak akan kembali… Apa salahnya punya harapan… Hidup begitu singkat, apa jadinya kalau harapan saja kita tidak punya…
”Jadi dalam setahun itu harapanlah yang membuatku bertahan hidup. Harapan bahwa pada suatu hari Satria pasti pulang kembali… Berharap dan menunggu. Berharap dan menunggu. Berharap dan menunggu. Tapi Bapak memaksa aku untuk percaya bahwa Satria sudah pergi. ’Satria sudah mati,’ katanya!”
Ia menggigit bibir, berusaha sangat amat keras untuk menahan tangis.
”Tidak! Aku tidak mau percaya itu! Meski dalam hatiku sudah terlalu sering kuingkari diriku, bahwa kemungkinan besar Satria mestinya sudah mati.”
Ibu memandang ke arah kursi Bapak.
”Pak, Bapak, kenapa kamu hancurkan semua harapanku? ’Kita harus menerima kenyataan,’ katamu. Nanti dulu, Pak. Menerima? Menerima? Baik. Aku terima Satria sudah mati sekarang. Tapi aku tidak terima kalau Satria itu boleh diculik, dianiaya, dan akhirnya dibunuh.”
Perempuan dengan rambut kelabu itu tampak kuat kembali.
”Bapak sendiri yang bilang, ada teman Satria yang dibebaskan bercerita: Sebelum dilepas tutup matanya dibuka. Di hadapannya, orang-orang yang menculiknya itu menggelar foto-foto di atas meja. Itulah foto-foto keluarga teman Satria yang diculik. Foto orangtuanya, foto saudara-saudaranya. Lantas orang-orang itu berkata, ’Kami tahu siapa saja keluarga Saudara.’
”Huh! Saudara! Mana mungkin manusia bersaudara dengan monyet-monyet! Apalagi maksudnya kalau bukan mengancam kan? Bapak bilang teman Satria ini juga bercerita, suatu hari salah seorang yang waktu itu mengancam terlihat sedang memandangi dirinya waktu dia baru naik bis kota. Ini apa maksudnya Pak? Supaya teman Satria itu tidak boleh bercerita tentang perbuatan mereka? Teror kelas kambing maksudnya? Apakah ini semua boleh kita terima begitu saja?”
Saat Ibu menghela nafas, ruangan itu bagaikan mendadak sunyi.
”Sudah sepuluh tahun. Satria sudah mati. Bapak sudah mati. Munir juga sudah mati.”
Dipandangnya kursi Bapak lagi. Sebuah kursi kayu dengan bantalan jalinan rotan. Jalinan yang sudah lepas dan ujungnya menceruat di sana-sini.
”Apa Bapak ketemu sama Satria di sana? Enak bener Bapak ya? Meninggalkan aku sunyi sendiri di sini. Apa Bapak dan Satria tertawa-tawa di atas sana melihat aku membereskan kamar Satria, menata gelas dan piring, sekarang untuk kalian berdua, setiap waktu makan tiba, padahal aku selalu makan sendirian saja. Memang aku tahu Bapak dan Satria tidak ada lagi di muka bumi ini, tapi apa salahnya aku menganggap kalian berdua ada di dalam hatiku? Apakah kalian berdua selalu menertawakan aku dan menganggapku konyol kalau berpikiran seperti itu?”
Sejenak Ibu terdiam, hanya untuk menyambungnya dengan suara bergetar.
”Kadang-kadang aku bermimpi tentang kalian berdua, tetapi kalau terbangun, aku masih juga terkenang-kenang kalian berdua, dengan begitu nyata seolah-olah kalian tidak pernah mati. Impian, kenangan, kenyataan sehari-hari tidak bisa kupisahkan lagi.
Jiwa terasa memberat, tapi tubuh serasa melayang-layang…”
Lantas nada ucapannya berubah sama sekali, seperti Ibu berada di dunia yang lain.
”…. jauh, jauh, ke langit, mengembara dalam kekelaman semesta, bagaikan jiwa dan tubuh telah terpisah, meski setiap kali tersadar tubuh yang melayang terjerembab, menyatu dengan jiwa terluka, luka sayatan yang panjang dan dalam, seperti palung terpanjang dan terdalam, o palung-palung luka setiap jiwa, palung tanpa dasar yang dalam kekelamannya membara, membara dan menyala-nyala, berkobar menantikan saat membakar dunia…”
Ibu mendadak berhenti bicara, berbisik tertahan, memegang kepalanya, menutupi wajahnya.
”Ah! Ya ampun! Jauhkan aku dari dendam!”
Namun ia segera melepaskan tangannya.
”Tapi…. bagaimana mungkin aku merasa perlu melupakan semuanya, jika kemarahanku belum juga hilang atas perilaku kurangajar semacam itu.”
Nada bicaranya menjadi dingin.
”Menculik anak orang dan membunuhnya. Apakah setiap orang harus kehilangan anggota keluarganya sendiri lebih dulu supaya bisa sama marahnya seperti aku?”
Hanya Ibu sendiri di ruangan itu, tetapi Ibu bagaikan merasa banyak orang menontonnya, meski semakin disadarinya betapa ia sungguh-sungguh sendiri.
”Bapak… aku yakin dia ada di sana, karena kusaksikan bagaimana dia dengan tenang meninggalkan dunia yang fana; tetapi aku tidak bisa mendapatkan keyakinan yang sama jika teringat kepada Satria. Memang akalku tidak bisa berpikir lain sekarang, bahwa Satria tentu sudah tidak ada. Tetapi Ibu mana yang kehilangan anak tanpa kejelasan bisa tenang dan bahagia hanya dengan akalnya, tanpa membawa-bawa perasaannya? Bagaimana perasaanku bisa membuatku yakin, jika Satria pada suatu hari memang hilang begitu saja? Ya, begitu saja… Bahkan orang mati saja masih bisa kita lihat jenazahnya!”
Seperti masih ada yang disebutnya Bapak di kursi itu, tempat seolah-olah ada seseorang diajaknya bicara.
”Pak, Bapak, apakah Bapak melihat Satria di sana Pak? Apakah Bapak ketemu Satria? Apa cerita dia kepada Bapak? Apakah sekarang Bapak sudah tahu semuanya? Apakah Bapak sekarang sudah mendapat jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaan kita?”
Namun Ibu segera menoleh ke arah lain.
”Ah! Bapak! Dia sudah tahu semuanya! Tapi aku? Aku tentunya juga harus mati lebih dulu kalau ingin tahu semuanya! Tapi aku masih hidup, dan aku masih tidak tahu apa-apa. Hanya bertanya-tanya. Mencoba menjawab sendiri. Lantas bertanya-tanya lagi. Dulu aku bisa bertanya jawab dengan Bapak. Sekarang aku bertanya jawab sendiri….
”Tapi apa iya aku sendiri? Apa iya aku masih harus merasa sendiri jika begitu banyak orang yang juga kehilangan? Waktu itu, ya waktu yang seperti takpernah dan takperlu berlalu itu, bukankah ratusan ribu orang juga hilang seketika?”
Terdengar dentang jam tua. Tidak jelas jam berapa, tetapi malam bagaikan lebih malam dari malam. Ibu masih berbicara sendiri, dan hanya didengarnya sendiri.
”Bapak, kadang aku seperti melihatnya di sana, di kursi itu, membaca koran, menonton televisi, memberi komentar tentang situasi negeri. Seperti masih selalu duduk di situ Bapak itu, pakai kaos oblong dan sarung, menyeruput teh panas, makan pisang goreng yang disediakan Si Mbok, lantas ngomong tentang dunia. Tapi Si Mbok juga sudah meninggal, menyusul Bapak, menyusul teman-temannya pemain ludruk yang semuanya terbantai dan mayat-mayatnya mengambang di Kali Madiun…
”Sebetulnya memang tidak pernah Bapak itu membicarakan Satria, malah seperti lupa, sampai setahun lamanya, sebelum akhirnya mendadak keluar semua ingatannya pada suatu malam entah karena apa.
”Sudah sepuluh tahun, banyak yang sudah berubah, banyak juga yang tidak pernah berubah.”
Di luar rumah, tukang bakmi tek-tek yang dulu-dulu juga, tukang bakmi langganan Satria, lewat. Ibu tampak mengenali, tapi tidak memanggilnya.
”Bagiku Satria masih selalu ada. Tidak pernah ketemu lagi memang. Tapi selalu ada. Memang lain sekali Satria dengan kakak-kakaknya. Dua-duanya tidak mau pulang lagi dari luar negeri, datang menengok cuma hari Lebaran. Yang sulung Si Bowo jadi pialang saham, satunya lagi Si Yanti jadi kurator galeri lukisan, kata Bapak dua-duanya pekerjaan ngibulin orang. ’Ya enggaklah kalau ngibul,’ kataku, ’apa semua orang harus ikut aliran kebatinan seperti Bapak?’. Biasanya Bapak ya cuma cengengesan. Dasar Bapak. Ada saja yang dia omongin itu.
”Aku sendiri rasanya juga sudah mulai pelupa sekarang. Susah rasanya mengingat-ingat apapun. Belakangan sebelum meninggal Bapak juga mulai pikun. Lupa ini-itu. Kacamata terpasang saja dicarinya ke mana-mana…”
Ibu tersenyum geli sendiri.
”Tapi ia tidak pernah lupa tentang Satria. Ia selalu bertanya, ’Seperti apa Satria kalau masih hidup sekarang?’, atau ’Sedang apa ya Satria di sana?’, atau kadang-kadang keluar amarahnya: ’Para penculik itu pengecut semuanya! Tidak punya nyali berterus terang! Bisanya membunuh orang sipil tidak bersenjata, sembunyi-sembunyi pula!’
Wajah Ibu kini tampak sendu sekali. Bahkan tokek untuk sementara tidak berani berbunyi.
”Bapak, kenapa kamu tidak pernah muncul dalam mimpiku untuk bercerita tentang Satria? Pasti Satria menceritakan semua hal yang tidak diketahui selama ini, bagaimana dia diperlakukan, dan apa sebenarnya yang telah terjadi.
”Kenapa kamu tidak sekali-sekali muncul Bapak. Muncul dong sekali-sekali Bapak. Duduk di kursi itu seperti biasanya.
”Memang kamu selalu muncul dalam kenanganku Pak, bahkan juga dalam mimpi-mimpiku, tetapi kamu hanya muncul sebagai bayangan yang lewat. Hanya lewat, tanpa senyum, seperti baru menyadari betapa kenyataan begitu buruk.
”Duduklah di situ dan ceritakan semuanya tentang Satria.
”Ceritakanlah semua rahasia….”
Ibu masih berbicara, kini seperti kepada seseorang yang tidak kelihatan.
”Kursi itu tetap kosong. Seperti segalanya yang akan tetap tinggal kosong. Apakah semua ini hanya akan menjadi rahasia yang tidak akan pernah kita ketahui isinya?
”Rahasia sejarah. Rahasia kehidupan.
”Tapi ini bukan rahasia kehidupan yang agung itu.
”Ini suatu aib, suatu kejahatan, yang seandainya pun tidak akan pernah terbongkar….
Telepon genggam Ibu berdering. Ibu seperti tersadar dari mimpi. Ibu beranjak mengambil telepon genggam.
”Pasti ibunya Saras lagi,” gumamnya.
Tapi rupanya bukan.
”Eh, malah Si Saras.”
Ibu mengangkat telepon genggamnya di telinga.
”Ya, hallo… “
Setelah mendengarkan apa yang dikatakan Saras, telepon genggam itu terloncat dari tangan Ibu yang terkejut, seolah tiba-tiba telepon genggam itu menyetrum.
”Gila!” Ibu berujar kepada tokek di langit-langit yang tidak tahu menahu.
”Para pembunuh itu sekarang mau jadi presiden!”

12. Abu Jenazah Ayah

Oleh : Kurnia Effendi
Bandara masih remang ketika aku turun dari taksi. Kutarik koper dari tempat duduk belakang. Menurunkannya di lantai dan memanjangkan alat penarik. Aku melangkah ke ruang keberangkatan, mencari loket boarding pass tujuan Surabaya dengan agak payah karena mataku mulai rabun jauh.
Pintu 6,” kata petugas setelah kubayar airport-service. Aku berjalan lambat-lambat karena masih punya waktu dua puluh menit. Bahkan sempat menulis sms: Sepagi ini aku ke Surabaya, untuk melarung abu jenazah ayahku di Kalimas. Kukirim ke tiga nomor teman-temanku: Agni, Banu, dan Hilman. Ada semacam kenikmatan mengirim berita sepele kepada kawan-kawan melalui layar hp. Kita bercakap-cakap dalam bisu.
Benar dugaanku, mereka membalas dengan reaksi yang berbeda. Dan itulah awal dari percakapan yang menjalar ke mana-mana. Sampai saatnya petugas mengumumkan agar calon penumpang naik pesawat. Kumasukkan kopor ke tempat bagasi tanpa perlu berhati-hati karena abu jenazah ayah tersimpan dalam guci alit yang tertutup rapat. Ayah sudah menjadi debu kelabu muda. Sulit membedakan abu yang berasal dari tulang, daging, atau rambut.
“Bukankah ayahmu meninggal dua belas tahun yang lalu?” tanya Banu.
“Benar. Abu jenazahnya tersimpan di kuil paman. Menunggu kami tumbuh dewasa.”
“Waktu ayahmu dikremasi, bagaimana perasaan kamu?” tanya Hilman. Kawanku yang satu ini sangat menyukai peristiwa yang mengandung rasa takut.
“Usiaku sekitar 16 tahun, tidak terlalu menyedihkan. Apalagi tidak hanya ayah yang dibakar. Di krematorium, waktu itu, ada tiga jenazah yang lain.”
“Kamu sebaiknya mampir ke Jembatan Merah, menyantap lontong kupang. Itu makanan inspiratif, lho!” usul Agni.
“Wah, apakah itu di tepi Kalimas?”
Pesawat melayang ke angkasa biru. Tampak silau matahari pagi dari jendela mungil. Awan berserakan seperti tebaran kapas. Aku berdoa, sebelum membaca surat kabar. Di halaman muka, tampak wajah tersenyum seorang perakit bom. Adakah kawannya, atau siapa pun yang memiliki kemampuan merakit bom, berada di pesawat ini? Katakan, ya; apakah ia memiliki nyali untuk mengaktifkan bom di pesawat ini? Katakan, ya; apakah ia akan memulai aksinya dengan berdiri dan mengatakan sesuatu yang menakjubkan? Katakan, ya; apakah ia akan turut bunuh diri?

Kuputar kepala memandang sekitar. Penumpang di sisi jendela, sebagian besar menatap langit yang membentang. Pagi yang cerah membuat bumi tampak kehijauan, dan sisa laut berkelip perak. Pada gang, beberapa orang sedang membaca, lainnya terpejam. Di bagian tengah juga tidak tampak mencurigakan. Rasanya, gagasanku terlampau berlebihan. Aku pun merasa tenteram, menunggu pramugari mengedarkan hidangan.
Tiba di Juanda, aku mengaktifkan kembali telepon genggam. Berturut-turut kuterima sms, termasuk dari adikku yang tidak bisa turut pada “upacara” ini. Satu sms di antaranya dari Ery Panca, sahabat yang akan menjemputku.
Aku tersenyum. Teringat beberapa perjalanan dengan Ery ke Jember, Bromo, dan Banyuwangi. Memotret tempat dan perilaku masyarakat yang unik. Tapi, kedatanganku ke Surabaya kali ini bermaksud melarung abu jenazah ayah di Kalimas.
“Kenapa harus di Kalimas?” tanya Banu.
“Karena ibuku hanyut di sana. Aduh, aku jadi mau nangis.”
“Bagaimana perasaanmu ketika ibumu hanyut di Kalimas?” tanya Hilman.
Air mataku benar-benar merebak. Kutarik koper seperti Panji Tengkorak menyeret peti berisi jenazah kekasihnya. Dalam kopor itu ada sebuah guci putih bergambar bunga ungu. Di dalamnya bersemayam jutaan butir debu hasil kremasi jenazah ayah. Pada molekul yang melekat, terdapat doa kami yang mencintainya.
“Aku sangat kehilangan. Untuk ziarah pun sulit. Kami tidak menemukan jenazahnya.”
“Aku turut berduka. Kenapa baru cerita?” tanya Agni.
“Karena tak ingin mengingatnya. Tapi, sekarang aku mendapat amanat. Aku tak bisa menghindar dari ingatan itu.”
“Mana lebih dulu wafat? Ayah atau ibumu?” tanya Banu.
“Ketika ibu hanyut dan tak tertolong, aku masih SD, kelas enam.”
“Jam berapa kamu akan melarung abu kremasi itu?” tanya Hilman.
Adakah aku dipesan waktunya? Kemarin, pamanku tidak memberi petunjuk khusus. Ia hanya mengatakan agar kutabur abu itu dari atas jembatan, dan memperhatikan arah angin. Jangan sampai tersebar di luar sungai.
“Biarkan air yang mengalir melahap serbuk jasad ayahmu. Di dalam tubuh sungai itu terentang kedua tangan ibumu yang akan memeluk larut tubuh ayahmu. Biarkan mereka kembali bersatu dalam arus yang abadi. Mempersandingkan mereka di altar dasar sungai, atau hanyut ke arah kerajaan laut.”
“Pamanmu mungkin seorang penyair,” komentar Agni.
“Ia yang menulis sejarah dan kisah-kisah di kuil.”
“Hidupmu, dengan kematian orangtua yang dramatis, juga sebuah kisah,” kata Banu. “Seandainya aku berada bersamamu, ingin kulihat kamu melarung ayahmu.”
Keluar dari ruang kedatangan, disambut udara Surabaya yang hangat. Cuaca cerah membuat perasaan berkabung tidak kentara. Kulihat senyum Ery Panca, yang melambai dengan mata digenangi cahaya kangen. Kami berpelukan.
“Kita makan soto di Ambengan?” Ia menawarkan menu pagi yang merangsang.
“Boleh. Kalau lontong kupang, apakah mudah dijumpai?”
“Tak jauh dari sini.”
Kami naik Karimun, meluncur di tengah lalu lintas Surabaya yang padat merayap. “Apakah setiap hari macet seperti ini?”
“Ini karena kamu datang. Mereka tahu acaramu yang spektakuler.” Ery tertawa.
“Ah, ini hanya peristiwa pribadi. Aku ingin melakukannya diam-diam. Setelah makan, kita mencari posisi paling baik di Kalimas. Jembatan yang tidak terlalu ramai.”
“Sepagi ini?” Ery melihat arloji. “Pukul delapan lewat lima belas.”
Kusisir kembali ingatan terhadap pesan paman. Tidak ada permintaan mengenai waktu. Petunjuk itu lebih bersifat teknis. “Jangan langsung menjungkirkan guci, nanti tumpah ke mana-mana. Coba rasakan abu itu di ujung jari dan telapak tanganmu. Biarkan ia lekat sejenak pada pori-pori sebelum turun ke sungai. Biarkan melewati setiap rajah di tapak tanganmu, menilik nasib anaknya, sebelum terjun menemui ibumu.”
“Mungkin pamanmu seorang seniman. Apakah waktu mengucapkan pesan itu sambil memejamkan mata?” tanya Ery.
Aku tak ingat persis. Tapi, ia seorang yang setia kepada kelenteng. Tiap Jumat malam bermeditasi, dan menerima pasien untuk konsultasi. Ia menyembuhkan dengan sentuhan tangan. Kadang-kadang dengan air putih. Atau semburan asap hio.
“Ia pemuja Dewi Kwan Im?” tanya Hilman.
“Mungkin. Matanya begitu teduh. Ia sangat sabar.”
O, jadi ini yang disebut lontong kupang? Aku memandang ribuan binatang kecil seperti larva, tergenang dalam kuah, bersama potongan lontong. Ery menyeruput, dan puluhan kerang serupa anak ulat itu masuk ke mulutnya. Terisap dan menyerbu ususnya. Aku pun meniru. Bagaimanapun ini usul Agni, yang tak ingin kuulang.
“Habis ini kita jalan-jalan dulu. Menjelang senja kita ke Museum Kapal Selam, mencari lokasi Kalimas yang strategis,” usul Ery.
Aku hanya mengangguk, sambil mencecap sesuatu di lidah. Segera saja kugiring kupang-kupang renik itu ke tenggorokan. Kudorong dengan air kelapa muda. Biarlah mereka berenang-renang di dalam lambung.
“Jangan lupa beri kabar aku saat kamu mulai menabur,” Banu mengingatkan.
“Kukira sore nanti. Ketika matahari mulai surup.”
Boleh jadi, pesan paman seperti itu. “Biarkan matahari sampai teduh. Tunggu sampai angin agak reda. Pandang jatuhnya debu-debu itu, ucapkan doa.”
Setiap kali mataku terasa panas. Tapi, aku tak mau Ery tahu, alangkah cengengnya aku. Kami meluncur ke tengah Kota Surabaya. Dan seperti biasa, Ery membawaku ke tempat favorit. Pusat perdagangan VCD di wilayah Tunjungan. Di sana, kadang-kadang kudapatkan film-film klasik, seperti Last Tango in Paris dan The Guns of Navarone. Kali ini kudapatkan About Last Night, film Demi Moore yang bebas gunting sensor.
“Apakah kawanmu akan memotret saat kautabur abu keramat itu?” tanya Agni.
Gagasan itu bagus juga. Kutanyakan kepada Ery Panca. Rupanya dia bahkan menyiapkan handycam. “Ini sudah lama kurencanakan,” ujarnya serius.
“Apakah kamu menghitung jumlah debu dalam guci itu?” tanya Hilman. Aku terperanjat. Mungkin kawanku, pencinta rasa takut itu, tertawa dengan pertanyaannya sendiri. Paling bijak adalah menjawab sekenanya.
“Dua juta delapan ratus enam puluh empat butir.”
“Apakah roh ibumu sanggup meraup abu sejumlah itu?” tanya Banu.
Aku mencoba mengingat raut muka ibu. Kukira secantik Camelia Malik. Waktu itu, sepulang sekolah, aku masih suka dipeluknya. Meskipun jika aku bertengkar dengan adikku, tak pernah dibela. “Kamu lebih besar, harus mengalah!”
Hardikan ibu betul-betul kurindukan. Karena di dalamnya tersirat perasaan kasih. Aku sempat membisu berpuluh hari sejak ibu hanyut di Kalimas. Ayah mencoba menghibur. Ketika aku berumur enam belas, ayah sekarat oleh paru-paru basah dan wafat. Lantas dikremasi, abu jenazahnya disimpan paman di kuilnya. Menurut paman, ayah ingin dipertemukan dengan ibu kembali. Setelah kedua anaknya tumbuh dewasa.
Aku terkenang sebuah film Meryl Streep, The Bridges of Madison County. Dalam surat wasiat, ia minta abu jenazahnya ditabur di atas sungai, yang pernah mempertautkan hatinya dengan seorang fotografer majalah National Geography. Aku juga seorang anak yang harus menjalankan wasiat.
“Kukira sekaranglah waktunya,” aku mengingatkan Ery.
“Baiklah, kita menuju ke jembatan di Jalan Pemuda.”
Hari mulai redup ketika kami tiba di tempat yang diharapkan. Angin tak terlampau keras. Tetapi, lalu lintas di atas jembatan tidak selengang yang kuduga. Kuambil guci dengan tangan gemetar. Seperti hendak kunikahkan kembali kedua orangtuaku, dengan latar sebuah senja. Ery membidikkan handycam dan mengambil posisi di teras museum. Seperti hendak direkamnya peristiwa paling bersejarah.
Aku berdoa. Lantas kubuka perlahan tutup guci dengan beberapa putaran. Aku mencium wangi tubuh ayahku. Aku tersenyum kepada Ery yang menatapku. Sungguh tak pernah kubayangkan bahwa tatapan Ery berikutnya mengisyaratkan sesuatu yang mencemaskan. Aku sama sekali tak pernah berpikir ke arah itu.
Karena yang kuingat adalah pesan paman: “Jangan menjungkirkan guci. Taburlah abu jenazah ayahmu melalui remasan tanganmu. Tempat itu merupakan pertemuan keluarga bahagia. Ayah dan ibumu. Mungkin juga kamu….”
Suara derit rem mobil disusul dengan benturan keras antarlogam, melintas ke telingaku. Juga jerit panik Ery. Tangannya bagai mengusirku. Persis ketika genggaman tangan kananku terbuka, dan abu tubuh ayahku menebar melayang ke sungai, ada kesiur angin keras. Mobil sedan yang melaju kencang dari arah Gubeng, seperti dikendalikan seorang pemabuk. Meluncur miring ke arah pagar jembatan. Melaju ke tubuhku!
Ah, aku lupa mengirim sms kepada Agni dan Banu bahwa sekaranglah saatnya!
Jakarta, 9 Februari 2003

13. Menyenangkan Kedua Orang Tua Lebih Baik Daripada Ikut Berhijrah

Seseorang datang kepada Rasulullah Saw untuk ikut serta berhijrah ke Madinah bersama beliau. Orang itu berkata, ” Ayah dan ibuku bersedih atas kepergianku dan ketika aku mendatangi mereka, keduanya menangis! “
Rasulullah Saw berkata, ” Kembalilah ke rumahmu dan buatlah mereka gembira dan tertawa, sebagimana  kamu telah membuat mereka menangis. “
Dikutip dari Buku ” Kisah Ayah Ibu ” karya : Ahmad Mir Khalaf Zadeh & Qasim Mir Khalaf Zadeh

14. Nak…..Aku Ingin Kau Menjadi Singa…..

Seorang pedagang kaya memiliki seorang anak lelaki yang selalu dia perhatikan soal pendidikannya sejak kecil. Ketika si anak beranjak dewasa, sang ayah memberinya modal serta mempersiapkan sarana-sarana perjalanan untuknya agar dapat berdagang.
Setelah keluar dari kota dan belum jauh menempuh perjalanan, sementara malam sudah menjelang, dia pun mampir sejenak di kedai kopi. kebetulan, malam itu adalah malam yang menyenangkan; sinar rembulan tak ubahnya seperti sebuah lampu yang bergantung di atas atap dan menerangi sepanjang jalan. Anak muda itu ingin berjalan-jalan di padang pasir barang sesaat.
Tiba-tiba, dia melihat seekor rubah yang sudah sangat tua dan tak berdaya tergeletak di atas tanah dan tak mampu bergerak. Dia mulai berpikir; darimana hewan ini mendapat makanan dan menjalani kehidupan. Tiba-tiba , terdengar suara singa dari arah padang pasir. Dia pun segera sembunyi sambil mengintai; singa itu memburu seekor kambing dan membawanya kedekat rubah itu. Singa itu makan sebagian tubuh kambing itu dan sisanya ditinggalkannya; sang rubah pun berjalan terseok-seok menghampiri sisa daging itu dan memakannya.
Setelah menyaksikan pemandangan tersebut, sianak muda mulai berkata pada dirinya sendiri, ” Allah telah berbelas kasih kepada hewan yang tak bertangan dan hanya berkaki ini dengan mengirimkan seekor singa sambil membawa makanan untuknya. Apalah gunanya seorang anak manusia harus menempuh perjalanan timur dan barat serta membuat dirinya lelah hanya demi mendapat rezeki Allah ? Allah Mahamampu memberikan rezeki kepada manusia tanpa harus keluar dari tempat asalnya. ”
Anak muda itu kemudian kembali kerumahnya dan tak melanjutkan perjalanan. Dia menceritakan apa yang dilihatnnya kepada ayahnya. Sang ayah berkata, ” Putraku, engkau salah ! Aku ingin kau menjadi singa yang mencari mangsa kle semua tempat, sementara orang lain seperti rubah kelaparan yang perlu kepadamu. Bukannya engkau malah menjadi rubah yang tak bertangan yang kelaparan dan menggantungkan hidupnya dari sisa makanan orang lain…….”
Setelah mendengarkan nasehat ayahnya, dia pun melanjutkan perjalanannya untuk berniaga.
Imam Ali berkata, ” Berjiwa besarlah agar kepada siapa saja agar engkau menjadi pemimpinnya. Janganlah merasa perlu kepada siapapun,agar engkau seperti dia. Dan (jangan) tampakkan kebutuhanmu kepada siapapun, agar engkau (tidak) menjadi tawanannya. ‘
Dikutip dari Buku ” Kisah Ayah Ibu ” Karya Ahmad Mir Khalaf Zadeh & Qasim Mir Khalaf Zadeh

15. AYAH MAAFKAN DITA ………

Sepasang suami isteri – seperti pasangan lain di kota-kota besar meninggalkan anak-anak diasuh pembantu rumah sewaktu bekerja. Anak tunggal pasangan ini, perempuan cantik berusia tiga setengah tahun. Sendirian ia di rumah dan kerap kali dibiarkan pembantunya karena sibuk bekerja di dapur. Bermainlah dia bersama ayun-ayunan di atas buaian yang dibeli ayahnya, ataupun memetik bunga dan lain-lain di halaman rumahnya.
Suatu hari dia melihat sebatang paku karat. Dan ia pun mencoret lantai tempat mobil ayahnya diparkirkan, tetapi karena lantainya terbuat dari marmer maka coretan tidak kelihatan. Dicobanya lagi pada mobil baru ayahnya. Ya… karena mobil itu bewarna gelap, maka coretannya tampak jelas. Apalagi anak-anak ini pun membuat coretan sesuai dengan kreativitasnya.
Hari itu ayah dan ibunya bermotor ke tempat kerja karena ingin menghindari macet. Setelah sebelah kanan mobil sudah penuh coretan maka ia beralih ke sebelah kiri mobil. Dibuatnya gambar ibu dan ayahnya, gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya mengikut imaginasinya. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari oleh si pembantu rumah.
Saat pulang petang, terkejutlah pasangan suami istri itu melihat mobil yang baru setahun dibeli dengan bayaran angsuran yang masih lama lunasnya. Si bapak yang belum lagi masuk ke rumah ini pun terus menjerit, “Kerjaan siapa ini !!!” …. Pembantu rumah yang tersentak dengan jeritan itu berlari keluar.. Dia juga beristighfar. . Mukanya merah padam ketakutan lebih2 melihat wajah bengis tuannya. Sekali lagi diajukan pertanyaan keras kepadanya, dia terus mengatakan ‘ Saya tidak tahu..tuan.” “Kamu dirumah sepanjang hari, apa saja yg kau lakukan?” hardik si isteri lagi.
Si anak yang mendengar suara ayahnya, tiba-tiba berlari keluar dari kamarnya. Dengan penuh manja dia berkata “DIta yg membuat gambar itu ayahhh.. cantik …. kan !” katanya sambil memeluk ayahnya sambil bermanja seperti biasa.. Si ayah yang sudah hilang kesabaran mengambil sebatang ranting kecil dari pohon di depan rumahnya, terus dipukulkannya berkali2 ke telapak tangan anaknya. Si anak yang tak mengerti apa apa menagis kesakitan, pedih sekaligus ketakutan. Puas memukul telapak tangan, si ayah memukul pula belakang tangan anaknya.
Sedangkan Si ibu cuma mendiamkan saja, seolah merestui dan merasa puas dengan hukuman yang dikenakan.. Pembantu rumah terbengong, tdk tahu hrs berbuat apa… Si ayah cukup lama memukul-mukul tangan kanan dan kemudian ganti tangan kiri anaknya. Setelah si ayah masuk ke rumah diikuti si ibu, pembantu rumah tersebut menggendong anak kecil itu, membawanya ke kamar.
Dia terperanjat melihat telapak tangan dan belakang tangan si anak kecil luka2 dan berdarah. Pembantu rumah memandikan anak kecil itu. Sambil menyiramnya dengan air, dia ikut menangis. Anak kecil itu juga menjerit-jerit menahan pedih saat luka2nya itu terkena air.. Lalu si pembantu rumah menidurkan anak kecil itu. Si ayah sengaja membiarkan anak itu tidur bersama pembantu rumah. Keesokkan harinya, kedua belah tangan si anak bengkak. Pembantu rumah mengadu ke majikannya. “Oleskan obat saja!” jawab bapak si anak.
Pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan anak kecil itu yang menghabiskan waktu di kamar pembantu. Si ayah konon mau memberi pelajaran pada anaknya. Tiga hari berlalu, si ayah tidak pernah menjenguk anaknya sementara si ibu juga begitu, meski setiap hari bertanya kepada pembantu rumah. “Dita demam, Bu”…jawab pembantunya ringkas. “Kasih minum panadol aja ,” jawab si ibu. Sebelum si ibu masuk kamar tidur dia menjenguk kamar pembantunya. Saat dilihat anaknya Ditadalam pelukan pembantu rumah, dia menutup lagi pintu kamar pembantunya.
Masuk hari keempat, pembantu rumah memberitahukan tuannya bahwa suhubadan Dita terlalu panas. “Sore nanti kita bawa ke klinik.. Pukul 5.00 sudah siap” kata majikannya itu. Sampai saatnya si anak yang sudah lemah dibawa ke klinik. Dokter mengarahkan agar ia dibawa ke rumah sakit karena keadaannya susah serius. Setelah beberapa hari di rawat inap dokter memanggil bapak dan ibu anak itu. “Tidak ada pilihan..” kata dokter tersebut yang mengusulkan agar kedua tangan anak itu dipotong karena sakitnya sudah terlalu parah dan infeksi akut…”Ini sudah bernanah, demi menyelamatkan nyawanya maka kedua tangannya harus dipotong dari siku ke bawah” kata dokter itu. Si bapak dan ibu bagaikanterkena halilintar mendengar kata-kata itu. Terasa dunia berhenti berputar, tapi apa yg dapat dikatakan lagi.
Si ibu meraung merangkul si anak. Dengan berat hati dan lelehan air mata isterinya, si ayah bergetar tangannya menandatangani surat persetujuan pembedahan. Keluar dari ruang bedah, selepas obat bius yang disuntikkan habis, si anak menangis kesakitan. Dia juga keheranan melihat kedua tangannya berbalut kasa putih. Ditatapnya muka ayah dan ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah. Dia mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis. Dalam siksaan menahan sakit, si anak bersuara dalam lina ngan air mata. “Ayah.. ibu… Dita tidak akan melakukannya lagi…. Dita tak mau lagi ayah pukul. Dita tak mau jahat lagi… Dita sayang ayah.. sayang ibu.”, katanya berulang kali membuatkan si ibu gagal menahan rasa sedihnya. “Dita juga sayang Mbok Narti..” katanya memandang wajah pembantu rumah, sekaligus membuat wanita itu meraung histeris.
“Ayah.. kembalikan tangan Dita. Untuk apa diambil.. Dita janji tidak akan mengulanginya lagi! Bagaimana caranya Dita mau makan nanti?…. Bagaimana Dita mau bermain nanti?…. Dita janji tdk akan mencoret2 mobil lagi, ” katanya berulang-ulang. Serasa hancur hati si ibu mendengar kata-kata anaknya. Meraung2 dia sekuat hati namun takdir yang sudah terjadi tiada manusia dapat menahannya. Nasi sudah jadi bubur. Pada akhirnya si anak cantik itu meneruskan hidupnya tanpa kedua tangan dan ia masih belum mengerti mengapa tangannya tetap harus dipotong meski sudah minta maaf…
Tahun demi tahun kedua orang tua tsb menahan kepedihan dan kehancuran bathin sampai suatu saat Sang ayah tak kuat lagi menahan kepedihannya dan wafat diiringi tangis penyesalannya yg tak bertepi…, Namun…., si Anak dengan segala keterbatasan dan kekurangannya tsb tetap hidup tegar bahkan sangat sayang dan selalu merindukan ayahnya..
Sumber : Facebook ” Kumpulan Cerita Penuh Hikmah “

16. MAAFKAN IBU, BIDADARI KECILKU

Malam belum seberapa tua, mata anak sulungku belum juga bisa dipejamkan. Beberapa buku telah habis kubacakan hingga aku merasa semakin lelah.
“Kamu tidur donk Dila, Ibu capek nih baca buku terus, kamunya nggak tidur-tidur,” pintaku .
Ditatapnya dalam wajahku, lalu kedua tangannya yang lembut membelai pipiku. Dan, oh Subhanallah, kehangatan terasa merasuki tubuhku ketika tanpa berkata-kata diciumnya kedua pipiku. Tak lama, ia minta diantarkan pipis dan gosok gigi. Ia tertidur kemudian, sebelumnya diucapkannya salam dan maafnya untukku. “Maafin kakak ya Bu. Selamat tidur,” ujarnya lembut. Kebiasaan itulah yang berlaku dikeluarga kami sebelum tidur. Aku menghela nafas panjang sambil kuperhatikan si sulung yang kini telah beranjak sembilan tahun. Itu artinya telah sepuluh tahun usia pernikahan kami.
Dentang waktu didinding telah beranjak menuju tengah malam. Setengah duabelas lewat lima ketika terdengar dua ketukan di pintu. Itu ciri khas suamiku. Seperti katanya barusan ditelepon, bahwa ia pulang terlambat karena ada urusan penting yang tak bisa ditunda besok. Suamiku terkasih sudah dimuka pintu. Cepat kubukakan pintu setelah sebelumnya menjawab salam. “Anak-anak sudah tidur?”
Pertanyaan itu yang terlontar setelah ia bersih-bersih dan menghirup air hangat yang aku suguhkan. “Sudah,” jawabku singkat.
“Kamu capek sekali kelihatannya. Dila baik-baik saja?”
Aku menggangguk. “Aku memang capek. Tapi aku bahagia sekali, bahkan aku pingin seperti ini seterusnya.”
Lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu menatapku dengan sedikit bingung. “Akan selalu ada do’a untukmu, karena keikhlasanmu mengurus anak-anak dan suami tentunya. Dan aku akan minta pada Allah untuk memberimu pahala yang banyak,” hiburnya kemudian.
Aku tahu betapa ia penasaran ingin tahu apa yang hendak aku katakan, tapi ia tak mau memaksaku untuk bercerita. Tak sanggup aku menahan gejolak perasaan dalam dada yang sepertinya hendak meledak. Kurangkul erat tubuhnya. “Maafkan aku mas,” bisikku dalam hati.
Pagi ini udara begitu cerah. Dila, sulungku yang semalam tidur paling akhir menjadi anak yang lebih dulu bangun pagi. Bahkan ia membangunkan kami untuk sholat subuh bersama. Mandi pagipun tanpa dikomandoi lagi. Dibantunya sang adik, Helmi, memakai celana. Dila memang telah trampil membantuku mengurus adiknya. Tak hanya itu, menyapu halamanpun ia lakukan. Tapi itu dengan catatan, kalau ia sedang benar-benar ingin melakukannya. Kalau “angot” nya datang, wah, wah, wah. Inilah yang ingin aku ceritakan. Dila kerap marah berlebihan tanpa sebab yang jelas, sampai membanting benda-benda didekatnya, menggulingkan badan dilantai dan memaki dengan kata-kata kotor.
Memang aku pernah melakukan suatu kesalahan saat aku kesal menghadapi ulahnya. Saking tak tertahannya kesalku, aku membanting pintu dan itu dilihatnya.
Wajar saja kalau akhirnya Dila meniru perbuatanku itu. Penuh rasa sesal saat itu, aku berjanji untuk tidak melakukan hal itu kembali.
Kuberikan penjelasan pada Dila bahwa aku salah dan hal itu tak boleh ia lakukan. Entah ia mengerti atau tidak. Hari itu Dila bangun agak siang karena kebetulan hari Minggu, pakaiannya basah kena ompol. Padahal ia tak biasanya begitu. Segera saja kusuruhnya mandi. Tapi Dila menolak, dengan alasan mau minum susu. “Boleh, tapi setelah minum susu , kakak segera mandi ya karena baju kakak basah kena ompol” Dila menyetujui perjanjian itu. Tapi belum lagi lima menit setelah habis susu segelas, ia berhambur keluar karena didengarnya teman-temannya sedang main. Mandipun urung dikerjakan. Aku masih mentolelir. Tapi tak lama berselang “Kak Dila. mandi dulu,” aku setengah berteriak memanggilnya karena ia sudah berada diantara kerumunan anak yang sedang main lompat tali. “Sebentar lagi Bu. Kakak mau lihat Nisa dulu,” begitu jawabnya.
Aku masih belum bereaksi. Kutinggal ia sebentar karena Helmi merengek minta susu. Setelah membuatkan susu untuknya, aku keluar rumah lagi. Kali ini menghampiri Dila. “Waktumu sudah habis, sekarang kamu mandi”, bisikku pelan ditelinganya. Dila bereaksi menamparku keras, “Nanti dulu!” aku tersentak, mendadak emosiku membludak. Aku balas menampar Dila hingga meninggalkan bekas merah di pipi kanannya. Tanpa berkata-kata lagi, kuseret tangannya sekuat tenaga. Dila terus meronta. Kakiku digigitnya. Aku dengan balas mencubit. Layaknya sebuah pertarungan besar kami saling memukul dan meninggikan suara. Setibanya dikamar mandi Dila kuguyur berulang-ulang, kugosok badanya dengan keras, kuberi sabun dan kuguyur lagi hingga ia tampak gelagapan. Aku benar benar kalap. Selang beberapa menit kemudian, kukurung Dila dikamar mandi dalam keadaan masih tidak berpakaian. Ia menggedor-gedor pintu minta dibukakan. Berulang kali ia memaki dan mengatakan akan mengadukan kepada ayah.
Tak berapa lama kemudian suara Dila melemah, hanya terdengar isak tangisnya. Aku membukakan pintu dengan mengomel. “Makanya, kalau disuruh mandi jangan menolak, Ibu sampe capek, dari tadi kamu menolak mandi terus. Awas ya kalau seperti ini lagi. Ibu akan kunci kamu lebih lama lagi. Paham!”, entah ia mengerti atau tidak. Dila hanya menangis meski tidak lagi meraung. Setelah rapih berpakaian, menyisir rambut dan makan.
Dila seolah melupakan kejadian itu. Iapun asyik kembali main dengan teman-temannya. Peristiwa itu tidak hanya satu dua kali terjadi. Tidak hanya pada saya ibunya tapi juga pada ayahnya. Tapi, cara suamiku memperlakukan Dila sangat berbeda. Barangkali memang dasarnya aku yang tidak sabar menghadapi anak rewel. Tiap kali itu terjadi, cara itulah yang aku lakukan untuk mengatasinya. Bahkan mungkin ada yang lebih keras lagi dari itu.
Tapi apa yang dilakukan Dila pada saya ?
Subhanallah, Dila tak pernah menceritakan perlakuanku terhadapnya kepada siapapun. Seolah ia pendam sendiri dan tak ingin diketahui orang lain. Akupun tak pernah menceritakan kepada suami, khawatir kalau ia marah. Padahal Dila itu anak kandungku, anak yang keluar dari rahimku sendiri. Aku kadang membencinya, tidak memperlakukan dia layaknya aku memperlakukan Helmi adiknya. Dila anak yang cerdas. Selalu ceria, gemar menghibur teman-temannya dengan membacakan mereka buku yang tersedia dirumah. Bahkan teman-temannya merasa kehilangan ketika Dila menginap di rumah neneknya diluar kota, yang cuma dua malam. Belaian lembut tangan suamiku menyadarkan aku.
Kulepas pelukanku perlahan. Tak sadar air mata menyelinap keluar membasahi pipi. “Sudahlah, malam semakin larut. Ayo kita tidur,” ajaknya lembut. Aku berusaha menenangkan gemuruh dibatinku. Astaghfirullah, aku beristighfar berulang kali. “Aku mau tidur dekat Dila ya?” pintaku. Lagi-lagi kearifan suamiku membuatku semakin merasa bersalah.
Kuhampiri Dila yang tampak pulas memeluk guling kesayangannya. Siswi kelas tiga SD itu begitu baik hati. Aku malu menjadi ibunya yang kerap memukul, berkata-kata dengan suara keras dan…oh Dila maafkan Ibu. Disisi Dila bidadari kecilku, aku bersujud di tengah malam. ” Ya Allah, melalui Dila, Engkau didik hambamu ini untuk menjadi ibu yang baik. Aku bermohon ampunan kepada-Mu atas apa yang telah kulakukan pada keluargaku, pada Dila. Beri hamba kesempatan memperbaiki kesalahan dan ingatkan hamba untuk tidak mengulanginya lagi. Dila, maafkan Ibu nak, kamu banyak memberi pelajaran buat Ibu.”
Sebuah renungan untuk para ibu (termasuk saya didalamnya). Semoga kita semakin menyayangi anak-anak dan memperlakukan mereka dengan baik. Sebagaimana diingatkan dalam sebuah hadits Nabi SAW agar manusia menyayangi anak-anaknya. Ketika Aqra’ bin Habis At Tamimi mengatakan bahwa ia memiliki sepuluh anak tapi tak pernah mencium salah seorang diantara mereka, Rasululloh SAW bersabda “barangsiapa yang tidak menyayangi maka dia tidak disayangi” (HR. Bukhari dan Tirmizi)
from : Eramuslim.Com

17. LOVE OUR MOM, ALWAYS !

Waktu kamu berumuran 1 tahun , dia menyuapi dan memandikanmu … sebagai balasannya … kau menangis sepanjang malam.
Waktu kamu berumur 2 tahun , dia mengajarimu bagaimana cara berjalan ..
sebagai balasannya …. kamu kabur waktu dia memanggilmu
Waktu kamu berumur 3 tahun, dia memasak semua makananmu dengan kasih sayang .. sebagai balasannya ….. kamu buang piring berisi makananmu ke lantai
Waktu kamu berumur 4 tahun, dia memberimu pensil warna … sebagai balasannya .. kamu corat coret tembok rumah dan meja makan
Waktu kamu berumur 5 tahun, dia membelikanmu baju-baju mahal dan indah..sebagai balasannya … kamu memakainya bermain di kubangan lumpur
Waktu berumur 6 tahun, dia mengantarmu pergi ke sekolah … sebagai
balasannya … kamu berteriak “NGGAK MAU ..!”
Waktu berumur 7 tahun, dia membelikanmu bola … sebagai balasannya .kamu melemparkan bola ke jendela tetangga
Waktu berumur 8 tahun, dia memberimu es krim … sebagai balasannya…kamu tumpahkan dan mengotori seluruh bajumu
Waktu kamu berumur 9 tahun , dia membayar mahal untuk kursus-kursusmu .sebagai balasannya …. kamu sering bolos dan sama sekali nggak mau belajar
Waktu kamu berumur 10 tahun, dia mengantarmu kemana saja, dari kolam renang sampai pesta ulang tahun .. sebagai balasannya … kamu melompat keluar mobil tanpa memberi salam
Waktu kamu berumur 11 tahun, dia mengantar kamu dan temen-temen kamu kebioskop .. sebagai balasannya … kamu minta dia duduk di barisan lain
Waktu kamu berumur 12 tahun, dia melarangmu melihat acara tv khusus untuk orang dewasa … sebagai balasannya …. kamu tunggu sampai dia keluar rumah
Waktu kamu berumur 13 tahun, dia menyarankanmu untuk memotong rambut karena sudah waktunya .sebagai balasannya.. kamu bilang dia tidak tahu mode
Waktu kamu berumur 14 tahun, dia membayar biaya untuk kemahmu selama liburan .. sebagai balasannya …. kamu nggak pernah menelponnya
Waktu kamu berumur 15 tahun, pulang kerja dia ingin memelukmu …
sebagai balasannya … kamu kunci pintu kamarmu
Waktu kamu berumur 16 tahun, dia mengajari kamu mengemudi mobil ….sebagai balasannya …. kamu pakai mobilnya setiap ada kesempatan tanpa
mempedulikan kepentingannya
Waktu kamu berumur 17 tahun, dia sedang menunggu telpon yang penting … sebagai balasannya …. kamu pakai telpon nonstop semalaman,
waktu kamu berumur 18 tahun, dia menangis terharu ketika kamu lulus SMA.. sebagai balasannya …. kamu berpesta dengan teman-temanmu sampai pagi
Waktu kamu berumur 19 tahun, dia membayar semua kuliahmu dan mengantarmu
ke kampus pada hari pertama … sebagai balasannya …. kamu minta
diturunkan jauh dari pintu gerbang biar nggak malu sama temen-temen
Waktu kamu berumur 20 tahun, dia bertanya “Darimana saja seharian ini?”.. sebagai balasannya … kamu menjawab “Ah, cerewet amat sih, pengen tahu urusan orang.”
Waktu kamu berumur 21 tahun, dia menyarankanmu satu pekerjaan bagus untuk karier masa depanmu … sebagai balasannya …. kamu bilang “Aku nggak mau
seperti kamu.”
Waktu kamu berumur 22 tahun, dia memelukmu dan haru waktu kamu lulus
perguruan tinggi .. sebagai balasanmu … kamu nanya kapan kamu bisa main ke luar negeri
Waktu kamu berumur 23 tahun, dia membelikanmu 1 set furniture untuk rumah
barumu … sebagai balasannya … kamu ceritain ke temanmu betapa jeleknya furniture itu
Waktu kamu berumur 24 tahun, dia bertemu dengan tunanganmu dan bertanya
tentang rencana di masa depan … sebagai balasannya … kamu mengeluh
“Aduh gimana sih kok bertanya seperti itu.”
Waktu kamu berumur 25 tahun, dia membantumu membiayai pernikahanmu ..
sebagai balasannya … kamu pindah ke kota lain yang jaraknya lebih dari 500 km.
Waktu kamu berumur 30 tahun, dia memberimu nasehat bagaimana merawat
bayimu … sebagai balasannya …. kamu katakan “Sekarang jamannya sudah beda.”
Waktu kamu berumur 40 tahun , dia menelponmu untuk memberitahu pesta salah
satu saudara dekatmu .. sebagai balasannya kamu jawab “Aku sibuk sekali,
nggak ada waktu.”
Waktu kamu berumur 50 tahun, dia sakit-sakitan sehingga memerlukan perawatanmu … sebagai balasannya …. kamu baca tentang pengaruh negatif orang tua yang numpang tinggal di rumah anaknya
dan hingga SUATU HARI, dia meninggal dengan tenang … dan tiba-tiba kamu
teringat semua yang belum pernah kamu lakukan, … dan itu menghantam
HATIMU bagaikan pukulan godam
MAKA …
JIKA ORANGTUAMU MASIH ADA … BERIKANLAH KASIH SAYANG DAN PERHATIAN LEBIH DARI YANG PERNAH KAMU BERIKAN SELAMA INI
JIKA ORA NG TUAMU SUDAH TIADA … INGATLAH KASIH SAYANG DAN CINTANYA YANG TELAH DIBERIKANNYA DENGAN TULUS TANPA SYARAT KEPADAMU, DAN HATURKANLAH TERUS DOA UNTUKNYA
Sumber : Facebook ” Catatan Kecil Penuh Hikmah “

18. MENGENANG LELAKI TUA, AYAHKU

Oleh RB Thamrin
Malam itu saya berjalan pulang dariMasjid Pusdai Bandung. Di depan Gedung Sate, mata saya tertuju pada sesosok tubuh yang sedang tertidur di trotoar jalan. Saya amati agak lama, ternyata sosok itu adalah seorang pria tua. Dari penampilannya saya yakin ia adalah seorang gelandangan.
Saat itu terlintas pertanyaan di benak saya. Di manakah anak-anak dari bapak tua ini? Mengapa seorang bapak tua harus tidur kedinginan di pinggir jalan? Tidakkah ia mempunyai anak atau keluarga? Bukankah sudah kewajiban anak-anak untuk memelihara orang tuanya? Apakah pantas seorang ayah yang telah bersimbah keringat, darah dan air mata, berkorban untuk anak memperoleh balasan tidur di pinggir jalan di usia senja?
Teringat sebuah cerita. Ada seorang lelaki yang hidup bahagia dengan anak, isteri, dan ayah kandungnya. Suatu hari banjir hebat melanda kampung mereka. Ketika semua orang sibuk menyelamatkan diri, si lelaki beruntung mendapatkan sebatang kayu. Kayu ini tidak terlalu besar hanya cukup untuk 2 orang. Ia berfikir saat itu, siapa satu orang lagi yang harus ia angkut dengan kayu itu. Akhirnya Ia putuskan untuk membawa ayah kandungya, dengan resiko isteri dan anaknya terbawa banjir yang semakin membesar. Ketika ditanya apa alasan beliau memilih ayah kandungnya, bukan anak atau isteri. Ia menjawab, bahwa Insya Allah jika saya kehilangan anak dan isteri, Allah akan mengganti dengan yang lebih baik. Tapi seorang ayah kandung, saya hanya mendapat satu kali seumur hidup.
Masya Allah. Pikiran saya segera melayang ke rumah. Teringat ayah saya yang sedang duduk di kursi roda, menahan sakit stroke yang telah diderita 3 tahun terakhir. Saya harus segera pindahkan ke atas tempat tidurnya. Kaki ini dipaksa untuk semakin cepat melangkah, mencari kendaraan umum yang selalu saja penuh.
Catatan:
Sebuah permohonan maaf untukmu ayah. Lama kita tidak berbicara, entah kesibukan apa yang membatasi kita. Sampai akhirnya Allah memisahkan, dan kita tidak dapat saling bicara untuk selamanya. Kuharap Allah mempertemukan kita di surganya kelak. Amiin.

19. MAAFKAN AKU MAMA

Oleh Galih Ari Permana
“Galih, uang mama tinggal lima puluh ribu.” Sebuah kalimat yang tiba-tiba terlontar diantara percakapan aku dengan mama. Kalimat tersebut seperti membuat sebuah hentakan yang menghujam hatiku.
Sebenarnya kalimat seperti itu bukanlah untuk kali yang pertama yang aku dengar dari mulut mama. Hanya saja aku sering merasa berdosa setiap mama berkata seperti itu. Aku merasa seperti anak yang belum bisa berbakti dengan baik. Aku sadar tanggung jawab keluarga ada di pundakku sebagai anak lelaki yang paling besar selepas kepergian Bapak. Fiuh…hanya helaan nafas sebagai responku terhadap perkataan mama sambil menundukkan kepala.
Setiap anak tentunya sangat ingin berbakti terhadap kedua orang tuanya terlebih kepada ibu. Kasih ibu kepada anaknya menjadikan jasa tanpa balas, cinta tanpa batas, yang sebenarnya tidak akan terbayarkan dengan bakti seorang anak sepanjang hayatnya. Aku pun demikian.
Jauh di lubuk hatiku keinginan untuk membuat mama bahagia di sisa usianya adalah cita-cita besarku. Membuatnya untuk selalu tersenyum adalah lukisan yang terindah bagiku. Sedih dan gundahnya adalah duri yang menancap bagiku.
Aku sangat sadar bahwa hasil kerjaku hanya pas untuk makan sehari-hari. Aku juga mengetahui bahwa saat ini mama sering menahan diri untuk membeli sesuatu yang dia sukai dan lebih baik dialokasikan untuk hal-hal yang menjadi kebutuhan di rumah. Aku tahu bahwa keriput dan warna putih di rambutnya yang kian hari kian tampak sebagai akibat beban pikiran yang mama tanggung karena memikirkan masa depan anak-anaknya.
Sering aku memperhatikan wajahnya ketika tidur. Wajah letihnya mengurus rumah dan anak-anaknya membuat aku semakin merasa menjadi anak yang kurang berbakti. Rasanya tidak adil apa yang mama terima dari anak-anaknya jika dibandingkan dengan kasih sayang dan pengorbanannya. Sembari memperhatikan wajah mama dalam keadaan tidur aku selalu berdoa dala hati,”Ya Allah, janganlah Engkau panggil mama sebelum mama merasa puas dengan bakti yang aku berikan untuknya.”
Pernah suatu hari mama berkata,” Jika kamu dan yang lainnya menikah, nanti mama tinggal sendiri?”
Dengan mulut bergetar aku menjawab,”Mama akan menjadi tanggung jawab Galih. Mama akan tinggal sama Galih.” Hampir saja air mata ini menetes.
Kepergian bapak memang cukup meninggalkan luka di hati mama. Kekosongan dan rasa sepi kerap menyapanya. Sehingga sering aku menemukan mama duduk melamun sambil menatapi foto bapak yang terpajang di ruang tamu. Kehilangan pendamping hidup serasa hilang separuh jiwa, sepi, hampa, meski mama masih memiliki lima orang anak namun ramai itu hanya sejenak. Tidak ada lagi teman berbagi cerita, keluh-kesah, dan orang yang menjaganya.
Aku menyadari bahwa ini adalah sebuah perjuangan hidup. Bahkan lebih dari itu ini adalah medan kebaikan jika aku dapat berbakti dan memberikan kebahagiaan untuk mama. Dengannya akan mengalirkan banyak pahala yang akan membuat hidupku menjadi bermakna dan bernilai. Oleh karena itu sekuat mungkin aku menghindari sikap berputus asa dari rahmat Allah SWT. Keadaan ini bukan untuk diratapi dan disesali. Aku harus menghadapinya dengan terus-menerus memohon pertolongan dari Yang Maha Kuasa untuk tetap membuatku semangat berikhtiar dengan maksimal.
Dalam setiap sujud tidak lupa aku berdoa untuk mama. Semoga Allah SWT selalu menjaga mama dan memberikan mama kesehatan. Semoga Allah SWT menyayangi mama sebagaimana mama menyayangi aku. Semoga Allah SWT mencabut gundah dan gelisah di hati mama. Menjadikan sisa umur mama penuh dengan kebahagiaan dan kebaikan.
Ada satu hal yang sebenarnya ingin sekali aku lakukan namun sering tidak mampu. Aku sangat ingin memeluk mama dan berkata kepadanya bahwa aku cinta dan sayang kepadanya.
Ya Allah, berikanlah hamba-Mu ini kesempatan untuk dapat membahagiakan mama di sisa usianya.

20. PESAN IBU

Suatu hari, tampak seorang pemuda tergesa-gesa memasuki sebuah restoran karena kelaparan sejak pagi belum sarapan. Setelah memesan makanan, seorang anak penjaja kue menghampirinya, “Om, beli kue Om, masih hangat dan enak rasanya!”
“Tidak Dik, saya mau makan nasi saja,” kata si pemuda menolak.
Sambil tersenyum si anak pun berlalu dan menunggu di luar restoran.
Melihat si pemuda telah selesai menyantap makanannya, si anak menghampiri lagi dan menyodorkan kuenya. Si pemuda sambil beranjak ke kasir hendak membayar makanan berkata, “Tidak Dik, saya sudah kenyang.”
Sambil terus mengikuti si pemuda, si anak berkata, “Kuenya bisa dibuat oleh-oleh pulang, Om.”
Dompet yang belum sempat dimasukkan ke kantong pun dibukanya kembali. Dikeluarkannya dua lembar ribuan dan ia mengangsurkan ke anak penjual kue. “Saya tidak mau kuenya. Uang ini anggap saja sedekah dari saya.”
Dengan senang hati diterimanya uang itu. Lalu, dia bergegas ke luar restoran, dan memberikan uang pemberian tadi kepada pengemis yang berada di depan restoran.
Si pemuda memperhatikan dengan seksama. Dia merasa heran dan sedikit tersinggung. Ia langsung menegur, “Hai adik kecil, kenapa uangnya kamu berikan kepada orang lain? Kamu berjualan kan untuk mendapatkan uang. Kenapa setelah uang ada di tanganmu, malah kamu berikan ke si pengemis itu?”
“Om, saya mohon maaf. Jangan marah ya. Ibu saya mengajarkan kepada saya untuk mendapatkan uang dari usaha berjualan atas jerih payah sendiri, bukan dari mengemis. Kue-kue ini dibuat oleh ibu saya sendiri dan ibu pasti kecewa, marah, dan sedih, jika saya menerima uang dari Om bukan hasil dari menjual kue. Tadi Om bilang, uang sedekah, maka uangnya saya berikan kepada pengemis itu.”
Si pemuda merasa takjub dan menganggukkan kepala tanda mengerti. “Baiklah, berapa banyak kue yang kamu bawa? Saya borong semua untuk oleh-oleh.” Si anak pun segera menghitung dengan gembira.
Sambil menyerahkan uang si pemuda berkata, “Terima kasih Dik, atas pelajaran hari ini. Sampaikan salam saya kepada ibumu.”
Walaupun tidak mengerti tentang pelajaran apa yang dikatakan si pemuda, dengan gembira diterimanya uang itu sambil berucap, “Terima kasih, Om. Ibu saya pasti akan gembira sekali, hasil kerja kerasnya dihargai dan itu sangat berarti bagi kehidupan kami.”
Ini sebuah ilustrasi tentang sikap perjuangan hidup yang POSITIF dan TERHORMAT. Walaupun mereka miskin harta, tetapi mereka kaya mental! Menyikapi kemiskinan bukan dengan mengemis dan minta belas kasihan dari orang lain. Tapi dengan bekerja keras, jujur, dan membanting tulang.
Jika setiap manusia mau melatih dan mengembangkan kekayaan mental di dalam menjalani kehidupan ini, lambat atau cepat kekayaan mental yang telah kita miliki itu akan mengkristal menjadi karakter, dan karakter itulah yang akan menjadi embrio dari kesuksesan sejati yang mampu kita ukir dengan gemilang.
Sumber : andriewongso.com

21. Rasulullah Mau Membakar Seorang Sahabat Yang Tidak Direlakan Ibunya

Alqamah adalah salah seorang sahabat Rasulullah Saw ; dia jatuh sakit dan berada dalam kondisi sekarat. Rasulullah Saw mendekatinya seraya berkata, “ Katakanlah : La ilaha illallah. ” Tetapi mulutnya tertutup rapat; tak kuasa mengucapkan kalimat tersebut. Rasulullah Saw bersabda , ” Suruh ibunya kemari. ” Para sahabat beliau pun membawa ibu Al qamah ke hadapan beliau Saw.
Rasulullah Saw bertanya, ” Apakah dia mengerjakan sembahyang? ”
Sang Ibu menjawab, ” Ya Rasulullah, dia selalu shalat bersama Anda. “
Rasulullah Saw bertanya, ” Apakah dia menjalankan ibadah puasa? ”
Sang ibu menjawab, ” Wahai Muhammad, berturut-turut dia menjalankan ibadah puasa mulai dari bulan Rajab, Sya’ban hingga Ramadhan. “
Rasulullah saw bertanya, ” Apakah dia juga pernah turut serta dalam jihad di jalan Allah? “
Sang ibu menjawab, ” Dia selalu berjuang di setiap pertempuran dengan Anda. “
Rasulullah Saw bertanya, ” Mungkin dia belum pernah menjalankan ibadah haji. ”
Wanita tua itu menjawab, ” Dia selalu menjalankannya bersama anda. “
Sampai akhirnya, beliau Saw bertanya padanya, ” Apakah engkau rela padanya? ”
Dia menjawab, ” Tidak, wahai Rasulullah. “
Kemudian, mulailah dia mencurahkan isi hatinya kepada beliau Saw dan berkata , ” Hai Muhammad, dia mulai melupakan saya dan tak peduli pada kondisi saya semenjak dia beristri. “
Rasulullah Saw berkata, ” Sekarang relakanlah dia. “
Dia menjawab, ” Saya tak bisa merelakannnya. “
Rasulullah Saw berkata, ” Wahai para sahabatku, siapkanlah kayu bakar. ”
Para sahabat pun membawa kayu bakar sangat banyak dan menyalakan api. Beliaupun bersabda, ” Angkatlah tubuh Alqamah dan lemparkanlah dia ke dalam jilatan api. ”
Sang ibu langsung maju ke depan dan berkata, ” Wahai Rasulullah, apakah engkau benar-benar akan membakar putraku? “
Beliau Saw menjawab, “ Ya, karena engkau tidak merelakannya, maka mau tidak mau Allah akan membakarnya dengan api neraka-Nya. Sekarang ini aku ingin lebih dulu membakarnya di hadapanmu agar engkau tahu bahwa ini adalah api dunia dan api akherat jauh lebih panas dari api dunia. ”
Wanita tua itu berkata, ” Kalau begitu, aku merelakannya. “
Seketika itu juga wajah Alqamah berubah dan jauh lerbih baik dari sebelumnya. Rasulullah Saw lalu mengajarkan doa dan memerintahkannya untuk meminta kerelaan kedua orang tuanya.

22. Mencuri Uang Anak Sendiri

Seorang lelaki datang kepada Nabi saw, mengadukan ayahnya yang menghabiskan uang miliknya tanpa meminta izin terlebih dahulu kepadanya. Nabi yang mulia memanggil ayah orang itu ke hadapannya. Ketika lelaki jompo itu datang dengan tertatih-tatih bersandar pada tongkatnya, Nabi bertanya, “Betulkah kau mengambil uang anakmu tanpa seizinnya?”
“Wahai Nabi Allah,” lelaki itu menangis, “ketika aku kuat dan anakku lemah, ketika aku kaya dan dia miskin, aku tidak membelanjakan uangku kecuali untuk memberi makan kepadanya, bahkan terkadang aku membiarkan diriku kelaparan asalkan dia boleh makan. Sekarang aku telah tua dan lemah sementara anakku tumbuh kuat. Aku telah jatuh miskin sementara anakku menjadi kaya. Ia mulai menyembunyikan uangnya dariku. Dahulu aku menyediakan makan untuknya tapi sekarang ia hanya menyiapkan makan untuk dirinya. Aku tak pernah memperlakukan ia seperti ia mempelakukanku. Jika saja aku masih sekuat dulu, aku akan merelakan uangku untuknya.”
Ketika mendengar hal ini, airmata Nabi saw jatuh berlinang seperti untaian mutiara menimpa janggutnya yang suci, “Baiklah,” Nabi berkata, “habiskan seluruh wang anakmu sekehendak hatimu. uang itu milikmu…”

23. RINDUag"> Cerpen: SEKALI DINDA DENGAN AYAH

24. Seorang Ibu Menunggu

Cerpen: An. Ismanto

Sehembus angin menghambur-hamburkan debu, dedaunan layu dan ceceran kertas di halaman rumahnya ketika suatu sore ia menemani suaminya bercengkerama di beranda. Terdengar bunyi gemeresak yang ribut. Mendengar bunyi itu, ingatannya terseret kembali ke detik-detik menegangkan bertahun-tahun lalu, ketika ia berdiri di pintu dengan cemas sementara azan maghrib menjengkali setiap penjuru udara. Namun, seperti biasa, suaminya selalu saja membuyarkan saat-saat menggetarkan itu.
”Sudahlah. Jangan lagi kau kenang-kenang anak bengal itu. Nanti kau sakit,” kata suaminya dengan ketus.
”Tapi dia anak kita, Yah,” jawabnya lirih.
Suaminya mendengus. “Apa faedahnya menunggu anak durhaka seperti itu? Berapa tahun sudah dia tak pulang, tak berkirim sekadar kabar? Toh kalau dia kembali, kau dan aku juga sudah menjadi terlalu tua dan semakin dekat dengan kuburan. Dia tak akan membuat kita kembali menjadi muda. Huh, anak durhaka seperti itu. Kenapa tak kau kutuk saja dia jadi batu seperti Si Malin?”
Ia menunduk dan diam. Selalu begitu. Setiap kali ia dan suaminya bersilang pendapat, ia selalu mengalah. Ia tak pernah berani membayangkan sebuah pertengkaran antara ia dan suaminya, meski ia marah sekali dengan keketusan suaminya barusan dan rasanya ia ingin membentak laki-laki itu: “Biar begitu, dia tetap anakku! Anakku!”
Rasanya ingin ia menyangkal: kau laki-laki, tak tahu betapa aku senantiasa kembali menjadi muda setiap kali terkenang anakku tersayang mengompol, atau menangis malam-malam lantaran lapar, atau ketika ia memainkan puting susuku sambil tertawa-tawa.
Dan seorang ibu tak akan pernah mengutuk anaknya menjadi batu, bahkan bila anak itu durhaka. Bagi seorang ibu, anak tetap anak. Titik.
Namun, ia tetap membungkam. Di dalam hatinya, ia membui kemarahan rapat-rapat seperti penjahat hingga setiap kali suaminya pulang, ia selalu menjadi istri yang menyenangkan dan berbakti. Ia telah kehilangan anaknya. Ia tak mau kehilangan lagi.
Seluruh hidupnya telah ia pasrahkan kepada dua orang laki-laki itu: suami dan anak laki-lakinya. Kalau suaminya marah, bisa-bisa suaminya meninggalkan rumah dan mencari rumah lain. Ia bukannya tak tahu bahwa selama ini suaminya kadang-kadang menginap di sebuah rumah yang lain. Namun, ia tak pernah memasalahkan hal itu.
Yang penting baginya adalah bahwa suaminya itu selalu menjadi suami yang baik di rumah.
Apakah anak itu, seperti kata suaminya, memang telah menjadi durhaka dan tak akan pernah kembali? Jika ya, maka anak itu tak pernah tahu bahwa makna kata ibu dalam segala bahasa adalah sabar dan ketegaran menunggu. Dan kasih Ibu, sebenarnya, tak hanya seluas samudera. Berapakah luas samudera? Orang bisa mengukurnya dengan meter atau mil, tetapi perkakas apapun tak akan sanggup menera berapa Kasih Ibu.
Suatu pagi, ketika membersihkan gudang belakang, ia menemukan sebuah layang-layang rusak. Kertas layang-layang itu compang-camping dan warna gambarnya telah pudar. Benda itu bersandar lesu di dinding, terhimpit kaki sebuah meja tua.
Ia tercenung sejenak, lalu meletakkan sapunya dan menarik layang-layang itu dengan hati-hati. Serbuk-serbuk kuning luruh dari layang-layang itu, menimpa kakinya, dan sebagian hinggap di bajunya. Ketika ia menepuk-nepuk bajunya, serbuk-serbuk itu berhamburan di udara dan membikin ia bersin-bersin.
Jari-jarinya yang keriput dan gemetaran menyusuri rangka bambu layang-layang sementara benaknya tertatih-tatih merakit ulang ingatan. Lalu, tanpa ia sadari, ia telah menghitung dalam hati dan bergumam, “ua puluh tahun. Sudah lama sekali.”
Ia membawa layang-layang rusak itu ke ruang depan. Cahaya pagi menghambur masuk lewat pintu yang terbuka lebar. Tetapi, dalam pandangannya, udara tiba-tiba ditangkup remang. Ia juga mendengar azan maghrib. Layang-layang rusak di tangannya telah hilang dan berganti sehelai kain sulam, sementara ia bersandar di langkan pintu. Kepalanya tertunduk dan jari-jarinya yang kokoh memainkan jarum dan benang dengan terampil. Sesekali ia mengangkat wajah dan melempar tatapannya melintasi halaman, meloncati pagar bambu, dan berhenti di kerimbunan kebun singkong di seberang jalan.
Di sela-sela suara azan, sayup-sayup ia mendengar suara kemersak kertas. Ia tersenyum dan menunduk, berpura-pura meneruskan sulamannya. Dalam hati, ia menghitung sampai sepuluh. Pada hitungan yang kesepuluh, tepat seperti dugaannya, sepasang lengan mungil memeluk kakinya. Ia menyisihkan kain sulaman dan melihat, di bawah sana, wajah mungil-kotor seorang bocah lelaki tengah memandangnya dengan mulut sedikit terbuka. Ia tersenyum, membungkuk dan mengusap rambut kusut dan berdebu bocah itu.
”Ayo masuk, Buyung,” bisiknya dengan lembut seraya meraih lengan bocah itu.
Sejenak, bocah itu tampak ragu-ragu, tetapi kemudian ia menurut. Mereka berjalan melintasi ruang depan, melewati seorang laki-laki kekar berkaos singlet yang tengah duduk membaca koran. Sesaat, laki-laki muda itu melirik kepada si bocah, lalu meneruskan bacaannya.
.
Ia meletakkan kain sulamannya di sebuah kursi dan membimbing bocah itu ke kamar mandi. Dengan cekatan, ia tanggalkan pakaian kumal bocah itu dan memandikan, menyabuni dan mengeramasinya hingga bocah itu menggigil dan tertawa-tawa. Setelah mengeringkan badan bocah itu, ia membawanya ke kamar dan mendandaninya.
Kini bocah itu nampak tampan dan rapi dengan kemeja putih, celana pendek dan sarung berwarna biru gelap. Kemudian ia memberikan sebuah Qur’an kepada bocah itu dan membimbingnya ke ruang depan. Ia menunggu di pintu sementara si bocah menghampiri laki-laki kekar itu. Si bocah mengambil tangan kanan laki-laki kekar itu dan menciumnya dengan takzim.
”Pak, saya berangkat ke masjid dulu,” kata bocah itu.
Tiba-tiba ia tersentak. Sebuah sepeda motor dengan suara meraung-raung melintas di jalan di depan pagar. Ia menggelengkan kepala dan berusaha merangkai benda-benda nyata yang ada di sekelilingnya.
Namun, detik-detik menggetarkan itu telah bermukim dalam ingatannya….
Sering kali ia terjaga dengan tiba-tiba pada tengah malam karena bermimpi tentang anaknya. Terdengar dengkuran suaminya meningkahi bunyi serangga di luar. Pada saat-saat seperti itu, ia merasakan betapa jauh ia dari anaknya. Ya. Pada saat-saat seperti itu, ia mengerti mengapa jarak bisa menjadi lebih tajam dari pisau. Dan ia hanya bisa menatap langit-langit yang remang seraya meratap: O Buyung, pulanglah, padamkan rindu dendam bundamu ini. Janganlah kita bertemu hanya dalam mimpi.
Betapa ingin ia melihat anak itu. Sekadar melihat wajahnya, atau menyentuh lengannya yang dulu ia bimbing dengan lembut, lengan mungil yang berdebu sehabis bermain layang-layang sepanjang siang di pematang. Ia selalu teringat saat-saat ia mendendangkan nina bobo sementara bocah itu terkantuk-kantuk dalam buaiannya, atau ketika ia membisikkan kata-kata manis untuk menenangkan bocah itu ketika si bocah bermimpi buruk. Ah, betapa anak itu lemah, membutuhkan dahan tempat bergantung dan di waktu panas tempat berlindung.
Setiap kali teringat betapa lemah bocah itu, ia mengeluh: “Pulanglah, Buyung, engkau tak kan kuat hidup di rantau.”
Namun, ia tahu bahwa anaknya tidak selemah itu. Waktu telah membuat anaknya menjadi pemuda perkasa. Ya. Betapa ia selalu mencamkan prahara itu, ketika seluruh negerinya tercabik-cabik saat anak-anak pertiwi lupa bahwa mereka punya Ibu yang sama. Perang saudara hampir pecah di mana-mana. Semua yang berbau negara rumpang dan poranda. Ah, pada saat-saat seperti itu, betapa negara sangat mirip ibu tiri yang tak becus mengurus anak suami dari istri terdahulu. Dan bagi saudara-saudara yang lelah menderita itu, suaminya, seorang pegawai negeri berpangkat tinggi, kepala sebuah sekolah negeri, adalah perkakas negara. Rumahnya diruntuhkan orang banyak, dan ia dan keluarganya tiba-tiba miskin papa.
Saat itu anaknya telah lulus SMA, telah tumbuh menjadi seorang pemuda angkuh. Masih terpacak jelas dalam ingatannya ketika keluarga besarnya berhamburan mendatangi rumahnya membawa barang-barang berharga.
”Untuk kau pakai membangun kembali kebanggaan keluargamu yang punah,” kata mereka.
”Kami tak butuh belas kasihan!” sembur anaknya saraya mengembalikan barang-barang sumbangan itu.
Betapa ia selalu teringat ketika mengantarkan anak itu di stasiun kereta. Seorang pemuda, hanya lulusan SMA, hendak menantang dunia. Ia dapat melihat mata anaknya tajam menatap gerbong kereta kelas ekonomi yang penuh sesak. Sekilas, ia melihat anak itu tersenyum. Sebelum naik gerbong sesak itu, anak itu memeluknya erat-erat. Ah, betapa ia ingin saat itu abadi. Ketika kereta mulai berangkat, hanya sekali anak itu menoleh kepadanya. Sekali saja, dan sekilas, hanya sekilas, ia melihat dua butir air mengintip di mata anak itu, tetapi anak itu cepat-cepat mengusapnya.
Betapa saat itu hatinya girang bukan kepalang. Ya. Ia tak mau anaknya menjadi pemuda cengeng. Rasa-rasanya ia akan sangat berat untuk memaafkan anak itu seandainya saat itu anaknya menitikkan air mata, biar cuma setetes.
Apakah suatu saat nanti bocah angkuh itu akan datang, mencium kakinya, dan berkata untuk memadamkan hati gundahnya, “Ibu, Ibuku sayang, jangan menangis, Ibu. Aku telah pulang, Ibu?”
Seorang pemuda angkuh seperti itu….
Kini, bertahun-tahun setelah suaminya meninggal, ia merasa bahwa yang menjaganya tetap hidup adalah harapan. Ya. Harapan bahwa suatu saat nanti, sebelum ia pulang ke Bumi, tempat segalanya menjadi Lupa, anak itu akan kembali kepadanya. Ia sadar bahwa harapan itu seperti gelombang, selalu turun-naik. Namun, ia bertekad untuk tetap menunggu, sekuat tulang sehabis tenaga, hingga waktu terus berlalu, sampai ke anak cucu.
Apakah suatu saat nanti ia akan kembali, bersama dengan cucu-cucuku, tanyanya dalam hati. Dan ia menangis sesenggukan. ***

25. COKELAT VALENTINE

Cerpen : Ni Komang Ariani

Sungai Barito sore hari, saat lanting-lanting berserakan di sepanjang sungai. Di sebuah rumah kayu yang berjubel di pinggir sungai. Bau sampah tumpukan enceng gondok,ranting, dahan kayu,dan serta bangkai pelbagai jenis binatang terasa akrab di hidung.Keriuhan yang selalu sama.
Aku tak dapat melihatmu.Tak dapat menyentuhmu. Aku hanya bisa mencium baumu. Mendengar napasmu.Menghitung detak jantungmu.Juga menikmati suara lembutmu. Suara yang memang diciptakan untukku. Suara merdu sekaligus tegas.Suara serak sekaligus ramah.
Tak ada yang pernah memberikan itu selain kamu. Aku memujamu. Memujamu sepenuh jiwaku. Mengapa engkau begitu baik lelakiku? Mengapa engkau datang untuk mendengarkan aku, saat semua orang abai? Apa yang kamu inginkan dari aku. Tubuh inikah, wajah inikah? Cantikkah aku, hingga mau merayu aku untuk mendapatkan tubuh ini? Aku tak percaya, aku telah tumbuh sejak lama.Selamanya laki-laki, bapak-bapak, anakanak hingga nenek-nenek abai padaku.
Tidak ada yang datang untuk mendengarkan aku. Mengapa kau lakukan? Apa maksud tersembunyi di belakang kepalamu. Adakah yang ingin engkau rebut dariku. Apakah itu? Gubuk darurat di sekitar rumah sesak inikah, atau handphone kecil di tanganku? Untuk itukah kau lakukan semua ini?
*** Padamu kulihat mata Ibu.Padamu kudengar suara Ibu. Bahkan tangantangan Ibu pun kau miliki. Siapakah engkau sesungguhnya? Matamu yang tak bergerak memberi nuansa teduh. Tak ada mata yang memerah atau membesar karena marah, seperti mata Ibu. Siapakah engkau perempuan sebatang kara? Mengapa engkau sendirian dalam rumah sesak ini. Ah, aku tidak peduli.
Keberadaanmu di rumah sesak ini membuatku bisa pulang. Kepadamu, aku sungguh merasa pulang.Kau rumah kecil yang hangat perempuanku. Aku tidak ingin pergi jauh-jauh dari rumah. Aku ingin pergi dan pulang ke rumah.Tetapi mengapa engkau selalu mempertanyakanku, mencurigai kedatanganku? Rugikah engkau bila aku datang karena aku menikmati rumah kecilmu yang hangat? Jangan perempuanku, aku tak dapat hidup tanpanya.Aku tak bisa meneruskan hidup tanpanya.Tidak bisa meneruskan detak di jantungku juga embus di napasku.
***
“Katakan sesungguhnya dari mana asalmu?”
“Aku ingin dilahirkan di negeri di mana semua mata seperti matamu!”
“Kau hendak menghinaku?”
“Tidak, sama sekali. Matamu adalah mata Ibu. Dunia amat indah bila semua orang memiliki mata ibu. Aku ingin berenang-renang dalam lautan mata Ibu yang menatapku!”
“Aku tak punya Ibu, juga tak punya Ayah. Aku lahir dari segumpal awan hitam, untuk tinggal di segumpal awan hitam lainnya.”
“Aku hanya ingin pulang, aku hanya ingin kepadamu!”
“Seriuslah sedikit. Kau bisa melihatku, bisa kau ceritakan bagaimana aku!”
“Kau perempuan cokelat dengan dua tangan. Alis tebal dan rambut panjang. Suaramu seindah embun, sentuhanmu selembut angin semilir. Kau adalah Ibu. Kau adalah pulang!”
“Kau menganggapku laksana Ibu?”
“Ya, aku ingin memelukmu, ingin memilikimu selamanya. Aku ingin memiliki pulang.”
“Kau telah punya rumah dan punya pergi.Kau bisa pulang kapan saja!”
“Aku memang punya rumah dan punya pergi, tapi aku tidak bisa pulang. Bolehkah aku mempunyai pulang darimu. Bolehkah aku membagi pulangmu!”
“Aku tak pernah punya pergi, jadi juga tak pernah punya pulang. Bagaimana membaginya denganmu. Aku hanya punya cerita kelam. Maukah kau berbagi cerita kelamku?”
“Cerita kelam apakah itu, ceritakanlah padaku, setelah itu hadiahi aku dengan pulang. Berjanjilah kau terima pemberian setimpal ini. Anugerahkanlah aku pelukan, dan kehangatan pulang sepanjang hidupku. Karena aku hanya perlu pulang.”
“Baiklah, bila itu yang kau inginkan.”
***
Namaku Val, lengkapnya Valentine. Nama yang amat indah untuk dua orang yang memadu kasih di sebuah taman cinta. Sepasang kekasih yang berjanji sehidup semati. Sepasang kekasih yang lari dari kemewahan kedua orangtua, demi cinta sejati. Barangkali mereka pengagum kisah cinta Romeo-Juliet, Sampek-Engtay, Jayaprana-Layonsari yang rela mengorbankan apa pun demi cinta sejati mereka.
Perpaduan kasih mereka melahirkan buah hati. Buah cinta yang diharapkan menyempurnakan ikrar bersama. Namun kelahiranku menjadi petaka. Ayah ibuku adalah sepasang pangeran dan putri. Ayah adalah laki-laki tampan, gagah dan rupawan.Ibu adalah perempuan jelita, dengan keindahan tiada dua.Keduanya berkulit putih bening, laksana titisan para raja zaman dulu.
Dari rahim perempuan rupawan itu, lahirlah aku. Perempuan cokelat dengan dua tangan, juga bermata buta ini. Kutuk dari manakah itu? Kemarahan pun meledak. Ayah sungguh kecewa dan menuduh perselingkuhan. Sementara ibu memandangku dengan tak rela. Tak sudi ia, rahimnya dilewati bayi jelata sepertiku. Lalu apa yang dapat kulakukan. Bagaimana aku tahu dari buah percintaan dua lain jenis yang tak berselingkuh itu lahir aku. Bagaimana aku bisa paham. Mungkin saja, nenek moyang kedua orangtuaku, entah garis ke berapa menyelipkan seorang perempuan cokelat sepertiku, yang suatu ketika muncul. Sungguh aku tidak tahu.
Aku telah terlahirkan dari sepasang yang tak berselingkuh itu.Kemarahan Ayah seperti gayung bersambut dengan ketidaksudian ibu. Mereka akhirnya bersepakat pada sesuatu yang amat aneh.Mereka bersepakat menganggap aku sebagai kecelakaan yang harus dilupakan. Aku akan dilupakan dan dianggap tak pernah terjadi. Mereka akan memulai hari baru, dengan memotong kehadiranku dari hidup mereka.
Mereka menghitung hari kapan percintaan dilakukan, dan terbangun hari itu sebagai hari yang sungguh-sungguh baru. Namaku pun telah diganti.Tak lagi Valentine. Tapi menjadi cokelat. Namun, ditulis dengan Chocolate. Sesuatu yang nikmat untuk dimakan. Aku boleh dipanggil Choco. Seorang tukang kebun dibeli untuk menjadi induk semangku. Disuruhnya aku dibawa jauh ke negeri seberang, di mana napas dan bau tak mungkin bertemu. Setelah beberapa bulan aku dilupakan.
Si tukang kebun hidup sebagai orang baru. Saat usiaku sepuluh tahun, si tukang kebun tenggelam terseret arus. Istrinya menyusul enam bulan kemudian, demam berdarah merenggutnya setelahsepekan didera panas dingin. Tertinggallah aku di gubuk ini, yang kian lama kian berdesakan, dengan keahlian hanya menganyam topi.
“Sudah…?”
“Aku pikir sudah.!”
“Kau masih ingat bukan dengan janjimu?”
“Kau masih inginkan itu?”
“Tentu saja. Tentu kau tepati bukan?”
“Apakah kau pun lahir dari cerita kelam, hingga menuntut pulang dariku!”
“Kau selalu bercuriga. Apakah cerita kelamku akan membuatmu berubah pikiran, tak lagi menepati janji?”
“Aku tidak habis mengerti, mengapa kau menginginkan perempuan cokelat ini? Aku hanya cokelat. Chocolate!”
“Apakah pikiranmu tak jauh dari cokelat dan putih. Mengapa putih bagimu selalu lebih baik dari cokelat. Tidakkah kau tahu seperti namamu, cokelat amat nikmat untuk dimakan. Amat lezat untuk dinikmati!”
“Aku tidak percaya padamu!”
“Kau boleh saja tidak percaya, tapi kau tepati janjimu kan?”
“Setelah kau ceritakan cerita kelammu!”
“Setelah itu kau akan berubah pikiran?”
“Aku akan menepati janji jika masih kau inginkan!”
“Aku boleh pulang kepadamu, Valentine,kepadamu Chocolate?”
“Tentu saja!”
***

26. Ayah Dan Peci

Manusia bukan gunung. Ini pepatah Rusia yang saya dengar
dalam film The Gulag Archipelago. Artinya, manusia bisa
berubah. Begitu juga Ayah.
Saya hidup dalam dunia kecil yang ruwet. Desa saya desa
Muhammadiyah. Pengajian saya pun, di sore hari,
Muhammadiyah; maka, jadilah saya anak Muhammadiyah.
Ayah lain lagi. Ia sudah ada sebelum datang ke desa kami
unsur pembaru itu. Ia abangan. Apa boleh buat.
Abangan? Ia memang tak mendefinisikan diri begitu. Maka,
baiknya diperjelas: ia tak salat lima waktu. Tapi ia pernah
bertapa, seperti dilakukan Gusti Kanjeng Nabi Muhammad
sebelum masa kenabiannya. Ayah juga mengajar saya berhenti
makan sebelum terlalu kenyang seperti teladan Kanjeng Rasul.
Dan ia pun doyan tirakat, seperti riadloh teman-teman NU di
pesantren: makan cuma umbi-umbian, cegah daging, cegah
garam. Dan melek malam.
Wisdom-nya: jangan sebut keburukan orang. Lupakan kebaikanmu
sendiri. Baginya, agama itu hidup. Kalau kita sudah mengerti
makna hidup, baru kita paham apa itu agama.
Ketika saya masih sembilan tahunan ia pernah menegur, “Untuk
apa kamu jengkang-jengking (salat)? Tahu apa kamu?”
Saya sedih. Di luar rumah, tahun 1960-an itu, teman-teman
yang lebih dewasa bicara ideologi. Juga soal jihad, perang
sabil, dan keluhuran agama. Tapi tiap lagu Genjer-Genjer
dinyanyikan sebelum dan sesudah pertunjukan ketoprak, terasa
di sana bagaimana pihak “musuh” meremehkan agama. Ada bahkan
ketoprak dengan lakon: Patine Gusti Allah (Kematian Tuhan).
Di tengah kemiskinan yang mencekam, bicara tentang ideologi
dan tentang kawan dan lawan memang terasa seperti jalan
keluar yang baik. Ideologi membuat lupa bahwa sebetulnya
kita lapar, dan bahwa kita tak mampu beli beras.
Beras ibarat semahal emas. Kami makan bubur. Mungkin lebih
tepat minum, sebab terlalu encer. Itu pun kadang kurang.
Sering Ayah menahan diri dan tak makan. Hampir tiap malam
Ibu tidur di lantai, di depan pintu, tanda prihatin.
Menjelang tidur, Simbah selalu bicara tentang zaman normal,
zaman lampau yang lebih baik, ketika Ayah masih anak-anak.
Simbah, Ayah, dan Ibu percaya zaman susah itu akan berakhir
segera setelah datang Ratu Adil suatu hari nanti.
Saya tidak tahu Ratu Adil. Yang saya ketahui ialah bahwa
saya takut. Sikap mereka, bicara setengah berbisik,
bercerita setengah berharap, buat saya terasa seolah isyarat
akan datangnya sesuatu yang lebih gawat.
Goro-goro, menurut orang Jawa, pertanda akan datangnya
perubahan alam serta zaman. Dalam dunia wayang, setelah
goro-goro di tengah malam itu, keluar Petruk, Semar, Gareng,
Bagong: simbolisasi rakyat. Mereka mengawal, dan juga gigih
membantu, satria utama menegakkan kebenaran.
Gerakan 30 September PKI yang bikin bumi kita
gonjang-ganjing, barangkali juga goro-goro itu. Pemerintahan
diganti sesudahnya. Tatanan politik diubah. Pancasila dan
UUD 45 dikedepankan. Partai politik dibuat sederhana. Dan
kehidupan agama lebih semarak. Terbukti, ketakwaan kepada
Tuhan jadi salah satu syarat pengangkatan seorang menteri.
Rapat-rapat raksasa dan ganyang ini ganyang itu harus juga
menjadi jiwa dan semangat rakyat di zaman Orla dulu, tetapi
deru “mesin” pembangunan Orba menggantikannya. Kurang lebih
jargonnya berbunyi: partai/ideologi politik mengakibatkan
perpecahan, pembangunan menghasilkan beras. Kongkret sekali.
Keadilan sosial belum tercapai tak menjadi soal karena
pembangunan belum selesai. Maka, rakyat harus membantu para
“satria” mendorong roda pembangunan. Tiap suasana kritis,
rakyat diminta mengetatkan sabuk. Ini demi pembangunan.
Betul jihad itu bukan melulu berarti kibasan pedang dalam
luapan rasa marah. Tapi kata itu telanjur tidak cocok buat
alam pembangunan.
Petugas KB malah diberi hak “mengintip” kamar tidur tiap
pasangan suami-istri agar mereka tak terlalu banyak
bersanggama. Alasannya pun jelas: lebih baik energi itu buat
pembangunan.
Wajah Indonesia berubah cepat. Di sana-sini yang tampak cuma
pembangunan dan pembangunan. Begitu juga wajah desa saya.
Muhammadiyah makin gaya. Pembinaan umat meluas. Dan Ayah
kini sembahyang. Ke sana kemari bersafari dan berpici.
Seolah takut bahwa tanpa pici lalu bukan Islam.
“Saya senang Ayah jadi santri,” saya kasih komentar.
“Dari dulu, sebetulnya Ayah juga Islam,” sahutnya. “Hanya
dulu itu belum ‘nglakoni’ (menjalankan).”
Dari dulu Islam? Saya tak mengerti. Dalam benak saya terpola
rumusan Clifford Geertz: yang salat itu santri, yang tidak
berarti abangan.
“Tidak begitu,” kata Bambang Pranowo dalam disertasi
doktornya di Universitas Monash Australia itu. “Keislaman
bukan state of being. Ia state of becoming. Dikotomi santri
abangan itu tidak tepat.”
“Sekarang Ayah salat,” Ayah menjelaskan, “tapi tetap seperti
dulu: tak suka ideologi karena bikin ricuh, mengganggu
stabilitas nasional,” katanya lagi, persis pejabat, atau Pak
Kades dalam film Si Unyil.
Pendeknya, fenomena Ayah sembahyang pun ada kaitan dengan
pembangunan. Maka, malam itu saya pun salat habis-habisan.
Saya cuma berdoa, semoga Ayah diangkat jadi menteri …
—————
Mohammad Sobary, Tempo 31 Agustus 1991

27. Ibuku dan Sulaman Kainnya

Ketika aku masih kecil, waktu itu Ibuku sedang menyulam sehelai kain.
Aku yang sedang bermain di lantai, melihat ke atas dan bertanya, apa yang ia lakukan. Ia menerangkan bahwa ia sedang menyulam sesuatu di atas sehelai kain. Tetapi aku memberitahu kepadanya, bahwa yang kulihat dari bawah adalah benang ruwet.
Ibu dengan tersenyum memandangiku dan berkata dengan lembut, “Anakku, lanjutkanlah permainanmu, sementara Ibu menyelesaikan sulaman ini, nanti setelah selesai, kamu akan kupanggil dan kududukkan di atas pangkuan Ibu dan kamu dapat melihat sulaman ini dari atas.”
Aku heran, mengapa Ibu menggunakan benang hitam dan putih, begitu semrawut menurut pandanganku.
Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara Ibu memanggil, ” Anakku, mari kesini, dan duduklah di pangkuan Ibu. “
Waktu aku lakukan itu, aku heran dan kagum melihat bunga-bunga yang indah, dengan latar belakang pemandangan matahari yang sedang terbit, sungguh indah sekali. Aku hampir tidak percaya melihatnya, karena dari bawah yang aku lihat hanyalah benang-benang yang ruwet.
Kemudian Ibu berkata, “Anakku, dari bawah memang nampak ruwet dan kacau,tetapi engkau tidak menyadari bahwa di atas kain ini sudah ada gambar yang direncanakan, sebuah pola, Ibu hanya mengikutinya. Sekarang, dengan melihatnya dari atas kamu dapat melihat keindahan dari apa yang Ibu lakukan.”
Sering selama bertahun-tahun, aku melihat ke atas dan bertanya kepada Allah,”Allah, apa yang Engkau lakukan?”
Ia menjawab, ” Aku sedang menyulam kehidupanmu.”
Dan aku membantah,” Tetapi nampaknya hidup ini ruwet, benang-benangnya banyak yang hitam, mengapa tidak semuanya memakai warna yang cerah?”
Kemudian Allah menjawab, “Hambaku, kamu teruskan pekerjaanmu, dan Aku juga menyelesaikan pekerjaanKu di bumi ini..”
Satu saat nanti Aku akan memanggilmu ke sorga dan mendudukkan kamu di pangkuanKu, dan kamu akan melihat rencanaKu yang indah dari sisiKu.
Subhanallah, beruntunglah orang-orang yang mampu menjaring ayat indah Allah dari keruwetan hidup di dunia ini. Semoga Allah berkenan menumbuhkan kesabaran dan mewariskan kearifan dalam hati hamba-Nya agar dapat memaknai kejadian-kejadian dalam perjalanan hidupnya, seruwet apapun itu. Amin….
Subhanallah, tulisan ini benar-benar membuka pikiran kita bahwa Allah adalah Dzat Yang maha pengatur segala sesuatu di alam ini.
Cerita ini mengingatkan saya bahwa kendati pun manusia punya keinginan, tetapi Allah mempunyai keputusan yang tak mungkin dapat kita ubah, mari kita senantiasa bertawakkal kepada Nya.
***
Dari Sahabat

28. Tatapan Mata Ibu

Kuangkat HP di meja: “Ya, halo?” “Wok, agak santai? Ibu baru saja nelpon, kalau bisa kamu diminta pulang sebentar”
“Ada apa? Ibu gerah?”
“Tidak; Ibu sehat-sehat saja; katanya kangen, hanya ingin ngobrol-ngobrol saja dengan kamu”.
“Ya, besok saya usahakan; sampaikan pada Ibu, tapi hanya semalam, lusanya mesti pulang karena siangnya ada acara.”
“Ya, nanti saya nelpon Ibu.”
Kuletakkan kembali HP di meja setelah hubungan putus, tak lagi kudengar suara mbak Nita, salah satu kakakku, satu-satunya perempuan dari tiga saudaraku yang kini tinggal di Kudus ber-sama keluarganya.
Pasti ada yang penting yang akan disampaikan Ibu meskipun katanya hanya kangen dan ingin ngobrol-ngobrol saja. Selama ini Ibu hanya memintaku pulang, baik sejak ketika dulu aku masih kuliah di luar kota maupun setelah kini bekerja dan berkeluarga, kalau ada hal-hal yang penting yang perlu dibicarakan denganku.
Hanya bedanya, kalau dulu waktu aku masih kuliah kalau Ibu ada kepentingan denganku dan memintaku untuk pulang langsung meneleponku, tetapi sekarang sejak aku bekerja apalagi setelah berkeluarga, mesti lewat mbak Nita atau saudara lain. Ketika pernah kutanya, mengapa, Ibu hanya menjawab, takut kalau mengganggu kesibukan kerjaku.
Dan juga sejak dulu Ibu tak pernah langsung mengatakan kepentingannya; paling seperti apa yang disampaikan mbak Nita tadi, kangen dan ingin ngobrol-ngobrol saja. Berdasarkan pengalaman pasti ada yang akan disampaikan dan penting.
Kebetulan besok tak ada pekerjaan yang mesti kuselesaikan, perlu kusempatkan pulang; sulit kalau direncanakan waktunya. Pernah beberapa kali aku merencanakan pulang dengan keluarga, selalu gagal; ada-ada saja pekerjaan yang tiba-tiba mesti harus cepat diselesaikan.
Memang Lebaran kemarin aku tak pulang, giliran mudik ke rumah mertua. Kami, aku dan istriku telah membuat kesepakatan sejak perkawinan; dalam mudik Lebaran kami buat jadwal; kalau Lebaran tahun ini ke orang tua istriku, Lebaran tahun berikutnya ke orangtuaku, dan seterusnya bergantian
Terkadang kami mudik sehari dua hari setelah Lebaran, malah terkadang ketika Lebaran tak mudik ke mana-mana. Tak ke orangtuaku, juga tak ke orang tua istriku. Orang tua kami sudah memahami kebiasaan kami, demikian juga dengan saudara-saudara.
*
Kutepuk bahu Ibu dari belakang; agak njenggirat kaget, Ibu menengok; “Sedang asyik masak apa Bu?”
“Lho, wis tekan, jam piro saka ngomah?” Ini nggoreng kepala ayam dan nanti nyambal terasi kesenanganmu”.
Kulihat di penggorengan ada potongan-potongan daging ayam, juga kepala ayam yang masih dengan batang lehernya.
“Tadi habis subuhan, terus ke stasiun.”
Aku ingat waktu kecil, kalau Ibu masak ayam yang disembelih dari piaraan sendiri atau membeli, setelah membagi-bagi dagingnya kepada kami, selalu memberiku kepala sambil memberi perlambang, agar kelak menjadi pemimpin. Mas Wib diberi sayapnya, biar bisa terbang ke mana-mana, mbak Nita diberi ceker-kakinya, biar pandai ceker-ceker mencari makan sendiri dan adikku Wid diberi bagian dada agar menjadi kesatria yang berani menunjukkan dadanya, bukan menjadi pengecut.
Ada satu cerita lucu tentang kesenanganku pada kepala ayam. Suatu ketika Ibu masak ayam, kepala ayam dimakan mas Wib. Aku menangis sejadi-jadinya, ngamuk, berteriak-teriak, mengancam, mau masuk sumur kalau tidak diberi kepala ayam. Ibuku kalang kabut. Disuruhnya mbak Nita ke pasar hanya untuk membeli kepala ayam.
Salah satu tetangga, Budhe Bakri, mendengar teriakan tangisku, datang dan bertanya pada Ibu kenapa aku ngamuk; Ibu menjelaskan. Sejak itu, kalau Budhe Bakri masak ayam, pasti aku dikirimi kepala ayam, sambil memberi berkata: “Ini kepala ayam, jangan njegur sumur.”
Sampai sekarang, kalau aku pas pulang silaturahmi ke rumahnya selalu Budhe Bakri meledek: “Ora njegur sumur?” Dan peristiwa itu diceritakan kepada istri dan anak-anakku.
*
Ibu menunggui aku yang sedang makan: “Ada yang perlu disampaikan Bu, kok tiba-tiba Ibu minta aku pulang?” tanyaku sambil menggigit kepala ayam untuk kubuka dan kuambil otaknya.
“Oh, ndak, hanya Ibu terkadang kok kangen ingin ngobrol-ngobrol saja. Bagaimana kabar istrimu, anak-anakmu?”
“Sehat-sehat Bu, mereka titip sungkem.” Ibu diam, kulihat selintas Ibu memandangiku dalam-dalam yang sedang memegang kepala ayam yang kugigit- gigit.
“Sudah dengar kabar masmu Wib?” suara Ibu pelan.
Kuhentikan gigitanku. Kupandang wajah Ibu. Kulihat kerutan-kerutan di sekitar kelopak mata dan pipinya. Kutatap matanya. Aku kaget sendiri. “Oh, Ibu sudah nampak tua,” kataku dalam hati. Aku sadar; ternyata selama ini aku tak begitu perhatian. Setiap pertemuanku dengan Ibu, dan itu saja jarang, kuanggap hanya pertemuan biasa saja. Aku tenggelam dengan urusanku sendiri.
“Kalau itu benar, masmu Wib ditahan, kemudian masuk penjara, lalu bagaimana nama baik keluarganya, anak istrinya, dan nama baik …?” Kata-kata Ibu terhenti.
Kutatap mata Ibu, kupandang wajah Ibu. Ibu memandangku. Hatiku galau, tergetar. Ada sesuatu yang kubaca dari tatapannya, dari mimik wajahnya. Ibu mengharapkan sesuatu dariku.
“Ya, aku sudah tahu. Ibu tak usah banyak berpikir, doakan saja semoga mas Wib, selamat tak mengalami suatu apa,” kataku perlahan, menunduk kembali ke kepala ayam, kugigit, kubuka tempurungnya, kuambil otaknya, menghindari tatapan Ibu dengan galau pikiran.
*
Besok aku mesti pulang. Begitu sampai, langsung kantor ada pekerjaan yang tak mungkin ditunda. Sejak tadi siang, sampai tadi waktu makan malam bersama, Ibu tak lagi berkata sesuatu, tak juga menyinggung-nyinggung tentang mas Wib, apalagi minta agar aku membantu mas Wib.
Tetapi aku tanggap, ke mana arah kata-kata Ibu tadi siang yang berhenti pada:”… nama baik…. Pasti yang dimaksud nama baik orang tua, dan tentu saja nama baik Ibu. Dan itu merupakan kegelisahan Ibu yang kutangkap dari wajah dan sinar matanya. Dan dari mimik wajah dan tatapan matanya, seperti bicara, memohon padaku, ‘Tolong masmu Wib’.”
Tapi, mungkinkah aku memenuhi permohonannya, menghapus gelisahnya, dan menghilangkan beban pikirannya dengan menolong mas Wib melepaskannya dari jeratan hukum karena perbuatan korupsi yang dilakukan bersama dengan beberapa temannya sesama anggota legislatif di salah satu provinsi di luar Pulau Jawa?
Aku gelisah. Sulit tidur. Ingat kata-kata Ibu di masa kecilku. Kelak jadilah orang yang baik dan berguna dalam kehidupan, ingat kepala ayam agar jadi pemimpin, ingat selalu dibangunkan Ibu di tengah malam untuk nonton wayang kulit kalau kebetulan di balai desa atau ada salah satu warga kampung nanggap wayang?
Dari lambang kepala ayam, yang menjadi kegemaranku sejak kecil sampai sekarang, dari cerita-cerita wayang dan tokoh-tokohnya aku telah mengobsesi diriku untuk benar-benar ingin mewujudkan menjadi orang yang baik dan berguna seperti apa yang dinasehatkan Ibu. Dan obsesi itu coba aku wujudkan sekarang dalam tugasku sebagai jaksa.
Tatapan Ibu terus menghunjam. Wajah Ibu terus membayang, dan aku membaca dalam tatapan mata Ibu, dalam mimik wajah Ibu, permohonan meskipun tak terucapkan: “Tolong masmu Wib!”
Dan permohonan Ibu bukan hanya untuk kepentingan mas Wib dan keluarganya saja, tetapi untuk kepentingan seluruh keluarga. Nama baik bapak ibu, nama baik saudara-saudara, dan nama baikku juga. Nama baik keluarga.
*
Aku terkejut. Ada ketukan di pintu. “Belum tidur Wok?” kudengar suara Ibu. Kulihat jam, jarum pendeknya menunjuk angka dua, jarum panjangnya menunjuk angka sembilan.
Bergegas kubuka pintu. Kulihat Ibu masih menggunakan mukena, melangkah masuk duduk di atas tempat tidur. “Jangan kau pikirkan apa yang Ibu katakan tadi siang Wok. Ibu menyadari: Ndog sak petarangan senajan saka babon sing podho yen wis netes bisa bedho-bedho. Ana sing ireng ono sing putih, ono sing walik ono sing brontok wulune. Wis ngaso, sesuk mbok krinan, kan bali jam nem.
Belum sempat aku berkata sesuatu, Ibu telah beranjak dari tempat tidur melangkah meninggalkan kamar. Ibu baru saja berkata-kata memberi gambaran, bahwa meskipun telur satu eraman, yang keluar dari induk yang sama, bisa beda ketika menetas. Ada yang hitam, ada yang putih, ada yang seperti ikal, ada yang trotol-trotol bulunya. Intinya, meskipun dari Ibu yang satu watak anak-anaknya bisa beda-beda.
Dan Ibu memintaku istirahat, tidur, agar tak kesiangan karena besok pagi pulang jam enam.
*
“Bagaimana Wok, sudah ketemu Ibu? Cerita apa saja Ibu? Lalu apa jawabmu? Kabulkan permintaannya Wok. Kasihan Ibu sudah tua. Saatnya kau membalas budi Ibu. Ini kesempatan yang baik untuk kamu membalas Ibu”.
“Ya, ya, ini di atas kereta mbak, dalam perjalanan pulang. Nanti kutelepon lagi kalau sudah sampai rumah”.
Kereta laju berjalan menuju tujuan. Tak demikian pikiranku. Serasa buntu, tak tahu apa yang mesti kulakukan dan apa yang mesti kukatakan pada mbak Nita nanti setelah sampai seperti apa yang telah kujanjikan tadi dalam percakapan. ***
2007

29. Ibu Tahu Rahasiaku

Cerpen Puthut EA
Ketika aku turun dari angkutan, orang-orang yang mengantar jenazah Bido baru saja pulang dari kuburan. Sepintas aku melihat, di depan warung kopi Bido, masih ada tenda kecil dan jajaran kursi, juga ceceran bunga. Aku terus saja berjalan menuju rumah.
Sore ini, ibuku tidak banyak bicara. Ia hanya membuatkanku kopi, memasukkan tasku ke kamar, dan membiarkanku sendirian di teras samping. Ia tahu untuk apa aku pulang, tapi tidak bertanya mengapa aku terlambat mengikuti pemakaman. Aku juga tidak sempat bertanya, mengapa di dapur ada banyak orang, tikar tergelar di ruang tamu dan beranda depan. Mungkin akan ada arisan.
Aku bahkan tidak tahu persis apakah aku benar-benar kenal Bido dengan baik atau tidak. Aku jarang berbicara dengannya, semakin jarang ketika aku sudah tidak tinggal di kampung lagi. Tapi tidak bisa kumungkiri, ada beberapa peristiwa di masa laluku yang membuatku merasa mempunyai hubungan khusus dengannya.
Dua puluhan tahun yang lalu, untuk pertama kalinya aku merasa dikhianati teman-teman sepermainanku. Saat itu, aku baru duduk di kelas lima sekolah dasar. Jauh hari, aku dan teman-teman sebayaku merancang untuk menonton wayang kulit di kota lain yang jaraknya 60-an kilometer dari kampungku. Dalangnya, Ki Manteb Sudarsono. Semua rencana sudah matang. Tapi tepat di sore hari saat kami seharusnya berkumpul di pertigaan jalan besar untuk bersama mencegat angkutan, tidak ada seorang pun yang datang. Padahal aku telah membayar mahal rencana itu karena sore sebelumnya, aku merengek meminta izin orangtuaku untuk tidak ikut piknik bareng mereka ke Bali. Sore itu, aku bertekad untuk berangkat sendirian dengan rasa marah.
Tepat di saat aku hampir melambaikan tangan ke sebuah angkutan yang terlihat dari jauh, seseorang menyapaku. Aku menoleh. Orang itu bernama Bido. Umurnya jauh lebih tua dari umurku. Tahu kalau aku akan berangkat sendirian dan tahu kalau aku tidak mungkin membatalkan rencanaku, ia langsung ikut nangkring di atas angkutan. Saat aku tanya ia hendak ke mana, ia menjawab ingin menemaniku. Rasa ragu bepergian jauh dan sendirian, tidak punya famili dan teman di kota tujuan, mendadak rampung jadi pikiran begitu Bido menemaniku.
Malam itu akhirnya aku menonton sampai tuntas pagelaran wayang yang sudah kutunggu- tunggu. Malam itu pula, aku merasa seperti laki-laki yang sudah dewasa. Tidak jauh dari si dalang, aku kelepas-kelepus merokok, bahkan Bido memberiku segelas kopi yang sudah dicampur dengan sedikit arak, supaya aku tidak masuk angin karena pagelaran itu diadakan tepat di bibir pantai. Itulah kali pertama aku minum arak.
Tapi saat itu bukan kali pertama aku merasa ditolong oleh Bido. Beberapa tahun sebelumnya, Bido juga mengulurkan tangannya, memberi jalan kepadaku untuk melakukan sesuatu.
Saat itu ada lomba catur menjelang tujuh belasan di kampung. Malam itu aku masuk babak final. Musuhku bernama Anton, anak seorang mantri suntik yang baru saja pindah ke kampungku. Ia kelas enam dan aku baru kelas tiga kalau tidak kelas dua. Aku yakin aku pasti menang di pertandingan itu. Tapi malam itu, orang-orang berpihak kepada Anton. Mereka itu ada Pak Camat, Pak Lurah, beberapa polisi dan tentara, ada juga guru ngajiku, semua memihak Anton. Aku menduga karena bapak Anton juga menonton. Berkali-kali, Anton mengulang langkah. Kalau aku berpikir lama, mereka menyuruhku cepat-cepat melangkah, kalau Anton berpikir lama, mereka sibuk mengajarinya. Aku kalah. Aku hanya bisa membalas ketika di malam resepsi para pemenang diundang naik ke panggung, aku malah pergi. Ibu yang mengambilkan hadiahku. Begitu sampai di rumah, ketika hadiah itu diulungkan kepadaku, aku membantingnya. Ibuku hanya diam dan mengelus-elus rambutku, lalu membuatkanku mi goreng dan telor gulung kesukaanku.
Kemarahanku kepada Anton mereda ketika suatu saat, sepulang sekolah, Bido mencegatku. Ia membisiki sesuatu. Segera aku berlari ke rumah. Malamnya, aku tidak bisa tidur.
Pagi harinya, kampung kami geger. Di halaman depan rumah yang disewa keluarga Anton terdapat pohon nangka yang sedang berbuah. Dan di pohon itu ada buah nangka besar yang terpotong separuh. Di dekat buah yang terpotong itu, ada kertas tertempel dengan bunyi: Njaluk nangkamu separo, ya!
Bukan pencurian nangka yang membuat geger, tapi pencurian nangka dengan tulisan di pohonlah yang membuat geger. Peristiwa seperti itu baru terjadi pertama kali di kampungku. Aku semestinya merasa aman. Pohon itu terlalu tinggi untuk kunaiki. Buah yang hilang separuh itu juga terlalu besar untuk dibawa oleh anak seumuranku. Lagi pula, malam itu, ibu dan bapakku tahu aku berada di rumah. Tapi yang tidak pernah kupikirkan adalah, tulisan di kertas itu memakai spidol besar. Di kampungku saat itu, spidol besar tidak dijual di toko-toko. Tidak sembarang orang memilikinya. Aku baru sadar kalau aku melakukan kebodohan ketika siang sepulang sekolah, ibu merapikan spidol besar dari laci dan menyimpannya di lemari, lalu dikunci. Saat itu, ibu menatapku tajam sekali.
Aku bahkan lupa nama asli Bido. Ia tinggal dengan emaknya di pinggir kampung, dekat sungai. Rumahnya kecil dan reyot. Mbok Nah, emak Bido, menafkahi diri dengan mencari kayu bakar dan daun jati yang dicari di hutan.
Awalnya, aku tidak begitu tahu kenapa Bido terlihat begitu perhatian kepadaku. Barulah ketika aku beranjak besar, aku mengumpulkan kabar-kabar yang bisa menyusun alasan itu.
Dulu, ibuku adalah wali kelas Bido di sekolah dasar. Tiba-tiba suatu saat, ibuku diberi tahu kalau Bido ditangkap karena dituduh mencuri kayu dari hutan. Ibuku marah sekali. Ia lalu ngeluruk pergi seorang diri ke kantor Perhutani untuk mengeluarkan Bido. Ibuku sangat yakin, Bido tidak bersalah. Bido hanya membantu emaknya mencari rencek, kayu bakar yang dipunguti dari dahan-dahan yang sudah jatuh ke tanah. Konon terjadi pertengkaran hebat di kantor Perhutani. Mungkin karena ibuku menangis, mungkin juga karena ibuku perempuan dan seorang guru sehingga para petugas Perhutani merasa malu, atau mungkin karena saat itu ibuku sedang hamil, hari itu juga Bido dikeluarkan dari tahanan polisi hutan yang terletak di kompleks kantor Perhutani. Aku adalah bayi yang dikandung ibuku saat ia ngeluruk ke kantor Perhutani itu.
Selepas peristiwa itu, Bido tidak lagi mau meneruskan sekolah. Ia keluar. Dan semenjak itu, ia tumbuh nyaris menghabiskan waktu di hutan membantu emaknya. Konon nama Bido diberikan kepadanya karena suatu saat, ia menangis di sepanjang jalan kampung, melempari dua pemburu yang datang dari kota karena menembak seekor bido, sejenis elang kecil, yang kerap bertengger di atas pohon sukun di belakang rumahnya. Bido menangis, melempar kedua pemburu itu dengan batu sambil berteriak, “Bidoku! Bidoku! Bidoku!”
Jauh di dalam hatiku, aku ingin sekali membalas pertolongan Bido. Dan itu terjadi ketika aku duduk di bangku sekolah menengah atas. Saat itu, aku harus sekolah di luar kampung, dan setiap akhir pekan aku pulang. Suatu saat, aku membawa pulang beberapa kaset film biru. Aku menontonnya dengan beberapa orang di kampung, termasuk Bido. Setelah itu, Bido sering bertanya kepadaku kapan lagi aku membawa film ohyes, begitu Bido menyebut film biru karena ada banyak kata ’oh yes’ di film itu. Beberapa kali aku menyewa film-film ohyes agar Bido senang.
Tetapi balas budi kepada Bido kurasa impas ketika suatu saat ia tertimpa masalah. Aku mendengar Bido digelandang ke kantor polisi karena dilaporkan oleh Haji Munawir. Bido dituduh mencuri rokok di toko kelontong Haji Munawir. Orang-orang kampung kemudian bisa meyakinkan pihak kepolisian kalau Bido tidak melakukannya sebab di malam kejadian, Bido tengah berjudi di desa sebelah. Tapi pengakuan dari orang-orang itu terlambat, Bido sudah telanjur dimasukkan ke sel berhari-hari, dan ia sudah telanjur malu. Begitu keluar dari sel, Bido mengasah parang, hampir melabrak Haji Munawir, tapi untunglah ada banyak orang yang melarang dan menghentikannya di tengah jalan. Yang membuatku tersentuh dan tiba-tiba merasa ikut terlibat adalah, ketika tengah mabuk arak di warung, Bido mengatakan betapa menderita emaknya yang sudah tua karena tuduhan itu.
Berminggu-minggu aku berpikir keras, sering pulang ke kampung walaupun tidak akhir pekan, mengamati sesuatu, membuat perhitungan di secarik kertas, dan menunggu. Hingga kemudian suatu malam, kupaparkan rencanaku kepada Bido.
Aku bilang, baru saja Haji Munawir menebar benih di kolam ikannya. Jika habis magrib Bido menutup saluran air yang menuju ke kolam, lalu membobol tanggulnya dengan lubang dua kepal tangan, maka tepat di tengah malam, kolam itu akan asat. Dan kalau ia menutup lubang itu lalu membuka lagi saluran air, maka menjelang pagi, kolam itu akan kembali tergenang air seperti sedia kala. Tapi kolam itu sudah kosong, tidak ada benih ikan lagi.
Hanya selang beberapa hari, Bido melakukan aksi itu dengan sukses. Butuh waktu lebih dari sebulan bagi Haji Munawir untuk menyadari bahwa kolamnya sudah tidak berisi ikan lagi. Tiap sore ia masih ke kolam menebarkan pakan ikan. Baru sebulan lebih kemudian, seluruh orang kampung melihat Haji Munawir meraung di sepanjang jalan, menangis, mengumpat dan berdoa.
Setelah kejadian itu, setiap aku bertemu Bido kami saling tersenyum penuh arti. Tetapi lagi-lagi aku melakukan kesalahan. Saat aku duduk di meja kamarku, ibu melempar kertas yang berisi coretan-coretan strategi menguras kolam itu. Coretan itu kusimpan di saku tas sekolahku, dan kali itu aku melemparkan tas itu di bak pakaian kotor. Seperti biasa, sebelum dicuci, ibu selalu memeriksa ulang adakah sesuatu yang tertinggal di pakaian-pakaian kotor. Kali itu, ibu bukan hanya memandangku tajam sekali, tetapi ada air yang berlinang di kedua pelupuk matanya.
Setelah aku kuliah dan bekerja, hanya sesekali saja aku bertemu Bido, terutama saat pulang kampung menjelang Lebaran. Beginilah kisah yang kudengar dan kuamati sepintas, terutama saat aku pulang.
Ketika emak Bido meninggal dunia, Bido menjual tanah dan rumah warisannya, lalu mendirikan warung kopi di dekat lapangan sepak bola. Ia menyekat warung kopinya menjadi dua, satu ruang untuk jualan kopi, satu ruang untuk berjudi. Segera warung kopi itu menjadi warung paling ramai di kampungku. Semua orang datang ke sana, juga para aparat keamanan. Dan beginilah yang khas dari Bido, ia duduk-duduk di atas lincak yang terletak di depan warungnya, dengan tenang menemui polisi atau tentara yang datang. Sementara itu, dua pekerja meladeni para pengunjung warung kopi dan mereka yang sedang berjudi. Saat itu, Bido selalu mengenakan sarung, berkopiah, dan memakai pakaian Korpri lengan panjang yang sudah mangkak, entah lungsuran dari siapa.
Tidak lama kemudian, di warung Bido tersedia arak. Warung itu semakin ramai saja oleh pembeli dan para penjudi. Bido tetap seperti biasa, menunggu warung dengan duduk-duduk di depan, tapi saat itu ia sudah mengganti ’seragamnya’ dengan kaus kepolisian berlengan panjang. Dan satu lagi, sebuah jam tangan melingkar di pergelangan tangannya. Hanya yang aneh, jam yang dikenakannya tidak jalan lagi alias mati.
Tak lama kemudian, desas-desus berkecamuk. Seusai reformasi, konon Bido ikut terlibat dalam pencurian kayu di hutan. Ketika nama-nama yang sering disebut berada di belakang aksi itu membangun rumah mewah dan membeli mobil, tidak ada yang berubah di diri Bido. Dan saat banyak pencuri tertangkap, para makelar kayu kehilangan rumah dan mobil mereka, para aparat yang terlibat dipecat dan dipindah, Bido masih tetap tenang di warung kopinya.
Bido juga disebut-sebut berada di belakang maraknya bisnis judi togel. Tapi ketika orang-orang penjaga togel berseliweran dengan memakai sepeda motor baru dan memegang telepon genggam, Bido masih anteng saja, tetap menunggu warung dan duduk tenang di atas lincak. Hanya lagi-lagi ’seragamnya’ yang berubah, ia memakai jaket doreng ala tentara. Saat para penjaga togel lari ketakutan karena operasi judi besar-besaran terjadi, Bido hanya cukup menutup bilik judinya.
Selentingan terakhir yang kudengar tentang Bido adalah saat ia diduga terlibat mensponsori seorang calon bupati dalam pemilihan langsung di daerahku. Siapa pun yang tidak mengikuti Bido secara langsung, mungkin akan menepis tudingan itu, termasuk aku. Bagaimana mungkin seorang yang hanya memiliki warung kopi dan arak bisa ikut mensponsori pencalonan seorang bupati? Tapi banyak orang yang bilang, bahwa tandonan uang Bido sejak terlibat pencurian kayu sampai togel menumpuk, dan semua dipakai untuk urusan pencalonan itu.
Jago Bido kalah. Konon karena kekalahan itulah Bido gampang uring-uringan. Warung kopinya mulai sepi, dua orang yang membantunya di warung kopi keluar karena tidak tahan diomeli Bido. Warung kopi Bido semakin sepi ketika bermunculan warung-warung kopi lain yang memadukan antara warung kopi dengan meja biliar dan playstation. Bido kemudian jatuh sakit lalu meninggal dunia.
Menjelang magrib, ibu menghampiriku. Ia menyorongkan handuk dan kain sarung, sambil berpesan singkat, “Cepat mandi. Nanti kamu ya yang mimpin tahlilan untuk Bido….”
Aku terkejut. Tapi kemudian aku teringat sesuatu. Bido tidak punya istri dan kerabat. Aku melupakan rasa terkejutku dan segera bertanya ke ibu, di mana tahlilan akan dilaksanakan?
“Di sini,” jawab ibu singkat. Sepasang mata ibu menatapku, tapi kali ini tidak tajam lagi…. ***

30. Ibu Meninggal

Cerpen: Hudan Hidayat
HINGGA hari ini aku masih belum percaya ibu telah meninggal. Keluargaku memang belum pernah kehilangan. Kini aku begitu merindukan ibu. Menyesal belum sempat membuat ibu bahagia.
Kehilangan itu membuatku begitu hampa. Segalanya seolah menjadi tak berjiwa. Aku seakan tak mendengar bunyi apa pun, saat pulang ke rumah dan mengepak barang yang akan kubawa. Anak-anak dan istriku sudah siap dengan bawaan mereka. Tapi aku seolah kehilangan pijakan. Kedua kakiku rasanya melayang. Aku seolah meluncur ke dalam lubang yang tak bisa kuhentikan.
Semua kenangan masa kecilku kuingat kembali. Waktu muda dan saat aku masih kecil, ibu begitu cantik. Lembut, meski keras dalam sikap. Aku bangga punya ibu seperti ibuku. Waktu ayah miskin aku membantu ibu jualan beras di Pasar Enam Belas. Aku juga sering menagih orang yang kredit dengan ibuku. Semua tugas itu hanya aku yang melakukannya. Entah mengapa ibu tidak pernah menyuruh kakak atau adik-adikku. Tapi justru itu yang membuat aku dekat dengan ibu. Waktu ibu sakit aku kasihan sekali. Aku ingin membantunya tapi tidak bisa: sakit ibu sudah parah. Aku tidak pernah acuh pada ibu. Memang kuakui aku tumbuh dengan pikiranku sendiri dan sibuk dengan diriku sendiri. Mungkin ibu berpikir aku seolah tidak peduli. Padahal dalam hati aku selalu sayang ibu. Selalu mengingatnya. Kini ibu sudah tiada. Sudah benar-benar hilang dari keluarganya.
Lain sekali rasanya kematian itu. Sore itu kami mengaji di makam ibu. Ada bentangan daun dan kembang. Juga bunga yang ditabur di makam. Sejam yang lalu aku ikut turun ke liang itu, membaringkan tubuh ibu. Meletakkan wajahnya ke dalam lubang yang tepinya digali lagi, membentuk kedalaman sendiri. Lubang yang miring. Entah mengapa saat itu aku teringat sebuah kisah: lubang dalam lubang, yang tadinya aku belum begitu mengerti maknanya. Tapi, menghadapi lubang kubur ibu, serta lubang yang digali lagi dalam lubang kubur ibu, aku jadi benar-benar mengerti kisah itu: lubang cahaya. Ya, kurasakan lubang ibu adalah lubang cahaya. Tempat di mana seorang perempuan yang baik budi semasa hidupnya terkubur di sana. Wajahnya terbenam dalam lubang itu, masuk ke dalam liang yang aku sendiri ikut menggali dan menanam tanah penyangga tubuhnya. Aku juga membukakan tali-tali yang mengikat kepala ibu, tubuh, dan kaki ibu. Kubuka ikatan-ikatan tali itu. Seolah membuka ikatan masa lalu, di mana aku terbenam di dalamnya. Sejenak melintas saat aku menghentak-hentakkan kaki, maju mundur meminta uang pada ibu di jalan. Ibu marah dengan sayang. Wajahnya merajuk lalu tersenyum. Diraihnya tubuhku dan diciumnya kepala dan mukaku. Anakku sayang,anakku sayang, kata ibu. Hanya itulah yang keluar dari mulut ibu. Ia memandangi anaknya. Seolah Tuhan memandangi dunia. Duh, perempuan yang baik hati, kini kau telah pergi. Telah benar-benar meninggalkan kami.
Kini aku hanya memiliki seorang ayah. Aku harap ayahku selalu sehat dan kuat. Tidak sakit-sakitan seperti ibu. Aku sayang sekali denan ayahku. Ayahlah yang mendidikku dalam banyak hal. Caranya mendidikku luar biasa: aku dibiarkannya melakukan apa saja yang aku suka, tidak pernah melarang. Dulu aku memimpikan ayahku dua kali: ayah begitu marah padaku dan meninggal dalam mimpiku. Aku begitu sedih sampai terbangun. Tercekam dengan mimpiku. Masih tersisa wajah ayah yang marah. Aku tidak begitu mengerti apa yang membuat ayah sangat marah. Tetapi lelaki tegas dan gagah itu memandangku dengan raut membesi. Jiwaku menggigil melihatnya. Ayah, apa salahku sampai kau marah begitu? Ini anakmu, yang sangat sedih karena bermimpi ayah telah mati. Tapi ayah tetap diam. Wajahnya sukar dilukiskan: terpaku di tempatnya, matanya seakan mengeluarkan api. Membakar tubuh dan jiwaku. Membuat aku putus asa, sedih dan berduka. Ada apa Ayah? Mengapa kau demikian marah padaku? Apakah salah anakmu ini?
Entah mengapa aku mengenang mimpi itu, saat adik perempuanku menelepon, mengabarkan ayah sakit di Tanjung Balai Asahan. Dalam telepon adikku menangis. Suaranya terbatabata. Ayah sakit keras. Dibawa naik kapal dari India. Hanya ditemani seorang kawannya. Aku terdiam. Segera kuingat kelompok jamaah kawan-kawan ayah yang kuantar ke bandara. Terngiang-ngiang kata-kata ayahku. Ayah akan empat bulan di luar negeri, berkeliling dari masjid ke masjid di Malaysia, India, dan kalau mungkin, Banglades. Hidup berdasarkan pemberian orang. Makan dan tidur di masjid. Kami tamu di sana. Setelah tiga hari sang tuan rumah boleh tidak menganggap tamu lagi. Artinya sang tamu harus pergi. Akan mencari masjid lain. Begitulah akan terjadi selama empat bulan. Ayah dan kawan-kawannya akan melalukan syiar agama dari masjid ke masjid di sana.
Suara adikku terdengar lagi. Adek sudah menuju bandara. Kita bertemu di bandara dan berangkat dengan pesawat pertama.
Aku merasa dia sudah mengendalikan diri. Agak tenang. Tetapi justru aku yang mulai tidak tenang. Penuh tekanan saat aku berusaha mengatakan sesuatu padanya. Seolah segala suka-duka keluargaku masuk ke dalam tekanan itu. Segera kukabarkan keluargaku yang lain. Kutelepon kakakku. Dia termenung mendengar kabar dariku. Bertanya. Lalu diam. Aku menyadarkannya kembali. Sebaiknya kita berangkat bersama. Ada pesawat Garuda pukul 14 siang ini. Aku menelepon lagi. Ayah sakit kritis, Jen. Beriap-siaplah. Kami yang di Jakarta akan berangkat segera ke Medan. Kalian yang dari luar kota sebaiknya berkumpul di Jakarta. Setidaknya menunggu kabar dari kami.
Seperti aku pertama kali mendengar kabar sakitnya ayah, adikku pun diam tak berkata-kata. Aku hanya mendengar nada kosong dalam telepon. Lalu suaranya yang sangat pelan. Aku berangkat hari ini juga. Jalan darat ke Jakarta.
Sebuah SMS masuk ke dalam teleponku.Aku membukanya sambil mengemudi. Aku tak mau melihat pengirimnya lagi. Pasti kabar tentang ayah. Mobilku tertahan di lampu merah di bawah jembatan flyover Kebayaron Lama. Aku membaca SMS itu, saat wajah seorang lelaki yang muncul tiba-tiba dari kaca kanan mobilku. Aku masih sempat membaca kalimat pertama.
Assalamualaikum. Nama saya Abdullah. Jemaah Majelis Tabligh dari Aceh…
Aku menyimak lelaki itu. Kehadirannya yang begitu mendadak membuatku kaget. Aku melihat tonjolan-tonjolan daging di sekujur tubuhnya. Kulit lelaki tua itu keriput dan menghitam. Penyakit kulit membuat tubuhnya rusak dan nampak mengerikan. Lidahnya terjulur di antara mulutnya yang lebar, membuatku merasa seolah lelaki itu bukan manusia. Tetapi ia adalah manusia. Hanya kehidupan telah mengalahkannya.
Lelaki itu tidak menunjukkan isyarat apa pun. Diam dan mematung di balik kaca mobilku. Matahari menusuknya. Tonjolan-tonjolan daging di tubuhnya melepuh dan mengeluarkan minyak. Ia tampak putus asa dengan keadaannya. Sorot matanya kosong tak menunjukkan keinginan. Seolah kehadirannya di tengah jalan itu hanya mekanis, dari sebuah pekerjaan rutin untuk meneruskan hidup. Aku merasa tidak nyaman dengan kehadirannya. Sikapnya yang memilukan itu membuatku tak sampai hati. Bagaimana menolong lelaki ini? Aku mulai menggenggam uang seratus ribu, sambil memikirkan lelaki itu. Aku kira lelaki seusianya sudah tidak pantas lagi di jalan raya. Tapi toh lelaki ini tetap di jalan raya. Ke manakah keluarganya, pikirku. Aku jadi teringat ayahku. Siapakah yang menolong ayah waktu sakit di luar negeri? Pasti berat sekali, ayah membawa tubuhnya sendiri.
Aku sangat menyesal, karena lampu hijau membuat aku harus meninggalkannya. Aku belum sempat memberikan uang seratus ribu itu. Mestinya aku tadi tidak sibuk berpikir. Tetapi aku telah berpikir dan uang itu tetap di tanganku.
Benarkah ini nomor Bapak Hudan, putera dari Bapak Jemat. Semoga benar. Saya sudah mengontak nomor-nomor di HP ayah kalian. Seseorang yang saya kontak menyebutkan antara lain nama Bapak…
Jadi, seseorang di Tanjung Balai telah menolong ayahku, dengan mengontak segala nomor yang ada di telepon seluler ayah.
Bapak Jemat sakit keras. Ayah kalian terbaring di klinik sederhana di Tanjung Balai. Segeralah ke sana sebelum semuanya terlambat.
Kalimat-kalimat akhir SMS itu bergaung dalam jiwaku. SMS itu mengingatkanku berita kematian ibu. Pagi itu aku sudah berada di mobil dengan istriku, menuju kantor. SMS itu masuk, hanya gabungan kata-kata, yang kalau kita hilangkan bagian-bagiannya tak memiliki arti apa pun. Hari-hariku sering disibukkan dengan memenggal-memenggalnya. Mengujinya apakah artinya masih dalam maknanya. Sering aku menghadapi gabungan kata “kematian” dalam kesepian kamar kerjaku di waktu malam. Saat istri dan anak-anaku sudah tertidur, aku naik ke atas dan masuk ke kamar kerjaku.?Di sanalah aku. Menguji kata atau kalimat yang kusukai untuk diriku. Kematian tidak menakutkan. Tidak lebih dari ujung sebuah perjalanan, di mana kita berhenti di suatu tempat. Perjalanan itulah kehidupan. Perhentian itulah kematian. Begitulah kalimat yang terbentang di meja kerjaku. Kalimat yang kusukai. Lalu aku memenggal-menggalnya. Kupisahkan katakata itu dan aku kini hanya menghadapi sebuah penggalan kata “kematian”, “perhentian”, dan “kehidupan”. Gabungan huruf yang masih bermakna. Lalu kupenggal lagi. Kuhilangkan lagi sampai dia menjadi huruf-huruf mati dan hurufhidup. Terbentang di mejaku sesuatu yang tidak bermakna sama sekali. K, P, K, huruf dari sebuah awal yang bisa apa saja. Yang jelas sudah tidak menunjuk lagi fakta tentang kehidupan yang berhenti. Huruf atau kata yang terpenggal ini di mana menakutkannya? Tidak ada. Kita bisa santai menghadapinya. Kita bisa bermainmain dengannya. Mengisinya sesuka hati.
Tapi, pagi itu, aku diharu-biru oleh gabungankata-kata itu. Seakan kata-kata yang kupenggal itu seolah marah, seolah-olah dia makhluk bernyawa di mana penggalan yang kulakukan seakan telah membunuhnya. Menghisap darahnya, sehingga ia menggelepar tak berdaya. Dan, kini semua kata yang sering kupenggal itu bangkit menunjukkan dirinya. Menghantam tepat di pusat kesadaran jiwaku. Membuatku luluh-lantak. Begitulah kudengar berita kematian ibu melalui SMS itu. Aku seolah bermimpi. Seakan tak percaya kalimat-kalimat dalam SMS itu. Ibu kita telah tiada. Beliau menghembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Umum Bengkulu…
Aku meledak dalam tangis yang mencekam. Aku sudah berusaha menahannya tapi tangis itu seolah makhluk bernyawa yang tak bisa kuhentikan. Aku memutar mobilku sambil menangis. Istriku menyabarkanku tapi tak lama kemudian dia pun ikut menangis. Anakku yang baru berusia 3 tahun mungkin menangkap dengan batinnya. Dia mengucapkan kata-kata dengan wajah anak yang tak mengerti. Ada apa Papa. Mana penjahatnya. Mari kita tembak penjahatnya. Istriku mengelus-elus kepala anakku. Dia belum tahu permainan orang dewasa dengan tangisnya. Tangis yang menyimpan riwayat kesalahan dan dendam. Tangis dari sebuah kehidupan yang tiba-tiba terputus. ***
(Kenangan untuk ibuku)

31. Ibu

Cerpen: Herman
“Setiap hari kau pegang kertas dan pensil itu, siang, malam, tiada hentinya. Untuk apa? Apa kau kira kertas itu dapat kau makan? Kau katakan kau bisa mencari makan dengan pensilmu, mana?! Yang kulihat masih nasi yang kutanak juga yang kau makan.”
Begitulah Ibu menggurutu setiap melihat aku mencoret-coret kertas. Aku tak marah, tidak sekali pun. Meski terkadang Ibu merepet ketika aku sedang menghadap piring nasi. Padahal ayah pernah melarang, jangan memarahi anak ketika dia sedang makan. Tapi Ibu tetap melakukannya padaku. Bahkan pernah lebih pedas lagi kepadaku. Ibu pernah mengancam akan mengusirku jika masih saja menulis dari pada mencari kerja.
“Lebih baik kau cari kerja untuk menabung agar kau bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi dari pada membuat tumpukan kertas dalam kamar. Lebih baik kau tulis surat lamaran kerja. Kalau kau masih juga menulis yang tiada artinya, lebih baik kau pergi saja dari rumah ini, karena kau tidak lagi mendengar kata-kataku, ibumu, untuk apa kau kuberi makan!”
“Ibu, kelak jika aku jadi penulis besar, aku akan dapat uang banyak.” “Kelak! Kelak…! Kelak…! Kapan!? Sampai kelak kau menyusul ayahmu ke liang kubur?! Terus kau akan mencoret-coret kafanmu?! Apa itu yang kau harapkan dari tulisanmu?!”
“Ibu, aku memang tidak bisa berjanji, tapi aku akan berusaha. Dan aku percaya kelak akan berhasil.”
“Berhasil.” Suara Ibu mengejekku. “Iya, Ibu.”
“Hei, kau bermimpi menjadi penulis. Orang sepertimu, mau jadi penulis?” Ibu menyindirku. “Tunggu saja tumbuh tanduk di kepala kucing betina. Kau kira ada yang membaca coretan jelekmu itu?! Pantas saja sudah beribu koran yang terbit, semua tertera namamu.”
“Ibu, jangan mengejekku. Aku memang selalu mengirimkan tulisanku ke media massa, tak perduli mereka memuatnya atau tidak. Tetapi aku yakin mereka pasti membacanya, hanya saja mungkin belum sesuai dengan misi media itu. Bagiku, mereka sudah membaca tulisanku, sudah cukup.
Dan ketika aku dapat menulis sesuatu, aku puas. Karena hanya dengan menulis kita dapat mengingat, ibu. Andaikan hari ini aku menulis tentang Ibu ketika marah, kelak jika Ibu tak marah lagi, aku pasti sangat merindukannya. Tetapi jika aku menulis bagaimana Ibu memarahiku, muka Ibu, kata-kata Ibu, tangan Ibu, langkah kaki Ibu, mata Ibu, bibir Ibu, semuanya tentang Ibu ketika marah, akan ada yang aku ingat. Jika aku rindu Ibu marah, aku tinggal melihat tulisanku tentang Ibu marah. Bukankah menulis itu sesuatu yang mengasyikkan, Ibu?”
“Tak usah kau mengajari ibumu.”
“Aku tidak mengajari Ibu. Aku hanya katakan yang sebenarnya. Nah, coba Ibu ingat tentang kenangan Ibu bersama ayah semasa sekolah dulu. Sukar ‘kan? Kalau Ibu masih menyimpan surat ayah, Ibu pasti mudah mengingat semua kata-kata ayah. Jika Ibu ingat ayah, Ibu tinggal membuka suratnya, paling tidak rasa rindu Ibu pasti berkurang,” ujarku manja seraya memeluk Ibu.
Saat itulah Ibu diam. Kulihat mata Ibu bening. Tapi Ibu masih marah, karena kegemaran Ibu memang memarahiku, apalagi setelah ayah meninggal. Kegemaran Ibu marah padaku semakin bertambah. Tapi aku tak membalas marah, malahan aku akan berkata manja sambil membawa nama ayah. Dan aku tahu, marah Ibu sebenarnya hanya karena ingin mendengar aku menyebut masa-masa Ibu bersama ayah. Setiap selesai aku mengungkit masalah Ibu dengan ayah, Ibu langsung diam.
Pandanganku seluas laut. Di hadapanku hanya ada kehancuran. Gersang dan fana. Pohon-pohon kayu yang tercabut dari akarnya, rumah-rumah dan gedung yang hanya terlihat pondasi, bangkai mobil yang hitam dan karatan, lumpur dan kotoran yang mulai mengering. Daratan yang telah menyatu dengan laut. Semua tampak seperti laut yang luas. Bau busuk yang sama sekali tak pernah tercium, melintas di hidungku. Satu dua mayat masih tersangkut di balik lumpur hitam.
Ibu, batinku, aku baru saja kembali melihat kampung kita. Tapi tak kudapati kampung kita yang dahulu. Laut telah menyulap kampung kita menjadi datar seluruhnya. Kemana engkau, Ibu? Selamatkah dirimu? Atau adakah Ibu diantara mayat-mayat yang belum sempat diangkat para relawan itu? Aku telah mencarimu di pos-pos pengungsian, tapi tak kudapati namamu dalam daftar orang yang selamat.
Sekarang aku berdiri tepat di rumah kita, Ibu. Tapi rumah kita hanya tersisa lantainya. Tak ada atap, tak ada dinding, tak ada meja dan kursi kecil tempat aku makan dahulu. Juga tak ada kursi panjang tempat Ibu duduk menampi beras sambil marah-marah kepadaku. Semuanya hanya lumpur hitam. Ibu, lihat, di sebelah kamarmu itu. Seekor bangau sebesar elang berdiri di reruntuhan jendela kamarmu. Bangau itu menatap ke arahku, Ibu. Dia mengepakkan sayapnya. Bukankah engkau pernah bercerita tentang seorang ibu yang berubah menjadi seekor bangau karena ingin melihat anaknya? Kata Ibu cerita itu pernah terjadi zaman dahulu.
Lihat, Ibu, bangau itu menatapku terus. Marahkah dia? Tapi bangau itu tak bersayap merah seperti dalam ceritamu. Apakah dia tidak marah lagi? Sayapnya sangat putih, bersih. Ibu, engkaukah itu? Jika benar, mengapa engkau tidak marah? Aku ingin Ibu marah. Aku rindu makian Ibu. Mana suara Ibu yang selalu mengejekku dahulu? Atau Ibu sudah tahu kabar yang kubawa pulang?
Ya, memang benar, aku baru pulang dari Belanda. Sebulan yang lalu aku diundang oleh negeri Belanda karena tulisanku yang menurut penilaian mereka berhak mendapat penghargaan. Menurut mereka tulisanku sangat merdeka. Entah apa maksudnya, aku tidak mengerti. Mereka berpendapat, tulisanku mampu mewakili suara orang-orang kampung kita, bahkan mampu mewakili daerah kita keseluruhan. Karena itulah aku diundang ke negerinya dan diberi penghargaan Free Word Award.
Sebulan yang lalu engkau lepas kepergianku di Bandara dengan senyum. “Semoga kau berhasil, Nak.” Katamu waktu itu. Itu kali pertama Ibu memanggilku ‘Nak’ dengan kelembutan. Menurutmu aku telah berhasil merubah coretan menjadi tulisan. Kala itu pula aku melihat Ibu tersenyum manis ke arahku. Mungkin selama aku besar, itu adalah senyum pertamamu yang kurasakan hangat. Aku tak pernah mengira jika juga menjadi senyum terakhir Ibu.
Ibu, lihat bangau itu, dia mengepakkan sayapnya ke arahku. Persis seperti lambaianmu ketika melepasku di Bandara. Aku mendekati bangau itu, dia tak terbang. Kubelai sayapnya yang putih, kudekap dalam pelukanku. Kurasakan sejuk sayapnya. Dan aku tertidur di sampingnya. Perlahan kurasakan tubuhku terangkat sambil sayup-sayup terdengar suara, “Dia masih hidup, sebaiknya kita bawa saja ke markas PMI.” Setelah itu aku tak tahu lagi. ***


32. Nasehat Sang Ibunda

Jam menunjukkan pukul 23.00. Tapi mata belum juga bisa terpejamkan. Setelah menyaksikan adegan istimewa yang disuguhkan Allah Swt di dinding kamar saya, bagaimana upaya seekor cicak menyambut rizkinya. Tiba-tiba tanpa sengaja pikiran saya melayang jauh ke masa lampau. Waktu itu bertepatan dengan hari ke sebelas bulan ramadhan.
Sosok ibu kami, pada masanya, beliau tidak pernah merasakan bagaimana menjadi seorang murid. Beliau tidak pernah sekolah. Walaupun hanya setingkat sekolah dasar. Tetapi cara-cara beliau mendidik dan memberi pelajaran kepada kami, sungguh sangat mengesankan dan membuat kami selalu kagum pada beliau. Diantara sekian banyak pelajaran kehidupan yang kami terima, ada satu hal yang terus saya ingat, apabila pikiran terbayang pada beliau.
Pada sore hari yang cerah, saya mau mengambil buah jambu yang ada di halaman rumah kami. Buah jambu itu tampak sudah matang dan begitu menggairahkan. Perlu diketahui bahwa pohon jambu yang kami tanam di depan rumah kami adalah buah ‘jambu jepang’, istilah orang kampung. Pohon itu sangat langka pada saat itu.
Di kampung tempat kami tinggal hanya ada satu pohon itu saja. Sehingga semua orang yang melihatnya kepingin sekali merasakan bagaimana rasa buah `jambu jepang’ tersebut. Pohon itu kalau berbuah juga tidak terlalu banyak. Kadang-kadang satu pohon hanya ada satu atau dua buah saja yang masak. Perlu diketahui pula bahwa buahnya sangat kecil hanya sebesar buah kelengkeng saja. Tetapi baunya harum dan rasanya manis.
Pada hari itu, buah jambu yang masak ada dua buah. Ketika sore itu saya mau mengambil buah yang sudah ranum, ibu melarangnya. Sehingga saya agak kecewa karenanya.
Kata saya : ‘..mengapa bu, saya tidak boleh mengambil buah tersebut? Kan itu milik kita. Kalau tidak cepat diambil nanti kan membusuk?”
Jawab ibu : “Nak, kita kan sudah pernah makan buah tersebut.. Walaupun dengan menunggu dalam waktu yang cukup lama. Dan memang kadang-kadang kita hanya bisa makan satu atau duah buah saja yang sedang masak. Tetapi tetangga depan rumah kita itu, belum pernah mencicipinya. Kemarin ibu lihat anaknya pingin sekali mengambil jambu itu. Karena itu janganlah diambil. Berikan buah jambu itu kepada mereka. Agar hatinya senang…
Kembali mata saya berkaca-kaca, mengingat peristiwa sederhana itu. Sebuah peristiwa yang mungkin setiap orang akan pernah menjumpainya dalam keluarganya masing-masing. Atau dalam lingkungan lainnya, dengan model yang berbeda.
“Dahulukanlah orang lain… ! Begitulah kira-kira inti pelajaran istimewa yang saya terima dari beliau Mengenang peristiwa itu, saya jadi teringat sebuah riwayat yang menceritakan tentang seorang sahabat yang oleh rasulullah disuruh menjamu tamunya. Ceritanya, di rumah sahabat tersebut tidak terdapat sesuatu makanan, kecuali makanan milik anaknya. Karena sang pemilik rumah ingin lebih mengutamakan tamunya dari pada keluarganya, ia memberikan makanan milik anaknya tersebut kepada tamunya dengan cara yang sangat luar biasa.
Yaitu ketika waktu makan bersama tamunya, sang pemilik rumah pura-pura makan juga, padahal piringnya kosong. Mengapa pura-pura? Supaya sang tamu tidak mengetahui kalau pemilik rumah sebenarnya tidak ikut makan. Untuk maksud itu, maka lampu di dalam rumahnya dipadamkan. Pura-pura kehabisan minyak. Setelah suasana menjadi gelap, maka mereka ‘makan’ bersama-sama. Sang tamu makan sungguhan, sang pemilik rumah makan pura-pura, padahal perutnya sangatlah laparnya.
Peristiwa itu begitu luar biasanya, sehingga turunlah ayat Al-Qur’an surat Al-Hasyr (59) : 9, sebagai penghargaan terhadap peristiwa tersebut.
“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Kalaulah sampai Allah Swt, menurunkan sebuah ayat lantaran peristiwa tersebut, sungguh betapa hebatnya kejadian itu sehingga perlu diabadikan dalam kitab suci akhir zaman ini. Agar bisa dicontoh dan diteladani oleh umat manusia.
Demikian pula banyak pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh Rasulullah saw, agar kita selalu berbuat baik kepada orang lain, serta memiliki sifat murah hati terhadap orang lain.
Anas bin Malik ra, berkata, bahwa rasulullah saw itu, tidak pernah diminta kecuali selalu memberi. Pernah datang seorang lelaki kepada Rasulullah untuk meminta, maka beliau memberikan kambing-kambing yang banyak yang berada diantara dua gunung, kambing sadaqah. Maka lelaki itu pulang dan ia berkata kepada kaumnya…
Wahai kaumku, masuk Islamlah kalian semua! Sesungguhnya Muhammad itu amat pemurah. Ia memberi dengan pemberian yang sangat banyak, tidak pernah takut melarat…
***
Sumber: NN


33. Doa dari Keranjang Tempe

Di Karangayu, sebuah desa di Kendal, Jawa Tengah, tempat tinggal seorang ibu penjual tempe . Tak ada pekerjaan lain yang dapat dia lakukan sebagai menyambung hidup. Meski demikian, nyaris tak pernah lahir keluhan dari bibirnya. Ia jalani hidup dengan riang.
“Jika tempe ini yang nanti mengantarku ke surga, kenapa aku harus menyesalinya. ” demikian dia selalu memaknai hidupnya.
Suatu pagi, setelah salat subuh, dia pun berkemas. Mengambil keranjang bambu tempat tempe , dia berjalan ke dapur. Diambilnya tempe-tempe yang dia letakkan di atas meja panjang. Tapi…….deg !! dadanya gemuruh. Tempe yang akan dia jual, ternyata belum jadi. Masih berupa kacang, sebagian berderai, belum disatukan ikatan-ikatan putih kapas dari peragian. Tempe itu masih harus menunggu satu hari lagi untuk jadi. Tubuhnya lemas. Dia bayangkan, hari ini pasti dia tidak akan mendapatkan uang, untuk makan, dan modal membeli kacang, yang akan dia olah kembali menjadi tempe.
Di tengah putus asa, terbersit harapan di dadanya. Dia tahu, jika meminta kepada Allah, pasti tak akan ada yang mustahil. Maka, ditengadahkan kepala, dia angkat tangan, dia baca doa. “Ya Allah, Engkau tahu kesulitanku. Aku tahu Engkau pasti menyayangi hamba-Mu yang hina ini. Bantulah aku ya Allah, jadikanlah kedelai ini menjadi tempe . Hanya kepada-Mu kuserahkan nasibku…”
Dalam hati, dia yakin, Allah akan mengabulkan doanya. Dengan tenang, dia tekan dan mampatkan daun pembungkus tempe . Dia rasakan hangat yang menjalari daun itu. Proses peragian memang masih berlangsung. Dadanya gemuruh.
Dan pelan, dia buka daun pembungkus tempe. Dan… dia kecewa. Tempe itu masih belum juga berubah. Kacangnya belum semua menyatu oleh kapas-kapas ragi putih. Tapi, dengan memaksa senyum, dia berdiri. Dia yakin, Allah pasti sedang “memproses” doanya. Dan tempe itu pasti akan jadi. Dia yakin, Allah tidak akan menyengsarakan hambanya yang setia beribadah seperti dia.  Sambil meletakkan semua tempe setengah jadi itu ke dalam keranjang, dia berdoa lagi. “Ya Allah, aku tahu tak pernah ada yang mustahil bagi-Mu. Engkau Maha Tahu, bahwa tak ada yang bisa aku lakukan selain berjualan tempe. Karena itu ya Allah, jadikanlah. Bantulah aku, kabulkan doaku…”
Sebelum mengunci pintu dan berjalan menuju pasar, dia buka lagi daun pembungkus tempe. Pasti telah jadi sekarang, batinnya. Dengan berdebar, dia intip dari daun itu, dan… belum jadi. Kacang itu belum sepenuhnya memutih. Tak ada perubahan apa pun atas ragian kacang tersebut.
“Keajaiban Tuhan akan datang….pasti, ” yakinnya. Dia pun berjalan ke pasar. Di sepanjang perjalanan itu, dia yakin, “kehendak” Tuhan tengah bekerja untuk mematangkan proses peragian atas tempe tempenya. Berkali-kali dia dia memanjatkan doa… berkali-kali dia yakinkan diri, Allah pasti mengabulkan doanya. Sampai di pasar, di tempat dia biasa berjualan, dia letakkan keranjang-keranjang itu.
“Pasti sekarang telah jadi tempe !” batinnya.  Dengan berdebar, dia buka daun pembungkus tempe itu, pelan-pelan. Dan… dia terlonjak. Tempe itu masih tak ada perubahan. Masih sama seperti ketika pertama kali dia buka di dapur tadi. Kecewa, airmata menitik di keriput pipinya. Kenapa doaku tidak dikabulkan? Kenapa tempe ini tidak jadi?
Kenapa Tuhan begitu tidak adil? Apakah Dia ingin aku menderita? Apa salahku? Demikian batinnya berkecamuk.  Dengan lemas, dia gelar tempe-tempe setengah jadi itu di atas plastik yang telah dia sediakan. Tangannya lemas, tak ada keyakinan akan ada yang mau membeli tempenya itu. Dan dia tiba-tiba merasa lapar… merasa sendirian. Allah telah meninggalkan aku, batinnya. Airmatanya kian menitik. Terbayang esok dia tak dapat berjualan… esok dia pun tak akan dapat makan.
Dilihatnya kesibukan pasar, orang yang lalu lalang, dan “teman-temannya” sesama penjual tempe di sisi kanan dagangannya yang mulai berkemas. Dianggukinya mereka yang pamit, karena tempenya telah laku. Kesedihannya mulai memuncak.  Diingatnya, tak pernah dia mengalami kejadian ini. Tak pernah tempenya tak jadi. Tangisnya kian keras.  Dia merasa cobaan itu terasa berat. Di tengah kesedihan itu, sebuah tepukan menyinggahi pundaknya. Dia memalingkan wajah, seorang perempuan cantik, paro baya, tengah tersenyum, memandangnya.
“Maaf Ibu, apa ibu punya tempe yang setengah jadi? Capek saya sejak pagi mencari-cari di pasar ini, tak ada yang menjualnya.  Ibu punya??” Penjual tempe itu bengong. Terkesima. Tiba-tiba wajahnya pucat. Tanpa menjawab pertanyaan si ibu cantik tadi, dia cepat menadahkan tangan. “Ya Allah, saat ini aku tidak ingin tempe itu jadi. Jangan engkau kabulkan doaku yang tadi. Biarkan sajalah tempe itu seperti tadi, jangan jadikan tempe ….”
Lalu segera dia mengambil tempenya. Tapi, setengah ragu, dia letakkan lagi. “Jangan-jangan, sekarang sudah jadi tempe ….”
“Bagaimana Bu ? Apa ibu menjual tempe setengah jadi ?” tanya perempuan itu lagi. Kepanikan melandanya lagi. “Duh Gusti… bagaimana ini? Tolonglah ya Allah, jangan jadikan tempe ya?” ucapnya berkali-kali. Dan dengan gemetar, dia buka pelan-pelan daun pembungkus tempe itu. Dan apa yang dia lihat, pembaca ?? Di balik daun yang hangat itu, dia lihat tempe yang masih sama. Belum jadi ! “Alhamdulillah! ” pekiknya, tanpa sadar. Segera dia angsurkan tempe itu kepada si pembeli. Sembari membungkus, dia pun bertanya kepada si ibu cantik itu. “Kok Ibu aneh ya, mencari tempe kok yang belum jadi?”
“Oohh, bukan begitu, Bu. Anak saya, si Sulhanuddin, yang kuliah S2 di Australia ingin sekali makan tempe, asli buatan sini. Nah, agar bisa sampai sana belum busuk, saya pun mencari tempe yang belum jadi. Jadi, saat saya bawa besok, sampai sana masih layak dimakan. Oh ya, jadi semuanya berapa, Bu ?”
Sahabatku, ini kisah yang biasa bukan ? Dalam kehidupan sehari-hari, kita acap berdoa…..dan “memaksakan” agar …..Allah memberikan apa yang menurut kita paling cocok untuk kita. Dan jika doa kita tidak dikabulkan, kita merasa diabaikan, merasa kecewa. Padahal, Allah paling tahu apa yang paling cocok untuk kita. Bahwa semua rencananya adalah sempurna..
Wallahu’alam Bishshawaab…..
***
Sumber: Eramuslim


34. Tak Satupun Yang Dapat Menggantikan Rintihan Seorang Ibu Saat Melahirkan

Imam Muhammad al-Baqir menuturkan :
Seseorang datang menemui Rasulullah Saw dan berkata, ” Wahai Rasulullah, ayah saya kini telah tiada, sedangkan ibu saya sudah sangat tua renta. Kalau makan, saya haluskan dulu makanan tersebut kemudian saya letakkan makanan itu ke dalam mulutnya ; tak ubahnya anak kecil. Saya juga meletakkan beliau dalam ayunan kain seperti bayi dan setelah itu saya mengayunkannnya sampai tertidur. Karena faktor usia yang sudah sangat lanjut itu, terkadang beliau meminta sesuatu kepada saya yang saya sendiri tak mengerti apa yang dikehendakinya. Karena itu, saya mohon kepada Allah agar memberi saya seorang wanita yang bekerja menyusui agar saya dapat menmyusui ibu saya, sebagaimana ibu saya pernah menyusui saya. Ketika itu, dia (wanita itu) membuka dadanya, sehingga tampaklah kedua payudaranya, kemudian sedikit tekanan, keluiarlah air susunya. “
Melihat kejadian itu, Rasulullah Saw meneteskan airmata seraya bersabda, “ Wahai anak muda, engkau telah mendapatkan keberhasilan yang sangat layak, karena engkau memohon kepada Allah dengan hati yang bersih dan niat yang tulus, dan Allah telah mengabulkan doamu. “
Anak muda itu bertanya, ” Wahai Rasulullah, apakah saya sudah dapat menggantikan jerih payah serta hak-hak ibu saya? “
Rasulullah Saw bersabda, ” Engkau takkan pernah bisa menggantikannya (semua jerih payah dan hak-haknya), bahkan satu rintihan di antara rintihan-rintihannya pada saat melahirkan pun tak dapat kau gantikan. “
Dipetik dari Buku ” Kisah-Kisah Ayah Ibu ” karya : Ahmad Mir Khalaf Zadeh & Qasim Mir Khalaf Zadeh


35. Mata Ayah

Cerita ini berawal di sebuah sudut kota. Disana ada seorang remaja, sebut saja namanya Den. Di rumah, Den cuma hidup dengan ayahnya. Kakak-kakak Den sudah menikah dan tidak tinggal di rumahnya lagi. Den adalah seorang siswa kelas 2 SMU. Den juga suka bermain sepak bola. Ia sangat menyukai olah raga itu. Den cukup aktif di dalam klub sepak bola di kotanya. Den mendapat dukungan yang sangat kuat dari ayahnya akan hobinya tersebut.
Den berlatih sepak bola dengan timnya tiga kali seminggu. Sesekali timnya juga mengikuti beberapa kompetisi dan beberapa kali pernah menang. Seperti kali ini, timnya sedang mengikuti sebuah kejuaraan sepak bola yang cukup bergengsi. Pertandingan demi pertandingan dilalui dengan lancar hingga membawa tim tersebut ke babak grand final yang akan diselenggarakan  hari sabtu nanti.
Tetapi pada hari Selasa, sebuah berita duka terjadi. Ayah Den meninggal dunia. Dengan menyesal Den meminta ijin pelatihnya bahwa dia tidak bisa datang latihan hari ini. Sang pelatih pun memahami keadaan tersebut. Bahkan sang pelatih juga menyarankan Den untuk beristirahat sejenak. “Jika berkeberatan, kamu tidak perlu memaksakan diri untuk mengikuti pertandingan final besok Sabtu. Tenangkan dirimu dulu, kami akan selalu menunggu kehadiranmu kembali.” Kata pelatih itu.
Pertandingan grand final hari Sabtu pun tiba. Penonton tampak berjubel di tribun lapangan. Kesebelasan Den tampak sangat terdesak oleh tim lawan. Skor saat ini menunjukkan 2-0 untuk tim lawan. Padahal pertandingan sudah berlangsung 20 menit pada babak ke dua.
Tiba-tiba Den menampakkan diri di pinggir lapangan. Tanpa banyak tanya ia langsung ganti baju, memakai sepatu, dan melakukan sedikit pemanasan dengan bola kesayangannya di pinggir lapangan. Pelatih dan rekan-rekan timnya heran dan terkejut melihat hal ini. “Ijinkan saya ikut bertanding pak!” Seru Den pada pelatihnya. Setelah berpikir sejenak, akhirnya pelatih itu mengijinkan Den masuk ke tengah lapangan.
Hal yang mengejutkan terjadi. Entah bagaimana, permainan Den pada malam itu sangat cemerlang. Ia seperti tidak memiliki rasa lelah untuk berlari, merebut, dan menendang bola di menit-menit terakhir itu. Tenaga rekan-rekan satu timnya yang mulai terkuras habis pun menjadi bangkit melihat semangat Den.
Tak diduga, malam itu Den berhasil memasukkan tiga bola ke gawang lawan. Sebuah lompatan tersendiri bagi prestasi Den di timnya selama ini. Sebab selama ini Den jarang memasukkan bola ke gawang lawan, sekalipun beberapa kali pernah ditempatkan pelatih pada posisi striker seperti pada pertandingan malam ini. Akhirnya pertandingan pun selesai. Kesebelasan Den menang dari tim lawan dengan skor 2-3.
“Ada apa kamu, Den? Aku belum pernah melihatmu sehebat ini! Motivasi dan tenagamu malam ini sangat cemerlang!” Seru pelatih dengan bangga.
“Tahukah, pak? bahwa selama ini Ayah sangat mendukung permainan sepak bola saya. Bahkan ia selalu berharap kelak saya bisa menjadi seorang bintang sepak bola.” Kata Den sambil terengah-engah.
“Tahukah pula, Pak. Kalau Ayah saya buta? memang selama ini dia selalu duduk di antara penonton untuk mengikuti setiap pertandingan saya, tetapi seumur hidup dia belum pernah benar-benar melihat saya bertanding!”
Den melanjutkan, “Dan malam ini adalah kali pertama Ayah benar-benar melihat saya bertanding, saya ingin menunjukkan kepada dia, bahwa saya memang pantas untuk dilihat oleh dia.”
Sumber dari Karya : Joddie


36. Renungan: Kasih Ibu

Pada malam itu, Ana bertengkar dengan ibunya. Karena sangat marah, Ana segera meninggalkan rumah tanpa membawa apapun. Saat berjalan disuatu jalan, ia baru menyadari bahwa ia sama sekali tidak membawa uang.
Saat menyusuri sebuah jalan, ia melewati sebuah kedai bakmi dan ia mencium harumnya aroma masakan. Ia ingin sekali memesan semangkuk bakmi, tetapi ia tidak mempunyai uang.
Pemilik kedai melihat Ana berdiri cukup lama di depan kedainya, lalu berkata “Nona, apakah engkau ingin memesan semangkuk bakmi?”
“Ya, tetapi, aku tidak membawa uang” jawab Ana dengan malu-malu
“Tidak apa-apa, aku akan mentraktirmu” jawab si pemilik kedai.
“Silahkan duduk, aku akan memasakkan bakmi untukmu”.
Tidak lama kemudian, pemilik kedai itu mengantarkan semangkuk  bakmi. Ana segera makan beberapa suap, kemudian air matanya mulai berlinang.
“Ada apa nona?” Tanya si pemilik kedai.
“tidak apa-apa” aku hanya terharu jawab Ana sambil mengeringkan air matanya.
“Bahkan, seorang yang baru kukenal pun memberi aku semangkuk bakmi !, tetapi,? ibuku sendiri, setelah bertengkar denganku, mengusirku dari rumah dan mengatakan kepadaku agar jangan kembali lagi ke rumah”
“Kau, seorang yang baru kukenal, tetapi begitu peduli denganku dibandingkan dengan ibu kandungku sendiri” katanya kepada pemilik kedai.
Pemilik kedai itu setelah mendengar perkataan Ana, menarik nafas panjang dan berkata “Nona mengapa kau berpikir seperti itu? Renungkanlah hal ini, aku hanya memberimu semangkuk bakmi dan kau begitu terharu.
Ibumu telah memasak bakmi dan nasi untukmu saat kau kecil sampai saat ini, mengapa kau tidak berterima kasih kepadanya? Dan kau malah bertengkar dengannya”
Ana, terhenyak mendengar hal tersebut. “Mengapa aku tidak berpikir tentang hal tersebut?
Untuk semangkuk bakmi dr orang yang baru kukenal, aku begitu berterima kasih, tetapi kepada ibuku yang memasak untukku selama bertahun-tahun, aku bahkan tidak memperlihatkan kepedulianku kepadanya. Dan hanya karena persoalan sepele, aku bertengkar dengannya.
Ana, segera menghabiskan bakminya, lalu ia menguatkan dirinya untuk segera pulang ke rumahnya. Saat berjalan ke rumah, ia memikirkan kata-kata yang harus diucapkan kepada ibunya. Begitu sampai di ambang pintu rumah, ia melihat ibunya dengan wajah letih dan cemas. Ketika bertemu dengan Ana, kalimat pertama yang keluar dari mulutnya adalah “Ana kau sudah pulang, cepat masuklah, aku telah menyiapkan makan malam dan makanlah dahulu sebelum kau tidur, makanan akan menjadi dingin  jika kau tidak memakannya sekarang”.
Pada saat itu Ana tidak dapat menahan tangisnya dan ia menangis dihadapan ibunya. Sekali waktu, kita mungkin akan sangat berterima kasih kepada orang lain disekitar kita untuk suatu pertolongan kecil yang diberikan  kepada kita.
Tetapi kepada orang yang sangat dekat dengan kita (keluarga) khususnya orang tua kita, kita harus ingat bahwa kita berterima kasih kepada mereka seumur hidup Kita.
***
Renungan:
Bagaimanapun kita tidak boleh melupakan jasa orang tua kita.
Seringkali kita menganggap pengorbanan mereka merupakan suatu proses alami yang biasa saja; tetapi kasih dan kepedulian orang tua kita adalah hadiah paling berharga yang diberikan kepada kita sejak kita lahir. Pikirkanlah hal itu??
Apakah kita mau menghargai pengorbanan tanpa syarat dari orang  tua kita? Hai anak-anak, taati dan hormatilah orang tuamu dalam keseharianmu, karena itulah hal yang indah dimata tuhan.
Sumber: email teman.



37. Sepucuk Surat Buat Sang Ibu Dari Seorang Anak di Akhir Hidupnya

Ada seorang anak kecil yang ditinggal mati ayahnya. Karena tak mendapat kasih sayang ibu, dia terjerumus dalam kecanduan heroin, pencurian, dan perbuatan-perbuatan lainnya : keluar-masuk penjara tak membuatnya jera. Dalam masa-masa akhir hidupnya yang menyedihkan, dia menulis surat kepada ibunya :
” Ibu, maafkanlah kesalahanku bila aku mengeluh padamu disaat-saat terakhir hidupku yang membosankan ini. Sebab, para kriminal yang telah dijatuhi hukuman mati, dalam detik-detik terakhir umurnya pun masih diberi kebebesan untuk menyampaikan semua keinginannya. Karena itu, hari ini, di saat-saat terakhirku, akupun ingin menyampaikan pada ibu semua yang selama ini mengganjal di hatiku, juga keletihanku yang terpendam selama bertahun-tahun lantaran takut atau pertimbangan-pertimbangan lain. Bagaimana pun, lepas dari tidak adanya kasih sayang dan perhatian ibu padaku, tetap saja aku mencintai ibu.
Dalam kesengsaraan hidup, aku masih mengharapkan tatapan kasih serta belaian tanganmu; yang kini telah terkubur dalam kegagalan.Dulu aku seorang pecandu, terusir dari masyarakat dan keluarga. Tetapi, wahai ibuku, andai engkau mengerti bahwa ketika usiaku masih sangat belia, hanya demi menarik simpati ayah tiri yang berhati batu dan selalu memandangku dengan sebelah mata itu, ibu tega mengusirku dari rumah dan mengumpulkanku bersama anak-anak nakal yang tak bermoral. Dari sanalah aku belajar menjalin hubungan dengan heroin, ganja, obat-obatan, dan korek api.
Ibu, andai kau mengerti, di siang bolong di musim panas itu, hanya demi kenikmatanmu sendiri, kau usir aku dari fumah tanpa alas kaki untuk bermain-main di comberan yang berada di gang rumah. Aku tak melakukan itu, dan sebagai gantinya, kuhabiskan waktuku di rumah-rumah reot setempat dan di atas permadani para pemain judi serta pecandu. Disanalah aku mengenal rokok, ganja, dan heroin.
Ibu, andai kau mengerti, pada saat kau bergelimang kenikmatan, perutku seringkali kenyangf oleh sisa-sisa makanan tetangga, dan sebagai ganti tatapan kasih sayang dan belaian tanganmu, tatapan kasih sayang para tetangga menghantarku dijalanku dan belaian tangan mereka terhadap anak yatimlah yang membuat hidupku menjadi tenang.
Seandainya ibu mengerti…………………….”
Dipetik dari Buku “Kisah Ayah Ibu ” karya Ahmad Mir Khalaf Zadeh & Qasim Mir Khalaf Zadeh


38. Sepotong Maaf Untuk Mama

“Ki… Tolongin mama sebentar dong.” Aku merungut sambil beringsut setengah malas. Beginilah nasib jadi anak satu-satunya di rumah. Sejak bang Edo kuliah di Jakarta, akulah yang jadi tempat mama minta tolong. Biasanya bang Edolah yang mengantar mama ke supermarket, ke pengajian, atau sekadar membawakan tas mama yang pulang dari kantor. Memang begitulah abangku yang satu itu. Sedang aku ? Wuih, biasanya aku dengan bandelnya menghindar. Tapi sekarang aku sudah tidak bisa lari lagi.
Memang, sejak papa meninggal, mama makin sering minta ditemani ke mana-mana. Mungkin mama kesepian. Di hari kerja, mama disibukkan dengan urusan kantornya. Sedang di akhir pekan, mama selalu minta ditemani anak-anaknya.
“Ki, mama minta tolong dong…” Aku menyumpalkan tangan ke telinga. Aduh, mama…. “Ki, tolong ambilin berkas kerja mama di bu Joko dong.” “Lho, kok bisa ada di bu Joko, Ma ?” “Iya, tadi habis pulang dari kantor, mama mampir dulu ke sana. Kayaknya berkas-berkas itu ketinggalan deh di sana.  Soalnya di mobil udah nggak ada. Bisa nggak kamu ambilin ?”
Aku melongo, sering sekali mama minta tolong saat aku benar-benar sibuk. Rasanya ingin teriak. Kali ini aku benar-benar sibuk ! Besok ada dua tugas yang harus dikumpulkan. Belum lagi sorenya ada ujian akhir. Mana sempat mampir-mampir ke rumah orang ? Mana sudah malam begini… “Aduh, Mama…. Kiki bener-bener sibuk… Besok ada ujian dan tugas-tugas yang harus dikumpulin. Jadi…” “Ya, udah kalo kamu nggak mau.”, balas mama dengan ketus. Aku hanya bisa menghembuskan nafas dan kembali mengerjakan tugasku.
“…Kamu tuh memang nggak pernah kasihan sama Mama…”, bisik mama lirih dengan sedikit terisak.
Suara mama sedikit sumbang. Sepertinya mama sedang terkena flu. Aku menatap langit-langit dengan lesu. Dengan lemas akhirnya aku memanggil mama. “Iya deh Ma… Biar Kiki yang pergi…”
Gelap. Gelap sekali. Apalagi banyak lampu jalanan yang sudah mati. Capek rasanya harus berusaha melihat. Rumah bu Joko sebenarnya tidak jauh dari rumah kami. Tapi karena sudah malam, palang-palang jalan di kompleks itu sudah diturunkan dan tidak ada penjaganya. Jadinya, aku harus mengambil jalan memutar yang letaknya cukup jauh. Kalau tidak salah, satu-satunya palang yang tidak ditutup ketika malam adalah… Ah, dari sini belok kiri. Astaghfirulllah… Ternyata ditutup juga… Aku membaringkan kepalaku di atas kemudi. Rasanya penat sekali.
Entah, harus masuk ke kompleks ini lewat jalan yang mana. Setelah setengah jam berputar-putar, barulah aku menemukan jalan masuknya. Rasanya lega sekali ketika sampai di depan rumah bu Joko. Kutekan belnya sekali, tidak ada jawaban. Dua kali, tetap tidak ada jawaban. Tiga kali, empat kali, hasilnya tetap sama. Akhirnya dengan menelan setumpuk rasa malu, kutekan lagi bel rumah mereka sambil mengucapkan salam keras-keras. Dari belakang aku mendengar suara berdehem. Aduh, ada hansip. Aku menangguk basa-basi. Aduh, mama ! Bikin malu saja ! “Oh, kertas apa ya ?”, tanya bu Joko dengan mata setengah mengantuk.
Aku jadi tidak enak sendiri menganggu malam-malam begini. Menit-menit selanjutnya, kami berdua mencari-cari berkas yang dikatakan mama. Tidak hanya di ruang tamu. Tapi juga di ruang tengah, ruang makan dan dapur. Lalu aku menelepon ke rumah. “Ma, berkasnya nggak ada tuh. Mama simpan di map warna apa ?” “He..he…he…Udah ketemu, Ki. Ternyata sama bi Isah diturunin dari  obil terus ditaruh di meja makan.” “Tau gitu kenapa nggak telpon Kiki ! Kiki kan bawa handphone !” “Wah, maaf Ki… Mama nggak tahu kamu bawa handphone. Mama kira…” “Ah, udahlah ! Mama nyusahin Kiki aja !” Aku lantas membanting gagang telepon dengan sedikit kejam.
Aku berbalik dan menemukan bu Joko menatapku dengan tatapan ngeri. Aku memaksakan sebuah senyum, minta maaf lalu pamit secepatnya. Setengah ngebut aku memacu mobilku. Hujan rintik-rintik membuat ruang pandangku semakin sempit. Nyaris jam dua belas malam. Hah, dua jam terbuang percuma. Kalau dipakai untuk mengerjakan tugas, mungkin sekarang sudah selesai… Dasar mama …
Brakkk!!! Tiba-tiba terdengar suara yang sangat keras. Bunyinya seperti kaleng yang robek. Sesaat aku semuanya semakin gelap. Aku tidak bisa Lagi membedakan mana atas dan bawah. Sekujur tubuhku seperti dihimpit dari berbagai arah. Sejenak kesadaranku seperti lenyap.
Penduduk-penduduk sekitar mulai berdatangan. Mereka membantuku keluar dari mobil yang sepertinya ringsek parah. Mataku dibasahi sesuatu. Ketika kusentuh, rasanya lengket. Ya Allah, darah… Tubuhku lebih gemetar karena takut daripada karena sakit. “Neng, nggak apa-apa neng ?”, tanya seseorang.
Aku berusaha berdiri walau sempoyongan. Kucoba menggerakkan tangan, kaki, serta mencek apakah semuanya masih ada. Kupejamkan mata dan berusaha mencari sumber sakit. Sepertinya tubuhku baik-baik saja. Tidak ada yang patah. Aku menatap rongsokan mobilku dengan tidak percaya. Ternyata aku menabrak sebuah truk besar yang sedang diparkir di pinggir jalan. Sumpah, aku tidak melihatnya sama sekali tadi !
“Neng, nggak apa-apa ?”, ucap seseorang mengulangi pertanyaannya. Aku berusaha menjawab. Tapi yang terasa malah sakit dan darah. Orang di hadapanku lalu mengucap istighfar. Barulah aku sadar apa yang menyebabkannya. Darah segar berlomba mengucur dari mulutku. Lidahku…Aku langsung tak sadarkan diri.
Ketika tersadar, aku sudah berada di rumah sakit. Rasa nyeri mengikuti dan menghajarku tanpa ampun. Air mata menetes dari mataku… Ya Allah, sakit sekali….
“Udah, Ki. Jangan banyak bergerak. Dokter bilang kamu butuh banyak istirahat.” Aku hanya bisa menatap mata mama yang sembab tanpa bisa menjawab sepatah katapun. Mama ikut menangis mendengar rintihanku. Kecelakaan itu tidak mencederaiku parah. Tidak ada tulang yang patah,tidak ada luka dalam. Hanya satu, lidahku nyaris putus karena tergigit olehku ketika tabrakan terjadi. Akibatnya lidahku harus dijahit. Sayangnya tidak ada bius yang bisa meredakan sakitnya. Setelah itupun dokter tidak yakin aku bisa berbicara selancar sebelumnya. Tangisku meluber lagi. Yang langsung teringat adalah setumpuk kata-kata dan perilaku kasar yang selama ini kulontarkan pada mama. Ini betul-betul hukuman dari Allah…
Walau sepertinya hanya luka ringan, namun sakitnya teramat sangat. Setiap kali jarum disisipkan dan benangnya ditarik, sepertinya nyawaku dirobek. Dan dikoyak-koyak. Aku hanya bisa melolong tanpa bisa melawan. Kata dokter kalau lukanya di tempat lain, sakitnya mungkin bisa diredam dengan bius. Tapi tidak bisa jika lukanya di lidah. Hari-hari selanjutnya betul-betul siksaan. Lupakanlah tentang kuliah, tugas atau ujian. Untuk minum saja aku tersiksa. Aku menjerit-jerit tiap ada benda yang harus melewati mulutku.
Aku hanya bisa menangis. Menangis karena sakit, dan penyesalan. Selama aku dirawat, mamalah yang dengan telaten menungguiku. Dengan sabar ia membantuku untuk apapun yang aku perlukan. Kami hanya bisa berkomunikasi lewat sehelai kertas. Berkali-kali aku tuliskan, “Mama, maafkan Kiki…” Mama juga sudah berkali-kali mengatakan telah memaafkan aku. Tapi tetap saja rasa bersalah itu tak kunjung hilang. Ini benar-benar peringatan keras dari Allah. Aku benar-benar malu. Walau aktif di kegiatan keagamaan, ternyata nilai-nilai itu belum benar-benar mengalir dalam darahku. Aku tersenguk-senguk setiap ingat bagaimana cara aku memperlakukan mama.
Bagaimana mungkin aku merasa diberatkan dengan permintaannya padahal aku sudah menyusahkannya seumur hidup ? Allah, ampuni aku… Aku benar-benar telah menzhalimi diriku sendiri…. Jangan biarkan aku mati sebagai anak durhaka…. Kukira penderitaanku berakhir jika sudah diizinkan pulang ke rumah.
Ternyata hukuman ini belum berakhir di situ. Bulan-bulan selanjutnya aku harus berlatih mengucapkan kata-kata yang selama ini mengalir mudah dari bibirku. Kembali lagi mama membimbingku belajar bicara seperti yang ia lakukan ketika aku kecil. Himpitan penyesalan itu baru hilang ketika kata-kata itu berhasil kuucapkan walau patah-patah. “Mama… Maafkan Kiki…”
***
(Diambil dari tulisan Ariyanti Pratiwi, Matematika ’99 ITB, kiriman sdr. Andry Irawan,)


39. Berbakti Kepada Orang Tua Lebih Baik Daripada Satu Tahun Berjihad

Seseorang datang menemui Rasulullah Saw berkata, ” Wahai Rasulullah ! Saya sangat rindu pada jihad dan peperangan serta melakukan perbuatan-perbuatan sangat sulit berkaitan dengan itu. “
Rasulullah Saw bersabda, ” Berjihadlah di jalan Allah, karena apabila engkau mati terbunuh, niscaya Allah akan menghidupkanmu dan memberimu rezeki. Dan apabila engkau meninggal dunia ( bukan karena terbunuh dalam jihad di jalan Allah) , maka pahalamu ada di sisi Allah. Dan apabila kamu kembali dalam keadaan selamat, maka semua dosa-dosamu telah diampuni Allah, sama seperti engkau baru dilahirkan oleh ibumu. “
Orang itu berkata, ” Wahai Rasulullah ! Saya memiliki ayah dan ibu yang sangat mencintai saya dan mereka tidak senang jika saya tinggalkan. “
Rasulullah Saw bersabda, ” Kalau begitu, tetaplah engkau berada di sisi ayah dan ibumu. Demi Allah, kesenangan mereka terhadapmu dan kebahagiaan mereka akan keberadaanmu dalam sehari-semalam lebih baik daripada satu tahun berjihad. “
Dipetik dari Buku ” Kisah Ayah Ibu ” karya Ahmad Mir Khalaf Zadeh @ Qasim Mir Khalaf Zadeh


40. Durhaka Pada Orang Tua Setaraf Dengan Menyekutukan Allah

Dalam kitab Nafais al- Akhbar disebutkan Rasulullah Saw bersabda , ” Jibril datang padaku dan berkata bahwa Allah berfirman : Seandainya datang padaKu seseorang yang durhaka kepada kedua orang tuanya sambil membawa amalan-amalan yang sangat banyak layknya para nabi, niscaya Aku takkan menerimanya. ”
“Hal itu dikarenakan orang yang durhaka pada kedua orang tuanya sama kedudukannya dengan menyekutukan Allah, sebagaimana orang musyrik takkan diampuni semua kesalahannya; demikian pula halnya dengan orang yang durhaka pada kedua orang tuanya juga takkan diampuni dosa-dosanya meskipun dia beribadah seperti ibadahnya 124.000 nabi. ”
Seorang pemburu datang kepada Rasulullah Saw dan berkata, ” Wahai Rasulullah, saya adalah seorang pendosa, tuntunlah saya pada suatu amalan dan perintahkanlah (saya untuk melakukan suatu perbuatan) yang dengannya saya dapat terselamatkan dari api neraka. ”
Rasulullah Saw bersabda padanya, ” Apakah engkau memiliki ayah dan ibu. “
Dia menjawab, ” Masih , wahai Rasul. “
Rasulullah Saw berkata , ” Layanilah mereka , karena sesungguhnya kerelaan Allah terletak pada kerelaan mereka berdua. “
Didalam kitab Zubdat al- Tashanif juga disebutkan bahwa apabila seseorang melayani ibunya seumur dunia dengan berdiri di atas satu kaki, niscaya hal itu masih belum bisa menggantikan satu kali (pemberian ) air susu oleh ibu. Alhasil, berbuat buruk  kepada kedua orang tua dan tak patuh pada mereka dapat memperdek umur dan menyempitkan rezeki manusia.
Dipetik dari Buku ” Kisah Ayah Ibu ” karya Ahmad Mir Khalaf Zadeh & Qasim Mir Khalaf Zadeh

41. Jadi Kawan Nabi Musa as di Surga

Pada suatu hari, dalam munajatnya, Nabi Musa as berkata kepada Tuhannya, ” Ya Allah, aku ingin melihat bagaimanakah orang yang akan tinggal bersamaku di surga kelak. “
Jibril as turun seraya berkata, ” Hai Musa. orang yang akan tinggal bersamamu di surga adalah seorang tukang jagal yang tinggal di tempat itu. “
Nabi Musa as mendatangi tempat penjualan daging itu. Disana , beliau melihat seorang pemuda yang mirip dengan orang-orang yang suka berkeliling dimalam hari, sedang sibuk menjual daging. Begitu malam tiba, pemuda itu mengambil sedikit daging dan membawanya pulang ke rumah. Nabi Musa as mengikutinya dari belakang. Saat hampir sampai di rumahnya, beliau memanggilnya, ” Sudikah kiranya Anda menerima tamu ? “
Pemuda itu menjawab, ” Silakan, dengan senang hati. ” Dia lantas membawa Nabi Musa as masuk ke dalam rumahnya.
Nabi Musa as melihat pemuda itu menyiapakan makanan. Setelah itu, dia menurunkan keranjang dari atap rumah dan mengeluarkan seorang nenek dari dalam keranjang itu serta membersihkannya dan menyuapinya dengan tangannya sendiri. Ketika hendak meletakkan keranjang itu di tempat semula, bibir nenek itu mengucapkan beberapa kalimat yang tak terdengar jelas. Setelah itu, dia menyiapkan makanan untuk Nabi Musa as dan kedua orang itu pun menyantap makanan itu.
Nabi Musa as bertanya, ” Apa hubunganmu dengan nenek itu? “
Pemuda itu menjawab, ” Wanita tua itu ibuku. Karena aku tak punya cukup uang untuk membeli budak wanita untuk mengurusinya, terpaksalah aku sendiri yang mengurusinya. “
Nabi Musa as bertanya, ” Kalimat apa tadi yang diucapkan ibumu? “
Pemuda itu menjawab, ” Setiap kali saya membersihkan dan menyuapinya, dia berkata, ” Semoga Allah mengampunimu dan menjadikanmu sebagai kawan M usa as di surga, dengan kedudukan yang dimiliki Nabi Musa as. ”
Nabi Musa as berkata, “ Hai Pemuda , aku sampaikan berita gembira padamu b ahwa Allah telah mengabulkan doanya; Jibril memberitahukan padaku bahwa akan menjadi kawanku di surga. “
Dipetik dari Buku ” Kisah Ayah Ibu ” karya Ahmad Mir Khalaf Zadeh & Qasim Mir Khalaf Zadeh

42. Cinta Laki-laki Biasa

Karya Asma Nadia dari kumpulan cerpen Cinta
MENJELANG hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.
“Kenapa?” tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.
Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi. Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.
Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yang barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!
Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.
“Kamu pasti bercanda!”
Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.
Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!
“Nania serius!” tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.
“Tidak ada yang lucu,” suara Papa tegas, “Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!”
Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.
“Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan?” Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, “maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?”
Nania terkesima.
“Kenapa?”
Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.
Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!
Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur. Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!
Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata ‘kenapa’ yang barusan Nania lontarkan.
“Nania Cuma mau Rafli,” sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.
Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.
“Tapi kenapa?”
Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa.
Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.
“Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!”
Cukup!
Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?
Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak ‘luar biasa’. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.
Mereka akhirnya menikah.
***
Setahun pernikahan.
Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.
Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.
“Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.”
Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.
Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.
“Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu!”
“Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar!”
“Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!”
Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.
Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.
Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?
Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.
Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.
Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.
“Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.”
Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.
Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang.
“Tak apa,” kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri.
“Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.”
Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik.
“Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya?”
Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.
Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!
Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania.
Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.
Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!
Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.
Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!
Tak imbang!
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.
Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.
***
Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.
“Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!”
Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.
Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.
Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.
“Baru pembukaan satu.”
“Belum ada perubahan, Bu.”
“Sudah bertambah sedikit,” kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.
“Sekarang pembukaan satu lebih sedikit.”
Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.
Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.
“Masih pembukaan dua, Pak!”
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.
“Bang?”
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.
“Dokter?”
“Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.”
Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu? Bagaimana jika terlambat?
Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.
Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.
Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bias menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.
Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.
“Pendarahan hebat.”
Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah.
Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah!
Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.
Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.
Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.
Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.
***
Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.
Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.
Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.
Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra.
Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.
“Nania, bangun, Cinta?”
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.
Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,
“Nania, bangun, Cinta?”
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.
Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.
Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.
Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.
Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.
Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.
Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.
Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?
Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.
Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.
Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.
Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.
“Baik banget suaminya!”
“Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!”
“Nania beruntung!”
“Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.”
“Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!”
Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.
Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?
Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?
Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.
Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.
Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.
***

43. Bu, Sayalah Yang Harus Lebih Takut…

Manusia laksana buih diluas wajah samudera.
Yang mengambang di atas tipis permukaan air.
Ketika angin bertiup, ia hilang.
Seolah ia tidak pernah ada.
Begitulah hidup kita, di hembus oleh kematian.
(Kahlil gibran)
***
eramuslim – Ibu. Saya memandang pantulan ukiran wajah cantiknya di cermin yang tergantung. Ada yang lain dengan penampilannya. Tadinya saya tidak ‘ngeh’. Namun ketika membantunya memakaikan kerudung berwarna merah jambu itu saya baru menyadarinya. Seuntai tasbih, dengan warna coklat polos yang telah memudar, mengalungi lehernya. Saya melepaskan tasbih itu dengan senyuman menggoda, dan Ibu segera menyimpannya baik-baik di bawah bantal. Saya bersiap menemaninya pergi, membayar rekening telepon. Ketika pulang, setelah berganti pakaian, tasbih ukuran besar itu kembali bertengger di sana, di leher Ibu. Ingin saya bertanya, namun ia berlalu bersegera mengambil wudhu.
Sore kembali turun.
“Nak, Ibu sungguh takut, bekal Ibu tak cukup jika Ibu mati…” ucapnya. Suaranya terdengar jauh. Kepala saya tegak, tak menyangka dengan topic obrolannya. Hening sesaat, suara tetes air dari kran di kamar mandi kian jelas terdengar. Saya masih menatapnya, menarik nafas dan mengeluarkannya paksa. Ingin membelokkan obrolan namun melihat kesungguhannya, melihat letih menelaga di matanya, saya tak tega. Selanjutnya Ibu menambahkan, kenapa ia menakuti sebuah hal yang sudah pasti kedatangannya. Ia merasa sudah tua, porsi rata-rata usia manusia sudah terlampauinya. Tidurnya tak lagi mudah. Makannya tak lagi berselera. Ia merasa tak sempurna lagi melakukan ibadah, karena kesehatannya sudah jauh menurun. Seringkali shalatnya duduk karena untuk berdiri lama Ibu merasa tak mampu. Dan terakhir Ia mengeluhkan dadanya yang tiba-tiba kram.
Ia bukan takut dengan kematian, namun ia mengkhawatirkan seperti apakah malaikat Izrail menjemputnya, berair muka jernih dan mempesona ataukah sesosok seram yang tak pernah dibayangkannya. Ibu takut bekalnya tak cukup untuk menjadikan kampung akhiratnya menyenangkan. Ibu gemetar kala mengingat sungguh pedih azab Allah bagi sang pendurhaka. Ibu takut dengan persiapannya menghadapi kematian yang menurutnya masih alakadarnya. Ia merasa maut sudah diambang karena kesehatannya yang tak lagi paripurna. Ia merasa akan segera pindah ke ‘sana’ sedang bekalnya masih pas-pasan. Ibu sungguh merasa kematiannya telah dekat, amat dekat.
Dan pada Saya, dengan lirih ia berharap sebuah penenang kegundahannya “Nak, ibu takut…”.
Entahlah, saat itu yang Saya inginkan adalah menghilang dan terbang menghindarinya. Hingga kemudian Saya hanya mematung dan merasakan perih mememarkan hati. Biasanya saat duduk berdekatan seperti itu, tangan saya akan nakal menjelajah setiap centi wajah syahdu itu dengan celoteh “Idih kulit Ibu sudah keriput”, dan Ibu akan segera memindahkan tangan saya ke punggung tangannya seraya berkata riang “Nah yang ini lebih keriput bukan”.
Biasanya saat seperti itu Saya akan tidur di pangkuannya dan mengganggunya dengan pura-pura tertidur. Entahlah saat itu saya lebih memilih menatapnya dan menjadi pendengar yang baik. Entah fikiran Saya buntu hingga tak sedikitpun memberi ucapan bermakna sekedar peredam gemuruh dadanya. Entah pula jika saat yang biasanya menjadi waktu bermesra dengannya menjadi saat-saat yang ingin saya akhiri secepatnya. Sungguh.
Selanjutnya saya faham, mengapa tasbih itu selalu Ia bawa. Setiap hening yang dijumpainya, tasbih yang dikalungkannya akan segera direngkuhi butirnya satu persatu. “Astagfirullah…Astagfirullah…”dzikirnya terdengar perih. Mata itu terpejam, hingga saya yang begitu dekat dan memperhatikannya kadang tak disadarinya.
Malam sudah dari tadi beranjak, dan kegundahan Ibu menjadi kegundahan Saya sekarang. Hati ini nyaring bersuara . Bu, saya juga takut dengan bekalan Saya. Saya belum melakukan banyak hal yang kan memberatkan timbangan kebaikan di akhirat kelak. Bekal saya tak ada apa-apanya di banding dengan yang sudah ibu lakukan. Perjuangan Ibu diantara kesyahidan saat melahirkan 9 orang anak dan mendidiknya dengan baik mustahil dianggap hal yang remeh. Ibu mampu melimpahi kami bertubi cinta sama rata. Ibu juga yang membimbing kami semua menapaki hidup penuh kesabaran, yang memberi petunjuk supaya kami tak terantuk. Yang saya tahu waktu sepertiga malam terakhir adalah waktu yang paling ibu suka untuk menengadah jemari merenda pinta kepada yang Maha Perkasa agar kami semua meraih bahagia, dan itu adalah sebuah amalan yang tak terkira. Ibu yang telah berusaha menjadi Istri yang selalu mengharap keridhaan suami dan surga menjadi sedemikian lapang jika suami ridha. Itu janji Nya. Ibu jarang mengeluh meski kesehatan yang sejak dulu jarang sempurna, hingga sering ke rumah sakit dan mengakrabi obat-obatan. Dan bukankah kesabaran dalam setiap sakit yang diderita adalah penggugur dosa.
Ingin sekali menjumpaimu bu, dan mengatakan semua ini segera.
Bu…bu… seharusnya sayalah yang harus lebih khawatir.
***
Sahabat, terkadang kematian hanya lekat dengan pikiran orang-orang yang telah senja. Seringkali ingatan tentang kematian teramat jarang singgah dalam kesibukan bahkan dalam waktu luang kita sekalipun. Kita lihat mesjid-mesjid yang shafnya hanya berisi para renta. Seringkali mati hanya milik mereka, dia, si anu, si fulan, bukan kita. Hingga kita tak sempat mengingat bekal untuk sebuah fase yang pasti kita alami. Banyak sekali dari kita yang berhitung untuk berbekal. Berbekal untuk masa depan anak dengan banyak asuransi, untuk liburan beberapa hari bersama keluarga, untuk menikah, untuk masa pensiun yang terhitung beberapa tahun. Dan dengan hati lapang, kita mengabaikan sebenar-benar bekalan. Bekal untuk perjalanan jauh dan tak berhingga. Bekal untuk ‘titik awal kehidupan’ yang sudah absolute kita tapaki. Menantu Rasulullah, Ali ra, menyebutkan bahwa bekal yang paling baik manusia agar selamat di akhirat adalah taqwa. Bekal inilah yang tidak mudah kita ingat.
Mendengar kekhawatiran Ibu saya tentang bekalannya, lantas saya teringat senandung kecemasan, yang dibawakan Jalaluddin Rahmat berikut ini :
Rabbana, siapa gerangan yang nasibnya lebih buruk dari kami.
Jika dalam keadaan seperti ini, kami dipindahkan ke dalam kubur.
Kami belum menyiapkan pembaringan kami.
Kami belum menghamparkan amal shaleh untuk tikar kami.
Bagaimana kami tidak menangis.
Sedangkan kami tidak tahu akhir perjalanan kami.
Nafsu selalu menipu kami dan hari-hari melengahkan kami.
Padahal maut telah mengepak-ngepakkan sayapnya diatas kepala kami.
Akhirnya, Sahabat, tak ada salahnya dalam sujud-sujud kita, dalam untaian
doa-doa kita, dalam tengadah jemari kita, sebuah permintaan ditambahkan.
Sebuah pinta untuk seseorang yang telah mencinta kita dengan nafasnya..”
Rabbii… berikan untuk Ibunda, sebuah husnul khatimah”.
***
Sumber Eramuslim.com

44. Yang Tidak Bisa Diucapkan Ayah

Biasanya, bagi seorang anak perempuan yang sudah dewasa, yang sedang bekerja diperantauan,atau yang ikut suaminya merantau di luar kota atau luar negeri, yang sedang bersekolah atau kuliah jauh dari kedua orang tuanya.
Akan sering merasa kangen sekali dengan Mamanya. Lalu bagaimana dengan Papa?
Mungkin karena Mama lebih sering menelepon untuk menanyakan keadaanmu setiap hari, tapi tahukah kamu, jika ternyata Papa-lah yang mengingatkan Mama untuk menelponmu? Mungkin dulu sewaktu kamu kecil, Mama-lah yang lebih sering mengajakmu bercerita atau berdongeng, tapi tahukah kamu, bahwa sepulang Papa bekerja dan dengan wajah lelah Papa selalu menanyakan pada Mama tentang kabarmu dan apa yang kau lakukan seharian?
Pada saat dirimu masih seorang anak perempuan kecil. Papa biasanya mengajari putri kecilnya naik sepeda. Dan setelah Papa mengganggapmu bisa, Papa akan melepaskan roda bantu di sepedamu.  Kemudian Mama bilang : “Jangan dulu Papa, jangan dilepas dulu roda bantunya”
Mama takut putri manisnya terjatuh lalu terluka.
Tapi sadarkah kamu? Bahwa Papa dengan yakin akan membiarkanmu, menatapmu, dan menjagamu mengayuh sepeda dengan seksama karena dia tahu putri kecilnya PASTI BISA.
Pada saat kamu menangis merengek meminta boneka atau mainan yang baru, Mama menatapmu iba. Tetapi Papa akan mengatakan dengan tegas : “Boleh, kita beli nanti, tapi tidak sekarang” Tahukah kamu, Papa melakukan itu karena Papa tidak ingin kamu menjadi anak yang manja dengan semua tuntutan yang selalu dapat dipenuhi?
Saat kamu sakit pilek, Papa yang terlalu khawatir sampai kadang sedikit membentak dengan berkata : “Sudah di bilang! kamu jangan minum air dingin!”.
Berbeda dengan Mama yang memperhatikan dan menasihatimu dengan lembut. Ketahuilah, saat itu Papa benar-benar mengkhawatirkan keadaanmu.
Ketika kamu sudah beranjak remaja.  Kamu mulai menuntut pada Papa untuk dapat izin keluar malam, dan Papa bersikap tegas dan mengatakan: “Tidak boleh!”. Tahukah kamu, bahwa Papa melakukan itu untuk menjagamu? Karena bagi Papa, kamu adalah sesuatu yang sangat – sangat luar biasa berharga. Setelah itu kamu marah pada Papa, dan masuk ke kamar sambil membanting pintu.
Dan yang datang mengetok pintu dan membujukmu agar tidak marah adalahMama.  Tahukah kamu, bahwa saat itu Papa memejamkan matanya dan menahan gejolak dalam batinnya, Bahwa Papa sangat ingin mengikuti keinginanmu, Tapi lagi-lagi dia HARUS menjagamu?
Ketika saat seorang cowok mulai sering menelponmu, atau bahkan datang ke rumah untuk menemuimu, Papa akan memasang wajah paling cool sedunia. :’) Papa sesekali menguping atau mengintip saat kamu sedang ngobrol berdua di ruang tamu. Sadarkah kamu, kalau hati Papa merasa cemburu?
Saat kamu mulai lebih dipercaya, dan Papa melonggarkan sedikit peraturan untuk keluar rumah untukmu, kamu akan memaksa untuk melanggar jam malamnya. Maka yang dilakukan Papa adalah duduk di ruang tamu, dan menunggumu pulang dengan hati yang sangat khawatir.  Dan setelah perasaan khawatir itu berlarut – larut.  Ketika melihat putri kecilnya pulang larut malam hati Papa akan mengeras dan Papa memarahimu.. .
Sadarkah kamu, bahwa ini karena hal yang di sangat ditakuti Papa akan segera datang? “Bahwa putri kecilnya akan segera pergi meninggalkan Papa”
Setelah lulus SMA, Papa akan sedikit memaksamu untuk menjadi seorang Dokter atau Insinyur. Ketahuilah, bahwa seluruh paksaan yang dilakukan Papa itu semata – mata hanya karena memikirkan masa depanmu nanti.  Tapi toh Papa tetap tersenyum dan mendukungmu saat pilihanmu tidak sesuai dengan keinginan Papa
Ketika kamu menjadi gadis dewasa. Dan kamu harus pergi kuliah dikota lain.  Papa harus melepasmu di bandara. Tahukah kamu bahwa badan Papa terasa kaku untuk memelukmu? Papa hanya tersenyum sambil memberi nasehat ini – itu, dan menyuruhmu untuk berhati-hati. Padahal Papa ingin sekali menangis seperti Mama dan memelukmu erat-erat. Yang Papa lakukan hanya menghapus sedikit air mata di sudut matanya, dan menepuk pundakmu berkata “Jaga dirimu baik-baik ya sayang”. Papa melakukan itu semua agar kamu KUAT, kuat untuk pergi dan menjadi dewasa.
Disaat kamu butuh uang untuk membiayai uang semester dan kehidupanmu, orang pertama yang mengerutkan kening adalah Papa. Papa pasti berusaha keras mencari jalan agar anaknya bisa merasa sama dengan teman-temannya yang lain. Ketika permintaanmu bukan lagi sekedar meminta boneka baru, dan Papa tahu ia tidak bisa memberikan yang kamu inginkan.
Kata-kata yang keluar dari mulut Papa adalah : “Tidak. Tidak bisa!” Padahal dalam batin Papa, Ia sangat ingin mengatakan “Iya sayang, nanti Papa belikan untukmu”. Tahukah kamu bahwa pada saat itu Papa merasa gagal membuat anaknya tersenyum?
Saatnya kamu diwisuda sebagai seorang sarjana. Papa adalah orang pertama yang berdiri dan memberi tepuk tangan untukmu. Papa akan tersenyum dengan bangga dan puas melihat “putri kecilnya yang tidak manja berhasil tumbuh dewasa, dan telah menjadi seseorang”
Sampai saat seorang teman Lelakimu datang ke rumah dan meminta izin padaPapa untuk mengambilmu darinya. Papa akan sangat berhati-hati memberikan izin.. Karena Papa tahu.  Bahwa lelaki itulah yang akan menggantikan posisinya nanti.
Dan akhirnya. .
Saat Papa melihatmu duduk di Panggung Pelaminan bersama seseorang Lelaki yang di anggapnya pantas menggantikannya, Papa pun tersenyum bahagia. Apakah kamu mengetahui, di hari yang bahagia itu Papa pergi kebelakang panggung sebentar, dan menangis? Papa menangis karena papa sangat berbahagia, kemudian Papa berdoa. Dalam lirih doanya kepada Tuhan, Papa berkata: “Ya Tuhan tugasku telah selesai dengan baik. Putri kecilku yang lucu dan kucintai telah menjadi wanita yang cantik. Bahagiakanlah ia bersama suaminya. “
Setelah itu Papa hanya bisa menunggu kedatanganmu bersama cucu-cucunya yang sesekali datang untuk menjenguk.  Dengan rambut yang telah dan semakin memutih. Dan badan serta lengan yang tak lagi kuat untuk menjagamu dari bahaya. Papa telah menyelesaikan tugasnya.
Papa, Ayah, Bapak, atau Abah kita.  Adalah sosok yang harus selalu terlihat kuat.  Bahkan ketika dia tidak kuat untuk tidak menangis. Dia harus terlihat tegas bahkan saat dia ingin memanjakanmu. Dan dia adalah yang orang pertama yang selalu yakin bahwa “KAMU BISA” dalam segala hal..
Saya mendapatkan notes ini dari seorang teman, dan mungkin ada baiknya jika aku kembali membagikannya kepada teman-teman ku yang lain.
Tulisan ini aku dedikasikan kepada teman-teman wanita ku yang cantik, yang kini sudah berubah menjadi wanita dewasa serta ANGGUN, dan juga untuk teman-teman pria ku yang sudah ataupun akan menjadi ayah yang HEBAT !
Yup, banyak hal yang mungkin tidak bisa dikatakan Ayah / Bapak / Romo / Papa / Papi kita.  tapi setidaknya kini kita mengerti apa yang tersembunyi dibalik hatinya.

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar