Sabtu, 12 Februari 2011

Kisah Para Ahli Zuhud Dan Dermawan

1. Mengikhlaskan Anaknya Meninggal Dunia Demi Kecintaan Terhadap Allah SWT.

Sam’un adalah jejaka tua yang menikah dengan seorang wanita di usia lanjut. Dari hasil pernikahan tersebut, ia dikaruniai seorang putri. Menginjak usia tiga tahun, anak ini sangat menyenangkannya hingga banyak waktu yang tersita olehnya.
Pada suatu malam Sam’un bermimpi seolah telah terjadi hari kiamat. Berkibarlah bendera para nabi dan wali. Di belakang mereka berkibar pula bendera yang menjulang tinggi. Ketika ia tanyakan tentang bendera tersebut, dijawab, ” Itulah bendera orang-orang yang mencintai Allah penuh ikhlas . ”
Selama ini Sam’un merasa dirinya termasuk dalam golongan orang tersebut, namun ketika ia ingin bergabung ia justru diusir. Tentu saja ia protes dan bertanya, ” Mengapa aku harus diusir? Padahal aku termasuk orang yang demikian mencintai Allah? “
Malaikat menjawab, ” Benar. Anda memang orang yang mencintai Allah, namun semenjak anda terlalu mencintai putrimu, Anda dihapus dari golongan ini. “
Mendengar penjelasan semacam itu menangislah Sam’un. Ia lantas bertadharru’ dalam tidurnya itu, ” Ya Allah, seandainya ia menjadi penghalang antara aku dan Engkau, jauhkanlah ia dari sisiku hingga aku kembali mendekat-Mu dengan kemulian-Mu. “
Pada saat bersamaan terdengar jeritan keras. Sam’un terbangun dan berteriak, ” Jeritan apakah itu “
Orang-orang di rumah itu menjawab, ” Putrimu terjatuh dari atas. ”
Sam’un menemukan putri kesayangannya itu meninggal dunia. Ia kemudian berucap, ” Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan penghalang antara aku dengan-Nya. “
Dikutip dari Buku ” Permata Kisah Teladan Umat ” Karya K.H. Abdullah Zakiy Al-Kaaf & Drs. Maman Abd. Djaliel

2. Sebutir Korma Penjegal Do’a

Usai menunaikan ibadah haji, Ibrahim bin Adham berniat ziarah ke mesjidil Aqsa. Untuk
bekal di perjalanan, ia membeli 1 kg kurma dari pedagang tua di dekat mesjidil Haram.
Setelah kurma ditimbang dan dibungkus, Ibrahim melihat sebutir kurma tergeletak didekat
timbangan. Menyangka kurma itu bagian dari yang ia beli, Ibrahim memungut dan
memakannya. Setelah itu ia langsung berangkat menuju Al Aqsa.
4 Bulan kemudian, Ibrahim tiba di Al Aqsa. Seperti biasa, ia suka memilih sebuah tempat
beribadah pada sebuah ruangan dibawah kubah Sakhra. Ia shalat dan berdoa khusuk sekali.
Tiba tiba ia mendengar percakapan dua Malaikat tentang dirinya.
“Itu, Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang zuhud dan wara yang doanya selalu dikabulkan
ALLAH SWT,” kata malaikat yang satu.
“Tetapi sekarang tidak lagi. doanya ditolak karena 4 bulan yg lalu ia memakan sebutir kurma
yang jatuh dari meja seorang pedagang tua di dekat mesjidil haram,” jawab malaikat yang
satu lagi.
Ibrahim bin adham terkejut sekali, ia terhenyak, jadi selama 4 bulan ini ibadahnya,
shalatnya, doanya dan mungkin amalan-amalan lainnya tidak diterima oleh ALLAH SWT garagara
memakan sebutir kurma yang bukan haknya. “Astaghfirullahal adzhim” ibrahim
beristighfar.Ia langsung berkemas untuk berangkat lagi ke Mekkah menemui pedagang tua penjual kurma.
Untuk meminta dihalalkan sebutir kurma yang telah ditelannya.
Begitu sampai di Mekkah ia langsung menuju tempat penjual kurma itu, tetapi ia tidak
menemukan pedagang tua itu melainkan seorang anak muda. “4 bulan yang lalu saya membeli
kurma disini dari seorang pedagang tua. kemana ia sekarang ?” tanya ibrahim.
“Sudah meninggal sebulan yang lalu, saya sekarang meneruskan pekerjaannya berdagang
kurma” jawab anak muda itu.
“Innalillahi wa innailaihi roji’un, kalau begitu kepada siapa saya meminta penghalalan ?”.
Lantas ibrahim menceritakan peristiwa yg dialaminya, anak muda itu mendengarkan penuh
minat. “Nah, begitulah” kata ibrahim setelah bercerita, “Engkau sebagai ahli waris orangtua
itu, maukah engkau menghalalkan sebutir kurma milik ayahmu yang terlanjur ku makan tanpa
izinnya?”.
“Bagi saya tidak masalah. Insya ALLAH saya halalkan. Tapi entah dengan saudara-saudara
saya yang jumlahnya 11 orang. Saya tidak berani mengatas nama kan mereka karena mereka
mempunyai hak waris sama dengan saya.”
“Dimana alamat saudara-saudaramu ? biar saya temui mereka satu persatu.”
Setelah menerima alamat, ibrahim bin adham pergi menemui. Biar berjauhan, akhirnya selesai
juga. Semua setuju menghalakan sebutir kurma milik ayah mereka yang termakan oleh
ibrahim.
4 bulan kemudian, Ibrahim bin adham sudah berada dibawah kubah Sakhra. Tiba tiba ia
mendengar dua malaikat yang dulu terdengar lagi bercakap cakap. “Itulah ibrahim bin adham
yang doanya tertolak gara gara makan sebutir kurma milik orang lain.”
“O, tidak.., sekarang doanya sudah makbul lagi, ia telah mendapat penghalalan dari ahli waris
pemilik kurma itu. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali dari kotoran sebutir kurma
yang haram karena masih milik orang lain. Sekarang ia sudah bebas.”
“Oleh sebab itu berhati-hatilah dgn makanan yg masuk ke tubuh kita, sudah halal-kah? lebih
baik tinggalkan bila ragu-ragu…

3. Gara-gara Seekor Ular

Disebutkan oleh Al-Qadhi Abu Ali At-Tanukhi, dia mengatakan: Dahulu kala hiduplah seorang lelaki yang terkenal zuhud dan kuat ibadatnya, dialah Labib Al-Abid. Dia datang ke pintu gerbang negeri Syam dari arah barat kota Baghdad, sebuah tempat yang menjadi tujuan orang banyak.
Labib kemudian berkata kepadaku: Dahulu aku adalah seorang budak Roma, milik salah seorang tentara. Dialah yang merawat dan mengajarku cara bermain pedang sehingga aku pun mahir memainkannya sehingga merasa benar-benar lihai.
Demi menjalin persaudaraan dan untuk mengawal hartanya, walaupun aku telah dimerdekakan sepeninggalnya, aku kemudian menikahi isterinya. Aku yakin, Allah SWT. telah mengetahui bahwa apa yang kuperbuat itu tiada lain sekadar untuk menjaganya. Aku tinggal bersamanya beberapa tahun.
Selama hidup berumahtangga dengannya, suatu hari kulihat seekor ular menyelinap dalam kamar kami. Aku lalu memegang ekornya untuk kubunuh, tetapi ular itu justeru berbalik menyerangku dan berhasil menggigit tanganku hingga menjadi lumpuh. Setelah tanganku yang satu mengalami kelumpuhan, selang beberapa waktu kemudian tanganku yang lain menyusul lumpuh pula tanpa sebab- sebab yang jelas. Seterusnya kedua kakiku juga lumpuh, mataku menjadi buta dan terakhir aku menjadi bisu. Kemalangan ini kualami selama satu tahun.
Demikianlah keadaanku yang sangat buruk, kecuali hanya telingaku yang masih mampu menangkap segala pembicaraan. Aku tergeletak tiada berdaya: Aku selalu diberi minum saat aku merasa tidak dahaga, sementara itu dibiarkan kehausan saat aku kenyang, dan dibiarkan ketika aku merasa lapar.
Setelah berjalan satu tahun, datanglah seorang wanita menjumpai isteriku. Dia bertanya kepada isteriku, “Bagaimana keadaan Abu Ali Labib?”
“Dia tidak hidup dan tidak juga mati, sehingga hal ini membuatku bimbang dan hatiku menjadi sangat sedih,” jawab isteriku.
Mendengar hal itu, dalam hatiku lalu mengadu kepada   Allah dan berdoa. Dalam keadaan menderita sakit yang seperti ini sedikit pun dalam jiwaku tidak merasakan sesuatu.
Pada suatu hari, aku merasa seakan-akan menerima pukulan sangat keras yang hampir membuatku mati. Hal itu terus berlangsung hingga tengah malam atau mungkin sudah lewat tengah malam, kemudian sedikit demi sedikit rasa sakitku ini mula hilang, akhirnya aku dapat tidur.
Keesokan hari ketika terjaga dari tidur, kurasakan tangan ini telah berada di atas dada, padahal selama ini tergeletak tidak berdaya di atas tempat tidur karena mengalami kelumpuhan. Kucoba untuk bergerak dan ternyata berhasil. Melihat hal ini, aku merasa gembira dan yakin bahawa Allah akan memberikan kesembuhan. Kucoba menggerakkan tanganku yang lain dan ternyata dapat kugerakkan pula.
Aku juga mencoba memegang salah satu kakiku dan berhasil memegangnya, dan kukembalikan tanganku pada keadaan semula, hal ini kulakukan pula pada tanganku yang lain. Setelah itu aku ingin mencoba membalikkan tubuhku dan ternyata dapat kubalikkan dan bahkan aku mampu duduk lagi. Kemudian, aku bermaksud untuk berdiri dan ternyata aku juga mampu melakukannya, lalu kucoba lagi turun dari pembaringan, yang selama ini tubuhku terbaring. Tempat tidurku itu berada di sebuah kamar yang ada di rumahku.
Dalam kegelapan aku mencoba untuk mencari pintu bilik dengan meraba-raba dinding kamar, sebab mataku belum dapat melihat dengan terang. Akhirnya aku berhasil mencapai teras rumah dan di sana aku dapat memandang langit dan bintang-gemintang yang berkedip. Karena luapan kegembiraan yang tiada terkira hampir menghentikan detak jantungku, dan segera terlontar dari bibirku rasa syukur kepada-Nya:
“Wahai Zat Yang Maha Kaya Kebaikan-Nya! Hanya Milik-Mulah segala puji.”
Setelah itu aku pun berteriak memanggil isteriku dan dia segera datang menemuiku seraya berkata, “Abu Ali?”
“Sekarang inilah aku menjadi Abu Ali yang sebenarnya. Dan kini nyalakanlah lampu,” kataku kepadanya.
Isteriku segera pula menyalakan lampu, dan kemudian kuperintahkan kepadanya untuk mengambilkan sebuah gunting.
Dia pun datang dengan membawa gunting yang kumaksud, dengan gunting itulah kupotong kumisku. Isteriku lalu berkata kepadaku, “Apa yang hendak kamu lakukan? Bukankah teman-temanmu telah mencelamu?”
“Setelah ini, aku tidak akan melayani seorang pun kecuali hanya Tuhanku semata-mata,” jawabku.
Seterusnya kugunakan seluruh waktuku untuk menghadap kepada Allah SWT. dan tekun beribadat. Al-Qadhi Abu Ali meneruskan ceritanya kembali, bahwa Abu Ali Labib Al Abib adalah seorang yang mustajab doanya.

4. Keluhuran Budi Seorang Budak

SUATU hari, Sayyidina Hasan singgah ke sebuah
kebun korma. Saat sedang menyusuri jalan, ia melihat
seorang budak negro sedang duduk di salah satu sudut
kebun. Si budak sedang makan roti ketika tiba-tiba seekor
anjing kelaparan datang menghampirinya.
Budak hitam itu hanya makan sedikit roti yang dipegangnya
dan melemparkan sisanya ke arah anjing itu.
Roti itu dibelah dua dan ia hanya makan separuh saja.
Didorong oleh rasa penasaran, Hasan menghampiri
budak itu dan bertanya, “Mengapa kamu tidak mengusir
anjing itu saja?”
Budak itu menatap Hasan dan menjawab, “Aku
malu bila berpikir bahwa aku harus makan roti sendirian
dan mengusir anjing itu pergi.”
Hasan terkejut oleh keluhuran jawaban si budak, Hasan
menanyakan nama tuannya. Budak itu menyebut nama
tuannya. Kemudian Hasan berkata, “Tunggu di sini! Aku
akan kembali.” Budak itupun mengangguk dan Hasan pergi.
Beberapa saat kemudian, Hasan kembali dan berkata
kepada si budak, “Saudaraku, Aku telah membelimu dan
kebun ini dari tuanmu. Sekarang kamu bebas dari ikatan
perbudakan dan aku berikan kebun ini untukmu.”
Tersentak oleh keberuntungan yang tak disangkanya,
si budak bangkit dari duduknya, ia mengucapkan terimakasih
yang mendalam kepada si dermawan. “Tuanku,
karena kini aku menjadi pemilik kebun ini, maka ijinkan
aku dermakan kebun ini di jalan Allah yang karena-Nya
pula engkau memerdekakan diriku.”
—Shekaler Tarun Muslim (Daulat Ali Khadim)

5. Berikan Harta Yang Paling Kamu Cintai

ANAS RA berkata, “Di seluruh kawasan Madinah,
Abu Thalah al-Ansari adalah pemilik tanah perkebunan
yang paling luas. Dia sendiri sangat menyukai tanah perkebunannya
terutama yang paling luas dan paling indah.
Pada saat itu, turunlah sebuah ayat berbunyi, “Sekalikali
kalian tidak akan memperoleh kebaikan sehingga kalian
menginfakkan harta yang kalian sukai.” Segera setelah Abu
Thalhah membaca ayat ini, ia merenung sejenak, dan
kemudian menemui Rasulullah.
Ia berkata, “Wahai Rasulullah! Kita telah diperintahkan
Allah untuk menginfakkan harta yang kita sukai. Saat
ini tidak ada harta yang aku sukai kecuali tanah perkebunanku
yang luas dan indah. Aku infakkan semua itu
di jalan Allah. Sekarang aku serahkan tanah perkebunanku
kepada Anda dan Anda bebas mempergunakannya
yang terbaik menurut anda.”
Hikayat-i-Sahabah (Zakaria)

6. Menghindari Kenikmatan Dunia Demi Rasa Takut,Rindu Dan Cinta Kepada Allah SWT.

Suatu ketika Nabi Isa As melewati tiga orang yang bertubuh kurus. Beliau bertanya kepada mereka, “Apa yang menyebabkan tubuh kalian kurus? ” Mereka menjawab , ” Rasa takut kepada Allah menjadikan tubuh-tubuh kami seperti ini. “
Nabi Isa As berkata, ” Allah berhak menyelamatkan orang yang takut pada-Nya. “
Kemudian, Nabi Isa As. melewati tiga orang lain yang juga bertubuh kurus. Beliau bertanya, ” Mengapa kalian(  nampak lemah ) dan kurus? ” Mereka menjawab, ” Kerinduan pada surga membuat wajah kami pucat dan tubuh kami lemah. “
Nabi Isa As berkata, ” Allah berhak mewujudkan keinginan makhluk yang berharap pada-Nya. “
Nabi Isa As meninggalkan mereka dan melewati tiga orang yang lebih kurus dari orang-orang sebelumnya. Beliau bertanya, ” Mengapa kalian tampak kurus? ” Mereka menjawab, ” (Karena) mencintai Allah. Kecintaan dan kebergantungan kami pada Zat Suci Allah menjadikan tubuh kami kurus. ‘
Dengan penuh perhatian, Nabi Isa As berkata, ” Kalian adalah hamba-hamba yang di dekatkan (disisi Allah). “

7. Kisah Awan Yang diperintahkan Untuk Menyiram Kebun Seorang Laki-Laki

Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Abu
Hurairah dari Nabi berkata, “Ketika seorang laki-laki
berada di tempat yang sunyi, dia mendengar suara awan,
‘Siramilah kebun fulan.’ Lalu awan itu menjauh dan
menumpahkan airnya di tanah dengan bebatuan hitam.
Ternyata ada saluran air yang telah dipenuhi oleh
seluruh air itu. Laki-laki itu menelusuri jalannya air.
Ternyata ada seorang laki-laki yang berdiri di kebunnya,
dia mengalirkan air dengan cangkulnya. Dia bertanya,
‘Wahai hamba Allah, siapa namamu?’ Dia menjawab,
‘Fulan.’ Nama yang didengarnya dari suara di awan.
Dia berkata, ‘Wahai hamba Allah mengapa kamu
bertanya tentang namaku?’ Dia menjawab, ‘Sesungguhnya
aku mendengar suara di awan di mana airnya adalah ini.
Suara itu berkata, ‘Siramilah kebun fulan.’ Yaitu,
namamu. Apa yang kamu lakukan padanya?’
Dia menjawab, ‘Karena kamu mengatakan itu, maka aku
melihat hasil kebunku. Sepertiganya aku sedekahkan,
sepertiga lagi aku makan bersama keluargaku, dan
sepertiga sisanya aku kembalikan kepadanya.’
Ahmad bin Abdata Ad-Dhabiy menyampaikannya kepada
kami, Abu Dawud memberitakan kepada kami, Abdul
Aziz bin Abu Salamah menyampaikan kepada kami,
Wahab bin Kaisan menyampaikan kepada kami dengan
sanad ini. Hanya saja dia berkata, “Aku memberikan
sepertiganya kepada orang-orang miskin, para pengemis,
dan Ibnu Sabil.”
TAKHRIJ HADIS
Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya
dalam Kitabuz Zuhd war Raqaq, bab sedekah kepada
orang-orang miskin, 4/2288, no. 2984.

8. Satu dari 600.000 Orang

Abdullah bin Mubarak menceritakan sewaktu beliau tertidur di Masjidil Haram, beliau melihat dua malaikat turun dari langit. Berkata salah seorang darinya, “Berapa jumlah orang yang menunaikan haji tahun ini?” Jawab yang disebelahnya, “600,000 orang.”
“Di antara mereka berapakah yang diterima hajinya?” Jawab malaikat kedua, “Di antara mereka, hanya seorang saja. Namanya Muwaffaq, dia tinggal di Damsyik, pekerjaannya sebagai tukang sepatu, dia tidak dapat berhaji, tetapi hajinya diterima oleh Allah,” Bila tersadar dari tidur, Abdullah segera berangkat ke Damsyik untuk mencari lelaki ini.
Setelah bertemu, Abdullah pun bertanya, “Terangkan padaku, apakah amalanmu sehingga mencapai derajat yang tinggi?” Jawab Muwaffaq, “Dengan rahmat Allah, aku telah mengumpulkan uang sebanyak 300 dirham yang aku simpankannya untuk mengerjakan haji pada tahun ini. Wwaktu itu, isteriku sedang hamil dan dia telah tercium sesuatu dari rumah jiran dan dia menyuruhku memintanya sedikit karena mengidam.

Aku pun mendapatkan jiranku itu. Berkata jiranku kepadaku, “Aku terpaksa memberitahumu satu perkara, anak-anakku sudah tiga hari tidak makan.”
Sewaktu aku keluar mencari makanan, aku terjumpa bangkai keledai lalu aku potong sebagian dagingnya lalu aku masak, maka makanan ini halal bagi kami tetapi haram bagimu.
Mendengarkan kata-kata wanita ini, aku segera pulang ke rumah dan mengambil uang 300 dirham itu lalu aku berikan padanya. Aku berkata kepada diriku, “hajiku hanya di pintu rumah jiranku.” Hanya itulah saja amalanku.
Demikianlah besarnya rahmat Allah kepada hambanya, sesungguhnya Allah tidak memandang pada harga yang kita ada tetapi niat yang ikhlas lagi suci.

9. Kisah Wali Allah Yang Sholat Di Atas Air

Sebuah kapal yang sarat dengan muatan dan bersama 200 orang temasuk para pedagang  bertolak dari sebuah pelabuhan di Mesir. Apabila kapal itu berada di tengah lautan maka datanglah badai dengan ombak yang kuat membuat kapal itu terombang-ambing dan hampir tenggelam. Berbagai usaha dibuat untuk mengelakkan kapal itu dari terjangan ombak besar, namun semua usaha mereka sia-sia saaja. Kesemua orang yang berada di atas kapal itu sangat cemas dan menunggu apa yang akan terjadi pada kapal dan diri mereka.
Ketika semua orang berada dalam keadaan cemas, terdapat seorang lelaki yang sedikitpun tidak merasa cemas. Dia kelihatan tenang sambil berzikir kepada Allah S.W.T. Kemudian lelaki itu turun dari kapal yang sedang teronbang-ambing dan berjalanlah dia di atas air dan mengerjakan sholat di atas air.
Beberapa orang peniaga yang bersama-sama dia dalam kapal itu melihat lelaki yang berjalan di atas air dan dia berkata, “Wahai wali Allah, tolonglah kami. Janganlah tinggalkan kami!” Lelaki itu tidak memandang ke arah orang yang memanggilnya. Para peniaga itu memanggil lagi, “Wahai wali Allah, tolonglah kami. Jangan tinggalkan kami!”

Kemudian lelaki itu menoleh ke arah orang yang memanggilnya dengan berkata, “Ada apa ?” Seolah-olah lelaki itu tidak mengetahui apa-apa. Peniaga itu berkata, “Wahai wali Allah, bagaimanakah caranya untuk menghindari kapal yang hampir tenggelam ini?”
Wali itu berkata, “Dekatkan dirimu kepada Allah.”
Para penumpang itu berkata, “Apa yang mesti kami buat?”
Wali Allah itu berkata, “Tinggalkan semua hartamu, jiwamu akan selamat.”
Kesemua mereka sanggup meninggalkan harta mereka. Asalkan jiwa mereka selamat. Kemudian mereka berkata, “Wahai wali Allah, kami akan membuang semua harta kami asalkan jiwa kami semua selamat.”
Wali Allah itu berkata lagi, “Turunlah kamu semua ke atas air dengan membaca Bismillah.”
Dengan membaca Bismillah, maka turunlah seorang demi seorang ke atas air dan berjalan meng hampiri wali Allah yang sedang duduk di atas air sambil berzikir. Tidak berapa lama kemudian, kapal yang mengandung muatan beratus juta itu pun tenggelam ke dasar laut.
Habislah kesemua barang-barang perniagaan yang mahal-mahal terbenam ke laut. Para penumpang tidak tahu apa yang hendak dibuat, mereka berdiri di atas air sambil melihat kapal yang tenggelam itu.
Salah seorang daripada peniaga itu berkata lagi, “Siapakah kamu wahai wali Allah?”
Wali Allah itu berkata, “Saya ialah Awais Al-Qarni.”
Peniaga itu berkata lagi, “Wahai wali Allah, sesungguhnya di dalam kapal yang tenggelam itu terdapat harta fakir-miskin Madinah yang diantar oleh seorang jutawan Mesir.”
WaliAllah berkata, “Sekiranya Allah kembalikan semua harta kamu, adakah kamu betul-betul akan membagikannya kepada orang-orang miskin di Madinah?”
Peniaga itu berkata, “Betul, saya tidak akan menipu, ya wali Allah.”
Setelah wali itu mendengar pengakuan dari peniaga itu, maka dia pun mengerjakan sholat dua rakaat di atas air, kemudian dia memohon kepada Allah SWT agar kapal itu ditimbulkan kembali bersama-sama hartanya.
Tidak berapa lama kemudian, kapal itu timbul sedikit demi sedikit sehingga terapung di atas air. Kesemua barang perniagaan dan lain-lain tetap seperti asal. Tiada yang kurang.
Setelah itu dinaikkan kesemua penumpang ke atas kapal itu dan meneruskan pelayaran ke tempat yang dituju. Apabila sampai di Madinah, peniaga yang berjanji dengan wali Allah itu terus menunaikan janjinya dengan membagi-bagikan harta kepada semua fakir miskin di Madinah sehingga tiada seorang pun yang tertinggal. Wallahu a’alam.

10. Sebutir Korma Penjegal Doa


Usai menunaikan ibadah haji, Ibrahim bin Adham berniat ziarah ke mesjidil Aqsa. Untuk
bekal di perjalanan, ia membeli 1 kg kurma dari pedagang tua di dekat mesjidil Haram.
Setelah kurma ditimbang dan dibungkus, Ibrahim melihat sebutir kurma tergeletak didekat
timbangan. Menyangka kurma itu bagian dari yang ia beli, Ibrahim memungut dan
memakannya. Setelah itu ia langsung berangkat menuju Al Aqsa.
4 Bulan kemudian, Ibrahim tiba di Al Aqsa. Seperti biasa, ia suka memilih sebuah tempat
beribadah pada sebuah ruangan dibawah kubah Sakhra. Ia shalat dan berdoa khusuk sekali.
Ibrahim bin adham terkejut sekali, ia terhenyak, jadi selama 4 bulan ini ibadahnya,
shalatnya, doanya dan mungkin amalan-amalan lainnya tidak diterima oleh ALLAH SWT gara-
gara memakan sebutir kurma yang bukan haknya. “Astaghfirullahal adzhim” ibrahim
beristighfar.
Ia langsung berkemas untuk berangkat lagi ke Mekkah menemui pedagang tua penjual kurma.
Untuk meminta dihalalkan sebutir kurma yang telah ditelannya.
Begitu sampai di Mekkah ia langsung menuju tempat penjual kurma itu, tetapi ia tidak
menemukan pedagang tua itu melainkan seorang anak muda. “4 bulan yang lalu saya membeli
kurma disini dari seorang pedagang tua. kemana ia sekarang ?” tanya ibrahim.
“Sudah meninggal sebulan yang lalu, saya sekarang meneruskan pekerjaannya berdagang
kurma” jawab anak muda itu.
“Innalillahi wa innailaihi roji’un, kalau begitu kepada siapa saya meminta penghalalan ?”.
Lantas ibrahim menceritakan peristiwa yg dialaminya, anak muda itu mendengarkan penuh
minat. “Nah, begitulah” kata ibrahim setelah bercerita, “Engkau sebagai ahli waris orangtua
itu, maukah engkau menghalalkan sebutir kurma milik ayahmu yang terlanjur ku makan tanpa
izinnya?”.
“Bagi saya tidak masalah. Insya ALLAH saya halalkan. Tapi entah dengan saudara-saudara saya yang jumlahnya 11 orang. Saya tidak berani mengatas nama kan mereka karena mereka mempunyai hak waris sama dengan saya.”
“Dimana alamat saudara-saudaramu ? biar saya temui mereka satu persatu.”
Setelah menerima alamat, ibrahim bin adham pergi menemui. Biar berjauhan, akhirnya selesai
juga. Semua setuju menghalakan sebutir kurma milik ayah mereka yang termakan oleh
ibrahim.
4 bulan kemudian, Ibrahim bin adham sudah berada dibawah kubah Sakhra. Tiba tiba ia
mendengar dua malaikat yang dulu terdengar lagi bercakap cakap. “Itulah ibrahim bin adham
yang doanya tertolak gara gara makan sebutir kurma milik orang lain.”
“O, tidak.., sekarang doanya sudah makbul lagi, ia telah mendapat penghalalan dari ahli waris pemilik kurma itu. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali dari kotoran sebutir kurma yang haram karena masih milik orang lain. Sekarang ia sudah bebas.”

11. Tobat Seorang Pejabat Tinggi

Sari As-Saqati bercerita bahwa pada suatu hari dia sedang memberi tausyiah di sebuah masjid jami. Tiba-tiba datang seorang pemuda dengan pakaian yang mewah dan dikawal oleh beberapa orang pengiring. Dia duduk di masjid itu dan mendengarkan tausyiah. Ketika itu Sari berkata: “Adalah suatu keajaiban bagi orang yang sangat lemah berani menentang orang yang sangat kuat.”
Wajah si pemuda berubah setelah mendengar ucapan Sari, dan terus pulang. Keesokan harinya Sari mengajar lagi sebagaimana biasa. Pemuda yang semalam datang dengan berpakaian mewah, sekarang hanya memakai pakaian biasa dan tanpa pengawal.
“Wahai tuan guru! Apakah maksud perkataan tuan yang semalam itu?” tanya orang muda itu kepada Sari.
“Tidak ada yang lebih kuat selain Allah, dan tidak ada yang lebih lemah selain manusia. Akan tetapi manusia berani menentang Allah dengan bermaksiat kepadaNya. Bukankah itu suatu keajaiban?” Jawab Sari.
Pemuda itu tertunduk mengingatkan dosa-dosa yang telah dilakukannya, kemudian dia pulang dengan seribu tanda tanya di hatinya, apakah Allah mahu mengampunkan dosa-dosa yang pernah dilakukannya itu? Apakah Allah akan menerima tobatnya? Keesokan harinya dia telah datang lagi kepada Sari.
“Wahai tuan Sari! Tunjukkan kepada saya jalan menuju Allah,” kata pemuda itu.
“Ada dua cara untuk sampai kepada Allah. Yang pertama dengan mengerjakan semua yang terkandung di dalam Al-Quran, yakni sholat, zakat, puasa, haji dan lain-lain pekerjaan. Yang kedua dengan cara meninggalkan segala-galanya selain Allah, kemudian dia tidak tinggal melainkan hanya di masjid atau di tempat-tempat yang sunyi dengan menghabiskan masa untuk beribadah kepada Allah.”
“Kalau begitu, aku tidak akan menempuh melainkan jalan yang lebih dekat,” kata pemuda itu.
Selepas berkata demikian, pemuda itupun keluar menuju padang pasir dan menghabiskan masanya untuk beribadah kepada Allah serta memohon ampun atas segala dosa yang pernah ia lakukan.
Beberapa hari kemudian orang-orang dari istana sibuk mencari Bendara Kerajaan yang tidak pulang ke istana. Orang yang mengetahui dia mendengarkan tausyiah Sari As-Saqati, datang dan bertanya kepadanya.
“Tuan guru Sari tahukah tuan kemana perginya pemuda yang datang ke sini beberapa hari yang lalu?”
“Aku tidak tahu, melainkan ada seorang pemuda sifatnya begini dan begitu,” jawab Sari.
“Dia itulah Ahmad bin Yazid, Bendahara Kerajaan ini,” jawab mereka.
Sari As-Saqati menerangkan bahawa si pemuda telah memilih jalan pintas menuju Allah. Dia sekarang tengah beribadah, diharap pihak istana jangan risau.
Sementara ibu si pemuda itu agak kecewa kerana gara-gara Sari As-Saqati anaknya telah meninggalkan jabatannya sebagai orang penting kerajaan dan menjadi seorang sufi.
Apabila pemuda itu datang, Sari segera memberitahukan kepada keluarganya. Merekapun datang. Si ibu menangis melihat keadaan anaknya yang hidup glamour itu tiba-tiba memakai baju kasar dan buruk sebagaimana biasanya seorang sufi. Mereka coba membujuk si pemuda agar meneruskan pekerjaannya lagi, namun dia sudah tidak mau.
“Engkau telah tersesat dan  membuatku menjadi janda sedangkan anak kita menjadi yatim padahal engkau masih hidup,” kata isteri lelaki itu. “Bawalah anak ini ke mana engkau pergi.”
Lelaki itu lalu menanggalkan pakaian mewah anaknya dan ditukarnya dengan pakaian kasar seperti seorang darwis. Melihat itu, si ibu langsung menyambar anaknya dan menanggalkan baju kasar di badannya, lalu digantikannya dengan baju istana. Kemudian mereka meninggalkan Bendahara Kerajaan yang telah menjadi Darwis itu masuk ke hutan belantara.
Beberapa hari kemudian ada orang datang kepada Sari memberitahukan bahawa bekas Bendahara Kerajaan itu sedang terbaring di atas tanah perkuburan dan meminta tuan guru Sari agar datang ke sana. Sesampainya di sana, Sari mendapati pemuda itu sedang sekarat di atas tanah.
“Tuan datang agak lambat,” kata pemuda itu kepada Sari. Selepas menyebut Kalimah Tauhid, pemuda itupun meninggal dunia.
Sari As-Saqati segera pulang untuk memberitahukan orang ramai dan mengambil alat-alat pengkebumian, tapi sesampainya di tengah jalan dia telah berjumpa dengan orang ramai lengkap membawa alat-alat untuk penyelenggaraan jenazah. Mereka telah mendengar kabar bahwa Bendahara Kerajaan telah meninggal dunia sebagai hamba yang dicintai Allah.

12. Matanya Buta Karena Tangisan Makrifat Allah 

.Disebabkan rasa takutnya kepada Allah membuatnya dapat menangis setiap kali ia membaca Al-Quran dan setiap kali sholat. Oleh sebab itu, bumi tempat sujudnya basah oleh air mata. Ia juga menangis saat ia sedang menyendiri berfikir tentang hari kiamat, kesengsaraan di padang Mahsyar, menunggu hisab dan lain sebagainya. Ia adalah seorang miskin yang hanya memiliki pakaian yang dipakainya saja dan sebuah tempat tidur usang.
Ia berpendapat bahwa dunia dan semua isinya telah datang kepadanya. Karena kesehatannya banyak menolongnya untuk beribadah kepada Allah, dan banyak membantunya untuk berjaga malam dalam melaksanakan sholat dan berzikir kepada Allah. Muhammad Ibn Al-Munkadir masih membujang meskipun ia telah mencapai usia dewasa. Perkara itu dikarenakan ia tidak memiliki harta untuk membayar mahar pernikahan dan ia juga tidak mempunyai perabot rumah tangga.
Muhammad IbnAl-Munkadir mempunyai hubungan darah dengan Abu Bakar Shiddiq. Hubungan darah keduanya bertemu pada kakek yang bernama Sa’ad Ibn Tamim. Pada suatu hari, hubungan kekeluargaan ini mendorongnya datang ke rumah Aisyah binti Abu Bakar untuk mengadukan keperluannya pada Aisyah dengan harapan barangkali Aisyah dapat membantunya menutup pedihnya kelaparan dan pahitnya kemiskinan.
Setelah ia mengutarakan penderitaannya kepada Aisyah, Aisyah berkata: “Andaikata aku mempunyai wang 10,000 dirham niscaya akan kuberikan kepadamu. Pada hari itu juga, tiba-tiba Muawiyah Ibn Abu Sufyan mengirim uang 10,000 dinar kepada Aisyah. Hingga Aisyah berkata pada dirinya sendiri: Alangkah cepatnya apa yang kamu angan-angankan wahai Aisyah.”
Akhirnya Aisyah segera mengutus seseorang untuk mencari Muhammad Ibn Al-Munkadir, kemudian ia memberikan uang 10.000 dirham dimaksud. Uang itu dipergunakan Muhammad Ibn Al-Munkadir untuk membeli seorang hamba wanita untuk dijadikan isterinya. Maka dia kemudian mengakhiri masa bujangnya dan menempuh hidup baru sehingga Allah memberi kurnia kepadanya 3 anak. Ketiganya bernama: Muhammad, Abu Bakar dan Umar. Ia memberi nama mereka seperti nama Rasulullah dan dua sahabat baginda.
Pada suatu hari, salah seorang tetangga Muhammad Ibn Al-Munkadir menderita sakit keras. Setiap malam si sakit itu tidak boleh tidur dan menjerit-jerit kerana kesakitan. Sementara itu Muhammad juga mengeraskan suaranya dalam memanjatkan syukur kepada Allah. Ketika ia ditanya mengenai hal itu, ia menjawab: “Tetanggaku yang sakit itu mengeraskan suaranya kerana sakit, sedangkan aku mengeraskan suara kerana mendapat nikmat.”
Pada suatu malam, Muhammad solat dan menangis sangat lama sehingga keluarganya merasa cemas. Mereka bertanya kepadanya mengapa ia menangis? Tetapi ia tidak menjawab pertanyaan itu bahkan terus menangis sehingga mereka menyangka ia sedang mendapat suatu musibah. Maka mereka memanggil seorang sahabatnya yang bernama Abu Hazim. Mereka memberitahukan pada Abu Hazim tentang masalahnya.
Maka Abu Hazim datang kepadanya dan bertanya, Apa yang menyebabkan ia menangis, sebab keluarganya mencemaskan dirinya. Ia menjawab bahawasanya ia merasa takut setelah membaca Al-Quran yang ertinya: “Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan.” Mendengar hal itu Abu Hazim ikut menangis bersamanya sehingga keluarganya menegur Abu Hazim mengapa ia  menangis padahal ia dipanggil mereka untuk menenteramkan hatinya. Maka Abu Hazim memberitahu mereka tentang sesuatu yang menyebabkan mereka menangis.
Muhammad Ibn Al-Munkadir berkata: “Sesungguhnya Allah selalu menjaga orang mukmin dalam anaknya, cucunya dalam rumahnya, dan rumah yang ada di sekitarnya. Mereka sentiasa dalam lindungan Allah selagi mereka masih di tengah mereka.” Muhammad tidak pernah melihat jenazah orang mukmin melainkan ia ikut menyembahyangkannya, meskipun orang yang meninggal itu orang jahat.
Pada suatu hari ia ditanya, “Mengapa kamu mau solat atas jenazah si fulan?” Jawabnya, “Karena aku malu kepada Allah jika aku melihat diriku, bahawa rahmat-Nya tidak sampai pada salah seorang dari hamba-Nya.”
Di rumah yang selalu dinaungi ketakwaan, dihiasi sikap wara’ dan disinari cahaya Al-Quran, di situlah anak-anak Muhammad Al-Munkadir berkembang. Oleh kerana itu mereka pun seperti bapanya, baik dalam segi keimanan, tingkah laku mahupun ketakwaan mereka kepada Allah, hingga rumah mereka berubah menjadi tempat ibadah.
Di dalam rumah itu mereka membaca Al-Quran dan mempelajari ilmu pengetahuan. Umar Ibn Muhammad Al-Munkadir tidak pernah tidur pada malam hari dan ia banyak menangis karena takut kepada Allah. Ketika ibunya merasa cemas padanya, maka ibunya meminta bantuan saudaranya Muhammad Ibn Muhammad Al-Munkadir, ia berkata: “Sungguh aku sangat kasihan kepada saudaramu Muhammad kerana apa yang dilakukannya, jika kamu yang menasihatinya dalam hal ini, barangkali ia akan kasihan pada dirinya sendiri.”
Maka Muhammad berbicara empat mata dengan Umar, saudaranya, ia berkata pada Umar. “Sungguh apa yang kamu lakukan itu membuatku sedih karena memikirkan keadaanmu.” Jawab Umar. “Sungguh, bila malam tiba aku merasa takut, karena itu aku membaca Al-Quran, dalam membaca Al-Quran aku mendapat kenikmatan yang tidak dapat dibandingkan dengan dunia seisinya. Adapun yang menyebabkan aku menangis, kerana aku takut Allah tidak menerima amalku. Demikian itu, karena aku telah mendengar sebuah hadist Rasulullah SAW yang dimaksudnya begini. “Sungguh ada seseorang yang selalu mengerjakan amalan ahli syurga sehingga jarak antara ia dan syurga tinggal satu dzira’ (lengan), kerana takdir telah mencatat ia sebagai ahli neraka, maka tiba-tiba ia melakukan amalan ahli neraka hingga ia masuk neraka.”
Setelah itu, Umar diam sejenak, kemudian ia berkata lagi: “Wahai Muhammad, tidakkah kamu tahu, bahawa ayah kita juga sering menangis karena takut kepada Allah hingga kedua matanya buta? Sungguh aku akan menghabiskan hidupku hanya untuk beribadah kepada Allah dan mengabdi kepada-Nya. Wahai saudaraku, orang-orang yang dahulu beriman berkata: “Di antara tanda-tanda diterimanya suatu amalan ialah, bila air matamu keluar sedangkan kamu tidak merasa. Dan tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.”
Demikian itulah kehidupan Muhammad Ibnu Al-Munkadir dan anak-anaknya. Suatu keluarga mukmin yang selalu mengingat Allah setiap saat. Masing-masing selalu menghisab dirinya dalam setiap tingkah lakunya. Semoga keluarga Muhammad termasuk keluarga yang bahagia pada hari kiamat dan termasuk keluarga yang dinaungi Allah pada hari di mana tiada naungan kecuali naungan-Nya.
Menjelang hari wafatnya, wajah Muhammad Ibnu Al-Munkadir tampak gelisah. Ketika ia ditanya, “Mengapa kamu kelihatan gelisah?” Jawabnya: “Aku takut pada ayat Al-Quran yang berbunyi: “Dan jelaslah azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan. Aku takut aku akan melihat siksa Allah yang tidak pernah aku perkirakan sebelumnya.”
Salah seorang yang duduk di sampingnya di saat ia hampir meninggal dunia berkata padanya: “Wahai Muhammad, aku melihat sepertinya ajalmu telah dekat.” Tetapi Muhammad masih kelihatan tenang hingga tiba-tiba sahabatnya melihat wajah Muhammad bersinar seperti bulan. Maka Muhammad Ibnu Al-Munkadir berkata pada sahabatnya: “Andaikan kamu melihat tempatku nanti, nescaya kamu akan senang.” Kemudian ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Peristiwa itu terjadi di tahun 131 H.

13. Ahli Ibadah yang Sholat 1000 Rakaat Sehari 

Siang dan malam tiada yang dilakukan kecuali hanya ruku dan sujud kepada Allah. Setiap sehari semalam ia sholat tidak kurang dari 1,000 rakaat. Dirinya hanya untuk beribadah kepada Allah. Ia selalu berusaha agar dirinya setingkat dengan para malaikat yang senantiasa bertasbih siang dan malam yang tidak pernah lupa berzikir kepada Allah walau sesaat pun. Setiap hari ia hanya makan beberapa suap saja, sekadar ia dapat hidup; karena itu badannya sangat kurus. Tetapi dalam badan yang kurus itu terdapat kekuatan rohani yang mengagumkan yang menyebabkan ia dapat melaksanakan solat yang ia tekankan atas dirinya.
Ia hidup membujang; meskipun khalifah Muawiyah Ibnu Sufyan telah menawarkan padanya untuk melamar wanita yang ia senangi; dan mas kawinnya akan diambilkan dari Baitul Mal, tapi Amir Ibnu Abdullah hanya ingin mengabdikan dirinya kepada Allah, ia bertekad tidak akan ada sesuatu yang dapat melalaikannya dari beribadah kepada Allah.
Ia adalah seorang tabi’in yang mencapai puncak zuhud. Ia berkata: “Kenikmatan dunia itu ada empat, harta, wanita, tidur dan makanan. Adapun harta dan makan, aku tidak dapat meninggalkannya. Tetapi demi Allah, dengan tidur dan makan aku memeras tenagaku.”
Keperluannya pada tidur dan makan menyerupai keperluannya pada solat malam dan puasa di siang harinya. Setiap syaitan berusaha mendekati tempat sujudnya, maka ia mencium bau syaitan yang busuk; dan jika ia mendapatkan bau syaitan, maka ia menyingkirkan dengan tangan dan berkata: “Andaikan bukan karena bau busukmu, niscaya aku sujud di atasmu.”
Pada suatu ketika syaitan datang padanya dengan menjelma menjadi ular, ketika ia menyingkirkannya dengan tangan, syaitan berkata: “Apakah kamu tidak takut digigit ular?” Jawabnya: “Sungguh aku malu kepada Allah jika aku takut kepada selain Dia.”
Amir terus meneruskan sholat sepanjang siang dan malam, hingga betis dan telapak kakinya bengkak. Ia selalu berkata: “Wahai jiwa yang selalu mengajak kepada kejahatan, sesungguhnya kamu diciptakan untuk beribadah. Demi Allah, aku akan memaksamu melakukan ibadah tanpa ada kesempatan untuk tidur. Setiap hari ia pergi ke suatu bukit untuk menjauhkan diri dari keramaian orang, dan mengisinya dengan beribadah di sana.
Pada suatu hari, ia keluar rumah dan terus berjalan hingga sampai di lembah “Buas,” dinamakan lembah buas kerana di situ banyak terdapat binatang buas. Tiada seorang pun yang berani memasuki lembah itu kecuali orang-orang sufi yang berhati tulus, yang hati dan jiwa mereka hanya takut kepada Allah, mereka tidak takut pada apa pun kecuali Allah; meskipun binatang buas atau ular berbisa.
Ketika Amir menuruni lembah itu, ia dapatkan di lembah itu ada ahli sufi lain seperti dirinya, ia bernama “Humamah” solat di suatu sudut. Keduanya berada di lembah selama empat puluh hari tanpa saling berbicara, kerana masing-masing sedang tekun beribadah dan sholat.
Suatu ketika Amir Ibnu Abdullah ingin mengenal orang yang tinggal di lembah itu dan giat dalam beribadah, maka ia datang pada orang itu dan bertanya: “Siapakah kamu, hai hamba Allah?” Orang itu berkata: “Tinggalkan aku.” Kata Amir, “Aku bersumpah tidak akan meninggalkan kamu sebelum aku tahu dirimu.” Kata orang itu, “Aku Humamah Al-Habsyi.”
Kata Amir, “Jika kamu Humamah Al-Habsyi seperti yang pernah aku dengar, kamu pasti orang yang paling banyak beribadah di dunia ini. Beritahukan padaku perkara yang paling utama.” Kata Humamah. “.. Andaikan bukan kerana beberapa ketentuan solat yang mengharuskan berdiri dan sujud, niscaya aku lebih senang menghabiskan umurku untuk terus rukuk dan membiarkan wajahku bersujud kepada Allah hingga aku bertemu dengan-Nya. Akan tetapi solat-solat fardhu tidak membolehkan aku melakukan itu. Dan siapakah kamu?” Jawab Amir. “Aku Amir Ibnu Abdu Qais.”
Kata Humamah, “Jika kamu Amir seperti yang pernah aku dengar, pasti kamu seorang yang paling banyak beribadah. Maka beritahukan padaku perkara yang paling utama.” Kata Amir. “Sungguh rasa takutku kepada Allah membuat aku tidak takut kepada apa pun kecuali pada-Nya.”
Di saat Amir dan Humamah sedang berbicara tentang ibadah dan taat kepada Allah, tiba-tiba datang seekor binatang buas di belakang Amir dan meloncat ke atasnya, maka Amir menyapu binatang itu dengan tenang sambil membaca ayat Al-Quran, “Dzaalika yaumu majmuu’ul lahunnasu wa dzaalika yaumun masyhud.” “Hari kiamat itu adalah hari yang mana manusia dikumpulkan untuk (menghadap)Nya, dan hari itu adalah hari yang disaksikan (oleh semua makhluk).”
Tiba-tiba binatang buas itu duduk mengibaskan ekornya seperti kucing yang jinak. Ketika Humamah menyaksikan hal itu, ia bertanya pada Amir: “Demi Allah, wahai Amir, bagaimana kamu boleh berbuat demikian?” Jawab Amir: “Bukankah sudah kukatakan padamu, sungguh aku malu kepada Allah jika aku takut selain Dia.”
Ia adalah seorang ahli zuhud, bujangan yang mempunyai rumah. Ia mempunyai saudara perempuan wanita yang bernama Ubadah yang setiap hari membuatkannya roti dan mengirimkan roti itu kepadanya. Tapi setiap ia menerima kiriman roti, ia segera keluar mengundang anak-anak yatim untuk makan roti tersebut. Ia berkata pada saudara sepupunya: “Wahai Ubadah, sabarlah atas apa yang menimpamu di dunia ini dengan membaca Al-Quran, kerana barangsiapa yang tidak senang membaca Al-Quran, maka ia akan meninggalkan dunia dalam keadaan menyesal.”
Pada hari-hari tertentu, Amir Ibnu Abdu Qais mengadakan majlis di masjid. Di antara kata yang pernah disampaikan kepada majlisnya; Aku pernah bertemu dengan beberapa sahabat Rasulullah dan bergaul dengan mereka; mereka memberitahu aku, bahawasanya pada hari kiamat, orang yang paling suci dari dosa ialah orang yang paling memperhitungkan dirinya dalam setiap langkahnya; orang yang paling senang di dunia, akan menjadi orang yang paling sedih di hari kiamat; dan orang yang paling banyak tertawa di dunia, ia akan menjadi orang yang paling banyak menangis di hari kiamat.”
Walaupun Amir seorang yang zuhud, ia tidak membiarkan seseorang yang berbuat zalim, meskipun orang yang dizalimi itu bukan orang Islam. Pada suatu hari, ia menyaksikan orang kafir dzimmi ditarik oleh beberapa orang yang menjadi kaki tangan penguasa Basrah. Orang dzimmi itu minta tolong padanya, maka ia melepaskannya dari seksaan mereka dan berkata kepada mereka. “Jangan menyeksa seorang dzimmi yang telah dijamin oleh Rasulullah SAW selagi aku masih hidup.” Setelah gabenor Basrah mengetahui apa yang diperbuat oleh Amir, maka ia memerintahkan supaya Amir dibuang ke Syam, agar Amir tidak akan kembali padanya atau melakukan sesuatu yang bukan haknya.
Tatkala Amir akan berangkat ke Syam, ia mengumpulkan kawannya untuk mengantarkan ke perbatasan kota, ia berkata pada mereka: “Aku hendak berdoa kepada Allah, maka ucapkanlah ‘amin’.” Kawan-kawannya mengira akan berdoa kerana pembuangannya.  Mereka berkata: “Sebenarnya kami telah menginginkan kamu berdoa.” Maka ia mengangkat kedua tangan dan berdoa: “Ya Allah, siapa yang memfitnah aku, mendustakan aku, mengeluarkan aku dari kota ini dan memisahkan aku dari kawan-kawanku; Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, sehatkanlah badannya dan panjangkanlah umurnya.”
Demikian itulah sifat Amir Ibnu Qais, ia mendoakan orang-orang yang telah berbuat zalim padanya dan mengusirnya dari Basrah tempat ia tinggal bersama keluarganya dan tempat berguru kepada  Abu Musa Al-Asyari agar mereka diberi harta dan anak yang banyak, disehatkan badannya dan dipanjangkan umurnya.
Amir meninggal dunia dalam keadaan tidak memiliki apa-apa sebagaimana ia lahir di dunia dengan tangan kosong. Ia hanya membawa bekal amal soleh yang mengantarkan ia sampai mencapai tingkat orang-orang soleh yang berbakti kepada Allah.

14. Memadamkan Lampu Demi Menjamu Tamu 

Seorang sahabat r.a. menjumpai Rasulullah Saw. dan mengadukan kelaparan dan penderitaannya kepada beliau.Lalu Rasulullah Saw. menyuruh sesorang bertanya kepada istri-istri beliau, apakah di rumah ada sisa makanan, ternyata tidak ada. Lalu Rasulullah saw. bertanya kepada para sahabatnya, “Adakah di antara kalian yang malam ini bersedia melayani tamu ini? ” Seorang Anshar menyahut, ” Ya Rasulullah, saya bersedia menerimanya sebagai tamu saya. ”
Sahabat Anshar itu membawa pulang tamu tadi ke rumahnya dan berkata kepada istrinya, ” Ia adalah tamu Rasulullah saw. Jangan sampai kita mengecawakannya dan jangan sampai kita menyembunyikan apa pun untuk memuliakannya. ” Jawab istrinya, “Demi Allah, aku hanya menyimpan sedikit makanan, itu pun hanya cukup untuk anak-anak kita. “
Jawab suaminya, “Hiburlah dulu anak-anak kita samapi mereka tidur. Jika sudah tidur, hidangkanlah makanan itu untuk tamu kita. Aku akan duduk dengannya. Lalu padamkanlah lampu, sambil berpura-pura akan membetulkannya. Istrinya melaksankan rencana tersebut dengan baik.Pada malam itu , suami istri dan anak-anaknya terpaksa menahan lapar.
Terhadap peristiwa ini, Allah swt, berfirman :
“Dan mereka mengutamakan (kaum Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. ‘ (Qs.Al-Hasyr : 9 ).

15. Ganjaran Berupa Pohon Kurma di Surga 

Abdullah bin Abbas r.a. berkata, “Di rumah seseorang ada sebatang pohon kurma. Ujung pohon kurma tersebut condong di atas rumah tetangganya yang fakir. Ketika orang itu memanjat pohon kurma untuk memetik buahnya, maka pohon kurma tersebut bergoyang-goyang dan beberapa buah kurma yang telah masak berjatuhan di pekarangan rumah tetangganya itu. Kemudian buah kurma yang terjatuh tersebut diambil oleh anak-anak tetangganya yang miskin tersebut. Setelah selesai memetik buah kurma, orang tersebut turun, kemudian pergi menuju rumah tetangganya, lalu merampas kurma-kurma yang berada di dalam genggaman anak-anak tetangganya itu, bahkan buah kurma yang sudah dimakan pun dikeluarkan dengan cara memasukkan jari ke dalam mulutnya. Orang miskin itu menghadap Rasulullah saw. dan mengadukan hal itu kepada beliau saw.
Setelah Rasulullah saw. mendengarkannya, beliau saw. bersabda, “Baiklah, sekarang pulanglah kamu.” Setelah itu, Rasulullah saw. berkata kepada pemilik kurma, “Maukah kamu memberikan buah kurmamu yang condong di atas rumah si Fulan kepadaku dengan jaminan, sebagai gantinya kamu akan memperoleh satu pohon kurma di surga?” Orang itu menjawab, “Ya Rasulullah, banyak orang yang mau membelinya, dan saya pun masih mempunyai banyak pohon kurma, tetapi saya sangat suka dengan buah kurma yang satu ini.” Setelah berbicara demikian, ia meminta maaf karena tidak bisa memberikannya. Mendengar jawaban tersebut, Rasulullah saw. diam saja. Ketika itu, ada orang lain yang mendengarkan pembicaraan tersebut. Setelah pemilik pohon kurma itu pergi, orang itu berkata kepada Rasulullah saw., “Seandainya saya menyerahkan pohon kurma itu, apakah saya juga mendapatkan apa yang engkau janjikan kepada pemilik kurma itu, yakni memperoleh pohon kurma di surga?” Rasulullah saw. menjawab, “Ya, bagimu juga janji seperti itu.” Orang itu bangkit dan pergi menemui pemilik pohon kurma itu dan berkata, “Saya mempunyai kebun kurma, dan engkau dapat menjual pohon kurmamu itu dengan harga berapa saja. Pemilik pohon kurma itu berkata, “Rasulullah saw. telah menjanjikan untuk saya satu batang pohon kurma di surga apabila saya mau menyerahkan pohon kurma ini kepada beliau. Dengan janji itu saya tetap tidak memberikannya, karena pohon kurma ini sangat saya sukai. Saya mau menjualnya, akan tetapi tidak ada yang mau membeli dengan harga yang saya inginkan.” Orang itu bertanya, “Berapa harga yang engkau inginkan?” Pemilik pohon kurma itu menjawab, “Saya menjualnya dengan harga 40 batang pohon kurma.” Orang itu berkata, “Satu batang pohon kurma yang bengkok dijual seharga 40 batang pohon kurma, betapa mahalnya. Tetapi baiklah, seandainya saya bersedia membeli dengan harga tersebut, apakah engkau mau menjualnya?” Pemilik pohon kurma itu berkata, “Jika benar ucapanmu, bersumpahlah bahwa engkau akan memberikan 40 pohon kurma untuk menggantikan satu pohon kurma saya.” Kemudian orang itu bersumpah bahwa ia telah memberikan 40 pohon kurma sebagai ganti satu pohon kurma yang bengkok tersebut.
Setelah kejadian tersebut, pemilik pohon kurma itu kembali dan berkata, “Saya tidak akan menjual pohon kurma saya ini.” Orang itu berkata, “Engkau tidak mungkin mengingkari janjimu karena saya juga telah bersumpah.” Pemilik pohon kurma itu berkata, “Baiklah, tetapi dengan syarat semua pohon itu berada di satu tempat.” Setelah berpikir sejenak, orang itupun menjanjikan bahwa semua pohon tersebut berada dalam satu tempat. Setelah menguatkan akad jual beli, orang itu datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya telah membeli pohon kurma itu untuk saya berikan kepada engkau.” Rasulullah saw. pun pergi ke rumah orang fakir tersebut dan menyerahkan seluruh pohon kurma yang diterimanya kepada orang fakir tersebut. Setelah peristiwa ini, maka turunlah surat Al-Lail. (Durrul- Manstur).

16. Seorang Wanita Tua Miskin Yang Dermawan 

Abul-Hasan Madani rah.a. berkata, “Ketika Hasan r.a., Husain r.a., dan Abdullah bin Ja’far r.a. sedang melakukan perjalanan untuk melakukan ibadah haji, di perjalanan, unta yang membawa perbekalan mereka telah terpisah dengan mereka. Maka mereka melanjutkan perjalanan dalam keadaan lapar dan haus. Pada saat mereka melewati sebuah kemah, di dalamnya terlihat seorang wanita tua. Mereka bertanya kepada wanita itu, “Apakah engkau mempunyai sesuatu untuk kami minum?” Ia menjawab, “Ya, ada.” Maka turunlah mereka dari unta mereka. Wanita tua itu memiliki seekor kambing betina yang sangat kecil. Dengan menunjuk ke arah kambing itu, ia berkata, “Perahlah susunya kemudian minumlah sedikit-sedikit. Mereka pun memerah susunya, kemudian meminumnya. Kemudian mereka bertanya, “Adakah sesuatu untuk dimakan?” Wanita tua itu berkata, “Silakan salah seorang di antara kalian menyembelihnya. Aku akan memasakkannya.” Maka salah seorang di antara mereka menyembelihnya, dan wanita tua itu memasaknya. Setelah mereka makan dan minum, pada sore harinya ketika mereka mau melanjutkan perjalanan, mereka berkata,
“Kami adalah orang-orang dari Bani Hasyim. Sekarang ini kami sedang melakukan safar untuk ibadah haji. Jika kami selamat sampai ke Madinah, datanglah kepada kami, kami akan membalas kemurahan hatimu. Setelah berkata demikian, pergilah mereka. Pada sore harinya, ketika suami wanita itu datang, wanita tua kemudian menceritakan kisah orang-orang dari Bani Hasyim tersebut. Mendengar penuturan istrinya itu, suaminya sangat marah dan berkata, “Engkau telah menyembelih kambing untuk orang asing yang tidak dikenal.” Istrinya menjawab, “Mereka dari Bani Hasyim.” Ringkas cerita, setelah suaminya marah-marah, ia terdiam. Beberapa lama kemudian, ketika kedua suami istri tersebut didera kemiskinan, keduanya pergi ke Madinah untuk bekerja sebagai buruh. Sepanjang hari, mereka mengambil kotoran hewan dan mengeringkannya, lalu menjualnya untuk mempertahankan hidup. Pada suatu hari, ketika wanita tua itu sedang memunguti kotoran binatang, Hasan r.a. tengah duduk di depan rumahnya. Ketika wanita tua tersebut lewat, Hasan r.a. melihatnya dan mengenalinya. Kemudian Hasan r.a. menyuruh hamba sahayanya untuk memanggil wanita tua itu. Sesampainya di hadapan Hasan r.a., ia bertanya, “Wahai hamba Allah, apakah engkau mengenaliku?” Ia menjawab, “Aku tidak mengenali engkau.” Hasan r.a. berkata, “Aku adalah tamumu yang pernah meminum susu kambing dan memakan dagingnya. Wanita tua itu tetap merasa belum kenal. Tetapi sejurus kemudian ia berkata, “Demi Allah, engkaukah tamuku itu?” Hasan r.a. berkata, “Ya, akulah tamumu.” Dan setelah berbicara seperti itu, Hasan r.a. menyuruh hamba sahayanya membeli kambing sebanyak seribu ekor untuk diberikan kepada wanita tua tersebut. Di samping memberi seribu kambing, Hasan r.a. juga memberinya seribu dinar. Lalu Hasan r.a. menyuruh hamba sahayanya untuk membawa wanita tua itu menemui adiknya, Husain r.a.. Husain r.a. bertanya, “Balasan apa yang diberikan oleh kakakku, Hasan?” Ia menjawab, “Seribu ekor kambing dan seribu dinar.” Setelah mendengar jawaban itu, Husain r.a. juga menyerahkan pemberian yang sama sebagaimana yang diberikan oleh kakaknya. Setelah itu, ia diantar kepada Abdullah bin Ja’far r.a.. Ia pun menyelidiki apa yang telah diberikan oleh kedua cucu Rasulullah saw. tersebut, dan setelah mengetahuinya, ia memberikan kepada wanita tua itu dua ribu kambing dan dua ribu dinar, dan ia berkata, “Jika engkua datang kepadaku terlebih dahulu, aku akan memberimu lebih dari ini. Lalu wanita tua itu menyerahkan empat ribu ekor kambing dan empat ribu dinar kepada suaminya sambil berkata, “Ini adalah ganti dari kambing kita yang lemah itu.” (Ihya’)

17. Satu Dirham pun tidak tersisa 

Ketika seseorang datang kepada Hasan r.a. untuk meminta bantuan sambil menyebutkan keperluan-keperluannya, Hasan r.a. berkata, “Karena permintaanmu, hak yang telah tertegak di atasku sangatlah tinggi dalam pandanganku. Dan bantuan yang harus aku berikan menurutku merupakan jumlah yang besar. Sedangkan keadaan harta bendaku tidak mencukupi untuk jumlah yang sesuai dengan kedudukanmu. Dan seberapa saja yang dibelanjakan oleh seseorang di jalan Allah swt. sangat sedikit (jika dibandingkan dengan karunia Allah). Akan tetapi apa boleh buat, aku tidak mempunyai sejumlah uang yang bisa menunaikan rasa syukur atas permintaanmu itu. Jika engkau mau, terimalah dengan senang hati apa yang ada padaku dan jangan engkau memaksaku untuk mencari kadar yang sesuai dengan martabatmu dan hakmu yang telah menjadi kewajibanku. Jika engkau menerima syarat ini, aku akan senang.”
Peminta-minta itu berkata, “Wahai putra Rasulullah, apa saja yang engkau berikan kepadaku aku terima, dan aku bersyukur atasnya. Dan aku maafkan engkau karena tidak memberi yang lebih dari itu.” Atas jawaban peminta-minta itu, Hasan r.a. berkata kepada bendaharanya, “Bawalah sisa dari 300.000 dirham (yang dititipkan kepadanya). Maka bendahara membawakan lima puluh ribu dirham (karena yang lainnya sudah dibelanjakan di jalan Allah swt.). Hasan r.a. berkata, “Aku juga ingat telah memberimu lima ratus dinar.” Bendahara berkata, “ Dinar tersebut masih ada.” Hasan r.a. berkata, “Kalau begitu bawalah kemari!” Ketika semuanya telah diserahkan kepada Hasan r.a., ia berkata kepada peminta-minta, “Bawalah kemari kuli untuk membawa harta ini sampai ke rumahmu.” Peminta-minta itu datang membawa dua orang kuli. Hasan r.a. menyerahkan semuanya kepada dua orang kuli tersebut, serta melepaskan kain dari badannya untuk diberikan kepada peminta-minta itu. Hasan r.a. berkata, “Upah kuli-kuli itu tanggung jawab saya. Karena itu, juallah kain saya ini, dan berikanlah hasil penjualannya sebagai upah untuk kedua kuli ini. Hamba-hamba sahaya Hasan r.a. berkata, “Sekarang satu dirham pun tidak tersisa untuk keperluan makan minum kita. Engkau telah memberikan semuanya. Hasan r.a. berkata, “Aku sangat berharap kepada Allah swt. bahwa Dia akan memberiku pahala yang sangat banyak dengan limpahan karunia-Nya.” (Ihya’).
Setelah Hasan r.a. memberikan semua yang dimilikinya hingga tidak tersisa sedikit pun, dan meskipun jumlah yang diberikannya begitu banyaknya, ia tetap merasa sedih dan menyesal tidak dapat menunaikan hak orang yang meminta itu.

18. Abu bakar As-Shiddiq r.a yang Dermawan 

Selama masa hidupnya, kisah-kisah tentang kedermawanan Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. begitu banyaknya, sehingga sangat sulit untuk dikumpulkan menjadi satu. Salah satu kisah yang masyhur adalah pada waktu perang Tabuk, ketika Rasulullah saw. menghimbau untuk mengumpulkan bantuan, Abu Bakar r.a. telah mengumpulkan semua harta benda yang ada di rumahnya, lalu diberikan kepada Rasulullah saw.. Dan ketika Rasulullah saw. bertanya, “Wahai Abu Bakar, apa yang engkau tinggalkan di rumahmu?” Ia menjawab, “Allah swt. dan Rasul-Nya (yakni perbekalan yang berupa keridhaan-Nya dan Rasul-Nya) ada di rumah. Kisah ini telah disebutkan di dalam kitab Hikayatush-Shahabat secara terperinci. Saya juga telah menuliskan kisah sahabat yang lain di dalam kitab tersebut. Jika kita membacanya, kita akan mengetahui bahwa ikram, kasih sayang, dan membelanjakan harta di jalan Allah swt. merupakan bagian dari kehidupan para sahabat r.a. Jika kita bisa meniru sedikit saja, kita tidak tahu apakah yang akan dikatakan orang-orang tentang diri kita. Akan tetapi, kisah-kisah semacam itu bagi para sahabat merupakan perkara yang biasa, khususnya bagi Abu Bakar Shiddiq r.a. Adakah keterangan yang lebih jelas daripada yang difirmankan Allah swt. sendiri di dalam Al-Qur’an?
“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu. Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah ) untuk membersihkannya. Padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya. Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Mahatinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan.” (Q.s. Al-Lail: 17-21).
Ibnu Jauzi rah.a. berkata, “Para ulama sepakat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu Bakar Shiddiq r.a.. Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Harta seseorang tidak memberikan manfaat bagiku sebanyak harta Abu Bakar r.a.” Setelah mendengar sabda Rasulullah saw. tersebut, Abu Bakar Shiddiq r.a. menangis dan berkata, “Wahai Rasulullah, apakah diri saya dan harta saya menjadi milik selain engkau?” Sabda Nabi saw. ini banyak diriwayatkan dari beberapa sahabat dalam beberapa riwayat. Di dalam sebuah riwayat dari Sa’id bin Musayyab terdapat tambahan, “Rasulullah saw. menggunakan harta Abu Bakar r.a. seperti ketika menggunakan hartanya sendiri.” Urwah r.a. berkata, “Ketika Abu Bakar r.a. masuk Islam, ia mempunyai uang sebanyak 40.000 dirham, semuanya dibelanjakan untuk Rasulullah saw. (yakni dalam keridhaan Rasululullah saw.). Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa ketika ia masuk Islam, ia mempunyai uang sebanyak 40.000 dirham. Dan pada waktu hijrah, yang tersisa hanya 5000 dirham. Harta itu digunakan untuk memerdekakan hamba-hamba sahaya (yang disiksa karena masuk Islam) dan untuk keperluan agama. (Tarikhul-Khulafa’)
Abdullah bin Zubair r.a. berkata bahwa Abu Bakar Shiddiq r.a. selalu membeli hamba sahaya yang lemah lalu memerdekakannya. Ayahnya, Abu Quhafah, berkata, “Jika kamu ingin memerdekakan hamba sahaya, merdekakanlah hamba sahaya yang kuat-kuat, karena dia akan bisa membantumu dan bisa berguna bagi kita. Abu Bakar Shiddiq r.a. menjawab, “(Saya tidak memerdekakan budak untuk diri saya), tetapi saya memerdekakannya untuk mencari keridhaan Allah swt.” (Durul-Mantsur). Di sisi Allah swt., pahala membantu orang-orang yang lemah lebih banyak daripada membantu orang-orang yang kuat.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak seorang pun yang telah berbuat baik kepadaku dan aku belum membalas kebaikannya. Tetapi kebaikan Abu Bakar r.a. menjadi tanggung jawabku (beliau tidak bisa membalasnya). Allah swt. sendirilah Yang akan membalas kebaikannya pada hari Kiamat. Harta seseorang tidak memberikan manfaat bagiku sebanyak manfaat yang di berikan oleh harta Abu Bakar r.a.” (Tarikhul-Khulafa’)

 


 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar